Monday, April 01, 2013

notes from the kitchen

punya dapur itu mengubah banyak hal.
memiliki dapur berarti memiliki pusat kehidupan dalam sebuah rumah. menurutku, segala hal yang terjadi di dalam rumah sangat ditentukan oleh dapurnya. salah satu yang paling membekas adalah serial The Cosby Show. cerita keluarga Afro Amerika kaya: The Huxtable, yang bertahun-tahun ditampilkan di televisi. aku tumbuh menonton cerita yang menampilkan dinamika keluarga panutan Amerika itu, yang nyaris setiap episodenya diawali dari adegan-adegan di dapur. dalam dapur keluarga ini, berbagai isu dibahas. persoalan-persoalan sekolah, keluarga, sampai hal-hal berat seperti disleksia, bahkan kehamilan remaja.

di rumah nenekku, dapur juga jadi pusat kehidupan rumah.
segera setelah bangun pagi, semua penghuni rumah akan menuju dapur untuk menghangatkan badan di tungku yang telah mengepulkan asap sejak sebelum subuh. nenekku pasti sudah menjerang air dan menanak nasi. nasi aron yang dipindahkan dari dalam panci menuju kerucut anyaman bambu sudah mengepulkan kabut tipis yang naik ke bubungan atap. dari seberkas cahaya matahari yang menyela genteng kaca dan jatuh ke samping tungku, aku bisa melihat asap dandang yang meliuk-liuk seperti menari.

dapur itu selalu remang sepanjang hari, seperti dapur-dapur lain di desa pada masa kecilku.
lantainya tanah yang gelap pekat menghitam, dan jadi licin basah kalau ada air yang tumpah. di bagian kanan setelah pintu masuk, ada amben bambu yang buatku luaaaas banget. sehingga kita masih bisa duduk walaupun ada beberapa karung berisi gabah ditumpukkan di situ. selain dipakai duduk-duduk saat memarut kelapa, memetik dedaunan untuk sayur dan mengiris bumbu, kadang-kadang kalo ngantuk berat, kakekku sering leyeh-leyeh di situ. sambil menikmati angin yang bertiup dari jendela di atasnya.

dari langi-langit di atas amben ada para-para bambu tempat nenekku menyimpan segala perkakas masak yang besar, menggantungkan keranjang besi berisi telur dan bahan-bahan kering. kadang-kadang ada daun kelapa yang setengah kering dijajarkan di para-para itu juga. setelah daunnya kering benar, tulang daunnya diambil untuk jadi lidi. biasanya itu berarti sate ayam, atau sapu lidi akan dibikin. aku lebih suka yang pertama.

di ujung ruangan di seberang pintu masuk, ada pintu lain yang mengarah ke perbatasan halaman tetangga. dari situ biasanya muncul bude atau anak bude tetangga sebelah dengan segala keperluannya. pada masa kecilku, di desa kami semua orang adalah saudara. aku akan diundang makan di mana-mana kapanpun berjumpa. sayangnya setelah kami semua dewasa, tak ada yang ingat lagi pada hal itu, dan pelan-pelan kami menjadi tetangga, atau sekedar pernah ketemu saja.

dekat pintu belakang itu, diletakan dua gentong besar air, yang dipakai untuk mencuci piring. nyuci piring di sini agak repot. air harus dipindahkan ke baskom dulu. baskom pertama untuk membasahi piring supaya gampang disabuni, dan untuk bilasan pertama karena sabunnya masih terasa licin. baskom kedua berisi air bersih untuk membilas sampai piring terasa kesat. nenekku sangat efektif dan efisien soal air. aku sendiri lebih suka air yang mengalir saat mencuci piring.
ini salah satu hal yang tidak bisa kami jembatani hingga akhir hayat beliau.

di pojok kiri, ada ruangan lain yang lebih kecil.
aku sendiri tak begitu paham apa fungsi ruangan kecil ini saat dibuat. yang jelas, pada masa kecilku, ruangan ini berisi tumpukan karung gabah hasil panen dan ember-ember yang sangat terlarang untuk disentuh. ember-ember itu berisi telur-telur bebek dalam rendaman air garam dan balutan arang bergaram serta kulit padi. setelah dua atau tiga minggu, telur-telur itu akan dikeluarkan, dikukus dalam dandang sampai lamaaaaa, lalu semua orang akan kebagian telur asin yang enak.
telur asin yang kami makan adalah yang pecah atau retak saat dikukus. telur-telur yang bagus dan licin sempurna akan berangkat ke pasar bersama nenekku untuk dijual atau diantar ke pemesannya.

sebuah meja dan empat kursi kayu diletakkan di tengah ruangan di dekat tiang. kami makan bersama di dapur ini. kami menerima saudara dan teman dekat keluarga di meja makan di tengah dapur ini. aku menemani kakek buyutku ngopi dan menghisap rokok berbalut daun jagung dan beraroma kemenyan-nya di meja ini. bersama ubi atau pisang kukus.

dari dapur ini, aku mengalami banyak hal yang sampai kini masih lekat dalam ingatan.

aku belajar mencintai urap dengan bumbu kelapa muda parut yang tebal dan panjang yang rasanya gurih segar karena baru dipetik dari pohon. aku belajar mengulek sambal dengan cobek tanah liat dan ulekan kayu. aku tergila-gila pada sambal bawang putih dan cabe rawit yang pedas menggelora, yang dimakan bersama tempe goreng panas-panas dan nasi putih pulen mengepul.

aku menemukan bahwa untuk orang-orang dari gunung yang jadi buruh tani, yang penting adalah porsi nasi yang menggunung. lauknya nggak masalah. dan yang penting pedas!
itu kuketahui ketika nenekku membuat sayur santan berisi potongan tempe dan tahu dan daging ikan, yang diberi cabe rawit utuh kira-kira setengah kilogram. sayur itu akan dikirim ke sawah untuk makan siang para buruh tani, bersama beberapa bakul besar nasi.
bertahun-tahun kemudian aku baru paham, orang miskin terbiasa mematikan indra pengecap mereka dengan cabe. supaya mereka tetap merasa makan enak tanpa harus keluar banyak uang untuk bumbu dan bahan makanan yang rasanya istimewa.

dari dapur ini aku mengenal sayur bobor bayam dan kangkung. aku bertemu dengan daun katuk, lembayung atau daun kacang, kecipir, dan kembang turi. aku juga dikenalkan pada impun, semacam teri manis gurih yang biasanya dipepes atau dibuat bothok. gurihnya membuatku sekarang merindukannya.

dan di dapur ini, aku juga belajar bekerja sama dan hubungan yang setara.
kakekku setiap pagi memarut kelapa, memotong kayu bakar dan dahan kelapa, mengambil air, dan seringkali dari dapur aku melihatnya mencuci pakaian.

di kemudian hari aku mengetahui, di banyak rumah tangga, laki-laki tidak biasanya masuk dapur untuk mengerjakan urusan-urusan rumah. mereka tak boleh masuk dapur karena dianggap meruntuhkan kejantanan mereka. mereka akan membiarkan nenek, ibu, istri atau anak perempuan mereka menyelesaikan semua urusan, sementara mereka juga menambahi pekerjaan dengan perintah-perintah minta dilayani. yang juga merembet ke hal-hal lain di luar urusan dapur. yang membuat perempuan-perempuan dalam rumah tangga semacam itu jadi orang yang selalu dinomorduakan dan tak pernah jadi spesial.

aku selalu bersyukur karena dapur gelap hitam berjelaga itu memberiku kenangan dan bekal yang berbeda.


Saturday, March 16, 2013

yes, this season sucks




hasil polling American Idol tadi malam sangat mengecewakan. 
kontestan 10 besar yang kujagokan, Curtis Finch, Jr. harus pulang di minggu pertama pertarungan finalis (kontestan 10 besar) karena jumlah suara yang mendukungnya paling sedikit. 

dan ini menyebalkan karena diantara kontestan-kontestan laki-laki yang lain, misalnya Lazaro atau Devin, si Curtis ini keliatan jauh lebih berbakat dan kemampuannya lebih besar. penguasaan panggungnya luar biasa, gaya menyanyinya jelas dan distinctive, dan yang terutama, saat dia menyanyi, bisa dirasakan energi yang dia pancarkan ke penonton, membuat kita seperti membeku dalam momen itu bersamanya. 

Mahen bilang, soal gayanya itu, banyak dipengaruhi oleh karakter gospel yang memang nempel banget ke Curtis. seperti Joshua Ledet, kontestan tahun 2012 yang jadi nomer 3, Curtis juga anak seorang pendeta. 

I knew it. aku udah merasakannya sejak awal. American Idol tahun ini memang rasanya beda banget dengan --terutama, kontes yang sama dalam 2 tahun terakhir. sejak awal kulihat, pelaksanaannya sudah terasa bermasalah, dan itu bisa kita lihat dalam beberapa hal. 

pertama, juri-jurinya. 
setelah dipastikan bahwa Steven Tyler dan Jennifer Lopez nggak akan balik lagi menjadi juri tahun ini, Randy Jackson didampingi oleh Mariah Carey, Nicki Minaj dan Keith Urban. 
sejak episode pertama, audisi di kota pertama, sudah terlihat bahwa Mariah dan Nicki kayak bensin sama api. kalo dideketin akan bikin letupan-letupan yang membakar. entah sekedar strategi dagang yang sudah diskenario atau memang benar-benar terjadi, Nicki dan Mariah berantem melulu. 

Mariah yang selalu menampilkan diri sebagai diva yang sikapnya I-have-seen-it-all dan impossible to impress, ketemu dengan Nicki yang menggunakan setiap kesempatan untuk mencemooh Mariah, dan nggak segan menggunakan peserta sebagai alat dalam olok-oloknya. 
misalnya gini, nih: waktu ada peserta yang maksudnya mau nyanyi dengan falseto, dan jadinya fals beneran, Nicki berkomentar: "wow, your range is even wider than Mariah Carey"

memang di episode-episode berikutnya yang begini-begini bisa dikurangi dan Nicki lebih behave dan lebih fokus sama penjurian. but the damage is done. peseta yang lolos audisi jadi seperti ke kanan dan ke kiri, karena selera penjurian yang beda-beda tapi sekaligus saling tumpang tindih. 

kenapa? ada faktor Keith Urban di sini. ia jadi lebih fokus sama hal-hal selain teknis menyanyi dan pemanggungan, jadi yang membahas sisi teknis hanya Randy saja. 
sementara itu, Nicki hanya tertarik sama kontestan yang aneh banget atau gila banget. dan Mariah sibuk sama dirinya sendiri. nggak terjadi relasi saling isi dan saling melengkapi antara kerja satu juri dengan juri lainnya. 

kedua, kontestannya.
well, ini masih ada hubungannya sama juri juga, sih. 
menurutku tahun ini para kontestan yang lolos seleksi adalah mereka yang beda banget sama apa yang selama ini dihasilkan oleh American Idol. penyanyi baru berbakat yang mengejar mimpi untuk menyajikan musik yang menyenangkan dan bisa dinikmati oleh banyak orang. musik yang bikin orang juga bahagia melihatnya. 
bukan sekedar beda dengan cara yang aneh, atau gila. 
nggak, mestinya yang dicari bukan peniru Lady Gaga baru. 

bandingkan dengan musim sebelumnya, di mana sejak sebelum 10 besar pun, para kontestan sudah punya kecenderungan yang kuat dalam aliran musik yang mereka pilih masing-masing. jadi kita bisa lihat variasi yang seru dan dengan kualitas yang setara hingga setiap minggu kita selalu dapat kejutan yang seru.

dua hal ini berakibat pesan campur-aduk yang sampai ke penonton, sehingga penonton juga kacau dalam memilih kontestan. korban pertamanya: Curtis. dengan menyedihkan, dan tanpa pertolongan juri, ia terpaksa pulang di minggu pertama eliminasi para finalis. 
benar-benar menyebalkan. 

sekarang andalanku tinggal satu aja. Angie Miller yang jago main piano, jago ngarang lagu, dan punya kualitas jadi superstar. semoga setelah ini para penonton di Amerika Serikat bisa memilih dengan bijak, supaya yang akhirnya menang memang yang benar-benar pantas. 

Monday, October 01, 2012

tentang 2 gadis bangkrut dan korupsi



Sejak akhir tahun lalu, aku mulai nonton serial buatan CBS berjudul "2 Broke Girl$". sitkom buatan CBS ini bercerita tentang kehidupan dua orang pelayan sebuah restoran kecil di bilangan Williamsburg, Brooklyn, New York.

Pelayan pertama, Max Black, berasal dari kalangan pekerja rendahan yang miskin sepanjang hidupnya. Sementara pelayan kedua, Caroline Channing, sebelumnya hidup sebagai gadis kaya raya, sosialita sebagai anak pemilik perusahaan investasi terbesar di kota itu. Caroline bangkrut setelah ayahnya ditangkap polisi lalu dijebloskan ke penjara akibat skandal Ponzi Scheme yang dijalankannya. Setelah kejadian itu, Caroline harus meninggalkan mansion dan seluruh barang mereka yang disita di Manhattan, pindah ke Brooklyn dan memulai hidup baru.

Pertemuan Max dan Caroline dan kudanya Chestnut, serta perjuangan mereka membangun bisnis cupcake diceritakan sedikit demi sedikit setiap episode. Caroline yang seumur hidupnya tak perlu mengerjakan pekerjaan rumah tangga apapun, seperti belajar dari nol, dengan bantuan Max. Perubahan hidup itu begitu drastis, mulai dari hal-hal sepele seperti perbedaan jenis tisu gulung atau keripik kentang antara yang dahulu selalu dimiliki Caroline hingga keharusan mengganti dokter gigi juga toko tempat berbelanja pakaian, dari department store mewah, ke charity shop. Caroline seperti sedang mejalani hidup di sisi gelap bulan.

Dalam rencana mereka memiliki bisnis cupcake sendiri, Caroline menyebut bahwa mereka memerlukan dana sebesar $250,000 agar bisa membuka toko. Selama uang tersebut belum terkumpul, mereka harus tetap menjadi pelayan, sambil membuat cupcake dan menjajakannya dalam setiap kesempatan. Cupcake buatan Max selama ini dijual hanya di restoran tempat mereka bekerja. Maka di akhir setiap episode, akan ditulis berapa banyak uang tabungan yang mereka miliki dalam mencapai $250,000. Kadang bertambah, kadang berkurang.  

Sejak episode pertama, serial yang lucu dan penuh satir serta ejekan ras yang mengena dan kadang-kadang keterlaluan ini, mengingatkanku pada soal hukuman pada para tersangka korupsi di Indonesia. Kenapa para koruptor itu tidak jadi miskin setelah tertangkap?

Apa yang dilakukan terhadap tokoh Martin Channing dalam serial ini adalah apa yang seharusnya dilakukan pada para koruptor. Selain pelakunya dijebloskan ke dalam penjara, semua asetnya harus dibekukan sampai sidang pengadilan selesai menentukan berapa lama ia harus dipenjara. Lalu, koruptor harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya. Kalau aset-aset lancar yang dimilikinya tidak mencukupi untuk membayar krugian itu, maka aset-aset tetapnya harus dilelang di hadapan publik dan uang yang dihasilkan dapat digunakan untuk menutupi kerugian itu.

Aku justru nggak pro sama hukuman mati untuk para koruptor. Karena tampaknya mereka tidak takut mati. Mereka lebih takut miskin, sehingga selama bertahun-tahun berusaha memupuk kekayaan, tanpa peduli dari mana asalnya, dan apakah itu hak mereka atau bukan. Dimiskinkan, tentu, adalah momok bagi mereka. Kalau belum sempat dihukum secara sosial, dipermalukan karena jadi maling uang negara, belum sempat hidup susah, terus langsung dihukum mati yang artinya terbebas seketika dari tanggung jawab di dunia, kok kayaknya gampang bener.

Jelas-jelas tindakan memiskinkan itulah yang harus dilakukan supaya pelakunya jera, dan jadi pengingat untuk orang-orang lain yang barangkali mau coba-coba melakukan kejahatan yang sama. Sederhana dan efektif. Tapi kenapa di sini nggak ya?

*masih geram baca berita terpidana korupsi tidak dipecat dari PNS, malah dapat promosi pula*

Wednesday, May 02, 2012

MayDay

tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional dan seperti bisa diharapkan sejak bertahun-tahun lalu, hari tersebut hampir selalu dirayakan oleh para buruh (utamanya buruh pabrik) dengan mengadakan demo besar-besaran. sebelum aku tinggal di Jakarta, isu semacam ini masih terasa berjarak denganku. bukan karena nggak peduli, tapi lebih karena dampak yang kurasakan akibat demonstrasi yang terjadi nyaris tak ada. 


tahun ini, rupanya demo besar-besaran ini mencapai babak baru, bukan hanya dari segi jumlah, melainkan juga dari sisi penyelenggaraan. sejak pagi dilaporkan di berbagai media online, radio serta televisi, lalu diperkuat tweet dan email dari teman-teman di timeline serta mailing list, puluhan bahkan ratusan (ada kabar bahwa disediakan parkir yang mampu menampung hingga 2500 bis di Parkir Timur Senayan) bis pariwisata memasuki Jakarta dari berbagai penjuru. tiap bus penuh sesak oleh para buruh yang akan berdemo. oya, mereka pun memakai seragam beraneka warna. kabarnya, demonstrasi akbar tahun ini juga dimeriahkan oleh hiburan di Gelora Bung Karno. yang diundang Slank! serta ada pula acara dangdutan di Tugu Proklamasi. 


tapi ada juga yang bilang, buat masuk ke acara Slank di GBK, para buruh harus membayar Rp 30.000,-. entah benar atau tidak.


akibatnya sudah dapat diduga, sejak pagi ribuan orang mengeluhkan kemacetan yang luar biasa melalui berbagai jejaring sosial. lebih parah lagi, penyediaan transportasi yang oke itu tidak disertai pemikiran taktis soal parkirnya. bis-bis itu diparkir di jalur busway di sekitar Sudirman. jadi bisa dibayangkan betapa kacaunya. beberapa trayek Transjakarta akhirnya dibatalkan pada hari itu. dan inilah yang bikin aku gerah. karena mereka yang naik busway (dan atau harus naik kendaraan umum lainnya) juga sama-sama buruh. bener beda seragam dan beda tempat kerja, tapi tetap buruh-buruh juga. jadi kenapa untuk menuntut hak dan kesejahteraan para buruh, demonstrasi yang dilakukan harus mengganggu hak buruh lainnya?

kalo ngomongin buruh dan demonstrasinya, aku jadi ingat beberapa hal yang patut diceritakan. masih tentang buruh juga, tapi dari sudut pandang yang kira-kira letaknya sebelah kiri agak turun dikit 15-an derajat. sebagian cerita itu, aku tulis ulang di sini.

temen yang kerja di perusahaan konveksi yang lumayan gede di Bandung cerita; kalo abis hari gajian, di depan pabrik mendadak jadi pasar kaget. dan para buruh pulang dijemput oleh keluarganya. semua ingin langsung berbelanja di pasar kaget itu. lalu nanti sampai di rumah udah dengan semua belanjaan dari pasar kaget, dan dalam 10 harian, upah yang mereka terima amblas dengan sukses. 

ada juga yang perusahaannya ngasih upah nggak sampai setaraf UMR, kurangnya kira-kira 15% dari standar yang ditetapkan pemerintah itu. tetapi pada setiap shift kerja, semua karyawan mendapatkan satu kali makan, buffet style, jadi boleh ambil sepuasnya, sekalian dengan makanan kecil sebagai penutup yang menunya berbeda tiap hari, mulai dari buah segar, es doger, sampai es kacang ijo. selain itu, juga ada fasilitas asuransi kesehatan yang full coverage di rumah sakit terdekat, sesuatu yang bahkan sulit didapatkan para karyawan dengan penghasilan lebih besar. mulai dari rawat jalan sampe rawat inap dan melahirkan sampai anak ketiga, semua ditanggung oleh asuransi kesehatan itu. 

satu lagi cerita yang aku tau, dari sebuah pabrik yang memiliki 500-an buruh. GM pabrik itu melihat bahwa hampir setiap buruh cuma punya satu tujuan tiap tahun, mudik lebaran. jadi, sebelum lebaran mereka nabung-nabung sendiri sedikit demi sedikit, lalu nanti pas lebaran, hasil menabung yang tak seberapa dan THR akan dibawa pulang mudik, foya-foya, lalu balik lagi ke pabrik dalam keadaan tak punya uang sama sekali, atau bahkan minus alias ngutang. jadi tahun berikutnya, GM tersebut 'memaksa' buruh untuk menabung lewat koperasi pabrik. jumlah gaji yang diterima berkurang karena potongan iuran bulanan koperasi. pembagian hasil usaha koperasi dilakukan menjelang lebaran.

lain lagi yang terjadi di sebuah perusahaan di jogja yang punya restoran, travel, dan penginapan, pemiliknya cerita ke aku kalo dia sering prihatin dengan gaya hidup karyawannya. upah udah jelas nggak seberapa, tapi prioritas pertama mereka adalah hp! dan motor. untuk motor, karena menabung hanya untuk membayar uang muka, waktu harus bayar cicilan jadi pada keteteran. lalu disita-lah motor itu. yang nggak bikin mereka kapok. karena akan terulang kembali beberapa bulan berikutnya. 
masih menurut si bos, para karyawannya ini bahkan lebih sering ganti hp daripada si pemilik perusahaan itu. lebih canggih-canggih pula hpnya. 

hal yang mirip juga aku temukan waktu masih di Bali. suka bingung sama mereka yang aku tau penghasilannya lebih rendah daripada aku, tapi kalo beli kebaya hampir selalu brokat Prancis dan kain batiknya tulis, bahkan tulis-sutra! padahal brokat prancis itu per potong bahan kebaya paling murah sekitar  Rp 750,000. dan hampir tiap hari raya (yang ada banyak dan bermacam-macam), mereka akan membeli set kebaya-kain baru. aku sendiri baru punya brokat Prancis dari seserahan! hihihi. 
selain itu hp-nya juga canggih-canggih dan kalo ada hp jenis baru yang jadi trend, mereka akan langsung ganti. justru mereka terheran-heran karena selama bertahun-tahun aku tetap pake Siemens E-398, sampai ia menua dan benjut-benjut. lalu bagaimana mereka melakukannya? intinya sih berani berhutang (hingga puluhan juta) dan membeli segala hal secara kredit. 

menurutku, sih... dari cerita-cerita tadi, kesejahteraan itu bukan hanya soal membesarkan jumlah upah para buruh. tetapi juga memberdayakan mereka. mendidik, mengajarkan disiplin dan konsistensi, memperbaiki pola pikir, membudayakan pengelolaan uang dengan cara baik, hidup bersih dan lebih sehat supaya tak gampang sakit... dan itu semua aku yakin nggak bisa dicapai hanya melalui demonstrasi. 

Wednesday, November 02, 2011

Adipati Karna

aku membaca kisah Karna dan aku bersimpati padanya.
ia dilahirkan karena keisengan Kunti, mencoba-coba mantra Adityahredaya saat menatap matahari pagi. Betara Surya datang padanya, memberinya bayi laki-laki berbaju besi menyilaukan dan sepasang anting dan kalung. ia tak bisa menolak anugerah itu, pun tak bisa mempertahankannya. bagian paling tragis dari kelahiran Karna adalah karena tak ada yang mempertahankan kehadirannya. tidak juga Kunti, yang karena rasa malu, gengsi, keinginan menjaga derajat di mata umum, menjadi ibu yang tega melarung anak laki-laki pertamanya di sungai. berharap orang lain memelihara dan menyayanginya.
Karna seumur hidup menyebut diri Radheya. ia yang dipungut pasangan sais kereta Adirata dan Radha selamanya merasa berutang budi pada pasangan yang menyelamatkan hidupnya itu. bahan ketika Kunti mendatanginya bertahun-tahun kemudian, ia menolak cap Kunteya, meski itu adalah kenyataan darah. tapi bakti tetap ia bagi pada sang ibu kandung. Karna berjanji tak akan membunuh para Pandawa, kecuali Arjuna. bagi Karna, Kunti dapat tetap memiliki 5 anak, bukan 6, karenanya anak ke-5 ini adalah salah satu diantara ia atau Arjuna.
hutang budi pula yang membuatnya bergabung dengan Kurawa, dan bukannya Pandawa yang adalah saudara-saudara sedarahnya. kisah Karna yang tragis adalah hasil dari pertemuan maupun persimpangan antara berbagai sifat buruk, kesialan, tipu muslihat, waktu dan tempat yang tak tepat. Karna adalah ksatriya yang hidup sebagai sudra, brahmana, namun tak pernah sepenuhnya menjadi bagian kaum yang ia perankan. seumur hidupnya, Karna adalah sosok yang lain. dan terus dipersalahkan. bahkan ketika menjadi ksatriya, ia tak berada di tempat yang sesuai dengan darah yang mengalir di nadinya. ia menjadi bagian sekaligus bukan bagian mereka. ia adalah ksatriya yang sudra, ksatriya yang brahmana, kakak Pandawa yang Kurawa, ia putra Kunti yang Radheya.
yang juga tragis, Karna mendapatkan tiga kutukan dalam hidupnya, yang ia peroleh pada waktu yang berbeda-beda. namun kutukan itu menjadi kenyataan pada saat yang bersamaan. saat ketika ia berhadapan dengan Arjuna. bahkan alam semesta pun seolah menghukumnya pada saat yang bersamaan, di waktu yang paling genting dalam hidupnya, ketika ia berhadapan dengan lawan yang paling berat.
sebagai yang terlahir dan dibuang, yang ditolak oleh Drona, atas alasan darah, yang mengalami penghinaan demi penghinaan oleh Drupadi, Arjuna serta Bimasena di muka umum, tak heran jika Karna menutupi rasa rendah dirinya dengan kesombongan atas kesaktian, kekuatan dan bakatnya dalam ilmu peperangan. kemarahan yang membara dalam dirinya itu sungguh berlawanan dengan kedermawanannya yang tanpa pamrih. bahkan ketika Batara Indra menyamar menjadi brahmana tua, meminta baju besi yang melekat di badannya, ia pun memberikannya, meskipun tau ini hanya sebuah muslihat.
segala yang tragis dan tak untung itu berpusar dalam kehidupan Karna. pilu dan menyedihkan, ironis dan mudah disesalkan. tapi segala rangkaian kejadian dalam kisah Mahabharata berlangsung begitu cepat dan pasti. peperangan tak terelakkan, karena segala hal, meski tak selamanya hitam-putih, diputuskan dengan cara yang serba penuh kepastian, tanpa dapat ditawar. satu-satunya hal yang sama-sama dimiliki oleh semua tokoh dalam kisah ini, tanpa kompromi.
dikisahkan, Karna bergabung dengan saudara-saudaranya, para Pandawa di Swargaloka setelah Bharatayudha di Kurusetra. aku sangsi ia menikmati itu dan dapat berbahagia di sana.

Wednesday, October 26, 2011

ode untuk ZL

kita lahir di tanggal yang sama. karenanya, saya tak bisa ikut datang pada perayaan ulang tahun anda yang terakhir, hampir tujuh bulan yang lalu. karena pada saat bersamaan, sebuah pesta kecil diselenggarakan juga untuk saya. kita saling mengucapkan selamat ulang tahun. saya tak bercerita pada yang lain. saya harap anda juga tidak, pak. saya tak mau membesar-besarkannya.
saya ingat waktu pertama kali datang ke gedung ini dan bertemu dengan anda yang penuh semangat dan selalu tersenyum. kini setelah anda pergi, saya mendengar orang-orang lain, yang telah mengenal anda lebih lama berkata bahwa anda teguh dalam pendirian, keras dalam perdebatan dan lantang membela yang anda anggap benar. saya, yang mengenal anda hanya seumur jagung, mengingat anda sebagai sosok yang berkepribadian manis dan penuh pengertian. kadang-kadang saya merasa anda lebih lembut hati daripada kami semua dalam ruangan rapat, meski mereka menyebut anda "bergaya medan"
terakhir kali kita berjumpa, saya cukup senang karena anda masih mengenali saya. tak banyak yang pernah dan bisa kita bicarakan, tapi anda tahu saya sangat menghormati anda, dan mendengar betul saran-saran yang anda sampaikan. betapa anda begitu percaya pada penilaian dan pemikiran saya, sangat saya hargai, pak.
sampai selasa kemarin, saya masih merasa anda cuma sedang berhalangan datang ke kantor. setiap kali melewati ruangan anda, saya selalu berpikir bahwa itu masih tetap meja anda, tempat anda akan mengangkat kepala saat saya lewat di depannya dan tersenyum. lalu saya berdiri di depan foto anda, lalu orang-orang bicara tentang anda, lalu film berisi wawancara, foto dan potongan-potongan video anda diputar. lalu saya betul-betul menyadari, bahwa anda sudah tiada. dan tak akan duduk di kursi yang sama lagi untuk menghadiri rapat senin pagi dan berbagai acara. tapi, anda masih akan terus bersama kami menempuh jalan ini kan, pak?
selamat menikmati durian sepuasnya di surga, pak. tentu rasa buahnya lebih legit dan lebih wangi. juga seafoodnya lebih lezat, udang, kepiting dengan sambal yang lebih mantap. saya harap surga juga menyediakan masakan padang. jika tidak untuk yang lain, tentu bisa dibikin khusus untuk anda. setelah ini, setiap kali berulang tahun, saya akan menambahkan satu lilin, karena perayaan untuk kehadiran anda diantara kami juga harus diteruskan.

Monday, October 10, 2011

Temple Grandin

awalnya aku nonton film ini secara nggak sengaja di HBO. tapi nggak selesai, juga nggak dari awal. sepanjang kira-kira 30 menit itu, aku melihat bagaimana Claire Danes yang menjelma Temple Grandin, sedang berusaha beradaptasi di kuliah masternya di jurusan Peternakan di Arizona. bagaimana Temple berhadapan dengan para peternak tradisional, koboi yang sok tahu, memandang rendah perempuan, dan (seperti banyak orang lain) meremehkan dan menghinanya karena ia menderita autisme.
singkat cerita, aku berhasil mendapatkan film itu (you know exactly where it's coming from).
film ini merupakan adaptasi atas kisah hidup Temple Grandin, seorang wanita yang didiagnosa menderita autisme ketika berusia 4 tahun. oleh ibunya, ia dibawa ke berbagai dokter dan ahli, yang sebagian besar menyatakan bahwa Temple harus dimasukkan ke institusi khusus karena mengalami autisme dan kerusakan otak. ibunya menolak vonis ini dan bersikeras mengajar Temple di rumah supaya ia bisa bicara. lalu memasukkannya ke sekolah untuk belajar bersama anak-anak lain seusianya.
perjuangan yang mereka jalani berat dan panjang. banyak orang menghina dan menertawakan, menjahati Temple karena dianggap aneh. satu hal yang mereka tidak pahami, Temple sebetulnya sangat cerdas dengan daya ingat luar biasa, meski cara kerja otaknya berbeda dengan orang kebanyakan. ia "thinks in pictures and she connects them" demikian dinyatakan Dr. Carlock, guru IPA Grandin di Hampshire Country School. guru inilah yang kemudian mendorong Grandin untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, di bidang peternakan, karena ketertarikannya yang besar pada hewan ternak, baik itu sapi maupun kuda. ia selalu menggap hewan-hewan itu berpikir seperti mereka.
satu hal yang beberapa kali diucapkan oleh ibu Temple, yang seperti menjadi mantra bagi film ini adalah "she's different. but not less" karena ingatan fotografis yang dimilikinya dan kecerdasannya yang luar biasa seringkali tersamarkan dari mata awam. dan banyak yang tak menyadari itu.
film yang luar biasa ini membuatku tertawa dan terharu silih berganti. juga pada saat yang bersamaan. dari Temple Grandin, aku belajar tentang kesungguhan dalam mewujudkan keinginan dan kekerasan hati hati yang diimbangi dengan kerja keras. aku rasa kalau ibunya Temple model-model yang drama, atau justru memilih menyerah pada para dokter yang menyarankan 'membuang' Temple ke institusi, ia tak akan ada di tempatnya yang sekarang, dipandang dengan rasa kagum dan penuh hormat, oleh berbagai kalangan.
dalam film ini, Claire Danes menurutku bermain luar biasa. hilang sudah semua kesan "gadis pemikat lelaki" yang biasanya terlihat dalam film-filmnya. Claire (berasa kenal akrab gini) bermain total, intens, melenyapkan seluruh keberadaannya dalam sosok baru yang sama sekali berbeda. dan matanya yang berbinar-binar saat menemukan 'pintu baru' untuk dimasuki, pintu yang mengantarnya pada dunia baru untuk dijelajahi, membuatku seperti ditampar!:D
oya, ada satu adegan yang sangat kuat dalam film itu. adalah ketika Temple Grandin menjadi valedictorian dan harus berpidato di hadapan semua lulusan serta keluarga mereka, ia bercerita tentang dirinya, autisme yang ia alami, mesin penekan yang ia ciptakan dan peran ibunya. lalu, ia menyanyikan lagu ini:
When you walk through the storm
Hold your head up high
And don't be afraid of the dark
At the end of the storm
There's a golden sky
And the sweet silver song of the lark
Walk on, through the wind
Walk on, through the rain
Though your dreams be tossed and blown
Walk on, walk on, with hope in your heart
And you'll never walk alone
You'll never walk alone
Walk on, walk on, with hope in your heart
And you'll never walk alone
You'll never walk alone
ini adalah lagu dari pertunjukan Carousel (1945), yang baru hari ini kuketahui, sering digunakan sebagai lagu penyemangat, yang juga dijadikan lagu 'kebangsaan' untuk klub sepakbola Liverpool. aha!
tapi berhubung dalam film itu Temple nyanyinya melenceng dari tangga nada yang biasa, jadi PRku berikutnya adalah mencari tahu bagaimana cara menyanyikan lagu ini dengan benar. syukur kalo bisa hapal:))

Wednesday, June 15, 2011

this notebook is sending someone to grad school

Cecil Mariani (Cecil) diterima di program Master of Fine Arts Design, Designer as Author, School of Visual Arts,New York, Amerika Serikat. Program ini hanya menerima 20 mahasiswa per tahun. Pengajar sekolah ini terdiri dari desainer-desainer terkemuka seperti Milton Glaser, Stephen Heller dan Stefan Sagmeister. Cecil memilih bidang studi ini untuk mengembangkan bentuk-bekntuk kolaborasi antar disiplin yang lebih berkelanjutan, lewat mengajar dan merintis laboratorium desain untuk indusri kecil menengah dan para pelaku seni. Felencia Hutabarat (Ellen) diterima di program Creative Economics and Cultural Entrepreneurship di Erasmus School of History, Culture and Communication, Rotterdam, Belanda. Jurusan yang terbilang sangat baru ini didirikan untuk mempelajari lebih lanjut potensi dari ekonomi kreatif dan kontribusinya terhadap kemajuan sektor seni dan budaya. Ellen memilih bidang ini karena ingin menggali potensi sektor seni dan budaya yang terkait dengan ekonomi, sehingga praktisi kesenian dapat memanfaatkan kekuatan pasar untuk mendukung keberlanjutan karya kreatif mereka. Lisabona Rahman (Lisa) diterima di program Preservation and Presentation of the Moving Image, Universiteit van Amsterdam, Belanda. Di seluruh dunia, jurusan dengan ilmu yang sangat spesifik ini hanya terdapat di 3 universitas. Lisa memilih bidang studi ini karena ingin memastikan film Indonesia dilestarikan agar dapat dinikmati generasi mendatang. Kondisi film klasik Indonesia yang ada sekarang, sebagian besar mengkhawatirkan. Jika tidak segera direstorasi, maka film-film ini akan rusak dan hilang dalam waktu dekat.
Lalu, apa hubungan kisah mereka dengan foto-foto notebooks ini?
Notebook yang gambarnya terpampang di sini didesain Cecil Mariani dalam 3 ukuran: A6, A5 dan A4 dan diperjual belikan secara luas sebagai caranya mengumpulkan dana beasiswa kolektif. untuk membiayai pendidikanS-2 mereka bertiga.
Untuk mengumpulkan cukup biaya, mereka harus menjual 100.000 notebook dalam 2 tahun ini.
Buat yang tertarik untuk membeli notebook warna-warni yang cantik ini, silakan menghubungi gerai ini.
Aku ikut mendukung mereka mewujudkan cita-cita. Apakah kamu juga?

Sunday, June 12, 2011

Nderek Mariah: dan yang hilang

Orang-orang dalam film karya Garin Nugroho semuanya menari. Demikian lebih kurang kesimpulan yang saya tangkap dari cuplikan film, video, foto, patung dan instalasi yang dipamerkannya dalam pameran yang menandai 30 tahun perjalanan kekaryaannya: Nderek Mariah-Post Cinema yang diselenggarakan di Bentara Budaya Kamis malam lalu (9/6). Melihat bagaimana suasana dan tata artistik diciptakan dalam karyanya, godaan untuk menari memang sulit ditepis. Padang sabana nan luas, hutan hijau, ritual yang ritmis dan menggugah, suasana kota yang riuh rendah nan fotografis, panggung yang megah, instalasi yang mempesona, membuat tokoh-tokoh dalam karyanya menggerakkan tangan, menggoyangkan kaki, menciptakan irama, lalu mulai menari. Tetapi, tidak seperti film India yang mengekspresikan segala hal melalui tarian dan nyanyian, tokoh-tokoh dalam karya Garin Nugroho menari untuk ketidakpastian, kemuraman yang pilu dan perasaan masygul.
Karya-karya Garin, sebagai mana diakuinya, menguarkan aroma upacara dan ritual yang kental. Ia dengan sadar dan sengaja melakukan itu. Baginya, setiap karya dikerjakan dan disajikan selayaknya upacara, dengan berbagai ritual dan dihadirkan melalui perayaan. Kesan ini semakin kuat mengingat Garin selama tiga puluh tahun terakhir mengelilingi Indonesia untuk menghadiri dan merekam berbagai upacara dan ritual tradisional yang diselenggarakan atas berbagai alasan. Rekaman-rekaman itu yang kemudian muncul sebagian atau keseluruhannya dalam berbagai dokumenter, film televisi dan iklan layanan masyarakat yang disutradarainya. Sejumlah ritual direka ulang, direspon, dilahirkan kembali dengan bentuk berbeda, kemudian muncul dalam berbagai filmnya.
“Lahir di Jogja dan berkelana dalam mencipta di berbagai pulau-pulau Indonesia, sesungguhya menjadikan saya selalu (hidup) mengalami beragam upacara: dari kelahiran, kematian, pernikahan, membuat rumah, hingga meruwat nama, rumah, sampai bumi. Bagi saya, mencipta seperti bekerja dalam upacara tradisi” tulis Garin. Acara pembukaan pamerannya malam itu pun bagaikan sebuah upacara. Mengingatkan saya pada acara lamaran tradisional Jawa. Sebelum diperkenankan masuk ke dalam rumah, tanda pinangan diterima, terjadi prosesi saling berjawab, berbalas kiasan. Efix Mulyadi, Radhar Panca Dahana dan Nirwan Dewanto menceritakan dalam versi mereka masing-masing siapa Garin Nugroho dan bagaimana karya-karyanya melintas lalu meruntuhkan batas-batas antara film, seni pertunjukan, seni rupa, fotografi. Membuatnya berada di tengah-tengah perlintasan berbagai jenis kesenian sekaligus. Lalu sanjungan diwujudkan pula dalam video persembahan, penampilan musik, nyanyi, baca puisi. Para kampiun musik tradisional, biduan bersuara merdu memamerkan kebolehan, menunjang segala yang akan disajikan Garin dalam pamerannya. Para artisan dan pada akhirnya Garin Nugroho dimunculkan. Pameran ini dipersembahkan bagi sosok Mariah, mendiang ibunda Garin Nugroho, yang sepanjang karirnya banyak memberi dorongan dan inspirasi. Hal tersebut merupakan kesan kuat kedua yang diekspresikan dalam pameran Nderek Mariah-Post Cinema. “Nderek dalam bahasa Jawa berarti mengikuti, menjalani, menuruti. Pameran ini ingin mengungkap dunia ibu: dunia ibu yang mendidiknya dan melahirkan karya-karyanya. Ibu di sini juga bisa berarti ibu siapa saja. Termasuk dalam pengertian tertentu adalah ibu pertiwi.” Demikian Efix Mulyadi menulis dalam pengantarnya. Tokoh-tokoh perempuan dan ibu bermunculan dalam berbagai penafsiran pada karya-karya yang dipamerkan mulai Kamis malam itu. Hubungan dengan ibu adalah pokok yang paling banyak dieksplorasi. Karya instalasi “Labirin Ibu#2” menampilkan patung perempuan dalam posisi telungkup dengan bokong mencuat. Bagian kepala hingga punggung ditutup secarik bidang merah, seluruhnya terbuat dari resin dan alumunium. Dari bagian bawah tubuhnya muncul kawat melengkung berujung setrika berpaku. “Kusetrika punggungku, agar licin kulitku bisa kau pakai untuk masa depanmu” Karya ini menurut Garin menuturkan paradoks kehidupan Ibu dan dunianya; antara ketidakberdayaan berhadapan dengan perlawanan, kediaman dengan transformasi, kelembutan dengan kekerasan, keindahan dengan kekacauan, yang keseluruhannya bisa dibaca dalam tubuh, kerja dan benda (yang dipakai) ibu. Pada salah satu sudut, sejumlah neon box yang menampilkan still foto dari sejumlah film Garin: Daun di Atas Bantal, Puisi yang Tak Terkuburkan, Angin Rumput Savana, Opera Jawa, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja dan lain sebagainya, dilengkapi potongan dialog yang berhubungan dengan film atau potongan adegan tersebut. Bagi mereka yang mengikuti perkembangan kekaryaan Garin, setidaknya sejak film Cinta Dalam Sepotong Roti, karya yang retrospektif ini tentu membangkitkan nostalgia akan masa dan kejadian yang mengiringi persinggungan dengan film-film tersebut. Sampai di bagian ini, saya agak bertanya-tanya. Mengapa bukan film-filmnya yang dahsyat itu yang lebih banyak digali dalam pameran ini? Karya-karya dalam pembukaan yang saya datangi malam itu adalah karya-karya baru, tak secara langsung mencerminkan perjalanannya selama tiga puluh tahun. Agak mengherankan mengapa Garin seolah tak sungguh percaya dengan film-filmnya, kemudian mencari-cari makna melalui karya patung dan instalasi itu. Padahal, karya Garin menurut saya sudah sampai pada tahap melegenda, dan menimbulkan perubahan yang luar biasa. Siapa yang, misalnya, tak kenal dengan film dokumenter Anak Seribu Pulau? Judul dan film ini pada akhirnya memasuki ingatan kolektif publik dengan begitu gencarnya, hingga kita dapat mencermati sejumlah perubahan. Istilah anak seribu pulau jadi sebuah idiom yang berarti globetrotter dalam Bahasa Inggris. Orang yang kerap bepergian dari satu tempat ke tempat lain, sudah berpindah-pindah kesana kemari. Tanpa dijelaskan pun, semua langsung paham. Dan, film ini mengawali perubahan isi televisi Indonesia. Yang pada mulanya hanya berisi tayangan yang semata menonjolkan Jakarta saja, karena daerah lain (terutama di luar Jawa) dianggap terbelakang, dan nggak keren. Kini terbalik. Siaran televisi swasta justru diisi petualangan ke daerah terpencil. Mulai dari yang bergaya bertahan hidup di rimba, menjelajahi daerah-daerah perawan yang ekstrem dan belum dijamah manusia, sampai yang menceritakan kehidupan anak-anak. Saya yakin, semuanya berutang dan meminjam pada Anak Seribu Pulau-nya Garin Nugroho. Mungkin, lain kali, ada pameran restrospeksi 30 tahun-nya berkarya yang dipusatkan pada film. Yang menunjukkan kekuatan, kelebihan dan kedahsyatan Garin dari sisi ‘dalam’, yang akrab dan lebih intim, dan selama ini tertutup dari pandangan publik. Semoga saja.

Thursday, May 26, 2011

The Bad Boys from Boston

Aerosmith. Hal pertama yang terlintas saat mendengar kata ini disebutkan bisa berbeda untuk tiap orang. Buatku, yang terbersit pertama kali adalah Big Ones, album kompilasi lagu-lagu hits milik band ini, yang dibuat berdasarkan 3 album multi platinum yang mengantarkan mereka pada kebangkitan kembali Aerosmith setelah sempat terpuruk di akhir 70-an sampai awal 80-an akibat heroin. Tahun itu, 1994. Aku masih SMP. Ya, sebagian dari kalian masih TK atau baru mau masuk SD. Nggak papa, aku lebih berpengalaman dan dibesarkan pada masa yang lebih berselera:)
Big Ones berisi 12 lagu. Dua diantaranya, Walk on Water dan Blind Man adalah lagu baru. Sisanya berasal dari album Permanent Vacation (1987), Pump (1989) dan Get a Grip (1993). Dari judul album terakhir terbaca bahwa mereka sedang berusaha bangkit. Dan memang upaya yang diproduksi Geffen Records ini berhasil. Sampai hari ini, Aerosmith telah menjual 250 juta keping album. Ini melebihi gabungan jumlah seluruh penduduk Malaysia, Singapura dan Thailand. Hal lain yang terlintas tentu penampilan mereka. Terutama Steven Tyler, vokalis dengan suara dan bentuk bibir khas yang selalu melilitkan syal di mic stand-nya. Belakangan aku baru tahu, gaya terkait syal ini dicontoh Tyler dari idolanya, Janis Joplin. Dan di beberapa bagian lagu-lagu Aerosmith, tarikan suara Tyler menyerupai Joplin pula. Ia kini dikenal sebagai juri American Idol season 10 bersama Randy Jackson dan Jennifer Lopez. Yang paling epik dari penampilannya ada dua. Pertama, terlalu sering memaki sampai dalam suatu episode mulutnya diplester:) Kedua, pertanyaan "Where the hell did you get those lips?" yang dilontarkan kalau ada kontestan cantik berbibir lebar. Tentang pertanyaan ini, ia mengakui: "I can't remember many parts of the 70's" Tahun ini Aerosmith berusia 40 tahun. Dengan formasi yang nyaris tak berubah sejak pertama kali didirikan. Hanya satu orang yang betul-betul digantikan, yaitu Ray Tabano yang hengkang sebelum Aerosmith berjaya. Sementara dua personil lain hanya jadi pengganti selama Perry dan Whitford keluar, lalu kembali lagi. Bagi sebuah band rock yang nakal, berani, ugal-ugalan dan menyala-nyala sampai dijuluki The Bad Boys from Boston, jatuh bangun bersama selama 4 dekade sudah tentu merupakan prestasi tersendiri. Terlebih karena band ini telah mengalami masa ketenaran, keterpurukan, kebangkitan dan kejayaan silih berganti. Juga lebih sulit karena selama kurun itu, para personilnya hanya bekerja pada Aerosmith, tak ada yang bersolo karir atau membuat proyek sendiri di luar band ini. The Joe Perry Project, satu-satunya proyek solo oleh personil Aerosmith, dibuat Perry hanya selama dia keluar dari band ini. Dua diantara lagu favoritku adalah Janie's Got a Gun dan What It Takes. Dalam kedua lagu ini, aroma ballad dan blues yang kental sangat terasa. Perpaduan musik yang kaya dengan lirik menyayat pedih dan lengkingan khas Tyler merupakan suguhan menarik. Paling tidak buatku. Lagu yang terakhir menurutku juga bisa jadi lagu tema patah hati yang gagah:) Sementara Janie's Got a Gun berkisah tentang persoalan anak-anak muda Amerika. Ada isu bullying di sini, ada pula soal paham kekerasan bersenjata yang dianggap bisa menyelesaikan masalah. Lalu kesadaran bahwa sekecil apapun pemicunya, semua hal, segala yang mengelilingi hidup kita bisa berubah drastis setiap saat. Dalam What It Takes Tyler berkisah: You spend me up like money Now you hung me up to dry ... lalu bertanya: Tell me what it takes to let you go? Tell me how the pain suppose to go? Tell me how it is that you can sleep in the night, without thinking you lost everything that was good in the life to the toss of the dice? Tell me what it takes to let you go! Perih. Tapi dinyanyikan dengan gagah. Penggunaan drugs jadi salah satu aspek penting dalam karir mereka. Penting, karena jika tak berhasil melepaskan diri, besar kemungkinan mereka tak akan mampu bertahan. Tyler mengaku, kalau dihitung-hitung dia telah menghabiskan sekitar US$ 20 juta atau sekitar 200 milyar untuk drugs. "I snorted my house, I snorted my plane" katanya tentang hal itu. Baru-baru ini kudengar karena Tyler menjadi juri American Idol, penjualan album Aerosmith meningkat 250%. Fantastis. Tapi memang bisa dibayangkan, setelah 1995 mereka tidak lagi aktif membuat album baru sementara penonton TV dan pendengar musik saat ini tentu didominasi oleh anak muda umur belasan dan 20-an awal yang tak pernah tahu siapa Tyler. Lalu mereka mencari tahu:) Hal juga yang tak kubayangkan, saat jadi juri, Tyler lebih seperti tante dandan yang rendah hati, ceplas-ceplos tapi perhatian. Nakal sudah tentu, tapi dari caranya mengomentari dan berinteraksi dengan peserta, kita bisa melihat bahwa pada dasarnya ia baik hati dan sensitif, serta apa adanya. Kalau Tyler bosan, dia cuma komentar sekenanya, lalu diam dengan wajah malas. Hihihi.
Karena mengikuti kisah mereka, aku jadi penasaran berat waktu dengar kabar kalau biografi Tyler baru saja dilincurkan. Judulnya Does The Noise In My Head Bother You?: A Rock 'n' Roll Memoir by Steven Tyler. Bersama buku ini diluncurkan pula single solo-nya Tyler. Aku coba menitip pada teman, tapi rupanya di Kinokuniya Takashimaya Orchard masih belum dijual. Atau sudash keburu habis! Membuatku makin penasaran:) Untuk sementara, harus puas dulu hanya mendengar lagu-lagunya, sampai kudapat bukunya, supaya aku bisa bercerita lagi tentang salah satu band rock paling seru dalam sejarah musik. *Muter Girls of Summer*

Wednesday, May 18, 2011

childhood

malam itu, kami makan bersama di area food festival sebuah mal. tempatnya nyaman. area terbuka dengan pepohonan dan meja kursi yg diletakkan di luar ruangan. deretan kedai yang menjual beraneka makanan menguarkan aroma lezat. masakan Cina, penyet-penyetan (ayam, lele, tahu, tempe), soto (daging, madura, sulung), ayam kremes dan tulang lunak, bahkan babi panggang. udara malam sejuk, area terbuka yang luas ini cukup lengang. sebuah suasana langka untuk suatu sabtu malam di sebuah mal, di jakarta. kami duduk di depan kedai sate. sudah jadi kebudayaan, pesanan kami nyaris selalu terdiri dari seporsi sate daging tanpa lemak, setengah porsi sate hati, setengah porsi sate ayam, seporsi sup ayam...
eh, laper nggak sih? membahas makanan aku jadi lapar-
malam itu, ditambahkan seporsi tongseng dalam pesanan kami. sambil menunggu pesanan, kami melihat-lihat suasana sekitar, sambil ngobrol. minuman datang, masing-masing kami menikmatinya. aku masih menyesap es jeruk yang manis-asam segar ketika tiba-tiba iparku tergelak. kami yang penasaran memintanya bercerita. masih dengan menyisakan tawa kecil, ia memulai ceritanya: "barusan ada anak kecil berdiri di depan pohon itu..." kami menoleh ke arah pohon yang tumbuh di dekat tempat duduk kami. pohon berdaun rimbun yang batangnya dililit lampu. "anak itu mengulurkan tangannya ke arah batang pohon, nggak sampe kena, sih... tapi sambil mengulurkan tangan dia bergaya seakan-akan sedang kesetrum, badannya kejang sambil ngomong 'zzzzzt... zzzzttt..' gitu" spontan kami semua tertawa geli mendengarnya. aku membatin, dia pasti merasa "oh, I am so cool" hihihi. esoknya, kami pergi ke mal lagi! kali ini ke mal lain yang punya Ace Hardware, toko perlengkapan rumah dan rumah tangga yang sejauh ini paling lengkap walaupun harganya juga paling mahal. sebegitu lengkapnya hingga kadang-kadang kita baru merasa heran karena barang itu ada, atau baru merasa perlu sama barang itu setelah melihatnya dijual di toko ini. kami sedang berjalan melintasi sederetan rak yang menjual berbagai macam kebutuhan kamar mandi waktu seorang anak perempuan berbaju merah lari-lari ke arah kami datang. tangannya digerak-gerakkan ke segala arah, sambil berteriak-teriak "buaya-buaya-buaya-buaya-buaya-buaya-buaya-buaya-buaya" terus-terusan begitu sambil terus berlari melewati kami yang terheran-heran. sejurus kemudian tawa kami pecah. ah, don't you remember how much fun we had when we we're little?

duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...