Showing posts with label film. Show all posts
Showing posts with label film. Show all posts

Thursday, September 23, 2021

on cruella

di ujung pekan MetGala ini, aku nonton Cruella, yang seperti prequel untuk adaptasi sebelumnya dari novel yang sama The One Hundred and One Dalmatians. kalau sebelumnya tokoh Cruella de Vil udah dewasa, di film yang dibintangi duo Emma (Stone dan Thompson) ini, kita lihat riwayat hidup tokoh yang belakangan dikenal sebagai musuh para dalmatian.

ceritanya menarik, dialognya bagus, dan aku selalu suka tokoh jahat yang manis.

plotnya mengandung twist, meskipun ada beberapa hal yang kayaknya ya udah jelaslah, udah pasti. some obvious choices including Feeling Good by Nina Simone played as Estella's starting her new job and Mark Strong being a trusted man (can we please give him a main role somewhere? please?)

film ini, seperti The Devil Wears Prada, sepertinya akan lama dikenal karena fashionnya yang timeless dan sangat memanjakan mata. periode yang dipilih, London di tahun 1970-an, dengan revolusi fashion bersenjatakan sketchpad dan mesin jahit. status quo diwakili Baroness (Emma Thompson) dengan tampilan dan koleksi--ingat, ini persaingan dua fashion designer, yang diinspirasi rancangan (Christian) Dior. sementara di ujung lain pendulum, ada Cruella (Emma Stone) yang penampilan dan rancangannya kental dengan unsur-unsur yang dipinjam dari Vivienne Westwood, Alexander McQueen dan John Galliano. mereka adalah tiga diantara perancang busana Inggris paling berpengaruh.

Fun fact, John Galliano pernah jadi creative director Dior selama 13 tahun, sebelum berkasus dan digantikan oleh Alexander McQueen.

sejak hari pertama bekerja, rasa stylish punk menguar dari pilihan kostum serba hitam dan patent boots tinggi, sementara pegawai lain di kantor pakai celana bell bottom, kemeja berkerah tinggi dan tajam. lalu dilanjut dengan jaket gaya militer penuh grafitti saat ketemu dengan Artie, pemilik butik kecil yang memancarkan pengaruh David Bowie.

sepanjang cerita berlangsung, baju-baju paling menarik muncul saat serangan-serangan guerilla fashion dilancarkan ke Baroness. dari biker jacket yang screaming McQueen saat Cruella muncul naik motor balap --Wishnutama sama Jokowi nggak kepikir pakai baju sebagus ini pas Asian Games, mungkin kalau Lady Gaga bisa. dilanjut jaket militer dengan banyak paraphernalia dipadu feathery full ball gown skirt merah hitam yang menakjubkan. puncaknya, waktu muncul gaun 'kertas koran' dengan ekor yang panjangnya ekstrem. it has Galliano written all over it.

penata busana film ini, Jenny Beavan, udah pernah dua kali dapat piala Oscar untuk A Room with A View (1986) dan Mad Max: Fury Road (2015) --apakah dia akan dapat piala Oscar ketiga untuk Cruella?

Monday, October 01, 2012

tentang 2 gadis bangkrut dan korupsi



Sejak akhir tahun lalu, aku mulai nonton serial buatan CBS berjudul "2 Broke Girl$". sitkom buatan CBS ini bercerita tentang kehidupan dua orang pelayan sebuah restoran kecil di bilangan Williamsburg, Brooklyn, New York.

Pelayan pertama, Max Black, berasal dari kalangan pekerja rendahan yang miskin sepanjang hidupnya. Sementara pelayan kedua, Caroline Channing, sebelumnya hidup sebagai gadis kaya raya, sosialita sebagai anak pemilik perusahaan investasi terbesar di kota itu. Caroline bangkrut setelah ayahnya ditangkap polisi lalu dijebloskan ke penjara akibat skandal Ponzi Scheme yang dijalankannya. Setelah kejadian itu, Caroline harus meninggalkan mansion dan seluruh barang mereka yang disita di Manhattan, pindah ke Brooklyn dan memulai hidup baru.

Pertemuan Max dan Caroline dan kudanya Chestnut, serta perjuangan mereka membangun bisnis cupcake diceritakan sedikit demi sedikit setiap episode. Caroline yang seumur hidupnya tak perlu mengerjakan pekerjaan rumah tangga apapun, seperti belajar dari nol, dengan bantuan Max. Perubahan hidup itu begitu drastis, mulai dari hal-hal sepele seperti perbedaan jenis tisu gulung atau keripik kentang antara yang dahulu selalu dimiliki Caroline hingga keharusan mengganti dokter gigi juga toko tempat berbelanja pakaian, dari department store mewah, ke charity shop. Caroline seperti sedang mejalani hidup di sisi gelap bulan.

Dalam rencana mereka memiliki bisnis cupcake sendiri, Caroline menyebut bahwa mereka memerlukan dana sebesar $250,000 agar bisa membuka toko. Selama uang tersebut belum terkumpul, mereka harus tetap menjadi pelayan, sambil membuat cupcake dan menjajakannya dalam setiap kesempatan. Cupcake buatan Max selama ini dijual hanya di restoran tempat mereka bekerja. Maka di akhir setiap episode, akan ditulis berapa banyak uang tabungan yang mereka miliki dalam mencapai $250,000. Kadang bertambah, kadang berkurang.  

Sejak episode pertama, serial yang lucu dan penuh satir serta ejekan ras yang mengena dan kadang-kadang keterlaluan ini, mengingatkanku pada soal hukuman pada para tersangka korupsi di Indonesia. Kenapa para koruptor itu tidak jadi miskin setelah tertangkap?

Apa yang dilakukan terhadap tokoh Martin Channing dalam serial ini adalah apa yang seharusnya dilakukan pada para koruptor. Selain pelakunya dijebloskan ke dalam penjara, semua asetnya harus dibekukan sampai sidang pengadilan selesai menentukan berapa lama ia harus dipenjara. Lalu, koruptor harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya. Kalau aset-aset lancar yang dimilikinya tidak mencukupi untuk membayar krugian itu, maka aset-aset tetapnya harus dilelang di hadapan publik dan uang yang dihasilkan dapat digunakan untuk menutupi kerugian itu.

Aku justru nggak pro sama hukuman mati untuk para koruptor. Karena tampaknya mereka tidak takut mati. Mereka lebih takut miskin, sehingga selama bertahun-tahun berusaha memupuk kekayaan, tanpa peduli dari mana asalnya, dan apakah itu hak mereka atau bukan. Dimiskinkan, tentu, adalah momok bagi mereka. Kalau belum sempat dihukum secara sosial, dipermalukan karena jadi maling uang negara, belum sempat hidup susah, terus langsung dihukum mati yang artinya terbebas seketika dari tanggung jawab di dunia, kok kayaknya gampang bener.

Jelas-jelas tindakan memiskinkan itulah yang harus dilakukan supaya pelakunya jera, dan jadi pengingat untuk orang-orang lain yang barangkali mau coba-coba melakukan kejahatan yang sama. Sederhana dan efektif. Tapi kenapa di sini nggak ya?

*masih geram baca berita terpidana korupsi tidak dipecat dari PNS, malah dapat promosi pula*

Monday, October 10, 2011

Temple Grandin

awalnya aku nonton film ini secara nggak sengaja di HBO. tapi nggak selesai, juga nggak dari awal. sepanjang kira-kira 30 menit itu, aku melihat bagaimana Claire Danes yang menjelma Temple Grandin, sedang berusaha beradaptasi di kuliah masternya di jurusan Peternakan di Arizona. bagaimana Temple berhadapan dengan para peternak tradisional, koboi yang sok tahu, memandang rendah perempuan, dan (seperti banyak orang lain) meremehkan dan menghinanya karena ia menderita autisme.
singkat cerita, aku berhasil mendapatkan film itu (you know exactly where it's coming from).
film ini merupakan adaptasi atas kisah hidup Temple Grandin, seorang wanita yang didiagnosa menderita autisme ketika berusia 4 tahun. oleh ibunya, ia dibawa ke berbagai dokter dan ahli, yang sebagian besar menyatakan bahwa Temple harus dimasukkan ke institusi khusus karena mengalami autisme dan kerusakan otak. ibunya menolak vonis ini dan bersikeras mengajar Temple di rumah supaya ia bisa bicara. lalu memasukkannya ke sekolah untuk belajar bersama anak-anak lain seusianya.
perjuangan yang mereka jalani berat dan panjang. banyak orang menghina dan menertawakan, menjahati Temple karena dianggap aneh. satu hal yang mereka tidak pahami, Temple sebetulnya sangat cerdas dengan daya ingat luar biasa, meski cara kerja otaknya berbeda dengan orang kebanyakan. ia "thinks in pictures and she connects them" demikian dinyatakan Dr. Carlock, guru IPA Grandin di Hampshire Country School. guru inilah yang kemudian mendorong Grandin untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, di bidang peternakan, karena ketertarikannya yang besar pada hewan ternak, baik itu sapi maupun kuda. ia selalu menggap hewan-hewan itu berpikir seperti mereka.
satu hal yang beberapa kali diucapkan oleh ibu Temple, yang seperti menjadi mantra bagi film ini adalah "she's different. but not less" karena ingatan fotografis yang dimilikinya dan kecerdasannya yang luar biasa seringkali tersamarkan dari mata awam. dan banyak yang tak menyadari itu.
film yang luar biasa ini membuatku tertawa dan terharu silih berganti. juga pada saat yang bersamaan. dari Temple Grandin, aku belajar tentang kesungguhan dalam mewujudkan keinginan dan kekerasan hati hati yang diimbangi dengan kerja keras. aku rasa kalau ibunya Temple model-model yang drama, atau justru memilih menyerah pada para dokter yang menyarankan 'membuang' Temple ke institusi, ia tak akan ada di tempatnya yang sekarang, dipandang dengan rasa kagum dan penuh hormat, oleh berbagai kalangan.
dalam film ini, Claire Danes menurutku bermain luar biasa. hilang sudah semua kesan "gadis pemikat lelaki" yang biasanya terlihat dalam film-filmnya. Claire (berasa kenal akrab gini) bermain total, intens, melenyapkan seluruh keberadaannya dalam sosok baru yang sama sekali berbeda. dan matanya yang berbinar-binar saat menemukan 'pintu baru' untuk dimasuki, pintu yang mengantarnya pada dunia baru untuk dijelajahi, membuatku seperti ditampar!:D
oya, ada satu adegan yang sangat kuat dalam film itu. adalah ketika Temple Grandin menjadi valedictorian dan harus berpidato di hadapan semua lulusan serta keluarga mereka, ia bercerita tentang dirinya, autisme yang ia alami, mesin penekan yang ia ciptakan dan peran ibunya. lalu, ia menyanyikan lagu ini:
When you walk through the storm
Hold your head up high
And don't be afraid of the dark
At the end of the storm
There's a golden sky
And the sweet silver song of the lark
Walk on, through the wind
Walk on, through the rain
Though your dreams be tossed and blown
Walk on, walk on, with hope in your heart
And you'll never walk alone
You'll never walk alone
Walk on, walk on, with hope in your heart
And you'll never walk alone
You'll never walk alone
ini adalah lagu dari pertunjukan Carousel (1945), yang baru hari ini kuketahui, sering digunakan sebagai lagu penyemangat, yang juga dijadikan lagu 'kebangsaan' untuk klub sepakbola Liverpool. aha!
tapi berhubung dalam film itu Temple nyanyinya melenceng dari tangga nada yang biasa, jadi PRku berikutnya adalah mencari tahu bagaimana cara menyanyikan lagu ini dengan benar. syukur kalo bisa hapal:))

Sunday, June 12, 2011

Nderek Mariah: dan yang hilang

Orang-orang dalam film karya Garin Nugroho semuanya menari. Demikian lebih kurang kesimpulan yang saya tangkap dari cuplikan film, video, foto, patung dan instalasi yang dipamerkannya dalam pameran yang menandai 30 tahun perjalanan kekaryaannya: Nderek Mariah-Post Cinema yang diselenggarakan di Bentara Budaya Kamis malam lalu (9/6). Melihat bagaimana suasana dan tata artistik diciptakan dalam karyanya, godaan untuk menari memang sulit ditepis. Padang sabana nan luas, hutan hijau, ritual yang ritmis dan menggugah, suasana kota yang riuh rendah nan fotografis, panggung yang megah, instalasi yang mempesona, membuat tokoh-tokoh dalam karyanya menggerakkan tangan, menggoyangkan kaki, menciptakan irama, lalu mulai menari. Tetapi, tidak seperti film India yang mengekspresikan segala hal melalui tarian dan nyanyian, tokoh-tokoh dalam karya Garin Nugroho menari untuk ketidakpastian, kemuraman yang pilu dan perasaan masygul.
Karya-karya Garin, sebagai mana diakuinya, menguarkan aroma upacara dan ritual yang kental. Ia dengan sadar dan sengaja melakukan itu. Baginya, setiap karya dikerjakan dan disajikan selayaknya upacara, dengan berbagai ritual dan dihadirkan melalui perayaan. Kesan ini semakin kuat mengingat Garin selama tiga puluh tahun terakhir mengelilingi Indonesia untuk menghadiri dan merekam berbagai upacara dan ritual tradisional yang diselenggarakan atas berbagai alasan. Rekaman-rekaman itu yang kemudian muncul sebagian atau keseluruhannya dalam berbagai dokumenter, film televisi dan iklan layanan masyarakat yang disutradarainya. Sejumlah ritual direka ulang, direspon, dilahirkan kembali dengan bentuk berbeda, kemudian muncul dalam berbagai filmnya.
“Lahir di Jogja dan berkelana dalam mencipta di berbagai pulau-pulau Indonesia, sesungguhya menjadikan saya selalu (hidup) mengalami beragam upacara: dari kelahiran, kematian, pernikahan, membuat rumah, hingga meruwat nama, rumah, sampai bumi. Bagi saya, mencipta seperti bekerja dalam upacara tradisi” tulis Garin. Acara pembukaan pamerannya malam itu pun bagaikan sebuah upacara. Mengingatkan saya pada acara lamaran tradisional Jawa. Sebelum diperkenankan masuk ke dalam rumah, tanda pinangan diterima, terjadi prosesi saling berjawab, berbalas kiasan. Efix Mulyadi, Radhar Panca Dahana dan Nirwan Dewanto menceritakan dalam versi mereka masing-masing siapa Garin Nugroho dan bagaimana karya-karyanya melintas lalu meruntuhkan batas-batas antara film, seni pertunjukan, seni rupa, fotografi. Membuatnya berada di tengah-tengah perlintasan berbagai jenis kesenian sekaligus. Lalu sanjungan diwujudkan pula dalam video persembahan, penampilan musik, nyanyi, baca puisi. Para kampiun musik tradisional, biduan bersuara merdu memamerkan kebolehan, menunjang segala yang akan disajikan Garin dalam pamerannya. Para artisan dan pada akhirnya Garin Nugroho dimunculkan. Pameran ini dipersembahkan bagi sosok Mariah, mendiang ibunda Garin Nugroho, yang sepanjang karirnya banyak memberi dorongan dan inspirasi. Hal tersebut merupakan kesan kuat kedua yang diekspresikan dalam pameran Nderek Mariah-Post Cinema. “Nderek dalam bahasa Jawa berarti mengikuti, menjalani, menuruti. Pameran ini ingin mengungkap dunia ibu: dunia ibu yang mendidiknya dan melahirkan karya-karyanya. Ibu di sini juga bisa berarti ibu siapa saja. Termasuk dalam pengertian tertentu adalah ibu pertiwi.” Demikian Efix Mulyadi menulis dalam pengantarnya. Tokoh-tokoh perempuan dan ibu bermunculan dalam berbagai penafsiran pada karya-karya yang dipamerkan mulai Kamis malam itu. Hubungan dengan ibu adalah pokok yang paling banyak dieksplorasi. Karya instalasi “Labirin Ibu#2” menampilkan patung perempuan dalam posisi telungkup dengan bokong mencuat. Bagian kepala hingga punggung ditutup secarik bidang merah, seluruhnya terbuat dari resin dan alumunium. Dari bagian bawah tubuhnya muncul kawat melengkung berujung setrika berpaku. “Kusetrika punggungku, agar licin kulitku bisa kau pakai untuk masa depanmu” Karya ini menurut Garin menuturkan paradoks kehidupan Ibu dan dunianya; antara ketidakberdayaan berhadapan dengan perlawanan, kediaman dengan transformasi, kelembutan dengan kekerasan, keindahan dengan kekacauan, yang keseluruhannya bisa dibaca dalam tubuh, kerja dan benda (yang dipakai) ibu. Pada salah satu sudut, sejumlah neon box yang menampilkan still foto dari sejumlah film Garin: Daun di Atas Bantal, Puisi yang Tak Terkuburkan, Angin Rumput Savana, Opera Jawa, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja dan lain sebagainya, dilengkapi potongan dialog yang berhubungan dengan film atau potongan adegan tersebut. Bagi mereka yang mengikuti perkembangan kekaryaan Garin, setidaknya sejak film Cinta Dalam Sepotong Roti, karya yang retrospektif ini tentu membangkitkan nostalgia akan masa dan kejadian yang mengiringi persinggungan dengan film-film tersebut. Sampai di bagian ini, saya agak bertanya-tanya. Mengapa bukan film-filmnya yang dahsyat itu yang lebih banyak digali dalam pameran ini? Karya-karya dalam pembukaan yang saya datangi malam itu adalah karya-karya baru, tak secara langsung mencerminkan perjalanannya selama tiga puluh tahun. Agak mengherankan mengapa Garin seolah tak sungguh percaya dengan film-filmnya, kemudian mencari-cari makna melalui karya patung dan instalasi itu. Padahal, karya Garin menurut saya sudah sampai pada tahap melegenda, dan menimbulkan perubahan yang luar biasa. Siapa yang, misalnya, tak kenal dengan film dokumenter Anak Seribu Pulau? Judul dan film ini pada akhirnya memasuki ingatan kolektif publik dengan begitu gencarnya, hingga kita dapat mencermati sejumlah perubahan. Istilah anak seribu pulau jadi sebuah idiom yang berarti globetrotter dalam Bahasa Inggris. Orang yang kerap bepergian dari satu tempat ke tempat lain, sudah berpindah-pindah kesana kemari. Tanpa dijelaskan pun, semua langsung paham. Dan, film ini mengawali perubahan isi televisi Indonesia. Yang pada mulanya hanya berisi tayangan yang semata menonjolkan Jakarta saja, karena daerah lain (terutama di luar Jawa) dianggap terbelakang, dan nggak keren. Kini terbalik. Siaran televisi swasta justru diisi petualangan ke daerah terpencil. Mulai dari yang bergaya bertahan hidup di rimba, menjelajahi daerah-daerah perawan yang ekstrem dan belum dijamah manusia, sampai yang menceritakan kehidupan anak-anak. Saya yakin, semuanya berutang dan meminjam pada Anak Seribu Pulau-nya Garin Nugroho. Mungkin, lain kali, ada pameran restrospeksi 30 tahun-nya berkarya yang dipusatkan pada film. Yang menunjukkan kekuatan, kelebihan dan kedahsyatan Garin dari sisi ‘dalam’, yang akrab dan lebih intim, dan selama ini tertutup dari pandangan publik. Semoga saja.

Saturday, January 12, 2008

La Vie En Rose

Hold me close and hold me fast The magic spell you cast This is la vie en rose When you kiss me heaven sighs And though I close my eyes I see la vie en rose
akan perlu waktu lama sekali untuk melupakan cara Marion Cotillard dalam perannya sebagai Edith Piaf naik ke atas panggung. gerak tubuhnya, senyum dan terutama tatapan matanya yang berbinar-binar membuatnya tampak begitu bercahaya. Cotillard berhenti menjadi dirinya sendiri, dan sepenuhnya menjadi Piaf dengan segala hal yang melekat padanya. rambut ikal keriting, bibir penuh berwarna merah darah, alis mata yang tipis, garis rambut yang jauh, menunjukkan kening yang luas. seluruh tampilan itu diperkuat dengan gerakan tubuh yang sempurna. posisi berdiri, cara tangan bergerak, ekspresi waktu menyanyi, caranya berjalan, bagaimana bahu sedikit membungkuk dan terlihat kaku, sementara bagian tubuh yang lain terlihat bebas. Edith Piaf hidup hanya untuk menyanyi diatas panggung. dan Cotillard berhasil menerjemahkan pesan itu dengan tepat. Piaf diatas panggung menjelma menjadi dewi yang diberi nyawa oleh musik yang mengalun mengiringinya. dewi bergaun hitam berkalung salib emas yang selalu dikenakannya. dewi yang begitu mencintai seni suara dan lagu bahkan hingga saat kanker sudah menggerogoti tubuhnya, ia masih bisa bergerak, bersemangat dan berekspresi karena sebuah komposisi yang bagus. sebuah komposisi yang menggugah. Piaf terlahir dan dibesarkan oleh tempaan kerasnya hidup. setelah ditelantarkan oleh ibunya, Piaf kecil tumbuh berpindah-pindah. mula-mula dititipkan pada nenek dari ibunya, lalu di rumah bordil yang dikelola nenek dari ayahnya saat ia mengalami kebutaan sementara, sampai kemudian ia berkeliling bersama ayahnya dalam sirkus, sebelum kemudian mereka menggelar pertunjukan akrobat dan nyanyian bersama. kehidupannya di jalan menurutku membentuk kepribadian Piaf seperti tampak dalam film. ia menghargai ayahnya, membenci ibunya, mencintai Momone, memberikan segala-galanya untuk memiliki cinta, dan memiliki gairah hidup yang begitu besar meskipun segala sesuatu terenggut dari kedua telapak tangannya yang indah. ia dipisahkan paksa dari Titine pada usia 8 tahun. adegan pemisahan ini kemudian berulang pada saat polisi menjemput Momone dari kamar tempatnya tinggal bersama Piaf. Marcelle anaknya meninggal pada saat berusia 2 tahun. Louis Leplee yang menemukannya di jalan dan memberinya kesempatan pertama untuk tampil di panggung mati dibunuh. tapi yang menghancurkannya adalah kematian Marcel Cerdan, kekasihnya yang terikat pernikahan dengan perempuan lain. Piaf dalam film itu berkata; "Tuhan jadi saksiku bahwa dalam hubungan ini aku tidak meminta apa-apa, tetapi aku bersedia memberikan segala-galanya" maka ketika Marcen meninggal dalam kecelakaan pesawat Air France yang naas pada malam saat ia kembali dari New York menuju Paris untuk menemuinya, hidup Edith Piaf berakhir. ia kehilangan alasan untuk meneruskan hidup yang begitu tragis, hampa dan sengsara. hanya musik, lagu dan ketergantungannya pada obat-obatan terlarang yang menopang hidupnya selama lima tahun ke depan. namnu jika hidupnya mudah, barangkali Edith Piaf tidak akan jadi legenda seperti yang kita kenal sekarang.

duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...