Wednesday, June 25, 2014

MozBelajar #01: Webmaker Workshop

Anazkia left her home just an hour after sunrise that Saturday morning, 14 June 2014. She had to catch the 6 a.m bus from her hometown in Serang, Banten. It took her about 3.5 hours to go to Jakarta. She had to be on time for a Webmaker Workshop, part of #MozBelajar series, that would start at 10 a.m in Gallery Qwords, in Kuningan area, Jakarta.

In her blogpost, Anazkia said that she wanted to learn and to know more about creating a web. As a blogger, she said, she didn't know enough.

She was one of more than twenty participants who enthusiastically registered for and attended the workshop that day. I'm touched because she was willing to spend so much time and effort to join the program. It was the first of #MozBelajar (belajar means to study) series, and the Eventbrite registration filled up quickly and was fully booked in less than 24 hours since its announcement.



I opened the workshop by asking the participants to share their hopes and expectations related to this program in post-notes. We stuck the notes to a tree I had drawn on a large sheet of paper, and from there, we made our "Tree of Hope" for this workshop. I learned that this inventory of expectations is important to get the participants focused on the things we are going to deliver in the program. If an
expectation exceeds the program plan, then I will set it aside for the time being and say that I will consider this expectation (such as: able to create a Forefox OS based applications) as a request to be
fulfilled in another, or a future, session.



After a short presentation about Mozilla Community and Mozilla projects, Fauzan and Rizky shared some Thimble, X-Ray Goggles and Popcorn basics, as the three important tools in creating “makes” with Webmaker. This session lasted until 12 o'clock in the afternoon, before participants could begin to try and use each tool by themselves.



When I planned this workshop, together with Rara and Fauzan, I decided that the whole workshop would feature one of most famous and versatile Indonesian food types—Soto, as a theme. Soto is a traditional soup, mainly composed of broth, meat and vegetables. The variations in Soto recipes are almost unlimited. Almost every region in Indonesia has its own version, with different kind of veggies, meat, condiments and even broth. Some use chicken, others use beef or buffalo meat. While a version of Soto may use coconut milk in its broth, another version can put ground peanuts in theirs. The chicken Soto in my hometown, for example, use only free-range chicken, with locally-sourced special thick soy sauce as part of its flavouring, and use deep-fried peanuts as well as home-made potato chips as condiments.

Soon after our Timbel (read it like Thimble) Rice, the next session began with Spectrogram on Soto. The participants decided their positions based on several statements/sentences related to Soto. It was a fun and funny session. Some participants had really strong arguments about the different aspects of Soto. But the most important thing was, once this spectrogram ended, they started to really really think about Soto.
 

Since morning, all participants had chosen to sit with their friends. So, we changed that arrangement when we asked them to started working together in small groups. We asked them to brainstorm about Soto, especially the one they intended to “make”. They were given 15 minutes to decide, before presenting results of their group discussion. All of these competing groups poured out their ideas to create the most attractive and unique food ever! During presentation, every group appeared to be very-very persuasive and proud with their ideas, with a tad of humour, of course!

 

The small group discussion continued with a two-hour session where participants tried to create “makes” together with their groups. We asked each group to create three “makes”, one using Thimble, the other two using X-Ray Goggles and Popcorn. We also asked them to create those “makes” based on the Soto they had chosen.

These are the “makes” they created in 2 hours:
Group 01:
Thimble: https://arieharyana.makes.org/thimble/OTcxNzAyMjcy/-mozillians-first-group-
X-Ray Google: http://alvinhutomo.makes.org/goggles/alvinhutomos-remix-of-websitebaguscom-websitebagus
Popcorn: https://roiacornia.makes.org/popcorn/23wz

Group 02:
Thimble: https://januarf.makes.org/thimble/OTU0OTI1MDU2/soto-ayam-cinta
X-Ray Google: http://januarf.makes.org/goggles/januarfs-remix-of-wajib-dicicipi-di-brazilia-moqueca-de-peixe-ikan-berkuah-gurih-dari-resep-ratusan-tahun--2
Popcorn: https://musyafirah.makes.org/popcorn/23wx

Group 03:
Thimble: https://ianborjonk.makes.org/thimble/ODU0MjYxNzYw/coto-kuda
X-Ray Google: http://priyossantoso.makes.org/goggles/priyossantosos-remix-of-cigna-living-well-cigna-living-well
Popcorn: https://ikhsanjepe.makes.org/popcorn/23wv

Group 04:
Thimble: https://tomong11.makes.org/thimble/OTA0NTkzNDA4/soto-jamur-kremes
X-Ray Google: http://nhie.makes.org/goggles/nhies-remix-of-coretanku-review-soto-jamur-instan
Popcorn: https://kuro.makes.org/popcorn/23wu

Group 05:
Thimble: https://anazkia.makes.org/thimble/OTIxMzcwNjI0/resep-soto-ikan-sarden
X-Ray Google: http://nikitomi.makes.org/goggles/nikitomis-remix-of-soloposcom-kuliner-nusantara-gurihnya-soto-lamongan-kuliner-nusantara-soto-soto-lamongan-lifestyle
Popcorn: https://budiman11120905.makes.org/popcorn/23wt

By the time they presented their works to everyone, we asked all participants and fellow Reps to vote for the most creative and most interesting “makes”. Group 03 became everyone's favourite. They clearly deserved to receive swag as a token of appreciation.


I would like to end this post by showing my deepest gratitude to my mentor Irayani Queencyputri, and Rendy Maulana, the owner of QWords who generously provided high-speed internet connection and lent a room in his office for us to use. Also, big thanks to fellow reps: Fauzan Alfi, Shinta Setiawan, Yofie Setiawan (nope, these two are not related) and one of the FSAs in Jakarta: Rizky Ariestyansyah. I wouldn't be able to host the event without your help, good people!

Saturday, June 14, 2014

Ternganga di Seoul


aku mengakhiri perjalanan ke Korea Selatan di Seoul. sebelumnya, aku menghabiskan hampir dua minggu sepanjang musim semi yang baru mulai, saat bunga-bunga bermekaran, di kota kecil bernama Paju, yang jaraknya kira-kira sejam berkereta (atau naik mobil) dari Seoul. Paju, adalah kota yang paling dekat letaknya dengan perbatasan antara Korea Utara dan Selatan. dan selama ini, kehadiran militer sangat terasa di daerah itu. Sebagaimana disebut dalam sejarah, sejak Perang Korea berlangsung sampai dengan kira-kira dua puluh tahun yang lalu, ancaman kekerasan antara dua negara sangatlah nyata.


di Paju, aku berkeliling ke beberapa tempat, tapi terutama dua area, Heyri Art Village dan Paju Bookcity. yang pertama adalah desa kecil yang dibangun bersama-sama oleh para pemilik lahan dan gedung, sebagai tempat kegiatan berkesenian. selain beberapa museum kecil, ada sejumlah studio, tempat workshop seni, galeri, dan ruang residensi. di sana-sini juga kita bisa melihat restoran, kafe tempat bermain anak-anak dan toko-toko yang artistik. hampir semua bangunan di sini bergaya modern dan minimalistik, menggunakan material seperti beton telanjang, pelapis kayu, atau lempengan besi di luar bangunannya, dan banyak dipengaruhi arsitek ternama di masa 90-an, misalnya Tadao Ando.

sementara Paju Bookcity, sesuai namanya --merupakan kawasan industri terpadu dalam bidang buku dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. selain perusahaan penerbitan (publishing company), di area ini terdapat juga perusahaan kertas, percetakan, perusahaan desain serta usaha transportasi dan distribusi buku. yang menarik sebetulnya karena untuk membangun Paju Bookcity, para inisiatornya memerlukan waktu perencanaan 10 tahun untuk memastikan bahwa setiap bangunan sesuai dengan zona yang dibuat. yang perlu ketenangan (publishing, desain) dibuat lebih mendekati gunung dan ada di kawasan 'dalam". Sementara yang lebih riuh dan perlu banyak akses (percetakan, distribusi) dibangun di kawasan 'luar'. perencanaan itu juga dibuat untuk menetapkan berapa jumlah lantai maksimal yang bisa dibangun (empat), dengan lantai dasar dibuat terbuka untuk publik (berisi perpustakaan, ruang pamer dan kafe) serta pembangunan yang menekankan penggunaan material yang mudah ditemukan, sehingga perawatannya lebih mudah dan lebih murah.

baik Heyri Art Village maupun Paju Bookcity menekankan pada konsep urban planning yang baik dan ramah lingkungan. para pemilik gedung menyepakati berapa persen area yang dapat digunakan untuk bangunan, dan berapa persen yang dibiarkan menjadi area terbuka hijau. untuk Heyri dan Bookcity, kawasan hijau dan terbuka ini juga penting, karena dapat digunakan sebagai tempat untuk meletakkan karya seni instalasi atau karya trimatra luar ruangan. sungai-sungai terjaga kebersihannya, dan ada area untuk taman dan gerumbul pepohonan dilengkapi bangku-bangku kayu dan besi, yang bisa dimanfaatkan untuk duduk-duduk dan bersantai, atau makan siang bersama.


tentu saja apa yang kulihat di Heyri dan Bookcity adalah kelanjutan dari sejarah kebangkitan Korea Selatan sejak berakhirnya PD II dan Perang Korea. sejarah mencatat bahwa bangsa Korea sudah mendiami Semenanjung (Korea) sejak 5000 tahun yang lalu, dan hingga kini mereka masih tinggal di tempat yang sama, dan kebudayaannya bersambung tanpa putus. ini berbeda dengan, misalnya --bangsa Mesir yang juga mendiami wilayah yang sama pada kurun waktu yang berdekatan, tetapi saat ini kebudayaannya terputus dengan kebudayaan Mesir Kuno. dua diantara beberapa museum di Heyri Art Village yang aku datangi adalah Museum Sejarah Korea Modern dan Museum Perhiasan Batu dan Giok. di museum yang kedua, aku melihat bukti-bukti kebudayaan dan peradaban Korea yang tinggi, terutama jika dilihat dari desain dan teknik yang rumit dalam pembuatan berbagai simbol dan stempel kerajaan. kita bisa melihat bahwa pemerintahan dinasti Joseon (1392-1910) memang merupakan masa kejayaan bangsa Korea yang panjang dan penting. sementara di museum yang pertama, aku melihat bagaimana bangsa Korea dengan kompak berjuang bersama untuk bangkit dari kemiskinan dan kehancuran pasca Perang Korea.

mengunjungi Museum Sejarah Korea Modern ini seperti kembali ke masa lalu. aku seperti bisa mengalami kembali suasana Seoul pada 50 atau 60 tahun yang lalu, ketika suasana kota belum menjadi sangat modern dan mengalami westernisasi yang hebat. museum ini disusun semirip mungkin dengan suasana permukiman padat pada tahun 60 dan 70-an, lengkap dengan bunyi-bunyian para pedagang keliling dan musik dari masa lampau, nuansa, bahkan aroma saat itu. para pengunjung dapat kembali ke masa lalu, mengintip ke dalam rumah-rumah dan tempat-tempat yang umum ada di jalanan di masa itu; misalnya: penjahit, penjual beras, warung makan, penjual produk-produk impor, dan lain sebagainya. ini adalah masa ketika bangsa Korea masih terjerat dalam kemiskinan. aku sudah membaca di berbagai literatur tentang bagaimana bangsa Korea bangkit, membangun dan mencapai kemajuan dalam waktu 30-40 tahun. dari museum ini aku mendapat gambaran yang cukup detil tentang bagaimana masa sebelum kebangkitan itu.

setelah berhasil mengatasi kemiskinan bersama, yang dilakukan bangsa Korea adalah mengejar industrialisasi, agar bisa menjadi negara maju. tahapan ini sebetulnya juga dipicu oleh permusuhan dan persaingan abadi dengan Jepang. maka kerja keras untuk mengejar berbagai ketinggalan dilakukan agar bangsa Korea bisa berdiri sejajar dengan bangsa Jepang. hasilnya, seperti kita lihat, tumbuhnya berbagai industri di Korea, mulai dari produk elektronik, telepon genggam, sampai mobil yang memicu juga industrialisasi di bidang yang lain, seperti makanan dan kosmetik. hal-hal yang makin banyak kita temukan di pasaran sekarang ini, dan semuanya buatan Korea. kelanjutan dari tahapan ini adalah gelombang penyebaran budaya pop Korea, mulai dari serial drama di TV, film hingga musik. saat ini, bangsa Korea sudah sampai di tahapan lebih lanjut dari kebangkitan itu, adalah dengan menjadi yang terdepan dalam bidang seni dan desain, sehingga banyak didirikan proyek-proyek ambisius untuk menunjukkan posisi dalam hal tersebut.

proyek-proyek inilah yang bikin aku terbengong-bengong setelah tiba di Seoul. salah satu diantaranya adalah Dongdaemun Design Plaza (DDP) yang dirancang sebagai pusat desain berkelas dunia. arsiteknya adalah Ziha Hadid, perempuan berdarah Iran yang kini menetap dan bekerja di London. bangunannya keliatan canggih dan memang canggih banget. huhuhuhu! aku jadi bengong sambil iri. karena semuanya dirancang dengan bagus dan mengedepankan akal sehat supaya jadi bangunan yang nyaman digunakan sekaligus hemat energi. ada material khusus yang digunakan di langit-langit lorong dan ruangan-ruangan di dalamnya, yang bersifat menyerap gaung. sehingga akustik bangunan ini di titik manapun tetap bagus. udah gitu, seluruh bangunan tidak menggunakan AC. tapi justru ventilasinya dibuat di lantai, dengan mengalirkan udara luar dari bawah, setelah melalui berbagai filter. cara ini, kalo nggak salah baca, mirip dengan proses aliran udara di dalam rumah rayap. dengan cara ini, berapapun suhu di luar gedung DDP saat itu, suhu di dalam ruangan akan berkisar 22-24˚C



dan gedung ini bukan hanya satu-satunya proyek yang mengagumkan yang bisa kita lihat di seantero Seoul. ada gedung perpustakaan yang baru dan futuristik, seperti pesawat ruang angkasa raksasa yang tiba-tiba hinggap di tengah kota Seoul, dan memutuskan pasang jangkar nggak jauh dari gedung balai kota yang bergaya arsitektur Korea tradisional. kontras antara kuil dan istana berusia ratusan tahun dan bangunan ultra-modern bisa ditemui di berbagai penjuru kota, memberi keunikan sendiri. begitu banyak lapisan kehidupan yang tetap dipertahankan, meskipun sudha berbungkus penampilan dan desain modern. selain DDP, juga ada MMCA (Museum of Modern and Contemporary Art) yang ingin jadi yang terdepan dalam menampilkan seni rupa internasional di asia. juga ada Seoul Arts Centre, yang melakukan hal serupa untuk berbagai seni pertunjukan, sekaligus membawa seniman-seniman ternama untuk berpameran di Korea.

sampai sekarang kekagumanku belum habis.

Tuesday, June 03, 2014

I am a Mozillian

My late mother in law told me this story:

"When I was 12 or 13 –this was in the 50's—my dad worked in the vicinity of the Presidential Palace. So we had a special pass, that we could use to go to the Palace through the back door. This was during President Soekarno's reign. One time, when I was there, in the Palace's backyard after dropping some snacks my mom had sent for the President's afternoon tea, he saw me and waved me to come closer. He looked at me and asked:
"How old are you? Are you in school?"
"I'm 12, I'm in junior high, first year"
He looked at me intently, and said something I never forget to this day
"You're so lucky because you can go to school. Many kids your age can't, because they don't have enough. Once you finish your school, please share your knowledge with everyone from Sabang to Merauke. They're all your brothers and sisters"


The story sticks. She told me "I think the memory of that conversation assured me to be what I am today." As a matter of fact, she was an activist who traveled tirelessly all over Indonesia, to the most remote area, to promote various issues such as prenatal and postnatal care for mothers and newborns, as well as reproductive health until the end of her life.

Until today, I think there are still many people living with limited resources in Indonesia, something that prevent them from pursuing higher education. Not only because of financial reasons, but also because they lack access to modern facilities, new books, and internet. I see the web as an unlimited resource for everyone.

I always have this 'itch' in me to do something more for the community, and it's been my fuel in activism and working with community-based organisations. And when I heard the story, I was convinced to share what I have with others. To stand for a big cause that can be spread and shared with many people from different walks of life.

That was how I started to become a Mozillian in 2011.
Because it is a cause, a community, a foundation and a corporation built to provide an open web for everyone. Where people can contribute all they have and all they can, as well as using all of those shared resources for good reasons. Because Mozilla believes in doing good, and believes in privacy when you are using the web.

This year, I pledged a bigger commitment with Mozilla by becoming a Mozilla Reps. I was approved as one of Mozilla Reps in Indonesia on Mozilla's birthday, March 31st. Such an auspicious day to start doing more and giving more for the community. I want to become Reps because I am passionate about community and using community-based organisation to make changes. In doing so, I started my Mozilla Reps program by engaging with students from vocational schools in Indonesia.

Internet users in Indonesia grow rapidly every year. And for the past 10 years, I saw a phenomenon of how Indonesian youngsters have huge interest in the Internet and its technology. Many of them started this passion at the very young age, by enrolling to vocational high schools, and majoring in Computer Engineering (combined with Network or Software pathway, or both). However, many of these schools—especially the ones in small cities, lack access and information to enrich their education. I see education and the Internet as their hope and means to bridge the gap between their living situations and the outside world.

Working with students in different areas in Indonesia is building a connection to the future. I believe that this new generation of technology savvy youngsters possess the skill required to create the next Indonesian world-class IT professionals.

So if you see me and other ReMo traveling to different islands in Indonesia in the coming years, bringing Mozilla projects to students from Sumatera to Papua, you know that we're sharing our knowledge and expertise. That I am working with communities from Sabang to Merauke because I am a Mozillian and they are all my brothers and sisters.

duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...