Wednesday, June 15, 2011

this notebook is sending someone to grad school

Cecil Mariani (Cecil) diterima di program Master of Fine Arts Design, Designer as Author, School of Visual Arts,New York, Amerika Serikat. Program ini hanya menerima 20 mahasiswa per tahun. Pengajar sekolah ini terdiri dari desainer-desainer terkemuka seperti Milton Glaser, Stephen Heller dan Stefan Sagmeister. Cecil memilih bidang studi ini untuk mengembangkan bentuk-bekntuk kolaborasi antar disiplin yang lebih berkelanjutan, lewat mengajar dan merintis laboratorium desain untuk indusri kecil menengah dan para pelaku seni. Felencia Hutabarat (Ellen) diterima di program Creative Economics and Cultural Entrepreneurship di Erasmus School of History, Culture and Communication, Rotterdam, Belanda. Jurusan yang terbilang sangat baru ini didirikan untuk mempelajari lebih lanjut potensi dari ekonomi kreatif dan kontribusinya terhadap kemajuan sektor seni dan budaya. Ellen memilih bidang ini karena ingin menggali potensi sektor seni dan budaya yang terkait dengan ekonomi, sehingga praktisi kesenian dapat memanfaatkan kekuatan pasar untuk mendukung keberlanjutan karya kreatif mereka. Lisabona Rahman (Lisa) diterima di program Preservation and Presentation of the Moving Image, Universiteit van Amsterdam, Belanda. Di seluruh dunia, jurusan dengan ilmu yang sangat spesifik ini hanya terdapat di 3 universitas. Lisa memilih bidang studi ini karena ingin memastikan film Indonesia dilestarikan agar dapat dinikmati generasi mendatang. Kondisi film klasik Indonesia yang ada sekarang, sebagian besar mengkhawatirkan. Jika tidak segera direstorasi, maka film-film ini akan rusak dan hilang dalam waktu dekat.
Lalu, apa hubungan kisah mereka dengan foto-foto notebooks ini?
Notebook yang gambarnya terpampang di sini didesain Cecil Mariani dalam 3 ukuran: A6, A5 dan A4 dan diperjual belikan secara luas sebagai caranya mengumpulkan dana beasiswa kolektif. untuk membiayai pendidikanS-2 mereka bertiga.
Untuk mengumpulkan cukup biaya, mereka harus menjual 100.000 notebook dalam 2 tahun ini.
Buat yang tertarik untuk membeli notebook warna-warni yang cantik ini, silakan menghubungi gerai ini.
Aku ikut mendukung mereka mewujudkan cita-cita. Apakah kamu juga?

Sunday, June 12, 2011

Nderek Mariah: dan yang hilang

Orang-orang dalam film karya Garin Nugroho semuanya menari. Demikian lebih kurang kesimpulan yang saya tangkap dari cuplikan film, video, foto, patung dan instalasi yang dipamerkannya dalam pameran yang menandai 30 tahun perjalanan kekaryaannya: Nderek Mariah-Post Cinema yang diselenggarakan di Bentara Budaya Kamis malam lalu (9/6). Melihat bagaimana suasana dan tata artistik diciptakan dalam karyanya, godaan untuk menari memang sulit ditepis. Padang sabana nan luas, hutan hijau, ritual yang ritmis dan menggugah, suasana kota yang riuh rendah nan fotografis, panggung yang megah, instalasi yang mempesona, membuat tokoh-tokoh dalam karyanya menggerakkan tangan, menggoyangkan kaki, menciptakan irama, lalu mulai menari. Tetapi, tidak seperti film India yang mengekspresikan segala hal melalui tarian dan nyanyian, tokoh-tokoh dalam karya Garin Nugroho menari untuk ketidakpastian, kemuraman yang pilu dan perasaan masygul.
Karya-karya Garin, sebagai mana diakuinya, menguarkan aroma upacara dan ritual yang kental. Ia dengan sadar dan sengaja melakukan itu. Baginya, setiap karya dikerjakan dan disajikan selayaknya upacara, dengan berbagai ritual dan dihadirkan melalui perayaan. Kesan ini semakin kuat mengingat Garin selama tiga puluh tahun terakhir mengelilingi Indonesia untuk menghadiri dan merekam berbagai upacara dan ritual tradisional yang diselenggarakan atas berbagai alasan. Rekaman-rekaman itu yang kemudian muncul sebagian atau keseluruhannya dalam berbagai dokumenter, film televisi dan iklan layanan masyarakat yang disutradarainya. Sejumlah ritual direka ulang, direspon, dilahirkan kembali dengan bentuk berbeda, kemudian muncul dalam berbagai filmnya.
“Lahir di Jogja dan berkelana dalam mencipta di berbagai pulau-pulau Indonesia, sesungguhya menjadikan saya selalu (hidup) mengalami beragam upacara: dari kelahiran, kematian, pernikahan, membuat rumah, hingga meruwat nama, rumah, sampai bumi. Bagi saya, mencipta seperti bekerja dalam upacara tradisi” tulis Garin. Acara pembukaan pamerannya malam itu pun bagaikan sebuah upacara. Mengingatkan saya pada acara lamaran tradisional Jawa. Sebelum diperkenankan masuk ke dalam rumah, tanda pinangan diterima, terjadi prosesi saling berjawab, berbalas kiasan. Efix Mulyadi, Radhar Panca Dahana dan Nirwan Dewanto menceritakan dalam versi mereka masing-masing siapa Garin Nugroho dan bagaimana karya-karyanya melintas lalu meruntuhkan batas-batas antara film, seni pertunjukan, seni rupa, fotografi. Membuatnya berada di tengah-tengah perlintasan berbagai jenis kesenian sekaligus. Lalu sanjungan diwujudkan pula dalam video persembahan, penampilan musik, nyanyi, baca puisi. Para kampiun musik tradisional, biduan bersuara merdu memamerkan kebolehan, menunjang segala yang akan disajikan Garin dalam pamerannya. Para artisan dan pada akhirnya Garin Nugroho dimunculkan. Pameran ini dipersembahkan bagi sosok Mariah, mendiang ibunda Garin Nugroho, yang sepanjang karirnya banyak memberi dorongan dan inspirasi. Hal tersebut merupakan kesan kuat kedua yang diekspresikan dalam pameran Nderek Mariah-Post Cinema. “Nderek dalam bahasa Jawa berarti mengikuti, menjalani, menuruti. Pameran ini ingin mengungkap dunia ibu: dunia ibu yang mendidiknya dan melahirkan karya-karyanya. Ibu di sini juga bisa berarti ibu siapa saja. Termasuk dalam pengertian tertentu adalah ibu pertiwi.” Demikian Efix Mulyadi menulis dalam pengantarnya. Tokoh-tokoh perempuan dan ibu bermunculan dalam berbagai penafsiran pada karya-karya yang dipamerkan mulai Kamis malam itu. Hubungan dengan ibu adalah pokok yang paling banyak dieksplorasi. Karya instalasi “Labirin Ibu#2” menampilkan patung perempuan dalam posisi telungkup dengan bokong mencuat. Bagian kepala hingga punggung ditutup secarik bidang merah, seluruhnya terbuat dari resin dan alumunium. Dari bagian bawah tubuhnya muncul kawat melengkung berujung setrika berpaku. “Kusetrika punggungku, agar licin kulitku bisa kau pakai untuk masa depanmu” Karya ini menurut Garin menuturkan paradoks kehidupan Ibu dan dunianya; antara ketidakberdayaan berhadapan dengan perlawanan, kediaman dengan transformasi, kelembutan dengan kekerasan, keindahan dengan kekacauan, yang keseluruhannya bisa dibaca dalam tubuh, kerja dan benda (yang dipakai) ibu. Pada salah satu sudut, sejumlah neon box yang menampilkan still foto dari sejumlah film Garin: Daun di Atas Bantal, Puisi yang Tak Terkuburkan, Angin Rumput Savana, Opera Jawa, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja dan lain sebagainya, dilengkapi potongan dialog yang berhubungan dengan film atau potongan adegan tersebut. Bagi mereka yang mengikuti perkembangan kekaryaan Garin, setidaknya sejak film Cinta Dalam Sepotong Roti, karya yang retrospektif ini tentu membangkitkan nostalgia akan masa dan kejadian yang mengiringi persinggungan dengan film-film tersebut. Sampai di bagian ini, saya agak bertanya-tanya. Mengapa bukan film-filmnya yang dahsyat itu yang lebih banyak digali dalam pameran ini? Karya-karya dalam pembukaan yang saya datangi malam itu adalah karya-karya baru, tak secara langsung mencerminkan perjalanannya selama tiga puluh tahun. Agak mengherankan mengapa Garin seolah tak sungguh percaya dengan film-filmnya, kemudian mencari-cari makna melalui karya patung dan instalasi itu. Padahal, karya Garin menurut saya sudah sampai pada tahap melegenda, dan menimbulkan perubahan yang luar biasa. Siapa yang, misalnya, tak kenal dengan film dokumenter Anak Seribu Pulau? Judul dan film ini pada akhirnya memasuki ingatan kolektif publik dengan begitu gencarnya, hingga kita dapat mencermati sejumlah perubahan. Istilah anak seribu pulau jadi sebuah idiom yang berarti globetrotter dalam Bahasa Inggris. Orang yang kerap bepergian dari satu tempat ke tempat lain, sudah berpindah-pindah kesana kemari. Tanpa dijelaskan pun, semua langsung paham. Dan, film ini mengawali perubahan isi televisi Indonesia. Yang pada mulanya hanya berisi tayangan yang semata menonjolkan Jakarta saja, karena daerah lain (terutama di luar Jawa) dianggap terbelakang, dan nggak keren. Kini terbalik. Siaran televisi swasta justru diisi petualangan ke daerah terpencil. Mulai dari yang bergaya bertahan hidup di rimba, menjelajahi daerah-daerah perawan yang ekstrem dan belum dijamah manusia, sampai yang menceritakan kehidupan anak-anak. Saya yakin, semuanya berutang dan meminjam pada Anak Seribu Pulau-nya Garin Nugroho. Mungkin, lain kali, ada pameran restrospeksi 30 tahun-nya berkarya yang dipusatkan pada film. Yang menunjukkan kekuatan, kelebihan dan kedahsyatan Garin dari sisi ‘dalam’, yang akrab dan lebih intim, dan selama ini tertutup dari pandangan publik. Semoga saja.

duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...