Tuesday, July 24, 2007

drama AirAsia

selama ini, rekorku naik pesawat adalah immaculate.

tidak pernah terlambat. tidak pernah ketinggalan, tidak pernah terburu-buru di bandara. yang ada malah datang kepagian. sampe-sampe bandaranya belum buka.

dan sekali ini, perjalananku bersama AirAsia, bertebar drama dimana-mana.

18 Juli 2007
pesawatku dari DPS ke Cagkarta (baca: CGK) ditunda keberangkatannya selama 30 menit lebih. hmmm... betapa aku resah dan gelisah, karena tahu di CGK, beberapa warga Kampung Gajah akan menunggu kedatanganku. lebih gelisah lagi karena dengan penundaan ini, rencana kopdar yang mestinya pukul 22-an, bener-bener dimulai pada waktu tengah malam. kasihan yang udah nungguin aku sejak jam 20 di Pondok Indah. pasti mukanya udah pada bete dan ngantuk. sambil pasang wajah agak sebal, aku setengah berharap sedang naik Firebolt, karena siapa tahu, jalannya pesawat bisa lebih dikebut:D

19 Juli 2007
setelah kopdar semalaman, pagi-pagi aku udah siap pergi ke Bandara Sukarno-Hatta lagi. aku udah duduk manis di mobil, ditemani Deden di sebelah kananku, dan Bunjemsserta seorang teman yang berperan menjadi chauffeur pagi itu. sambil mengingat-ingat sms mBu yang bernada khawatir sok perhatian, aku mendengarkan orang-orang di dalam mobil membahas soal jalan belakang.

setengah jam berlalu dan kayaknya mobil belum begitu jauh perginya dari rumah Bunjems. ah, tapi kan aku nggak tau jalan di Jakarta. jadi ya, aku tetep duduk manis walopun hati semakin berdebar-debar.

lalu dramanya dimulai.

macet tidak terelakkan. sayangnya tidak ada helikopter untuk menyelamatkanku dari deretan mobil yang menyemut, membentang sepanjang jalan. bahkan meskipun Bunjems menelepon, tidak ada Kapolres yang sanggup membersihkan jalan dari kendaraan yang menghalangi jalannya mobil kami. satu-satunya yang bisa dilakukan adalah memastikan aku sudah dapat check in clearance setibaku di bandara.

well, kalo nggak sama Bunjems dan her magical persuasion over the phone, nggak akan bisa aku dapat privilege untuk bisa melakukan city check in dari dalam mobil. mungkin di Indonesia ini, aku aja yang pernah city check in di AirAsia. sesuatu yang membuatku merasa penting. halah!

dan aku sampai di airport hanya 25 menit sebelum pesawat diberangkatkan. semua penumpang sudah duduk rapi dalam pesawat. petugas ground naik ke atas pesawat untuk memohon pada kapten pilot untuk menungguku. sementara itu, aku lari dari satu koridor ke koridor lain, menembus antrian, melewati eskalator sambil setengah berlari ditemani seorang petugas AirAsia berseragam merah. dan dijemput di depan ruang tunggu oleh seorang petugas guest service berpakaian hitam-hitam dengan garis merah di kerahnya. senyumnya manis dan badannya tertunduk waktu mengucapkan permintaan maaf.

pesawatku sudah berangkat, karena kapten pilot menolak menungguku lebih dari 10 menit.
huh! kalo pesawat yang delay, aku nggak dapat kompensasi. tapi aku telat dikit aja, langsung ditinggal dan tiketku hangus. betul-betul tidak adil.

dengan lunglai dan shock aku kembali ke counter AirAsia untuk menemui duty manager yang bertugas hari itu, dan menanyakan kemungkinan untuk pindah ke penerbangan berikutnya. duty manager yang tampan itu bernama Aribowo. wajahnya agak malas waktu menemuiku pertama kali. dan aku bisa mengerti itu, pasti banyak orang yang seperti aku. terlambat, lalu harus dia tangani, dan orang yang terlambat itu panik dan marah-marah. tapi aku sama sekali tidak berniat memarahi wajah tampan yang nyaris membuatku meleleh itu. I don't want to give him a hard time.

masih dalam keadaan shock karena ketinggalan pesawat dan ketemu cowok ganteng dalam waktu yang bersamaan, aku pasrah saja dan mengiyakan apapun yang disarankan mas Ari. *wink*

justru dia yang menyadarkan bahwa penerbangan berikutnya adalah jam 3 sore, dan akan lama sekali kalau aku menunggu pesawat AirAsia yang berikutnya ke Palembang tanpa mencoba mencari pesawat lain yang berangkat lebih awal. oh, ini gara-gara tatapan dan senyumnya yang begitu memukau:))

oya, hampir lupa untuk kuceritakan, yang terlambat dari sekian banyak penumpang di pesawat itu ada dua, aku dan mempelai laki-laki yang sedianya akan menikah dengan sahabatku. ia adalah salah satu orang yang menyebabkan aku harus melakukan perjalanan ini. jadi kita berdua, keliling terminal A lagi untuk cari tiket paling cepat ke Palembang setelah jam 11 siang. dapatlah tiket Lion Air jam 13.15

dengan senyum ramah mas duty manager bilang kalau sebenarnya dia sudah membooking tiket lagi untukku dan Mas Didik, sang mempelai laki-laki. tapi aku bilang nggak perlu, karena kami dapat yang lebih cepat. lagipula, setelah sampai di Palembang kami masih harus menempuh perjalanan darat selama 5 jam untuk sampai ke Lahat. dan sebelum aku mengucapkan terimakasih secara berlebihan, aku buru-buru berlalu dari hadapannya. kalau terlambat, bisa-bisa mas Didik harus mengemasku dalam botol supaya nggak berceceran.

sampai di Palembang di ujung siang yang panas itu, aku sudah terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan dari saudara-saudara dan keluarga besar sahabatku
"kok bisa telat? kami yang dari Surabaya dan Bandung aja nggak telat"
yeah rite.

*colek-colek mas Ari*
eh, kalo ke Bali harus jadi mampir ya?!

23 Juli 2007
pesawat Sriwijaya Air-ku terlambat mendarat di Bandara Sultan Badarrudin II Palembang. memang hanya 15 menit. tapi itu membuatku mendarat 30 menit lebih lambat dari yang dijadualkan di Jakarta, dan aku hanya punya setengah jam untuk lari dari tempat baggage claim di terminal B ke terminal A, menembus antrian pintu masuk terminal keberangkatan A, check in dan pergi ke ruang tunggu.

jantungku berdegup amatlah kencangnya.

akhirnya aku check in aja di counter depan AirAsia. itu loh, yang tempat jualan tiket. dan udah sekalian sama bayar pajak bandara. tapi kata mas-mas yang mengurus tiketku, aku harus masukin bagasiku ke loket check-in nomor 1, karena tasku terlalau besar untuk dimasukkan ke dalam kabin.

padahal antrian di loket itu begitu panjang. masih ada 15 orang di depanku yang hendak check-in untuk naik pesawat ke Batam. uh-oh! aku melihat jam tangan dengan gelisah.
tapi lalu kulihat ada orang-orang yang keluar dari antrian dan pergi ke bagian belakang counter. rupanya ini kebijakan Air Asia supaya para penumpang tidak tertahan karena bagasinya. aku bergabung bersama mereka, dan dalam waktu kurang dari 10 menit, barang-barangku sudah aman dalam perjalanan ke bagasi pesawat, dan aku bisa pergi ke ruang tunggu. sayup-sayup kudengar pengumuman dari Air Asia lewat megaphone untuk para penumpang ke Bali supaya pergi ke bagian belakang counter 1 untuk mendaftarkan bagasinya.

begitu sampai di deretan ruang tunggu, aku dengar pengumuman yang menyatakan kalau penumpang AirAsia ke Denpasar bisa naik pesawat dari gate A7. aku agak heran, karena di boarding pass tulisannya gate A6. tetapi lantas diyakinkan karena tulisan di layar monitor gate A7 sesuai dengan flight code-ku. sampai di depan petugas gate, sudah ada 6 orang yang sedang berdebat tentang A6 dan A7 ini.

"jangan khawatir Ibu" katanya sambil mengambil boarding pass-ku dan menuliskan tiga garis tebal di bawah tulisan Gate A6. "kami yang akan bertanggung jawab. percaya sama saya. ada kesalahan komunikasi sehingga pengumuman yang diberikan petugas bandara salah. tulisan di boarding pass yang benar"

aku lantas mengajak 6 orang yang terdiri dari 2 orang India dan 4 orang bule itu untuk pergi ke gate A6 dan segera bergegas naik pesawat.

hari itu aku sampai di Denpasar 15 menit lebih awal daripada yang dijadualkan, dan sudah terlalu lelah setibanya di Ubud. hanya punya tenaga untuk mandi sebelum tidur.

oya, tulisan ini adalah yang pertama dari beberapa tulisan mengenai perjalananku ke Sumatera, 18-23 Juli 2007.

Monday, July 09, 2007

berita dari rumah

tadi pagi adikku mengirim berita pendek yang bikin aku kaget lewat Y!M.

A: Ulfa kecelakaan udah tahu?
D: nggak tahu
A: tangan dan kakinya patah
D: ha? kapan? kecelakaan sepeda?
A: kira-kira dua hari yang lalu
D: duh...ketabrak apa?
A: naik motor, dibonceng Winta, ketabrak mobil
D: waaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh
A: operasi di Solo.
D: Winta-nya gimana?
A: itu dia, belum ada yang nanyain kabarnya Winta

sigh...
Ulfa dan Winta itu dua sepupuku di Pacitan. Winta umur 14 tahun, kelas 2 SMP, anak Oom Suhar, adiknya Mama. sementara Ulfa umurnya 11 tahun, anak Tante Ninik, juga adiknya Mama. jadi mereka berdua ini masih kecil-kecil, naik motornya juga rada belum beres, udah turun ke jalanan.

apesnya, hari itu mereka terserempet Kijang. dan akibatnya sangatlah serius. kaki dan lengan kiri Ulfa patah dan harus dioperasi di RS. Dr. Oen, Solo. Ulfa jadi parah gitu karena kakinya tersangkut di bemper mobil. kubayangkan, pasti banyak juga baret-baret bekas aspal di tubuhnya yang kurus.

Winta sendiri ternyata tidak apa-apa. tapi beban mental dan rasa bersalah yang dia tanggung pasti sangatlah berat. apalagi karena dia pasti udah ngerti betapa runyam situasi di rumah tante Ninik saat ini. anak kedua tanteku masih kecil, umurnya baru 7 tahun. udah gitu, di rumah tante Ninik juga tinggal Mbah Putri yang sudah hampir 6 bulan ini praktis harus dirawat ekstra setelah terkena stroke. padahal Tante harus ada di Solo menunggui Ulfa.

waktu kuhubungi, Tante Ninik bilang kalau Mbah Putri sekarang dirawat di rumah Oom Suhar untuk sementara. Papa dan Mama serta adik laki-lakiku juga rencananya ke Pacitan besok. aku cuma bisa nitip buku-buku cerita buat Ulfa. kebayang kan, anak umur 11 tahun harus berminggu-minggu terbaring di tempat tidur, pasti bosan dan rewel setengah mati.

sekarang aku ngerti kenapa dulu Papa dan Mama bersikeras aku nggak boleh belajar naik motor pas SMP, walopun teman-temanku sudah naik motor ke sekolah.

eh, dimana ya, sepeda hitam berkeranjang yang kupakai waktu SMP dulu?

Thursday, June 21, 2007

surreal, but nice

kalo kamu dapat email berisi pertanyaan seperti: kalo lagi demam, mimpimu apa?
apakah kamu akan menjawabnya dengan serius? ataukah kamu akan cepat-cepat menghapus email itu dan mengirimnya ke tempat sampah?

lalu kalau ada orang yang mengirimkan satu lagu berjudul "Rintihan Kunti" dengan lirik seperti ini:
Malam sunyi, ku sendiri
Duduk sepi, di atas pohon
Kubiarkan rambutku terurai

Tanpa kaki, Kelelawar, Anjing
Dan bulan purnama
Menanti kekasihku, yang belum mati

apakah kamu akan meluangkan waktu untuk mendengarkan lagu itu? apakah kamu akan ikut penasaran menanyakan siapa yang menyanyikannya? lalu kalau salah seorang teman yang juga menerima email itu minta supaya suara tawa kuntilanak itu saja yang dipotong untuk ringtone, apakah yang akan kamu lakukan?

dan jika seorang lelaki muda yang istrinya sedang hamil ingin membeli keyboard atau electone supaya istrinya punya kegiatan selama cuti hamil (yaya, kalo jaman dulu kegiatan ibu hamil adalah merajut, menyulam dan menjahit, tapi sekarang sudah tidak lagi), apakah kamu akan meluangkan waktu untuk mencari gambar keyboard yang paling ngetop sekitar 15 tahun yang lalu, terus mengupload lagu demo yang bersejarah itu?

aku yakin banyak diantara kamu akan berpikir, sangatlah nggak penting dan buang-buang waktu jika kita harus membahas kenapa seseorang pegawai di meja sebelah selalu mengambil tissue dari meja seorang pria tanpa permisi, atau bagaimana caranya menyuruh si orang di sebelah itu untuk minta ijin. sama tidak pentingnya dengan membahas perbedaan arah unyeng-unyeng, tinggi jari manis dan jari telunjuk, serta kerapatan garis sidik jari antara seorang homo dan hetero.

bagi kami, semuanya penting dan layak mendapat perhatian.
maka Joan di Jerman mengaku kalau dia sedang demam akan memanggill-manggil Mama dan neneknya. Ia bahkan menceritakan mimpi yang dialami suaminya saat sedang demam, walaupun suaminya tidak ikut menerima email. atau Suster di Jakarta bilang dia dikejar-kejar beruang sampai masuk jurang. hahahaha. sementara Venuz yang takut jarum (aduh Nuz, koen ki wis bujang, gedhe tuwo!) bermimpi dikejar-kejar dokter yang membawa jarum suntik (untuk kuda).

lalu beberapa orang mendownload lagu yang dikirim Oom Ganteng dan Kang Kiridit memotong suara tawa si kuntilanak untuk dijadikan ringtone sms. di Kampung Gajah semua penting. kami terlalu serius dalam bercanda sehingga dengan mudah dituduh terlibat konspirasi, dengan Yahudi, seperti kata si Luzi. karena tampaknya, hanya Yahudi yang bisa bersenang-senang diatas dunia ini.

kami begitu serius hingga tidak lagi memakai perasaan. toh semua hal yang kami tuliskan di dunia maya ini hanyalah teks. tidak ada darah yang ditumpahkan untuk memberinya nyawa. walaupun seringkali agak mengherankan melihat betapa tiap-tiap orang yang tergabung dalam organisasi tanpa bentuk (yang pada masa 90-an hal-hal serupa disinyalir terkait laten komunis) ini menganggap serius pertemanan yang dibangun lewat ketukan pada tuts keyboard, emoticon dan tawa tertahan di hadapan monitor komputer.

maka 15 dari 20 sms yang kuterima saat aku sakit berasal dari sesama warga Kampung Gajah. maka Mama bisa menitipkan lauk pauk padaku lewat Aryo tanpa ongkos kirim, maka aku bisa menikmati satu kardus jajanan beraneka rupa kiriman Mami Mira dari Bandung, mendapat setumpuk DVD dari Jay berisi lagu-lagu yang kupilih, serial Heroes, presentasi An Inconvenient Truth dari Idban, serta berbagai saran kalau mau membeli gaun pesta kebun, membuat kebaya, dan menjelaskan memar-memar tanpa sebab di kedua pahaku.

suatu hari aku tersadar, mereka yang bahkan belum pernah kutemui sebelumnya, mereka yang hanya kutahu nama julukan narsisnya, adalah keluargaku yang lain. yang berhasil membuatku mempercayai (lagi) hal-hal yang sudah nyaris hilang di dunia nyata. niat baik, keramahan, dan kebaikan hati yang tak bersyarat. atau mungkin kami semua sudah gila. sehingga semua ini bisa mungkin.

siapa sih yang mau memenuhi permintaan untuk mendownload dan mengupload ber-album-album lagu dengan begitu saja? kadang malah dia yang dimintai nggak kenal sama benda yang diminta. tak heran, waktu tersiar kabar bahwa Tub akan menjadi fakir bandwith dalam waktu dekat, dunia terasa jadi lebih suram.

karena hal yang tidak bisa dijelaskan ini juga, Markum harus diselamatkan dari tetangga sebelah yang suka minta tissue tanpa permisi. atau Neng Qudsi harus ditemani menggunakan kata 'kamu', atau Jeng Enda dan Pak Narsum harus dibiarkan saling berdebat mengenai asuransi dalam huruf kapital. toh asuransi itu tidak halal karena mengandung asu, kata Rony. dan jangan lupa mematuhi jadual kopdar Bunda Endhoot, karena terbukti EO lain is nothing. tapi kalau mau ketemu Bunjems, bawakan dia sebotol kecap sebelum ia memintanya.

kemudian dari pada itu, Kampung Gajah yang baru saja berusia 3 tahun sekitar seminggu yang lalu, juga memiliki sejumlah anggota dengan kemampuan maha dahsyat. misalnya Koh Fahmi, senior yang telah melewati berbagai tempaan jaman, sejak masa hidupnya dinosaurus sampai saat ini. kemampuannya bertahan dari kepunahan tampaknya ditunjang oleh penguasaan bahasa purba dan kepiawaian mengelola berbagai kepribadian yang ada dalam dirinya. selain itu ada juga Jim yang bisa menembus tembok berapi berapapun tebalnya, juga Heri yang selalu tidak kasat mata. ada pula Jeng Henny yang memiliki pengetahuan nyaris tak terbatas, setara dengan gabungan ensiklopedia dan kamus bikinan Webster, atau Didik yang nggak pernah jelas sedang berada dimana, karena lebih sering nyasar daripada nggaknya. tapi yang paling hebat tentu Deden. dia satu-satunya yang bisa membuat segala sesuatu di sekitarnya melambat. kutukannya akan membuat sambungan internet, adegan dalam film, bahkan hembusan angin, mengurangi kecepatannya.

aku merasa beruntung menjadi bagian dari komunitas tak berbentuk yang penuh kegilaan ini. dan kalau kamu mengernyitkan dahi setelah membaca tulisanku, itu karena ada banyak lelucon internal yang kutuliskan disini. mungkin perlu juga kamu membaca wiki sampai khatam.

oya, buat yang mengharapkan aku membahas Notting Hill, tulisan ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan film itu. aku kan lagi ikut-ikutan Oom Emil posting tentang Kampung Gajah yang abis ulang tahun.

Wednesday, June 20, 2007

aduh, film ini...

tadi malem aku nonton My Best Friend's Wedding di Trans7. film sedih yang dibintangi oleh Julia Roberts, Cameron Diaz dan satu cowok yang entahlah, aku juga sudah lupa siapa namanya. aku sudah pernah menontonnya dulu dan film itu sedih sekali deh. sebenarnya aku nggak suka film sedih, dan biasanya kalo aku menonton ulang satu film sedih, aku sering berharap kalau jalan ceritanya akan berubah jadi lebih menggembirakan. walopun aku tau itu nggak mungkin. jangan heran, otakku kadang-kadang emang suka absurd.

tapi sebelumnya...
*injek-injek Trans7 yang muter film ini disaat pikiran dan perasaanku sedang kacau*

sedikit banyak aku bisa membayangkan bagaimana perasaan Julia Roberts dalam film itu. mencintai orang itu kan seringkali bikin otak kita nggak bisa bekerja secara normal. ada kegilaan-kegilaan yang hidup dan menjalar dalam kepala kita, seperti tanaman liar. menghisap sel-sel otak yang masih bisa berfungsi dengan baik dan menggerogoti kewarasan kita dari dalam. perhatikan aja lirik-lirik dalam berbagai lagu cinta yang sudah ditulis orang beberapa ratus tahun terakhir. pendeknya, yang jatuh cinta dan mencintai itu bisa merubah yang nggak mungkin jadi mungkin, deh.

you do all the crazy things that you can't explain, kata Bryan Adams sambil mendesah...

makanya kalau Julia Roberts dalam film itu jadi melakukan hal-hal yang tidak sebaiknya dia lakukan itu lebih karena dorongan perasaan. memang sih, itu nggak bisa dibenarkan. tapi bisa dipahami. trus waktu Julia Roberts mengaku sama Cameron Diaz di kamar ganti wanita kalo dia kalah karena si cowok cakep itu lebih memilih Cameron daripada dia, itu adalah adegan yang paling bikin sedih. aku seperti bisa melihat sebuah tembok batu bata yang rubuh dalam waktu singkat. batu-batu batanya berhamburan secara tiba-tiba.

jadi, kalau nanti tidak terjadi apa-apa diantara kita, tolong jangan tempatkan aku dalam posisi tokoh yang dimainkan Julia Roberts karena aku pasti nggak akan tahan.

anyway, kalo cuma homok sebagai pengganti dan penghibur lara dalam duka, aku punya stok sekampung banyaknya.

Sunday, June 10, 2007

junkie

berikut ini adalah beberapa alasan mengapa aku memutuskan untuk tidak mencoba drugs, atau mendaftar jadi pecandu:

pertama, aku gampang sayang sama orang lain. apalagi kalo ganteng dan gondrong. kalo ada pengedar yang cakep, nanti salah-salah aku malah beli drugs dari dia satu setengah kali lipat harga yang seharusnya. makin cepat miskin lah aku.

kedua, sejak duluuuu sampai sekarang, duitku pas-pasan. bisa makan dan bayar kos tiap bulan aja udah bagus banget deh. jadi memang nggak ada disposable income buat drugs. tapi mungkin kalau cicilan motor udah beres, dan nggak perlu keluar banyak uang untuk obat jerawat... bisa clubbing lebih sering. hehehe...

aku gampang banget kecanduan. makan dua kali di Mangga Madu, langsung kecanduan makan disana terus hampir tiap hari selama sebulan. makan pepesnya Mbak Siti, seminggu makan pepes terus. join Kampung Gajah sebentar aja ... udah kecanduan, ini udah dua tahun nggak bisa ngilanginnya.

terus, aku juga parah dalam membaca peta, menghapal jalan dan berhitung. pasti akan ada banyak masalah dengan nyasar, ketangkap waktu razia, dan salah menghitung dosis obat yang harusnya dikonsumsi, karena pake ukuran gram, dan harus dicampur-campur. hihihihi...

tulisan ini aku buat karena tadi pagi liat ibu Ani Yudhoyono mengepalkan tangan di iklan kampanye anti narkoba. "Hentikan sekarang juga!"

Saturday, June 09, 2007

lagi

kamu pulang ke Bali.
dan aku bisa melihat matamu yang berwarna cokelat lagi.
dan aku bisa melihatmu tersenyum padaku lagi
dan aku bisa mendengar suaramu yang halus dan ramah lagi.
dan aku bisa menoleh untuk melihat garis wajahmu, ketika kita duduk bersisian sambil berbincang-bincang. lagi.

aku sangat senang mendapatimu kembali
tapi hanya bosku yang bisa menyatakannya dengan tepat.
"nah... setelah potong rambut, kamu keliatan cakep lagi"

Sunday, May 06, 2007

Papua Untamed



paket itu sudah tergeletak di atas mejaku saat aku sampai di kantor. amplop plastik putih dengan logo Destinasian. pada bagian alamat tertulis namaku. dengan penuh semangat kurobek bungkusnya. dalam pikiranku terbersit satu nama.

dan benarlah, itu majalah yang sudah kutunggu-tunggu selama beberapa minggu. setelah meletakkannya di pangkuan, sambil membuka-buka majalah dengan tangan kiriku, kuambil gagang telepon dengan tangan kanan, menyelipkannya diantara telinga dan bahu kanan, lalu memencet nomor cepat-cepat. ceritanya ini multitasking gitu...

A: "hello! this is Ina! I have the latest edition of Destinasian in my hands now"
K: "hey, Ina! really?"
A: "yeah! and I see the article. it's awesome! and the pictures are great! they make Papua looks like a chic place to go"
K: "yeah, right. (chuckle)"
A: (nggak peduli) "it's cool, you know! it's like 12 pages, all about Papua!" (semangat banget)
K: "oh, that's great!"
A: "it is! I see your name written in it here and there. Woolford this, Woolford that. I haven't read it though. I just received and opened it before I call you. and there's a section called File Fact, on how people can go to Papua. they just put you and your website as contact person. only you"
K: "sweet!"

sebetulnya Kelly pasti mau bicara banyak. tapi karena aku nggak bertanya, hanya ngomong terus menerus dan dengan bawel bercerita tentang majalah itu, akhirnya dia nggak dapat kesempatan untuk bicara apa-apa kecuali ngasih komentar pendek-pendek dan bilang terima kasih.

aku betul-betul senang dengan artikel dalam majalah ini. karena ini pertama kalinya kulihat ada majalah travel dari Indonesia yang melakukan lebih dari sekedar menulis tempat-tempat wisata yang sudah biasa, hotel dan restoran baru yang glamor (tentu saja mahal) atau pengalaman yang nggak banyak bedanya dengan apa yang tertulis dalam travel guide. alasan keduanya jelas karena Kelly Woolford, si tokoh pemandu dalam artikel yang ditulis Lawrence Osborne ini adalah temanku! terserah deh kalo mau bilang KKN. hihihi...

alasan ketiganya, karena foto-foto yang dibuat oleh Frédéric Lagrange bagus banget! nggak membuat majalah travelnya jadi seperti National Geographic, tapi juga nggak menghilangkan kesan liar, mentah dan kasar dari sebuah peradaban yang masih memakai kapak dari batu. Kelly bilang kalau Frédéric ini superniceguy. pujian yang jarang-jarang dia berikan. dan kalo dari wajahnya (ada foto Frédéric di majalah ini) dan juga kesan-kesannya mengenai Papua...
My time with the Kombai was humbling. I think about them all from time to time, about the harsh conditions in which they live. Papua was a succession of utterly beautiful moments, but it also helped me appreciate my everyday life more fully
menarik ya? semenarik yang mengucapkannya. hwalah, ini kok jadi flirting Frédéric.

meskipun demikian, setelah aku selesai baca artikelnya, aku ngerasa agak sedih juga. kok aku nggak pernah pergi ke Papua, padahal itu bagian dari negaraku sendiri. kok aku baru tau dari majalah dan webnya Kelly kalau ada suku Kombai yang tinggal di rumah pohon, dan terkagum-kagum sama lilin. sampai aku sempatkan bertanya ke Kelly, apa benar dia akan bawa lilin kalau ke Papua lagi? mereka terasa begitu berjarak, padahal orang-orang yang datang dari negara lain yang jauh, sudah sampai disana. BBC pun sudah bikin dokumenter tentang mereka. sementara aku selalu berkhayal akan tempat-tempat yang jauh, belahan dunia yang lain. sok tau banget.

dan Kelly, yang Bahasa Indonesianya berlogat Papua dan gemar mengutip kata-kata dari bahasa gaul dalam sms, sudah bolak-balik pergi kesana sejak tahun 1990. emang sih dia lebih tua daripada aku, tapi kok kayaknya nggak seru yah... aku yang orang Indonesia malah nggak pernah jalan kaki menembus hutan di sekitar Danau Sentani?
tapi mungkin orang-orang seperti Kelly akan lebih menghargai apa yang dia lihat dan dapatkan. lebih bisa mengemas pengalaman yang didapatkannya. makanya dia bisa kenal dan berhubungan baik dengan berbagai suku yang ada disana. hebat ya?

buat yang belum pernah tau majalah Destinasian, aku fotoin disini covernya, sekalian sama foto artikelnya juga. searah jarum jam, ada bagian awal artikel (yang ternyata 15 halaman) itu, terlihat ada orang yang mengangkat kepala Kasuari hasil buruannya. lalu ada gambar yang menunjukkan bagian dalam rumah pohon dengan seorang Kombai sedang tidur, juga orang lain yang hidungnya ditindik keren banget. yang terakhir adalah seri foto dua halaman tentang kehidupan orang-orang Kombai dan siapa yang mereka temui. foto favoritku ada di bagian pojok kanan atas, seorang Kombai sedang tidur diatas pelepah palem kering. foto yang bagus banget!

kalau mau pergi ke Papua sama Kelly Woolford, bisa lihat-lihat dulu di website ini.
kalau mau lihat karya Frédéric Lagrange yang lain, ada di website ini.

Tuesday, May 01, 2007

what an awful friend I am



ditengah semua kerepotan yang disebabkan oleh flu parah, tumpukan pekerjaan yang menggunung (sampai kalo kamu berdiri diatasnya kamu bisa melihat seluruh bali dan nusa tenggara) dan ribut-ribut soal kontes SEO yang berakhir ironis di tangan Matt (yang ganteng), lengkap dengan polemik soal ToS-nya serta sejumlah korban (baik yang bersalah maupun yang dipersalahkan), aku sampai melupakan sebuah hal yang penting.

ulang tahun Taufik.

lupakan bahwa blog ini sudah tidak diupdate selama lebih dari tiga minggu. karena menulis di blog ini sejatinya adalah untuk aku dan oleh aku. tapi ketika tersadar kalau sama sekali tidak terlintas di benakku tentang ulang tahunmu minggu lalu, aku harus berusaha keras mencegah diriku sendiri mebenturkan dahiku berkali-kali ke meja kayu jati. aku jadi tau rasanya merasa bersalah seperti Dobby.

and now you can see what an awful friend I am.
I feel awful. I am. still.

padahal Taufik adalah satu diantara beberapa orang langka di dunia ini, yang berhasil membuatku tidak merasa terlalu sendirian menjalani perjalanan hidup yang kadang bikin frustrasi. salah satu Taurus yang paling kusayangi (tepatnya nomor dua setelah George Clooney) di dunia ini. orang yang selama 15 (iya, kamu nggak salah baca. lima belas) tahun terakhir ini menjadi temanku. sahabatku. mulai dari saat-saat bersepeda bersama ke sekolah, baca komik, nyontek pas ulangan (biologi), ikutan lomba matematika... yang tentu saja Taufik jauh lebih jago daripada aku, sehingga dia menang. sampai waktu aku dan dia sudah terpisah kota, karena kepindahan orangtua, sekolah, kuliah, kerja... lalu pertemanan-persahabatan itu diteruskan lewat surat, telepon, sms, email dan Y!M.

aku sampe nggak tau gimana harus minta maaf karena lupa, karena terlambat sadar, dan karena masih belum bisa juga membalas segala hal baik yang udah kamu berikan selama ini. betapa kamu selalu ada dan bersedia mendengarkan di hari-hari yang buruk, saat aku merasa gagal, sedih dan hancur karena menemukan pengkhianatan. betapa kamu selalu mendukung, dan memberi semangat kalau aku ragu. dan betapa kamu pernah dengan begitu sedih bertanya padaku "kapan kita bisa ketemu lagi ya?"

Selamat Ulang Tahun, Pik.

aku hanya bisa kasih tart ulang tahun imajiner dan entry blog ini untuk menebus semua keterlambatan dan kesalahan itu. aku ingin bisa merangkai semua kebaikan yang ada di dunia dan meletakkannya dalam satu keranjang rotan untukmu. kamu pantas menerimanya.
aku sayang padamu.

Wednesday, April 11, 2007

9 tahun lalu

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

waktu aku masih berusia 18 tahun, masih muda belia, segar, innocent dan ranum seperti bunga yang baru saja mekar -halah-halah..., karena permintaan Papa, yang nggak bisa kutolak, aku ikut tes seleksi untuk masuk STPDN. waktu itu alasan yang dipakai adalah kalau sekolah disana, setelah lulus nggak akan bingung mencari pekerjaan karena sudah langsung ditempatkan. kedengarannya memang seperti sebuah sekolah bermasa depan cerah, yang nggak ada duanya deh, pokoknya paling oke.

akunya sendiri waktu itu hanya mikir, sebisa mungkin aku sekolah di sekolah negeri. soalnya kalo sekolah di swasta, orangtuaku pasti nggak akan sanggup membiayai, bow. itu udah jelas. dan sekolah negeri itu juga bukan di Jakarta. biaya hidup dan ongkos pergaulannya pasti kan mahal sekali.

maka dengan berbagai pertimbangan itu aku setuju ikutan tes sebagai salah satu alternatif. kalau-kalau nggak lolos UMPTN.

pada hari tes, aku merasa aneh karena ujian pertama dan paling dasar itu semuanya serba fisik. sejak kecil aku selalu merasa nggak nyaman kalau dihadapkan sama hal-hal seperti ini karena aku merasa aku emang nggak bertubuh proporsional. aku merasa seperti sedang 'ditelanjangi' dengan tes yang mengharuskan pake celana pendek, lari-lari ditonton sama orang banyak, disuit-suitin sama peserta tes yang laki-laki, dikomentarin sama bapak-bapak gendut berkumis berseragam yang kayaknya sipil tentara. duh! sekolah apa sih ini?

aku yakin kalau tesnya dimulai dengan tes tertulis soal pengetahuan dasar dan pengetahuan umum, aku akan lulus.

sampai di rumah aku tanya sama Papa kenapa tesnya nggak mulai dari kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kalo emang buat sekolah. kenapa nggak dicari aja orang yang pinter dulu, baru yang bisa lari atau yang berat badannya proporsional sama tinggi badannya. kan nyari yang pinter lebih susah daripada yang berat badannya seimbang?

waktu lihat gambar diatas itu tuh...
aku jadi sangat bersyukur dulu gagal masuk STPDN.

Sunday, April 08, 2007

a chef of design

Martin Conreen is a lecturer at the Design Department of Goldsmiths College, University of London. His posture reflects his appetite of good food and exotic cuisines from all over the world. My first impression of him was "This guy is wearing a shocking pink shirt. Oh my god" I hope my mind didn't sound like Janice back then. I worked with him for several days last month during his scoping visit to Bali with the British Council.

On our way to the Ubud wet market one chilly morning, he told me how he opened a vegan restaurant once. I'm sure he is talented and sees cooking as an important career, because he's still cooking for his family and friends until now. He's seriously obsessed with cooking so that he has two different refrigerators at home. One for vegan supplies and the other one for non-vegan. Part of the obsession is to make dishes that suitable for the consumer. This is all about the challenge. Imagine yourself cooking for an ultranationalist vegan who wants a vegan dish that made without any single ingredients from 17 countries that she believes violate the universal rights, both to human and animal.

What will he make on such request? Watermelon Curry.

He has done an amazing research on material, made him the only professor who pursue that specialisation. I'm strange, he exclaimed about this. And I was wow-ing the whole time he explained about several unbeliable but existing materials such as a wafer that cuts ice like butter, or a metal that remember its shape. When I asked him how can he get access to those materials. Gleefully he said, you have to hang out with scientists.

If you meet him, don't be surprised to see how energetic he is. He has a constant flowing energy from early morning until midnight. An early person by habit, he's the only charming fellow at 7 o'clock in our groups. And its amazing to see him, with the same spirit, at 11 pm, after dinner and meeting with designers.

On top of everything, he thinks Thomas Heatherwick is cool and maybe, just maybe, if I ever land my feet on the United Kingdom ground, Martin can introduce me to him. And I'll be flying to the stars in ecstasy if Thomas Heatherwick agrees to hire me even if only to make coffee. I'm good at making coffee. I know.

Tuesday, April 03, 2007

bule hunter

beberapa diantara teman-teman yang membaca blog ini mungkin sempat melihat pesan-pesan yang masuk ke shoutbox. ada blogwalker yang bercerita adiknya, seorang perempuan Jawa yang pergi berlibur ke Bali bersama suaminya, seorang kulit putih, merasa dilihat seperti perempuan murahan, alias pekerja seks, alias perempuan serba bisa diapa-apain.

aku harap jawabanku pada blogwalker itu cukup netral dan tidak memihak. sejujurnya, stigma yang ditempelkan pada pandangan yang nggak enak itu berkali-kali kualami selama tinggal di Bali. tidak sering, tapi cukup mengganggu. anggapan umum yang berlaku adalah: perempuan Jawa, berkulit gelap, datang ke Bali untuk mengejar laki-laki kulit putih supaya nasibnya jadi lebih baik. ada tiga dasar yang dipakai untuk anggapan ini. pertama, karena yang berkulit gelap lebih eksotis dan lebih disukai pria-pria kulit putih. kedua, karena perempuan Jawa lebih agresif. dan ketiga, karena pria-pria kulit putih punya uang lebih banyak.

karena itulah, selama tinggal di Bali, aku berusaha keras menjaga supaya kulitku tidak jadi cokelat gelap. dalam cuaca Bali yang panas menyengat aku selalu memakai jaket, sarung tangan dan segala perlengkapan penutup tubuh kalau keluar rumah. aku tidak mau dipandang dengan cap yang buruk itu. disisi lain, ada pria-pria kulit putih yang ganteng tapi menganggap lalu lintas di Indonesia terlalu membahayakan keselamatan jiwa kalau mereka memaksa menyetir di sini. mereka biasanya naik sepeda kemana-mana, dan bikin para pemburu bule mencoret mereka dari daftar buruan. karena hanya mereka yang nggak punya duit yang keringetan naik sepeda. mungkin begitu mikirnya.

tapi toh stigma tetap stigma. diberlakukan umum tanpa batasan. walaupun kerjaku resminya selama matahari terbit, chatting dan ngejunk di komputer, menemui orang-orang yang mau mendengarkan bualan setinggi langit tentang seni dan kebudayaan Indonesia, melihat-lihat sawah dan menghitung pohon kelapa, serta mendownload lagu... dan bukannya menyanyi di kafe atau menari striptease, tapi tetap saja stigma itu tak bisa kuelakkan. penjelasan sepanjang apapun seringkali nggak cukup untuk menghapus stigma yang terlanjur melekat.

ada sejumlah kejadian (yang tidak perlu kuceritakan disini) yang kualami selama aku tinggal di Bali. salah satu diantara kejadian itu begitu menyakitkan sampai aku sempat berniat mengirimkan sepasukan ninja terlatih yang dipersenjatai jarum beracun dan samurai tajam mengkilat untuk menghabisi orang yang jahat itu. tapi orang itu beruntung dan kayaknya masih hidup sampai sekarang. aku bahkan membatalkan rencana untuk menggunakan Pedang Setan untuk menebas lehernya.
*minum tonik peredam kemarahan*

nah, tadi malam aku, Kelly dan Scott ngopi sama Joely sebelum dia berangkat ke bandara untuk pulang ke San Francisco. persis pada saat latte-nya Joel habis, sopir yang akan mengantarkannya datang. karena Scott dan Kelly adalah langganannya juga, jadi dia turun dari mobil untuk menyapa mereka. Joel lalu memperkenalkan aku pada sopir itu.

"Halo, saya Ina" kataku sambil mengulurkan tangan.
"Saya Gede" dia tersenyum padaku. aku balas tersenyum. lalu dia bertanya
"Dari Jawa ya?" aku tersenyum lagi padanya, lalu menjawab
"Iya, saya dari Malang"

tiba-tiba Kelly mencampuri percakapan kami dan bilang
"Ina disini kerjanya cuma cari bule saja" aku, Scott dan Joel tertawa mendengar si kepala suku bule gondrong angkat bicara. itulah akhir percakapanku dengan Gede. he got all of the answers he needed.

duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...