Saturday, October 16, 2021

duka yang menyusun sendiri petualangannya

 

rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa mengaku jadi orang yang paling dekat, paling paham, paling kenal, paling mengerti. mungkin bahkan tak pantas menyebut diri teman baik. meski setelah sekian lama, dia tak bisa ingat lagi kapan perkenalan terjadi, lalu jalinan cerita panjang itu bermula dan selalu ada di tempat semestinya. 

dia tak bisa mengaku terlibat atau punya keterlibatan dalam setiap proyek yang pernah disajikan di hadapannya, meski semua, semua aktor, aktris, musisi, dan mereka yang sejenis, akan bilang bahwa penontonlah yang paling penting. karena tanpa penonton mereka bukan siapa-siapa, bukan apa-apa.

 lalu bagaimana dia membuktikan bahwa mereka punya percakapan-percakapan? punya kedekatan dan jalinan dari tahun demi tahun yang berkelindan? dan apakah semua ini perlu pembuktian, jika yang bisa bersaksi atas ikatan yang terjalin dari lakon demi lakon, panggung yang berganti, nyala lampu yang tak sama, adalah yang menyebabkan kehilangan itu? yang kini sudah tak bisa berteriak lantang, atau menulis kata-kata lagi?

bagaimana dia menjelaskan bahwa tahun demi tahun merayap perlahan saat dia menyaksikan penajaman dan pematangan, kemampuan yang diasah hingga tiba-tiba khalayak menjulukinya bintang? ketika orang memandang dengan cara yang tak lagi sama. dia merasakan kehilangan itu, kehilangan kepastian untuk menyaksikannya dalam jadwal terberi, di atas panggung, sekali lagi. menautkan simpul dari ikatan yang sudah menahun, tak berkira panjangnya. kehilangan janji untuk bisa mengalami segala yang dia cerna dengan indera dan perasaannya dari bangku dalam ruangan dengan AC yang kadang-kadang terlalu dingin, dan jika sial, di sebelah orang lain yang menyebalkan. yang adalah juga bagian dari pengalaman itu. dan yang kini tak akan kembali lagi. 

sampai kapan perih bersemayam di sini?


Thursday, September 23, 2021

on cruella

di ujung pekan MetGala ini, aku nonton Cruella, yang seperti prequel untuk adaptasi sebelumnya dari novel yang sama The One Hundred and One Dalmatians. kalau sebelumnya tokoh Cruella de Vil udah dewasa, di film yang dibintangi duo Emma (Stone dan Thompson) ini, kita lihat riwayat hidup tokoh yang belakangan dikenal sebagai musuh para dalmatian.

ceritanya menarik, dialognya bagus, dan aku selalu suka tokoh jahat yang manis.

plotnya mengandung twist, meskipun ada beberapa hal yang kayaknya ya udah jelaslah, udah pasti. some obvious choices including Feeling Good by Nina Simone played as Estella's starting her new job and Mark Strong being a trusted man (can we please give him a main role somewhere? please?)

film ini, seperti The Devil Wears Prada, sepertinya akan lama dikenal karena fashionnya yang timeless dan sangat memanjakan mata. periode yang dipilih, London di tahun 1970-an, dengan revolusi fashion bersenjatakan sketchpad dan mesin jahit. status quo diwakili Baroness (Emma Thompson) dengan tampilan dan koleksi--ingat, ini persaingan dua fashion designer, yang diinspirasi rancangan (Christian) Dior. sementara di ujung lain pendulum, ada Cruella (Emma Stone) yang penampilan dan rancangannya kental dengan unsur-unsur yang dipinjam dari Vivienne Westwood, Alexander McQueen dan John Galliano. mereka adalah tiga diantara perancang busana Inggris paling berpengaruh.

Fun fact, John Galliano pernah jadi creative director Dior selama 13 tahun, sebelum berkasus dan digantikan oleh Alexander McQueen.

sejak hari pertama bekerja, rasa stylish punk menguar dari pilihan kostum serba hitam dan patent boots tinggi, sementara pegawai lain di kantor pakai celana bell bottom, kemeja berkerah tinggi dan tajam. lalu dilanjut dengan jaket gaya militer penuh grafitti saat ketemu dengan Artie, pemilik butik kecil yang memancarkan pengaruh David Bowie.

sepanjang cerita berlangsung, baju-baju paling menarik muncul saat serangan-serangan guerilla fashion dilancarkan ke Baroness. dari biker jacket yang screaming McQueen saat Cruella muncul naik motor balap --Wishnutama sama Jokowi nggak kepikir pakai baju sebagus ini pas Asian Games, mungkin kalau Lady Gaga bisa. dilanjut jaket militer dengan banyak paraphernalia dipadu feathery full ball gown skirt merah hitam yang menakjubkan. puncaknya, waktu muncul gaun 'kertas koran' dengan ekor yang panjangnya ekstrem. it has Galliano written all over it.

penata busana film ini, Jenny Beavan, udah pernah dua kali dapat piala Oscar untuk A Room with A View (1986) dan Mad Max: Fury Road (2015) --apakah dia akan dapat piala Oscar ketiga untuk Cruella?

duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...