Thursday, October 29, 2015

postcard from the National Museum in Jakarta

I was visiting the National Museum last week, and I'm ashamed to say that albeit my 5 years staying in Jakarta, that was my first visit. I was there because of Jalur Rempah, an exhibition that struck me hard since the first time I stepped on the museum area. There were many people there. Most of them are middle class Jakartans like me, who complaints about traffic everyday, but using the comfortable cozy air-conditioned car whenever I get the chance. Middle classes who spend more time at the malls than in a museum with dusty displays, 5000 rupiah ticket, and the chance to devour thousands of artifacts, texts, documentations and objects that show the richness of my heritage.

I'm embarrassed because I realize that during my four months stay in New York, I have visited Museum of Modern Art a dozen time, and the other museums such as The New Museum, Whitney, MoMA PS1, The Met, Guggenheim, Jewish Museum, Brooklyn Museum and The American Museum of Natural History at least twice. But never to the National Museum in Jakarta, until last week.

JalurRempah started with one question that matters. "Why not Spice Route?"
I have been familiar with the Silk Road for years. To me, that name sounds so elegant and mysterious at the same time. Smooth and slippery, also unreachable at the same time. Just like high quality, pricey silk. But not until I visited the museum that day, I understand that the most traded, sought after commodity during the time of Silk Road was spices, not silk. On that day too, I learned that there are 188 spices in Indonesia, that the most important spices --that changes the face of this world-- are clove and nutmeg, and both, for many centuries are only grown in Indonesia, in Maluku, the island of spices. Those spices that I have taken for granted, but know nothing about.

For years, I have been complaining that the Indonesian museums do not look like the ones I visited abroad. In Singapore, Paris, Amsterdam, Zurich, Pittsburgh, Basel, Oslo, Stockholm, Chicago or Washington DC. The museums opening hours are weird and impossible if you are working in the office and not joining some sort of student field trip. That there are not enough information provided, no interesting display nor theme. That the toilets are dirty and smelly. That there must be no air conditioning and it will be hot! And above all, to be honest, I really don't know what's on.
So I complained but never came.

My visit to JalurRempah was the biggest slap in my face. It knocks down all of my snobbishness to the ground. The Museum Week and The Indonesian Museum Foundation did a great job promoting this exhibition and creating an easy to follow display with important facts and interesting information laid chronologically. Another thing that makes a difference is the public programs. Numerous programs for kids and adults are prepared and created for anyone willing to join. From what I see, this is one of the success keys for this exhibition. Those who come for the exhibition stay for a public program or two, and then curiously discover other things inside the museum. I believe many people, just like me, wandering inside the museum because of JalurRempah.

No, the toilets are not dirty nor smelly. Yes, the displays are dusty and has not been changed for years. Yes, there are no air conditioners. Yes, you have to find your own way among the dimly lit objects and limited information. Yes, mainly, there are no special exhibition with special curatorial process to follow. But come anyway! See the Indonesian museums and discover the wealth of our cultural treasure.

I learned so much from my first visit. I know you will too.

Sunday, September 13, 2015

This ain't a sentimental note

aku menulis ini sambil menonton Ally McBeal episode "Blowin in the Wind" karena masih belum bisa beranjak dari konser dua hari yang lalu. sebagian dariku masih berharap konsernya lebih spektakuler dan lebih mengesankan. sebagian lagi berusaha menerima kenyataan bahwa sudah dua puluh tahun berlalu dari laki-laki ganteng di dalam kepalaku yang berseru-seru
"all I got is my guitar, 
these chords and the truth. 
all I got is my guitar, 
and all I want, baby… you!"

dia masih ganteng. Jon Bon Jovi masih punya pesona saat menyanyi di panggung, membuatmu merasa mau memberikan segala-galanya. dengan senyum maut sama, yang mematikan; caranya mengerucutkan bibir yang bikin dia keliatan paling keren diantara 40,000 orang isi GBK Jumat lalu.

ada satu adegan dari Ally McBeal yang masih selalu aku ingat, waktu Victor Morrison menunduk dan Ally mendekatinya dari belakang, lalu mengendus bokongnya yang bagus, ketat-padat dan tampak menggemaskan saat diremas. aku masih ingat adegan itu seperti terjadi beberapa hari yang lalu, meskipun tiga belas tahun sudah lewat. banyak hal terjadi tahun itu, termasuk dirilisnya album Crush, yang menjembatani Bon Jovi dengan fans-nya yang lebih muda, yang mengenal mereka dengan lagu "It's My Life"

tampaknya aku yang lebih banyak berubah daripada Jon Bon Jovi. dia masih punya rumah di pinggir sungai di New Jersey, dengan keluarga yang sama, band yang sama. sementara aku sudah kehilangan sebagian besar perasaan mabuk kepayang dan terbuai itu. setiap kali mendengar lagunya, aku nggak lagi merasa dia sedang berbagi perasaan denganku. meskipun aku masih ingin memeluknya waktu dia bilang
"You know I need you like a poet needs the pain. 
And I would give anything, 
my blood my love, my life, 
if you were in these arms tonight"

dan membalas "you don't have to beg".

tapi di dalam hatiku, aku tahu setelah jejeritan di lapangan GBK sambil jingkrak-jingkrak, aku akan pulang ke pelukan Mahen sambil sibuk bercerita "baru sekali ini aku liat orang yang makin keringetan keliatan tambah ganteng, sayang. he's aging gracefully!"

memang sebagian lagunya nggak kukenal dengan baik lagi, karena aku berhenti beli album Bon Jovi setelah Lost Highway. meskipun kebetulan aku masih sepintas ngerti "Who Says You Can't Go Home" dan "Because We Can" tapi keduanya terasa lebih sebagai kenalan daripada teman akrab.
level hubungan yang jauh dengan "I'll Be There For You", "Never Say Goodbye" atau "Dry County"
bahkan wajah Jon yang mulai berkerut dan rambutnya yang kelabu juga tak kukenali. yang bikin dadaku tetap berdesir dengan cara yang sama adalah saat kamera menyorot bokongnya. saat dia membelakangi kami dan menandak-nandak, lalu bergoyang seirama gebukan drum Tico Torres, gitar Phil X, bass Hugh McDonald dan permainan keyboard David Bryan.

sepertinya aku harus menerima kenyataan bahwa sebuah era sudah berakhir, seiring perubahan musik dan jenis lagu yang terjadi. aku bukan lagi fans dengan cara dan kadar yang sama. meski posisi Bon Jovi, dan terutama posisi Jon Bon Jovi tetap tak tergantikan.
ia adalah laki-laki yang penting dalam hidupku, karena telah membantuku belajar bahasa Inggris di SMP. aku masih ingat keningku berkerut, membuka-buka kamus tebal sambil berusaha menerjemahkan frase seperti wayward son, atau memahami penggunaan ain't, kosakata yang nggak dikenal di kelas.

dan sesungguhnya, di satu sudut hatiku, aku merasa sedikit sendu, karena sepertinya, aku tak akan pernah bisa menonton konser Bon Jovi bersama Richie Sambora. pengalaman yang jika mungkin terjadi, rasanya akan luar biasa.

apa kamu masih menyukai band kesayanganmu saat remaja dengan cara yang sama?

Thursday, April 16, 2015

warung ibu belakang


sebelumnya ia berjualan sayur-mayur untuk penghuni kompleks di belakang kantor kami. beberapa tahun yang lalu, ia memutuskan untuk mengubah bisnisnya, dari sekedar menjual bahan mentah menjadi makanan siap saji. bukan, bukan fast food. tapi jadi warung makan yang menyediakan hidangan segar bagi orang-orang di sekitar.

aku biasa menyebutnya warung ibu belakang. saat waktu makan siang tiba, biasanya kami bergegas pergi ke sana bersama-sama. masakannya cukup enak, makanannya selalu baru, dan yang terutama, harganya mencengangkan. saking murahnya, awal-awal makan di situ aku selalu nggak percaya pada jumlah yang disebutkannya. jarang mencapai lima belas ribu rupiah, sudah dengan minuman. apakah ibu yang menyebut dirinya bude yati ini tidak khawatir tergerus inflasi? apakah ia tidak memiliki perencanaan keuangan dan business plan untuk warungnya? atau apakah ia sedang mengerjakan sebuah misi kemanusiaan untuk memastikan tidak ada orang yang kelaparan dalam radius 500 meter dari tempatnya berada?

ketika harga-harga mulai merambat naik akibat kenaikan BBM, aku mendapati bahwa dia juga ikut menaikkan harga. sedikit, tapi menenangkan. karena dengan demikian, ada jaminan bahwa dia akan terus berjualan selama keadaan memungkinkan, dan tak akan bangkrut dalam waktu dekat karena memberikan harga jauh di bawah daya beli pasar.

menu di warung ibu belakang cukup bervariasi, meskipun didasarkan pada genre masakan rumahan. sayur yang hampir selalu tersedia adalah sup sayuran atau sup kacang merah, sayur sambel goreng krecek yang mengandung kacang tolo, tahu dan tetelan dengan bumbu merah dan kuah santan, serta berbagai macam tumisan. selain tumis labu siam, juga cukup sering ada tumis kacang panjang, tumis toge, tumis kangkung, atau daun pepaya.

dalam kesempatan-kesempatan yang menyenangkan, kami akan menemukan lodeh terong, atau lodeh kluwih. ikan cuwe yang digoreng setengah matang lalu disiram sambal merona dengan potongan petai yang serius, ikan nila dimasak dengan cabai ijo dan oncom, ikan bandeng bakar atau masak pesmol adalah juga lauk yang sering kami temukan. pada hari lain, ada ayam bakar atau ayam opor atau ayam semur dengan kuah kecap yang sedap. setiap kali oncom dimasak dengan kemangi dan leunca muncul, biasanya sebagian akan kupindahkan ke piringku. sambal goreng kering berisi udang atau kentang dan hati adalah hidangan sehari-hari. selain itu biasanya selalu ada orek tempe, semur jengkol, rendang dan dendeng sapi, tahu goreng, telur asin, perkedel jagung, perkedel kentang, ikan kembung dan lele goreng serta ayam goreng lengkuas.

dua hal yang selalu kami tunggu-tunggu saat masih panas dan baru saja diangkat dari penggorengan adalah peyek udang segar dengan bagian tepung yang renyah dan udang nan gurih bertonjolan di berbagai penjuru. juga, tempe goreng yang dibumbu bawang putih dan garam. kami akan menyantapnya panas-panas dengan suka cita, diiringi sambal terasi ekstra pedas atau sambal kecap yang senantiasa terhidang di meja.

jadi kapan mau makan di warung ibu belakang bersamaku?


Wednesday, April 15, 2015

a notorious week

kalau ada ramalan bintang yang bilang: "minggu ini adalah saat anda dirundung kesialan berturut-turut. berhati-hati dan waspadalah" pasti aku nggak akan percaya. selama bertahun-tahun, aku terbiasa untuk percaya hanya pada peruntungan baik saja. jadi kalau ada kalimat-kalimat seperti "ada masalah keuangan" atau "cuaca kurang baik, menyebabkan anda sakit" aku akan menolaknya mentah-mentah.

tapi sayangnya, saat-saat kita ditimpa kemalangan memang benar-benar ada. dan dalam satu minggu, kemalangan itu bisa datang bertumpuk-tumpuk. seperti sedang dihinggapi penyakit sial.

awalnya, ketika aku ketinggalan pesawat.
seumur hidup, baru dua kali ini aku mengalaminya. dan dua-duanya di jakarta. dari semua kota di mana aku pernah terbang dari bandaranya, hanya di Jakarta aku selalu was-was dan khawatir ketinggalan pesawat setiap kali akan terbang dari bandara Soekarno-Hatta. dan hari itu, lalu lintas memang luar biasa macetnya. belakangan aku baru tahu bahwa kemacetan terjadi sejak sesaat setelah matahari terbit, sampai tengah malam. teman kantor bilang dia perlu 5 jam untuk pulang ke rumahnya hari itu. perjalanan yang biasanya ditempuh hanya dalam 45 menit sampai 1 jam saja.

tapi kesialan memang datang bertumpuk hari itu. nggak ada taksi tersedia dan jalanan depan kompleks sudah padat merayap. naik kereta ke pangkalan DAMRI dan kereta pun mengalami gangguan. sepanjang Jalan Raya Pasar Minggu sampai Pancoran, perlu waktu satu setengah jam sendiri. aku tiba di loket check-in tepat ketika pintu pesawat baru saja ditutup. karma selama bertahun-tahun mengalami keterlambatan pesawat ternyata tak terbayar hari itu. saat aku memerlukannya terlambat, pesawatku terbang tepat waktu, sesuai jadwal.

maka kesialan pertama hanya bisa ditebus dengan membeli tiket lagi. jangan tanya harganya. mahal. karena rupanya dua lembar tiket terakhir yang tersisa pada hari itu. semua penerbangan penuh. orang-orang bergegas pergi liburan.

kesialan kedua terjadi beberapa hari kemudian. di tengah kepadatan INACRAFT.
aku sudah datang di saat yang tepat. ketika orang sedang sibuk shalat Jumat dan makan siang. dengan sabar kukunjungi macam-macam stand. mencatat barang-barang yang menarik, dan seperti biasa, memegang barang-barang yang harganya paling mahal. seleraku masih bagus rupanya.

menjelang sore, aku kelaparan dan memutuskan makan dulu. lalu rencananya, pulang setelah selesai makan siang yang telat. tapi rencana tinggal rencana. setelah makan, aku melihat satu bagian di lobi utama yang belum aku lihat. jadi aku masuk lagi, memilih lagi, tertarik lagi. dan waktu berencana membeli sesuatu di salah satu stand, aku menyadari kalau dompetku hilang.
mungkin tertinggal di salah satu stand, tapi entah yang mana. mungkin diambil orang waktu secara tidak sadar kuletakkan di sebelah tanganku. yang jelas, dompet yang kusayang-sayang beserta kartu flazz limited edition DWP yang cakep itu, lenyap tak berbekas. lengkap dengan uang jajanku selama seminggu:(
#sedih

tapi ternyata itu pun masih belum cukup. dua hari kemudian, selepas tengah malam, waktu aku sedang enak-enaknya tidur, aku dibangunkan oleh rasa sakit yang luar biasa di perutku. tadinya kupikir ini mimpi aja, mimpi melahirkan bayi alien, mungkin. ternyata bukan. rupanya perutku unjuk rasa dan memaksaku untuk pergi ke kamar mandi. sekarang juga!

dengan mata pedas setengah terpejam, aku pergi ke kamar mandi dan menurutinya. membiarkan rasa sakit menyiksaku selama menit-menit yang panjang ketika unjuk rasa berlangsung, sampai akhinya kantuk sepenuhnya hilang. kurasa ini akibat bebek goreng dengan sambal luar biasa pedas sehari sebelumnya. menurutku enak, perutku tak setuju.

jam setengah tiga, setengah empat, sampai setengah lima. berkali-kali aku ke kamar mandi untuk memenuhi permintaan unjuk rasa, dan berkali-kali pula kantuk yang sudah sempat hinggap, terbang lagi. siyal. baru setengah enam pagi aku bisa tidur lagi. selama kira-kira sejam. *tarik-tarik selimut*

ketika minggu itu berakhir, aku harap minggu berikutnya --yaitu minggu ini-- akan lebih baik. cukuplah seminggu saja kesialan datang bertumpuk. dan biarkan aku hidup sehat, tenang, dan bahagia, setidaknya sampai saat tagihan kartu kredit datang minggu depan.

Sunday, January 11, 2015

si monokotil

kantor kami punya area terbuka yang cukup luas. selain parkiran yang tak seberapa besarnya dibandingkan dengan kapasitas gedung, kami juga punya halaman dengan pohon-pohon buah yang cukup bisa dibanggakan. pada masa-masa panen, kami bisa merasakan jamblang, nangka, sukun, mangga dan matoa dari kebun sendiri. di antara kebun, taman dengan kolam air jernih dan pohon-pohon itu, ada beberapa kucing liar bernaung.

mereka tidak mengganggu, cuma ikut berkeliaran di area-area terbuka, dan jadi penghuni tetap. ada satu yang warna bulunya belang kuning, sudah agak dewasa. kalau ternyata dia betina, mungkin sebentar lagi akan hamil di luar nikah dengan sesama kucing kampung lainnya. tapi mungkin juga, dia berhasil menarik perhatian kucing ras, supaya anak-anaknya nanti bisa naik pangkat dengan keturunan yang diperbaiki lewat percikan darah ningrat.

ada satu lagi yang warna bulunya belang hitam putih. badannya lebih kecil, mungkin lebih muda. dan kami ketahui kalau dia jantan. tapi kucing ini sakit. biji kemaluannya yang menggelantung di luar tampak memerah seperti strawberry. meradang. kami menduga dia terkena ambeien. beberapa kali kami membicarakannya saat sedang makan siang. dia kelihatan sengsara.

salah seorang di antara kami adalah penyayang binatang. di rumah, dia memelihara kucing dan anjing. keuntungan karena rumahnya punya halaman belakang yang cukup luas dan pasangannya tidak alergi pada bulu-buluan. buatku yang tinggal di gedung bertingkat, memelihara hewan piaraan apapun rasanya bukan ide bagus. teman kami yang penyayang binatang itu memutuskan untuk membawa si kucing berkelamin strawberry ke dokter hewan.

pada hari yang telah ditentukan, beberapa orang beramai-ramai berusaha menangkap kucing itu. dasar kucing liar, sekalinya ada manusia yang berusaha mendekat untuk menangkapnya, dia langsung kabur ketakutan. ketika pada akhirnya terpojok, ia terpaksa menyerah. tapi ketika ia akan dipindahkan ke dalam keranjang untuk dibawa ke dokter hewan, si kucing kabur. #drama.

selang sehari, si kucing berkelamin strawberry berhasil ditangkap dan dimasukkan ke dalam keranjang tertutup, lalu dibawa ke dokter hewan. kami dengar, dokter mendiagnosa bahwa ia tidak mengalami ambeien seperti yang kami duga sebelumnya, tapi ada peradangan di testisnya. dokter memutuskan untuk mengoperasinya, membabat habis kedua testisnya.

setelah operasi itu, selama seminggu ia harus pasrah berada dalam kerangkeng di dalam rawatan dokter hewan. tampaknya si kucing benci betul dengan kerangkeng, sehingga saat teman kami menjemputnya dari klinik, ia dengan suka rela melompat ke dalam keranjang yang seminggu sebelumnya membawanya ke klinik itu. langsung tahu bahwa ia akan dibawa pulang. sepanjang perjalanan, aku rasa kucing itu sudah jatuh cinta pada teman kami si penyayang binatang yang baik hati.


sekarang dia sudah kembali ke kantor kami. berkeliaran dengan bebas di alam terbuka, bisa main-main dekat pohon-pohonan dan minum air kolam yang jernih sesuka hati. setelah dioperasi, kami memanggilnya si Monokotil, singkatnya: Mono. dan sejak saat itu, dia jadi sayang dan jinak pada kami semua. selalu menggesek-gesekkan kepala dan badannya ke kaki kami saat sedang ngobrol di kedai, tak jarang naik ke kursi, mengharapkan kami mengusap kepalanya.


duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...