Sunday, January 11, 2015

si monokotil

kantor kami punya area terbuka yang cukup luas. selain parkiran yang tak seberapa besarnya dibandingkan dengan kapasitas gedung, kami juga punya halaman dengan pohon-pohon buah yang cukup bisa dibanggakan. pada masa-masa panen, kami bisa merasakan jamblang, nangka, sukun, mangga dan matoa dari kebun sendiri. di antara kebun, taman dengan kolam air jernih dan pohon-pohon itu, ada beberapa kucing liar bernaung.

mereka tidak mengganggu, cuma ikut berkeliaran di area-area terbuka, dan jadi penghuni tetap. ada satu yang warna bulunya belang kuning, sudah agak dewasa. kalau ternyata dia betina, mungkin sebentar lagi akan hamil di luar nikah dengan sesama kucing kampung lainnya. tapi mungkin juga, dia berhasil menarik perhatian kucing ras, supaya anak-anaknya nanti bisa naik pangkat dengan keturunan yang diperbaiki lewat percikan darah ningrat.

ada satu lagi yang warna bulunya belang hitam putih. badannya lebih kecil, mungkin lebih muda. dan kami ketahui kalau dia jantan. tapi kucing ini sakit. biji kemaluannya yang menggelantung di luar tampak memerah seperti strawberry. meradang. kami menduga dia terkena ambeien. beberapa kali kami membicarakannya saat sedang makan siang. dia kelihatan sengsara.

salah seorang di antara kami adalah penyayang binatang. di rumah, dia memelihara kucing dan anjing. keuntungan karena rumahnya punya halaman belakang yang cukup luas dan pasangannya tidak alergi pada bulu-buluan. buatku yang tinggal di gedung bertingkat, memelihara hewan piaraan apapun rasanya bukan ide bagus. teman kami yang penyayang binatang itu memutuskan untuk membawa si kucing berkelamin strawberry ke dokter hewan.

pada hari yang telah ditentukan, beberapa orang beramai-ramai berusaha menangkap kucing itu. dasar kucing liar, sekalinya ada manusia yang berusaha mendekat untuk menangkapnya, dia langsung kabur ketakutan. ketika pada akhirnya terpojok, ia terpaksa menyerah. tapi ketika ia akan dipindahkan ke dalam keranjang untuk dibawa ke dokter hewan, si kucing kabur. #drama.

selang sehari, si kucing berkelamin strawberry berhasil ditangkap dan dimasukkan ke dalam keranjang tertutup, lalu dibawa ke dokter hewan. kami dengar, dokter mendiagnosa bahwa ia tidak mengalami ambeien seperti yang kami duga sebelumnya, tapi ada peradangan di testisnya. dokter memutuskan untuk mengoperasinya, membabat habis kedua testisnya.

setelah operasi itu, selama seminggu ia harus pasrah berada dalam kerangkeng di dalam rawatan dokter hewan. tampaknya si kucing benci betul dengan kerangkeng, sehingga saat teman kami menjemputnya dari klinik, ia dengan suka rela melompat ke dalam keranjang yang seminggu sebelumnya membawanya ke klinik itu. langsung tahu bahwa ia akan dibawa pulang. sepanjang perjalanan, aku rasa kucing itu sudah jatuh cinta pada teman kami si penyayang binatang yang baik hati.


sekarang dia sudah kembali ke kantor kami. berkeliaran dengan bebas di alam terbuka, bisa main-main dekat pohon-pohonan dan minum air kolam yang jernih sesuka hati. setelah dioperasi, kami memanggilnya si Monokotil, singkatnya: Mono. dan sejak saat itu, dia jadi sayang dan jinak pada kami semua. selalu menggesek-gesekkan kepala dan badannya ke kaki kami saat sedang ngobrol di kedai, tak jarang naik ke kursi, mengharapkan kami mengusap kepalanya.


Wednesday, June 25, 2014

MozBelajar #01: Webmaker Workshop

Anazkia left her home just an hour after sunrise that Saturday morning, 14 June 2014. She had to catch the 6 a.m bus from her hometown in Serang, Banten. It took her about 3.5 hours to go to Jakarta. She had to be on time for a Webmaker Workshop, part of #MozBelajar series, that would start at 10 a.m in Gallery Qwords, in Kuningan area, Jakarta.

In her blogpost, Anazkia said that she wanted to learn and to know more about creating a web. As a blogger, she said, she didn't know enough.

She was one of more than twenty participants who enthusiastically registered for and attended the workshop that day. I'm touched because she was willing to spend so much time and effort to join the program. It was the first of #MozBelajar (belajar means to study) series, and the Eventbrite registration filled up quickly and was fully booked in less than 24 hours since its announcement.



I opened the workshop by asking the participants to share their hopes and expectations related to this program in post-notes. We stuck the notes to a tree I had drawn on a large sheet of paper, and from there, we made our "Tree of Hope" for this workshop. I learned that this inventory of expectations is important to get the participants focused on the things we are going to deliver in the program. If an
expectation exceeds the program plan, then I will set it aside for the time being and say that I will consider this expectation (such as: able to create a Forefox OS based applications) as a request to be
fulfilled in another, or a future, session.



After a short presentation about Mozilla Community and Mozilla projects, Fauzan and Rizky shared some Thimble, X-Ray Goggles and Popcorn basics, as the three important tools in creating “makes” with Webmaker. This session lasted until 12 o'clock in the afternoon, before participants could begin to try and use each tool by themselves.



When I planned this workshop, together with Rara and Fauzan, I decided that the whole workshop would feature one of most famous and versatile Indonesian food types—Soto, as a theme. Soto is a traditional soup, mainly composed of broth, meat and vegetables. The variations in Soto recipes are almost unlimited. Almost every region in Indonesia has its own version, with different kind of veggies, meat, condiments and even broth. Some use chicken, others use beef or buffalo meat. While a version of Soto may use coconut milk in its broth, another version can put ground peanuts in theirs. The chicken Soto in my hometown, for example, use only free-range chicken, with locally-sourced special thick soy sauce as part of its flavouring, and use deep-fried peanuts as well as home-made potato chips as condiments.

Soon after our Timbel (read it like Thimble) Rice, the next session began with Spectrogram on Soto. The participants decided their positions based on several statements/sentences related to Soto. It was a fun and funny session. Some participants had really strong arguments about the different aspects of Soto. But the most important thing was, once this spectrogram ended, they started to really really think about Soto.
 

Since morning, all participants had chosen to sit with their friends. So, we changed that arrangement when we asked them to started working together in small groups. We asked them to brainstorm about Soto, especially the one they intended to “make”. They were given 15 minutes to decide, before presenting results of their group discussion. All of these competing groups poured out their ideas to create the most attractive and unique food ever! During presentation, every group appeared to be very-very persuasive and proud with their ideas, with a tad of humour, of course!

 

The small group discussion continued with a two-hour session where participants tried to create “makes” together with their groups. We asked each group to create three “makes”, one using Thimble, the other two using X-Ray Goggles and Popcorn. We also asked them to create those “makes” based on the Soto they had chosen.

These are the “makes” they created in 2 hours:
Group 01:
Thimble: https://arieharyana.makes.org/thimble/OTcxNzAyMjcy/-mozillians-first-group-
X-Ray Google: http://alvinhutomo.makes.org/goggles/alvinhutomos-remix-of-websitebaguscom-websitebagus
Popcorn: https://roiacornia.makes.org/popcorn/23wz

Group 02:
Thimble: https://januarf.makes.org/thimble/OTU0OTI1MDU2/soto-ayam-cinta
X-Ray Google: http://januarf.makes.org/goggles/januarfs-remix-of-wajib-dicicipi-di-brazilia-moqueca-de-peixe-ikan-berkuah-gurih-dari-resep-ratusan-tahun--2
Popcorn: https://musyafirah.makes.org/popcorn/23wx

Group 03:
Thimble: https://ianborjonk.makes.org/thimble/ODU0MjYxNzYw/coto-kuda
X-Ray Google: http://priyossantoso.makes.org/goggles/priyossantosos-remix-of-cigna-living-well-cigna-living-well
Popcorn: https://ikhsanjepe.makes.org/popcorn/23wv

Group 04:
Thimble: https://tomong11.makes.org/thimble/OTA0NTkzNDA4/soto-jamur-kremes
X-Ray Google: http://nhie.makes.org/goggles/nhies-remix-of-coretanku-review-soto-jamur-instan
Popcorn: https://kuro.makes.org/popcorn/23wu

Group 05:
Thimble: https://anazkia.makes.org/thimble/OTIxMzcwNjI0/resep-soto-ikan-sarden
X-Ray Google: http://nikitomi.makes.org/goggles/nikitomis-remix-of-soloposcom-kuliner-nusantara-gurihnya-soto-lamongan-kuliner-nusantara-soto-soto-lamongan-lifestyle
Popcorn: https://budiman11120905.makes.org/popcorn/23wt

By the time they presented their works to everyone, we asked all participants and fellow Reps to vote for the most creative and most interesting “makes”. Group 03 became everyone's favourite. They clearly deserved to receive swag as a token of appreciation.


I would like to end this post by showing my deepest gratitude to my mentor Irayani Queencyputri, and Rendy Maulana, the owner of QWords who generously provided high-speed internet connection and lent a room in his office for us to use. Also, big thanks to fellow reps: Fauzan Alfi, Shinta Setiawan, Yofie Setiawan (nope, these two are not related) and one of the FSAs in Jakarta: Rizky Ariestyansyah. I wouldn't be able to host the event without your help, good people!

Saturday, June 14, 2014

Ternganga di Seoul


aku mengakhiri perjalanan ke Korea Selatan di Seoul. sebelumnya, aku menghabiskan hampir dua minggu sepanjang musim semi yang baru mulai, saat bunga-bunga bermekaran, di kota kecil bernama Paju, yang jaraknya kira-kira sejam berkereta (atau naik mobil) dari Seoul. Paju, adalah kota yang paling dekat letaknya dengan perbatasan antara Korea Utara dan Selatan. dan selama ini, kehadiran militer sangat terasa di daerah itu. Sebagaimana disebut dalam sejarah, sejak Perang Korea berlangsung sampai dengan kira-kira dua puluh tahun yang lalu, ancaman kekerasan antara dua negara sangatlah nyata.


di Paju, aku berkeliling ke beberapa tempat, tapi terutama dua area, Heyri Art Village dan Paju Bookcity. yang pertama adalah desa kecil yang dibangun bersama-sama oleh para pemilik lahan dan gedung, sebagai tempat kegiatan berkesenian. selain beberapa museum kecil, ada sejumlah studio, tempat workshop seni, galeri, dan ruang residensi. di sana-sini juga kita bisa melihat restoran, kafe tempat bermain anak-anak dan toko-toko yang artistik. hampir semua bangunan di sini bergaya modern dan minimalistik, menggunakan material seperti beton telanjang, pelapis kayu, atau lempengan besi di luar bangunannya, dan banyak dipengaruhi arsitek ternama di masa 90-an, misalnya Tadao Ando.

sementara Paju Bookcity, sesuai namanya --merupakan kawasan industri terpadu dalam bidang buku dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. selain perusahaan penerbitan (publishing company), di area ini terdapat juga perusahaan kertas, percetakan, perusahaan desain serta usaha transportasi dan distribusi buku. yang menarik sebetulnya karena untuk membangun Paju Bookcity, para inisiatornya memerlukan waktu perencanaan 10 tahun untuk memastikan bahwa setiap bangunan sesuai dengan zona yang dibuat. yang perlu ketenangan (publishing, desain) dibuat lebih mendekati gunung dan ada di kawasan 'dalam". Sementara yang lebih riuh dan perlu banyak akses (percetakan, distribusi) dibangun di kawasan 'luar'. perencanaan itu juga dibuat untuk menetapkan berapa jumlah lantai maksimal yang bisa dibangun (empat), dengan lantai dasar dibuat terbuka untuk publik (berisi perpustakaan, ruang pamer dan kafe) serta pembangunan yang menekankan penggunaan material yang mudah ditemukan, sehingga perawatannya lebih mudah dan lebih murah.

baik Heyri Art Village maupun Paju Bookcity menekankan pada konsep urban planning yang baik dan ramah lingkungan. para pemilik gedung menyepakati berapa persen area yang dapat digunakan untuk bangunan, dan berapa persen yang dibiarkan menjadi area terbuka hijau. untuk Heyri dan Bookcity, kawasan hijau dan terbuka ini juga penting, karena dapat digunakan sebagai tempat untuk meletakkan karya seni instalasi atau karya trimatra luar ruangan. sungai-sungai terjaga kebersihannya, dan ada area untuk taman dan gerumbul pepohonan dilengkapi bangku-bangku kayu dan besi, yang bisa dimanfaatkan untuk duduk-duduk dan bersantai, atau makan siang bersama.


tentu saja apa yang kulihat di Heyri dan Bookcity adalah kelanjutan dari sejarah kebangkitan Korea Selatan sejak berakhirnya PD II dan Perang Korea. sejarah mencatat bahwa bangsa Korea sudah mendiami Semenanjung (Korea) sejak 5000 tahun yang lalu, dan hingga kini mereka masih tinggal di tempat yang sama, dan kebudayaannya bersambung tanpa putus. ini berbeda dengan, misalnya --bangsa Mesir yang juga mendiami wilayah yang sama pada kurun waktu yang berdekatan, tetapi saat ini kebudayaannya terputus dengan kebudayaan Mesir Kuno. dua diantara beberapa museum di Heyri Art Village yang aku datangi adalah Museum Sejarah Korea Modern dan Museum Perhiasan Batu dan Giok. di museum yang kedua, aku melihat bukti-bukti kebudayaan dan peradaban Korea yang tinggi, terutama jika dilihat dari desain dan teknik yang rumit dalam pembuatan berbagai simbol dan stempel kerajaan. kita bisa melihat bahwa pemerintahan dinasti Joseon (1392-1910) memang merupakan masa kejayaan bangsa Korea yang panjang dan penting. sementara di museum yang pertama, aku melihat bagaimana bangsa Korea dengan kompak berjuang bersama untuk bangkit dari kemiskinan dan kehancuran pasca Perang Korea.

mengunjungi Museum Sejarah Korea Modern ini seperti kembali ke masa lalu. aku seperti bisa mengalami kembali suasana Seoul pada 50 atau 60 tahun yang lalu, ketika suasana kota belum menjadi sangat modern dan mengalami westernisasi yang hebat. museum ini disusun semirip mungkin dengan suasana permukiman padat pada tahun 60 dan 70-an, lengkap dengan bunyi-bunyian para pedagang keliling dan musik dari masa lampau, nuansa, bahkan aroma saat itu. para pengunjung dapat kembali ke masa lalu, mengintip ke dalam rumah-rumah dan tempat-tempat yang umum ada di jalanan di masa itu; misalnya: penjahit, penjual beras, warung makan, penjual produk-produk impor, dan lain sebagainya. ini adalah masa ketika bangsa Korea masih terjerat dalam kemiskinan. aku sudah membaca di berbagai literatur tentang bagaimana bangsa Korea bangkit, membangun dan mencapai kemajuan dalam waktu 30-40 tahun. dari museum ini aku mendapat gambaran yang cukup detil tentang bagaimana masa sebelum kebangkitan itu.

setelah berhasil mengatasi kemiskinan bersama, yang dilakukan bangsa Korea adalah mengejar industrialisasi, agar bisa menjadi negara maju. tahapan ini sebetulnya juga dipicu oleh permusuhan dan persaingan abadi dengan Jepang. maka kerja keras untuk mengejar berbagai ketinggalan dilakukan agar bangsa Korea bisa berdiri sejajar dengan bangsa Jepang. hasilnya, seperti kita lihat, tumbuhnya berbagai industri di Korea, mulai dari produk elektronik, telepon genggam, sampai mobil yang memicu juga industrialisasi di bidang yang lain, seperti makanan dan kosmetik. hal-hal yang makin banyak kita temukan di pasaran sekarang ini, dan semuanya buatan Korea. kelanjutan dari tahapan ini adalah gelombang penyebaran budaya pop Korea, mulai dari serial drama di TV, film hingga musik. saat ini, bangsa Korea sudah sampai di tahapan lebih lanjut dari kebangkitan itu, adalah dengan menjadi yang terdepan dalam bidang seni dan desain, sehingga banyak didirikan proyek-proyek ambisius untuk menunjukkan posisi dalam hal tersebut.

proyek-proyek inilah yang bikin aku terbengong-bengong setelah tiba di Seoul. salah satu diantaranya adalah Dongdaemun Design Plaza (DDP) yang dirancang sebagai pusat desain berkelas dunia. arsiteknya adalah Ziha Hadid, perempuan berdarah Iran yang kini menetap dan bekerja di London. bangunannya keliatan canggih dan memang canggih banget. huhuhuhu! aku jadi bengong sambil iri. karena semuanya dirancang dengan bagus dan mengedepankan akal sehat supaya jadi bangunan yang nyaman digunakan sekaligus hemat energi. ada material khusus yang digunakan di langit-langit lorong dan ruangan-ruangan di dalamnya, yang bersifat menyerap gaung. sehingga akustik bangunan ini di titik manapun tetap bagus. udah gitu, seluruh bangunan tidak menggunakan AC. tapi justru ventilasinya dibuat di lantai, dengan mengalirkan udara luar dari bawah, setelah melalui berbagai filter. cara ini, kalo nggak salah baca, mirip dengan proses aliran udara di dalam rumah rayap. dengan cara ini, berapapun suhu di luar gedung DDP saat itu, suhu di dalam ruangan akan berkisar 22-24˚C



dan gedung ini bukan hanya satu-satunya proyek yang mengagumkan yang bisa kita lihat di seantero Seoul. ada gedung perpustakaan yang baru dan futuristik, seperti pesawat ruang angkasa raksasa yang tiba-tiba hinggap di tengah kota Seoul, dan memutuskan pasang jangkar nggak jauh dari gedung balai kota yang bergaya arsitektur Korea tradisional. kontras antara kuil dan istana berusia ratusan tahun dan bangunan ultra-modern bisa ditemui di berbagai penjuru kota, memberi keunikan sendiri. begitu banyak lapisan kehidupan yang tetap dipertahankan, meskipun sudha berbungkus penampilan dan desain modern. selain DDP, juga ada MMCA (Museum of Modern and Contemporary Art) yang ingin jadi yang terdepan dalam menampilkan seni rupa internasional di asia. juga ada Seoul Arts Centre, yang melakukan hal serupa untuk berbagai seni pertunjukan, sekaligus membawa seniman-seniman ternama untuk berpameran di Korea.

sampai sekarang kekagumanku belum habis.

Tuesday, June 03, 2014

I am a Mozillian

My late mother in law told me this story:

"When I was 12 or 13 –this was in the 50's—my dad worked in the vicinity of the Presidential Palace. So we had a special pass, that we could use to go to the Palace through the back door. This was during President Soekarno's reign. One time, when I was there, in the Palace's backyard after dropping some snacks my mom had sent for the President's afternoon tea, he saw me and waved me to come closer. He looked at me and asked:
"How old are you? Are you in school?"
"I'm 12, I'm in junior high, first year"
He looked at me intently, and said something I never forget to this day
"You're so lucky because you can go to school. Many kids your age can't, because they don't have enough. Once you finish your school, please share your knowledge with everyone from Sabang to Merauke. They're all your brothers and sisters"


The story sticks. She told me "I think the memory of that conversation assured me to be what I am today." As a matter of fact, she was an activist who traveled tirelessly all over Indonesia, to the most remote area, to promote various issues such as prenatal and postnatal care for mothers and newborns, as well as reproductive health until the end of her life.

Until today, I think there are still many people living with limited resources in Indonesia, something that prevent them from pursuing higher education. Not only because of financial reasons, but also because they lack access to modern facilities, new books, and internet. I see the web as an unlimited resource for everyone.

I always have this 'itch' in me to do something more for the community, and it's been my fuel in activism and working with community-based organisations. And when I heard the story, I was convinced to share what I have with others. To stand for a big cause that can be spread and shared with many people from different walks of life.

That was how I started to become a Mozillian in 2011.
Because it is a cause, a community, a foundation and a corporation built to provide an open web for everyone. Where people can contribute all they have and all they can, as well as using all of those shared resources for good reasons. Because Mozilla believes in doing good, and believes in privacy when you are using the web.

This year, I pledged a bigger commitment with Mozilla by becoming a Mozilla Reps. I was approved as one of Mozilla Reps in Indonesia on Mozilla's birthday, March 31st. Such an auspicious day to start doing more and giving more for the community. I want to become Reps because I am passionate about community and using community-based organisation to make changes. In doing so, I started my Mozilla Reps program by engaging with students from vocational schools in Indonesia.

Internet users in Indonesia grow rapidly every year. And for the past 10 years, I saw a phenomenon of how Indonesian youngsters have huge interest in the Internet and its technology. Many of them started this passion at the very young age, by enrolling to vocational high schools, and majoring in Computer Engineering (combined with Network or Software pathway, or both). However, many of these schools—especially the ones in small cities, lack access and information to enrich their education. I see education and the Internet as their hope and means to bridge the gap between their living situations and the outside world.

Working with students in different areas in Indonesia is building a connection to the future. I believe that this new generation of technology savvy youngsters possess the skill required to create the next Indonesian world-class IT professionals.

So if you see me and other ReMo traveling to different islands in Indonesia in the coming years, bringing Mozilla projects to students from Sumatera to Papua, you know that we're sharing our knowledge and expertise. That I am working with communities from Sabang to Merauke because I am a Mozillian and they are all my brothers and sisters.

Friday, April 11, 2014

kota yang bisa kau sentuh


In New York!
Concrete jungle where dreams are made of
There's nothing you can't do
Now you're in New York!
These streets will make you feel brand new
Big lights will inspire you

--Empire State of Mind, Alicia Keys' part

lagu ini seperti angin yang berhembus di mana-mana menjelang keberangkatanku ke New York. aku mendengarnya diputar di radio saat naik taksi, di mal-mal, di radio dalam mobil bapak, jadi soundtrack episode tertentu serial yang diputar di TV kabel. seperti merayakan pertemuanku yang pertama dengan kota yang untuk seterusnya akan punya tempat khusus dalam hatiku.

tapi setelah aku sampai, barulah benar-benar kumengerti arti dari lagu itu. terutama bagian yang menegaskan bahwa semuanya mungkin. tak ada yang mustahil di New York, dan tiap hari terasa baru. baik hidup maupun kotamu.

karena setiap bagian kota yang besar menjulang dan melingkupi langkah-langkahmu itu bisa disentuh dengan mudah. tiap gedung tinggi, tiap bangunan megah dan luas, semuanya terasa dapat dijangkau, diraih. kota ini ada dalam genggaman kita karena tiap permukaannya bisa diraba, dan karenanya kita percaya bahwa semua mungkin.

aku tinggal di Midtown, kawasan yang riuh rendah dan sibuk tanpa kecuali, sepanjang waktu. suara-suara sudah dimulai pukul 4 pagi ketika truk-truk pengangkut sampah lewat, maju mundur membersihkan tumpukan plastik berisi sampah berbagai jenis. lalu kicau burung terdengar ramai, dan mobil yang lalu-lalang makin bertambah seiring naiknya matahari. kalau jendela apartemenku di lantai 8 kubuka, sayup-sayup bisa kudengar suara 'klik-klak' sepatu hi-heels, beradu dengan trotoar yang menghubungkan 1st dan 2nd Avenue. masih banyak yang memakai sepatu bertumit tinggi di sini. meskipun, sungguh! susah banget jalan kaki kesana kemari dengan tumit setinggi lebih dari 5cm!

dan jalan-jalan di Manhattan yang tampak selalu berubah, memang membuat hari-hari terasa baru. aku datang di awal September, ketika semua toko memajang diskon khusus Labor Day. Tak lama kemudian, kartu-kartu ucapan serta hadiah mulai disusun untuk menyambut Halloween, yang terasa semakin intensif saat Oktober menjelang. dua minggu sebelum akhir bulan, sudah ada tanda-tanda kedatangan para arwah di toko-toko, restoran, dan rumah-rumah. sarang labar-laba, lentera labu, hantu-hantuan yang mengintip dari balik penjuru, dan banjir kostum di jalanan. karena meskipun kamu berkostum Wonder Woman, dalam suhu 7 atau 10˚C kamu tetap harus jalan kaki ke stasiun subway.

tak lupa kemeriahan Columbus Day, Halloween, Thanksgiving yang tahun lalu berbarengan dengan Hannukah dilanjutkan oleh Black Friday, Cyber Monday, satu minggu penuh untuk belanja sebelum Natal, lalu seminggu lagi untuk merayakan Natal dan Tahun Baru. rasanya hampir setiap minggu aku menemukan ada yang berubah di tiap sudut jalan. ada alasan lain untuk menoleh, untuk membeli, berpesta, berfoto-foto dan menjadi turis di kotamu sendiri. tidakkah itu terdengar baru?

mungkin bentuk gedung-gedung itu masih akan sama untuk waktu yang lama. tapi bahkan rona hitam dalam mantel-mantel yang dipakai semua orang setelah Halloween, bisa tampak berbeda setiap harinya. there are 50 shades of black, afterall!



Thursday, April 10, 2014

squirrels in the park

tiba-tiba aku teringat pada tupai-tupai di New York. yang berkeliaran bebas di taman dan seolah-olah jinak, mendekati manusia-manusia yang sedang menikmati taman yang tenang, angin sepoi dan sinar matahari yang hangat saat cuaca sedang baik.

di New York aku menjumpai mereka di taman-taman, dalam berbagai warna. yang satu ini, tupai bertubuh kecoklatan dengan ekor mekar berwarna kelabu muda. sebagian yang lain berwarna cokelat sedikit lebih gelap dan ekornya kemerahan. ada pula yang seluruh tubuhnya berwarna kelabu.

jika tak sedang ingin bermain-main di dahan pohon, mereka akan turun ke rerumputan yang menghampar. seperti sedang berada di sebuah pertunjukan, tupai-tupai itu akan berlompatan, lalu seperti saling memberi isyarat dengan tupai lainnya, menegakkan badan, mengamati sekeliling, lalu sibuk sendiri lagi.

tupai yang satu ini sedang menegakkan badan dan memandang waspada ke arah orang-orang di Central Park waktu aku memotretnya, di suatu hari Selasa yang sejuk, tak lama setelah aku sampai di New York. 

yang menurutku istimewa adalah tupai-tupai di Fort Tryon Park, taman di sekitar kawasan Washington Heights dan Hudson Heights. dari ujung kepala sampai ujung ekor, warnanya hitam kelam. warna matanya yang juga hitam tampak berkilauan. selain di area itu, aku tak menemukan lagi tupai-tupai berwarna hitam di tempat lain. meskipun ayahnya Rod --keluarga yang mengundangku merayakan Thanksgiving di Philadelphia--bilang, di daerah Bryn Mawr di pinggiran kota Philadelphia itu, juga ada banyak tupai hitam.

apa ada yang pernah melihat tupai berwarna hitam legam di Indonesia?

Friday, March 07, 2014

kehilangan


tadi pagi mendadak aku tertarik sama obrolan teman yang animator di salah satu perusahaan swasta di kota ini. dia mengeluhkan hilangnya satu software yang sering dia gunakan: xsi. dia bilang, teknologi software ini memang paling maju, kalau dibandingkan dengan maya atau 3ds max. dua software yang terakhir ini dimiliki oleh autodesk. 

si teman animator cerita kalo autodesk lalu membeli xsi. tak lama kemudian, xsi mulai dipreteli fitur-fiturnya, dan diberikan sebagai bonus, untuk pembelian maya atau 3ds max. dan akhirnya, keluar pengumuman bahwa xsi tidak akan mengeluarkan update lagi. supaya aku paham, si animator ini bilang "xsi dimatikan"

aku berkomentar bahwa kalau dua software lainnya kemudian ditempeli fitur-fitur xsi, mestinya nggak jadi masalah. tapi temanku bilang, tetap lain. karena tiga softwate ini ibarat tiga anak yang kepribadiannya lain-lain. si anak yang tadinya di luar rumah diadopsi, lalu bajunya dilucuti dan diberikan ke dua anak yang lainnya. setelah itu, si anak angkat nggak dikasih makan. tak lama kemudian, diracun sekalian. 

sampai di sini aku mulai menangkap penghancuran yang diceritakan temanku. konsepnya mirip sama apa yang dilakukan Richard Gere dalam Pretty Woman untuk perusahaan-perusahaan yang dibelinya. dipreteli, lalu dipecah jadi kecil-kecil. mungkin kita harus mengirim Julia Roberts untuk menyelamatkan xsi!

tapi rasa kehilangan itu, aku bisa memahaminya. kehilangan yang muncul karena ikatan kita yang sulit dijelaskan pada benda-benda mati. barangkali benar bahwa aku lebih sedih mendengar Michael Jackson meninggal, daripada ketika baju yang aku suka ketumpahan bleach di tukang laundry dan rusak selamanya. tapi toh aku tetap punya ikatan-ikatan tertentu dengan benda-benda milikku, yang mengelilingiku, dan ketika kubawa-bawa bisa membuatku merasa betah, di manapun aku berada. 

aku ingat suatu ketika selama berminggu-minggu aku merasa salah kostum karena lipstik bodyshop no.14 yang aku sudah kupakai bertahun-tahun mendadak lenyap dari peredaran. aku sempat membeli dua lipstik lain selama rentang waktu itu. tapi rasanya masih nggak benar juga. tapi kenapa kehilangan-kehilangan itu begitu mengganggu? sementara benda-benda mati adalah sesuatu yang mestinya mudah digantikan. 

barangkali karena di bawah sadar kita, setiap hari kita menyiapkan diri untuk menghadapi kehilangan paripurna yang tak bisa kita sangkal, dan tak bisa kita lawan. kehilangan yang tak dapat kita kendalikan. kematian orang-orang yang penting untuk kita. di sekitar kita. 

sementara benda-benda itu, yang kita kendalikan dan kuasai sepenuhnya, dapat kita perkirakan kepergiannya. rata-rata usia komputerku 5 tahun. telepon genggam sedikit lebih cepat kadaluwarsanya; 3 tahun sudah kuganti. tapi ketika menghadapi kehilangan-kehilangan yang tak kurencanakan, aku masih gagap. dan ketergantungan pada benda-benda mati itu juga, kurasa, yang membuatku akan merasa nyaman tinggal di suatu tempat baru. selama aku dikelilingi benda-benda milikku. 

bagaimana denganmu?
kehilangan benda apa yang menyesakkan dadamu?

Monday, July 08, 2013

pelajaran dari Eko Nugroho

6 Juli 2013, aku pergi ke Dia-lo-gue di Kemang untuk hari terakhir pameran Postcard Revolution #3-nya DGTMB, di mana Eko Nugroho mengundang siapapun mengirim karya seukuran postcard lalu memamerkannya berkeliling.

kemarin adalah hari terakhir acara pameran itu dan Eko datang untuk artist talk, ia bicara tentang karyanya dan mempresentasikan slide show yang berisi pameran-pameran yang pernah dibuatnya, karya-karya yang pernah dipamerkannya, dan proyek-proyek yang pernah ia buat dan menurutnya menarik. ia mulai misalnya dengan pameran tunggalnya di Cemeti Art House tahun 2002, yang jadi awal karir kesenimanannya, yang kemudian memberinya kesempatan untuk melakukan residensi di berbagai negara, juga melakukan proyek-proyek yang menarik. termasuk proyeknya dengan Louis Vuitton.

proyek dengan Louis Vuitton itu: membuat karya yang kemudian dijadikan desain untuk syal edisi khusus yang akan dipasarkan secara internasional mulai Juli ini. proyek semacam ini memang bukan hal yang baru buat LV, sebelumnya mereka pernah melakukan kolaborasi serupa dengan perupa internasional seperti Takashi Murakami dan Yayoi Kusama. jadi terasa lebih spesial sebetulnya, karena tidak banyak seniman yang ditawari kesempatan semacam ini, dan Eko adalah seniman Indonesia pertama mendapatkannya.

setelah artist talk, beberapa orang --termasuk aku, duduk semeja dengannya dan ngobrol. sebelum akhirnya pembicaraan diambil alih oleh dua orang yang mengaku jurnalis dan ingin membuat tulisan tentang Eko Nugroho. aku mendengarkan pertanyaan-pertanyaan mereka, dan mengamati bagaimana Eko dengan sabar dan menyeluruh menjawab semua pertanyaan itu datu demi satu.

salah satu pertanyaannya adalah; apa saran yang akan Eko berikan kepada seniman muda yang sedang memulai karirnya. jawaban pertanyaan itu membuatku tertegun.
Eko bilang, ada dua hal yang bisa dia sarankan. pertama tetap fokus pada tujuan dan tetap melakukan apa yang ingin dilakukan. ia menambahkan bahwa melakukan hal ini di Jakarta sama sekali tidak mudah. di kota ini, orang harus punya pekerjaan untuk bisa bertahan hidup, karena semua serba mahal. dan waktu berjalan lebih cepat karena untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain perlu waktu lama. tapi kalau memang kita punya minat, punya passion untuk melakukan sesuatu, kita harus terus melakukannya. meluangkan 20 persen waktu kita untuk melakukan hal yang kita minati. lalu mengumpulkannya pelan-pelan, misalnya tetap melukis sampai karya terkumpul lalu bisa mulai mengadakan pameran. karena seni perlu ditunjukkan pada publik. untuk melihat penerimaan publik dan mereview perkembangan karya yang kita buat.

aku jadi teringat pada tulisan-tulisanku, blog ini, dan bagaimana setelah mulai tinggal di Jakarta aku makin jarang menulis. aku meredup dan kehilangan produktivitasku yang biasa karena terlalu sibuk dengan hal-hal rutin di masa kini sehingga hampir kehilangan hal yang paling aku minati; menulis.
sampai saat ini aku masih sedikit tertegun dan memikirkannya. aku rasa aku harus melakukan sesuatu dan mengambil keputusan yang penting soal ini.

terima kasih, Eko Nugroho.

Tuesday, April 09, 2013

the bathroom


sebelum akhirnya memutuskan untuk mengecat dinding kamar mandi menjadi seperti gambar di atas, tampaknya si pemilik penginapan sudah melakukan survei di seluruh kota Jogja untuk memastikan bahwa belum ada yang terpikir untuk mengecat dinding kamar mandinya seperti ini. dapat pula diduga bahwa ada dua faktor yang menyebabkan akhirnya motif ini yang dipilih oleh si seniman dan pemilik kamar mandi. pertama, keinginan membuat motif batik baru, yang selama ini belum pernah dibuat. tentu saja hal ini dipengaruhi kenyataan bahwa Jogja adalah salah satu pusat batik di Indonesia. kedua, minat yang tinggi terhadap lukisan abstrak, karena kecenderungannya untuk jadi klasik dan tak lekang oleh waktu. lukisan abstrak akan selalu trendi sepanjang masa, tak kenal musim dan cuaca. sekali dicat begini, dinding ini tak perlu diganti-ganti lagi catnya tiap menjelang hari raya. 

untuk memastikan bahwa kualitas-kualitas yang disebutkan di atas terjaga, sang seniman memastikan bahwa semua palet warna, baik primer, sekunder maupun tersier digunakan. mereka yang melihat lukisan ini bisa menemukan apapun warna kesukaan mereka di dalamnya. hal ini selaras dengan posisinya yang ditempatkan di kamar mandi, di hotel pula! 
keberadaan karya ini berarti siapa pun dapat diterima dan diakomodir dalam ruangan yang telah didekorasi dengan maksimal ini. tidak ada warna yang ditolak, begitu pun tidak ada tamu atau penikmat lukisan yang dilarang ikut menikmati karya ini. egaliter dan mencerminkan keterbukaan tanpa disekat batas-batas latar belakang apapun. 

bagi yang penasaran dan ingin ikut menikmati karya ini, silakan datang ke Jl. Suryodiningratan, Yogyakarta. 

---catatan ini merupakan pesanan si Indie

Friday, April 05, 2013

dua sen soal kereta ekonomi

PT. KAI berencana menghapuskan Kereta Ekonomi dan mengganti semua armada kereta api yang melayani penumpang di Jabodetabek dengan Kereta Rel Listrik atau yang selama ini dikenal sebagai Commuter Line. dan seperti sudah bisa diduga, protes dan sanggahan atas rencana ini membanjir. argumen utama para pemrotes adalah karena Kereta Ekonomi masih banyak diperlukan oleh kalangan bawah, yang tidak mampu. menghapuskan layanan Kereta Ekonomi dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil, pada masyarakat bawah.

buat yang belum pernah naik Kereta Ekonomi Jabodetabek, harga karcisnya adalah 1000 rupiah. dengan membayar harga ini, orang yang tinggal di Jakarta bisa pergi ke Depok, Bogor, Tangerang atau Bekasi, dan sebaliknya. perjalanan yang makan waktu 2-3 jam dengan mobil bisa ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam saja. betapa murah!

dengan membayar 1000 rupiah, orang bisa naik kereta diesel yang tua, yang sudah lama sekali beroperasi dan sering rusak karena renta, sesuai umurnya. kereta-kereta ini pintunya nggak bisa ditutup lagi. sebagian karena engselnya karatan, sebagian karena macet dan rusak, sebagian lagi karena memang sebaiknya nggak ditutup. kenapa?

karena di dalam kereta suasananya kayak ketel uap. jendela nggak bisa dibuka. yang terbuka nggak bisa ditutup karena kacanya pecah. kipas angin tinggal sisa kerangkengnya aja. begitu pula dengan lampu. banyak orang yang ogah berdesak-desakan di dalam kereta ini. mereka lebih memilih berkerumun di dekat pintu, walaupun di bagian dalam belum terlalu penuh. paling tidak dekat pintu, masih ada sekelebat angin yang bisa mereka rasakan.
buat mereka yang mau lebih kena angin lagi, akan memilih naik ke atap gerbong kereta. apa mereka nggak takut jatuh lalu mati? ah, mati itu urusan Tuhan. pemerintah pun nggak boleh mengganggu kegiatan menumpang kereta di atap gerbong. suatu kali PT. KAI memasang bandul-bandul besar yang mencegah orang naik ke atap kereta. mereka yang menentang bilang upaya ini sebagai melanggar hak asasi penumpang yang ingin duduk di atap.

apakah mereka membeli karcis? sebagian besar tidak. buat apa beli karcis kalo bisa gratisan 'kan?

berhubung keadaannya begini, makin lama Kereta Ekonomi makin nggak karuan bentuk dan rupanya. makin sering rusak, berarti biaya perawatannya makin mahal. tapi karena tiketnya hanya 1000 rupiah dan banyak yang nggak bayar, biaya operasional yang harus ditanggung PT. KAI tidak sebanding dengan pemasukan yang didapatkan dari karcis. kalau harga karcis dinaikkan, tentu nggak sebanding pelayanan, bentuk dan rupa kereta yang didapatkan dengan harga karcis yang harus dibayar.

sebetulnya, untuk perjalanan sejauh itu, harga karcis 1000 rupiah masuk akal nggak sih?
menurutku kok nggak, ya? bandingkan dengan ongkos naik angkot atau bis kota. sangat tak sebanding. tapi kereta sudah terlanjur lengket dengan cap murah dan transportasi rakyat. walaupun harga karcisnya udah keterlaluan murah, dinaikkan pun ongkosnya tak boleh. tak semua rakyat mampu dan mau membayar!
dan orang jadi protes lebih karena mereka bisa protes. siapa yang pernah protes atas tarif ojek yang semena-mena dan lebih mahal daripada tarif taksi? ada yang pernah protes ke Gedung DPR dan Bundaran HI karena ini?

rencana PT. KAI adalah mengganti gerbong-gerbong Kereta Ekonomi dengan gerbong baru yang ber-AC. yang bersih, lebih aman dan nggak bolak-balik rusak. yang pintunya bisa dibuka, yang toiletnya berfungsi dan bersih. konsekuensinya? harga karcis kereta akan naik, menyamai harga karcis Commuter Line saat ini. tapi ya gitu, banyak yang protes.

menurutku, kasus ini adalah satu saja dari sekian banyak kasus yang mirip. bahwa setiap kali, kita diingatkan untuk membela kepentingan rakyat, kepentingan masyarakat miskin, kepentingan orang yang tidak mampu, kelas bawah.
yang mau kutanyakan sekarang, siapa sih rakyat miskin itu? dan apakah mereka benar-benar perlu dibela?

sampai ketika menulis postingan ini, aku masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin orang lupa, bahwa ada biaya operasional dan maintenance yang harus dibayar. kalau bahasa financial planner, mereka akan bilang "angka nggak akan bohong"

makanya menurutku, yang paling masuk akal adalah; pemerintah mengurangi subsidi BBM dan mengalihkannya untuk membangun infrastruktur transportasi massal, termasuk perbaikan, perawatan rel kereta dan gerbong kereta api, serta membayar sebagian biaya tiket kereta, supaya masih tetap ada Kelas Ekonomi. nah, harga tiket untuk Kelas Ekonomi bisa tetap lebih murah, tapi harus lebih mahal daripada sekarang, katakan 4 atau 5000, jadi lebih memper, gitu.
terakhir, dan ini yang paling penting: yang sebetulnya mampu bayar tiket KRL 8000, jangan pura-pura nggak mampu. gengsi, dong!



Monday, April 01, 2013

notes from the kitchen

punya dapur itu mengubah banyak hal.
memiliki dapur berarti memiliki pusat kehidupan dalam sebuah rumah. menurutku, segala hal yang terjadi di dalam rumah sangat ditentukan oleh dapurnya. salah satu yang paling membekas adalah serial The Cosby Show. cerita keluarga Afro Amerika kaya: The Huxtable, yang bertahun-tahun ditampilkan di televisi. aku tumbuh menonton cerita yang menampilkan dinamika keluarga panutan Amerika itu, yang nyaris setiap episodenya diawali dari adegan-adegan di dapur. dalam dapur keluarga ini, berbagai isu dibahas. persoalan-persoalan sekolah, keluarga, sampai hal-hal berat seperti disleksia, bahkan kehamilan remaja.

di rumah nenekku, dapur juga jadi pusat kehidupan rumah.
segera setelah bangun pagi, semua penghuni rumah akan menuju dapur untuk menghangatkan badan di tungku yang telah mengepulkan asap sejak sebelum subuh. nenekku pasti sudah menjerang air dan menanak nasi. nasi aron yang dipindahkan dari dalam panci menuju kerucut anyaman bambu sudah mengepulkan kabut tipis yang naik ke bubungan atap. dari seberkas cahaya matahari yang menyela genteng kaca dan jatuh ke samping tungku, aku bisa melihat asap dandang yang meliuk-liuk seperti menari.

dapur itu selalu remang sepanjang hari, seperti dapur-dapur lain di desa pada masa kecilku.
lantainya tanah yang gelap pekat menghitam, dan jadi licin basah kalau ada air yang tumpah. di bagian kanan setelah pintu masuk, ada amben bambu yang buatku luaaaas banget. sehingga kita masih bisa duduk walaupun ada beberapa karung berisi gabah ditumpukkan di situ. selain dipakai duduk-duduk saat memarut kelapa, memetik dedaunan untuk sayur dan mengiris bumbu, kadang-kadang kalo ngantuk berat, kakekku sering leyeh-leyeh di situ. sambil menikmati angin yang bertiup dari jendela di atasnya.

dari langi-langit di atas amben ada para-para bambu tempat nenekku menyimpan segala perkakas masak yang besar, menggantungkan keranjang besi berisi telur dan bahan-bahan kering. kadang-kadang ada daun kelapa yang setengah kering dijajarkan di para-para itu juga. setelah daunnya kering benar, tulang daunnya diambil untuk jadi lidi. biasanya itu berarti sate ayam, atau sapu lidi akan dibikin. aku lebih suka yang pertama.

di ujung ruangan di seberang pintu masuk, ada pintu lain yang mengarah ke perbatasan halaman tetangga. dari situ biasanya muncul bude atau anak bude tetangga sebelah dengan segala keperluannya. pada masa kecilku, di desa kami semua orang adalah saudara. aku akan diundang makan di mana-mana kapanpun berjumpa. sayangnya setelah kami semua dewasa, tak ada yang ingat lagi pada hal itu, dan pelan-pelan kami menjadi tetangga, atau sekedar pernah ketemu saja.

dekat pintu belakang itu, diletakan dua gentong besar air, yang dipakai untuk mencuci piring. nyuci piring di sini agak repot. air harus dipindahkan ke baskom dulu. baskom pertama untuk membasahi piring supaya gampang disabuni, dan untuk bilasan pertama karena sabunnya masih terasa licin. baskom kedua berisi air bersih untuk membilas sampai piring terasa kesat. nenekku sangat efektif dan efisien soal air. aku sendiri lebih suka air yang mengalir saat mencuci piring.
ini salah satu hal yang tidak bisa kami jembatani hingga akhir hayat beliau.

di pojok kiri, ada ruangan lain yang lebih kecil.
aku sendiri tak begitu paham apa fungsi ruangan kecil ini saat dibuat. yang jelas, pada masa kecilku, ruangan ini berisi tumpukan karung gabah hasil panen dan ember-ember yang sangat terlarang untuk disentuh. ember-ember itu berisi telur-telur bebek dalam rendaman air garam dan balutan arang bergaram serta kulit padi. setelah dua atau tiga minggu, telur-telur itu akan dikeluarkan, dikukus dalam dandang sampai lamaaaaa, lalu semua orang akan kebagian telur asin yang enak.
telur asin yang kami makan adalah yang pecah atau retak saat dikukus. telur-telur yang bagus dan licin sempurna akan berangkat ke pasar bersama nenekku untuk dijual atau diantar ke pemesannya.

sebuah meja dan empat kursi kayu diletakkan di tengah ruangan di dekat tiang. kami makan bersama di dapur ini. kami menerima saudara dan teman dekat keluarga di meja makan di tengah dapur ini. aku menemani kakek buyutku ngopi dan menghisap rokok berbalut daun jagung dan beraroma kemenyan-nya di meja ini. bersama ubi atau pisang kukus.

dari dapur ini, aku mengalami banyak hal yang sampai kini masih lekat dalam ingatan.

aku belajar mencintai urap dengan bumbu kelapa muda parut yang tebal dan panjang yang rasanya gurih segar karena baru dipetik dari pohon. aku belajar mengulek sambal dengan cobek tanah liat dan ulekan kayu. aku tergila-gila pada sambal bawang putih dan cabe rawit yang pedas menggelora, yang dimakan bersama tempe goreng panas-panas dan nasi putih pulen mengepul.

aku menemukan bahwa untuk orang-orang dari gunung yang jadi buruh tani, yang penting adalah porsi nasi yang menggunung. lauknya nggak masalah. dan yang penting pedas!
itu kuketahui ketika nenekku membuat sayur santan berisi potongan tempe dan tahu dan daging ikan, yang diberi cabe rawit utuh kira-kira setengah kilogram. sayur itu akan dikirim ke sawah untuk makan siang para buruh tani, bersama beberapa bakul besar nasi.
bertahun-tahun kemudian aku baru paham, orang miskin terbiasa mematikan indra pengecap mereka dengan cabe. supaya mereka tetap merasa makan enak tanpa harus keluar banyak uang untuk bumbu dan bahan makanan yang rasanya istimewa.

dari dapur ini aku mengenal sayur bobor bayam dan kangkung. aku bertemu dengan daun katuk, lembayung atau daun kacang, kecipir, dan kembang turi. aku juga dikenalkan pada impun, semacam teri manis gurih yang biasanya dipepes atau dibuat bothok. gurihnya membuatku sekarang merindukannya.

dan di dapur ini, aku juga belajar bekerja sama dan hubungan yang setara.
kakekku setiap pagi memarut kelapa, memotong kayu bakar dan dahan kelapa, mengambil air, dan seringkali dari dapur aku melihatnya mencuci pakaian.

di kemudian hari aku mengetahui, di banyak rumah tangga, laki-laki tidak biasanya masuk dapur untuk mengerjakan urusan-urusan rumah. mereka tak boleh masuk dapur karena dianggap meruntuhkan kejantanan mereka. mereka akan membiarkan nenek, ibu, istri atau anak perempuan mereka menyelesaikan semua urusan, sementara mereka juga menambahi pekerjaan dengan perintah-perintah minta dilayani. yang juga merembet ke hal-hal lain di luar urusan dapur. yang membuat perempuan-perempuan dalam rumah tangga semacam itu jadi orang yang selalu dinomorduakan dan tak pernah jadi spesial.

aku selalu bersyukur karena dapur gelap hitam berjelaga itu memberiku kenangan dan bekal yang berbeda.


duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...