Showing posts with label makanan. Show all posts
Showing posts with label makanan. Show all posts

Sunday, November 03, 2019

finding the best rawon



my family lives in Malang, about an hour flight from Jakarta to the east of Java, Indonesia. it is a provincial city famous for its colder climate, apple plantations, and good food. as I planned to visit it this weekend, I have planned of having some culinary tour while I was there, contacting some friends to do so.

other than bakso, a meatball soup with clear broth, Malang was known for its fine selection of East Java delicacy: rawon -dark beef stew, cwimie -a type of dry noodle dish with chopped chicken and fried wontons, kripik tempe-basically soybean cake chips and tahu campur -a dish of tofu, beansprouts, beef and shrimp paste (petis) broth. I am seriously drooling now

while planning what and where to eat, we jumped into a heated discussion on where is the best rawon in malang now. you see, it is very important to make sure that you make the best use of the time, meaning not wasting time eating in a place that is not worth your while.

rawon is a simple but complicated dish altogether. it is a beef-based dish; therefore, you have to make sure that the brisket used in it has enough tender meat as well as delicious fatty part. the dark broth comes from keluwek, fruit of a species of tall trees native to Indonesia and Papua New Guinea. these fruit need to be specially prepared as it produces poisonous hydrogen cyanide, so it has to be fermented to change its flesh from creamy white to dark brown or black. however, you must be careful to no use rotten keluwek as well. it takes a sharp eye to know which keluwek will help to produce rich, thick broth with yellowish oil surface, as a combination of delicious beef brisket and fresh keluwek.

there are of course hundreds of rawon sellers in Malang, some are more famous than another. some have a very limited opening hours, some others have longer queues as tourists flocking to it to get the best rawon they can find. our conversation today leaving us with at least three candidates, and the discussion is still ongoing. I think if no consensus reached, I will settle with the best rawon I have known: the one made by my mum.

Monday, July 31, 2017

maaf, bangsa kita enggak pernah jadi vegetarian

buat kamu yang vegetarian, maaf aku membawa kabar kurang sedap.

dari hasil  ngobrol-ngobrol sama orang-orang di grup sejarah yang rajin baca babad, kakawin, kropak dan kitab-kitab, memang rupanya nenek moyang kita enggak vegetarian. justru lebih banyak makan daging daripada sayur-sayuran

ada yang bilang kalau makan sayuran itu lebih karena terpaksa. misalnya pas jaman berburu dan meramu, mereka yang makan sayuran saja, biasanya karena badannya lemah, nggak bisa lari cepat mengejar kijang atau kurang sigap menangkap ikan:p

nah, dari abad ke-8 dan 9, pertanian sawah udah jadi salah satu mata pencaharian penting di Jawa. setidaknya dari catatan raja Kamboja yang ngekos sama keluarga dinasti Syailendra (yang bikin Borobudur) sebelum dia balik ke negaranya dan bikin Angkor Wat. dari Borobudur juga, ketahuan kalau orang-orang di Jawa pada masa itu banyak yang sehari-hari minum olahan susu dan makan sagu. nggak heran sih ya mereka bisa bikin candi segede itu juga, makanannya penuh protein dan negaranya kaya raya. 

prasasti yang bahas makanan memang ada cukup banyak, terutama yang dari masa awal kerajaan di Jawa Timur (Kediri) dan di Jawa Barat (Sunda) di abad 9-10M. kayaknya pesta di jaman itu memang seru dan gila-gilaan, sehingga para sekretaris kerajaan perlu memastikan kalau anak cucu mereka tau, nenek moyangnya makan dendeng, pindang, empal atau ikan gabus goreng telur yang disajikan dalam pesta-pesta. nyam!

dari obrolan kemarin itu, aku juga jadi tahu kalau variasi makanan dan teknik memasak sudah sangat beragam sejak ratusan tahun yang lalu. di abad 12 udah ada Rawon, dan namanya jelas-jelas rawon, lengkap dengan penjelasan kuahnya yang hitam karena biji Keluwak. abad 13 sudah ada terasi, yang kemungkinan besar sejaman dengan petis. sejak abad 5 kelapa sudah banyak disebut. mungkin sejak 1000 tahun lalu, olahan kelapa juga udah macam-macam. mulai dari makan kelapa muda, air kelapa, santan, air bunga kelapa yang manis, sampai bikin minuman keras pun, dalam bentuk legen dan tuak. di bali, arak dibuat dari beras. abad 13/14 sudah ada kerupuk, nenek moyang kita nggak bisa makan tanpa sound effect. 

tulisan paling rinci soal teknik memasak orang sunda ditulis dalam buku tahun 1518, bikin ayam tulang lunak aja udah bisa lho! canggih parah! belum lagi masakan pesmol yang warna kuningnya diambil dari bunga labu, sampai bikin fillet ikan yang digoreng sampai renyah. bikin pindang, pepes, pecel dan empal udah bisa dari hampir 500 tahun yang lalu!

di bawah ini, adalah rangkuman dari riset kecil yang aku bikin tentang timeline makanan Indonesia, dengan bantuan dari teman-teman di grup Telegram Sejarah. cus! 


Monday, March 07, 2016

obsesi: pisang goreng


hubunganku dengan pisang bisa dibilang sangat baik, tapi rumit. soalnya aku nggak terlalu tertarik sama pisang yang dimakan sebagai buah. artinya, pisang yang tidak melewati proses pemasakan sebelum disantap. terutama karena alasan rasa yang ditinggalkan. jadi antara rasa pisang yang enak yang pernah ada di dalam mulut dan rasa yang ditinggalkannya setelah masuk ke dalam perut, saling nggak cocok. yang menyebabkan aku nggak suka pisang sebagai buah. ini berarti aku juga nggak suka sama pisang yang dijadikan jus, atau smoothie, atau banana split.
 
tapi aku tergila-gila pada pisang goreng. betapapun nggak sehatnya. hahah.
dalam cuaca apapun, pisang goreng selalu enak. aku bisa membayangkan enaknya sekarang.
dan meskipun pada umumnya aku menghindari makan gorengan, tapi aku nggak pernah bisa menolaknya. pisang-pisang goreng terbaik menurutku dibuat dari pisang kepok, terutama yang warnanya kuning. pisang kepok putih sebetulnya lumayan juga, meskipun lebih sering jadi makanan burung. tapi pisang kepok kuning atau yang kemerahan rasanya lebih mantap! lebih manis dan daging buahnya punya rasa gurih, sementara yang putih agak lebih 'kosong' rasanya. sepa, gitu kata mbahku yang berbahasa jawa.

kalau dalam bahasa inggris, pisang-pisang yang harus dimasak dulu, apakah itu digoreng, direbus, atau dijadikan kolak, biasa disebut plantain sementara yang dimakan langsung ya banana. pada umumnya, aku suka pisang yang sudah dimasak. dalam berbagai bentuk. selain pisang goreng ada pisang kukus, kolak pisang, carang gesing --pisang yang dipotong-potong dan dimasak dengan gula merah dan santan lalu dikukus dalam bungkusan daun pisang, nagasari, pisang sira, pisang bakar dan macam-macam lagi.

untunglah aku dilahirkan di negara yang kaya jenis pisang. atau apakah kesukaan pada pisang ini adalah hasil dari caraku dibesarkan di negara ini? mungkin dua-duanya benar.
tapi bayangkan betapa membosankan kalau di setiap pasar dan swalayan hanya ada satu jenis pisang. pisang ambon yang tak bisa digoreng, dikukus, dikolak, apalagi dibakar. bagaimana nasib mereka yang lebih suka pisang mas atau pisang susu? dan kalau tak ada lagi pisang batu, kita tak mungkin lagi menyantap rujak cingur dengan rasa lengkap.

aku juga pasti akan sangat kehilangan kalau tak ada lagi pisang tanduk, pisang raja, pisang kepok kuning atau pisang nangka. jenis-jenis plantain kesukaanku itu. sayangnya ini sekarang makin banyak terjadi. entah karena kota besar ini kurang kreatif atau bagaimana, di mana-mana orang lebih suka menjual (dan membeli!) pisang chavendis yang membosankan itu.

bisa dibilang, pisang goreng adalah 'makanan berdosa' buatku. guilty pleasure yang sulit ditolak, karena kenikmatannya tak bisa diingkari. dan godaan itu datang setiap hari karena di gedungku ada kedai yang menjual pisang goreng enak. pisangnya selalu pisang raja, atau pisang tanduk yang matangnya pas sehingga sejak gigitan pertama, kita sudah bisa merasakan manisnya pisang yang alami, tanpa banyak bantuan dari gula yang membalut tepung pisang goreng itu. penjual pisang goreng di gedungku ini juga nggak berlebihan memberi tepung. dia bukan tipe penjual yang bikin pisang goreng segede telapak tangan orang dewasa, tapi isinya tepung melulu. dan pisang goreng ini jenis yang dibelah-belah tanpa terputus, bukan yang dipotong-potong. yang berarti pisangnya masih dalam kondisi baik. hasilnya, pisang goreng berukuran sedang yang tepung tipis garing dan renyah, dengan pisang yang manis dan juicy di dalamnya. yum!

karena enaknya, setiap kali ia menggoreng, dalam waktu beberapa menit saja, pisang-pisang itu sudah ludes. kadang harus ditungguin, supaya masih kebagian. atau mengandalkan keberuntungan.

menulis ini bikin aku ingin makan pisang goreng. yuk?!

Thursday, April 16, 2015

warung ibu belakang


sebelumnya ia berjualan sayur-mayur untuk penghuni kompleks di belakang kantor kami. beberapa tahun yang lalu, ia memutuskan untuk mengubah bisnisnya, dari sekedar menjual bahan mentah menjadi makanan siap saji. bukan, bukan fast food. tapi jadi warung makan yang menyediakan hidangan segar bagi orang-orang di sekitar.

aku biasa menyebutnya warung ibu belakang. saat waktu makan siang tiba, biasanya kami bergegas pergi ke sana bersama-sama. masakannya cukup enak, makanannya selalu baru, dan yang terutama, harganya mencengangkan. saking murahnya, awal-awal makan di situ aku selalu nggak percaya pada jumlah yang disebutkannya. jarang mencapai lima belas ribu rupiah, sudah dengan minuman. apakah ibu yang menyebut dirinya bude yati ini tidak khawatir tergerus inflasi? apakah ia tidak memiliki perencanaan keuangan dan business plan untuk warungnya? atau apakah ia sedang mengerjakan sebuah misi kemanusiaan untuk memastikan tidak ada orang yang kelaparan dalam radius 500 meter dari tempatnya berada?

ketika harga-harga mulai merambat naik akibat kenaikan BBM, aku mendapati bahwa dia juga ikut menaikkan harga. sedikit, tapi menenangkan. karena dengan demikian, ada jaminan bahwa dia akan terus berjualan selama keadaan memungkinkan, dan tak akan bangkrut dalam waktu dekat karena memberikan harga jauh di bawah daya beli pasar.

menu di warung ibu belakang cukup bervariasi, meskipun didasarkan pada genre masakan rumahan. sayur yang hampir selalu tersedia adalah sup sayuran atau sup kacang merah, sayur sambel goreng krecek yang mengandung kacang tolo, tahu dan tetelan dengan bumbu merah dan kuah santan, serta berbagai macam tumisan. selain tumis labu siam, juga cukup sering ada tumis kacang panjang, tumis toge, tumis kangkung, atau daun pepaya.

dalam kesempatan-kesempatan yang menyenangkan, kami akan menemukan lodeh terong, atau lodeh kluwih. ikan cuwe yang digoreng setengah matang lalu disiram sambal merona dengan potongan petai yang serius, ikan nila dimasak dengan cabai ijo dan oncom, ikan bandeng bakar atau masak pesmol adalah juga lauk yang sering kami temukan. pada hari lain, ada ayam bakar atau ayam opor atau ayam semur dengan kuah kecap yang sedap. setiap kali oncom dimasak dengan kemangi dan leunca muncul, biasanya sebagian akan kupindahkan ke piringku. sambal goreng kering berisi udang atau kentang dan hati adalah hidangan sehari-hari. selain itu biasanya selalu ada orek tempe, semur jengkol, rendang dan dendeng sapi, tahu goreng, telur asin, perkedel jagung, perkedel kentang, ikan kembung dan lele goreng serta ayam goreng lengkuas.

dua hal yang selalu kami tunggu-tunggu saat masih panas dan baru saja diangkat dari penggorengan adalah peyek udang segar dengan bagian tepung yang renyah dan udang nan gurih bertonjolan di berbagai penjuru. juga, tempe goreng yang dibumbu bawang putih dan garam. kami akan menyantapnya panas-panas dengan suka cita, diiringi sambal terasi ekstra pedas atau sambal kecap yang senantiasa terhidang di meja.

jadi kapan mau makan di warung ibu belakang bersamaku?


duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...