Thursday, February 14, 2008

perfect jokes

Gerbang Kedatangan - Sukarno Hatta
sejak turun dari pesawat, udah senyum-senyum. waaa... udah sampai Jakarta. angin berhembus sejuk sepanjang jalan melintasi tarmac. perjalanan lancar dan nggak ada delay. membaca "Radiohead - Welcome to The Machine" selama duduk di pesawat, dengan hanya sekali terganggu. waktu melirik ke bangku sebelah kiri, aku menemukan ibu-ibu berusia 40-an yang sedang sibuk mengecat kuku jarinya dengan warna merah darah. jrit! nggak belepotan pula. aku menatapnya beberapa detik dengan sorot mata penuh kekaguman.
pesawatnya kena turbulence 4 kali, lho! sampe harus matiin lampu dua kali selain pas take off dan landing. aku sibuk membaca dan berdoa, ibu ini sibuk mengecat kuku.

masuk ke bangunan bandara, semua lancar. nyaris lengang. senyumku semakin lebar, membayangkan waktu pertemuan yang sudah dekat. aku nggak perlu antri di luggage claim karena bawaanku semua masuk kabin. belok ke kiri, makin dekat dengan pintu keluar. uhm, mulai deh... bayangin adegan pertemuan di bandara seperti di film-film. inget pertemuan di gerbang kedatangan, jadi inget Love Actually... trus jadi inget The Terminal. contoh yang kedua kayaknya salah, deh.

aku teringat kata-katanya di telepon sebelum aku berangkat, yang bikin aku tersipu bersemu merah jambu. dan berima.
"nggak akan susah mengenali kamu di bandara. aku tinggal cari yang paling cantik"

tapi begitulah, masih dengan senyum dan adegan film berputar di otakku yang sok romantis, aku keluar dari gerbang kedatangan terminal 1A Bandara Sukarno-Hatta yang malam itu panas luar biasa.

dan aku disambut oleh... supir taksi serta calo angkutan.

"taksi, mbak?"
"mau ke bandung, neng?"
aku celingak-celinguk ngeliat ke kanan-kiri. orang-orang yang aku liatin pada ngeliatin balik. tapi semuanya nggak ada yang kukenal. ups, ada yang nggak bener, nih.

kukeluarkan hp dari dalam tas dan bergerak ke arah kursi kosong terdekat. masih tetep sambil noleh ke kanan dan ke kiri. masih dengan hp di tangan, aku liat ada sosok yang tampak familiar, kelihatan mencari-cari dari balik pagar hitam pemisah di luar gerbang kedatangan.

kudekati, kayaknya kenal, deh. jangkung, kurus, berjaket hitam, pake topi hitam juga.
*colek-colek*
"kamu nggak ngeliat aku keluar tadi?"
ekspresi wajahnya yang kaget dan agak malu dan terlihat senang nggak akan kulupakan.


Gerbang Kedatangan - Ngurah Rai
aku adalah salah satu dari lima orang terakhir yang turun dari pesawat malam itu. kalo nggak karena duduk kursi yang paling dekat dengan gang, aku males banget desak-desakan menunggu pintu pesawat dibuka. aku nggak suka orang asing memasuki 'ruang pribadi'ku. harusnya mereka berada minimal 30 cm dariku.

sekali ini barangku masuk bagasi. aku santai, kok.
keluar dari luggage claim, cari-cari ATM dan dikasih tau kalo ATM Permata adanya di Keberangkatan Internasional. ugh, males banget. jauh!

untung ada ATM Bersama. yayaya, ini aku sedang promosi terselubung karena udah sering diselamatkan ATM Bersama. I love you, ATM Bersama.

beres dengan urusan ATM, aku pergi ke loket taksi bandara. janjiannya malam ini akan ketemu Iman di Nusa Dua. tapi dia nggak bisa jemput, jadi aku kesana sendiri ajah. sebenernya rada males sih naik taksi bandara, mahalnya minta ampun. tarifnya bisa 40% lebih mahal daripada kalo pake taksi biasa yang ber-argo. tapi ya, sudahlah. apa boleh buat. aku berjalan keluar dari loket diiringi tukang taksi yang sudah membawakan tasku.

"Dian Ina! aku menjemputmu!" tau-tau ada sebuah suara memanggilku.
"he! Pippi!" aku cuma bisa menyerukan namanya karena kaget.
uhm, kayaknya aku udah bilang kalo aku pulangnya akan bareng sama Iman, jadi emang nggak nyangka banget Pippi akan datang menjemput. aku memandang tukang taksi dengan wajah bingung. aku noleh lagi ke Pippi sambil bilang
"aku udah bayar taksi"
"nggak papa, mbak. bisa dibatalkan kok" kata si tukang taksi dengan baiknya.

aku balik lagi ke loket taksi bandara, menerima kembali uangku, mengucapkan terima kasih dan permintaan maafku, sambil senyum manis. jangan ngambek ya, paaak... kataku dalam hati.

aku lalu mengikuti Pippi ke arah parkiran motor. sambil mendengarkan ceritanya yang berapi-api dan bersemangat, tapi hanya bisa kutangkap sepotong-sepotong, karena aku masih sibuk dengan hpku yang berdering-dering tanpa ampun.

aku masih bicara di telepon waktu aku lihat Pippi jongkok, 3 meter dari deretan motor yang diparkir, dan dengan frustrasi mengeluh...
"aku lupa bawa helm buatmu...."

aku cuma bisa ngakak.

Sunday, February 03, 2008

Ayah vs Anak lelakinya


waktu blogwalking, aku menemukan blog-post ini, yang membuatku teringat pada percakapanku dengan Papa, tentang adik bungsuku, satu-satunya anak laki-laki di rumah, yang tahun ini mulai masuk kuliah. umur tujuh belas itu kan sedang lucu-lucunya. lagi heboh nongkrong tiap hari sama temen-temen di kampus, yang bilangnya kuliah dan pulangnya tengah malem, hihihi... dan lagi sibuk pendekatan sama sekian banyak gadis sekaligus. pendekatan aja mulu, yang diteleponin tiap hari ganti, tapi nggak ada yang jadi. ahaha...

Papa memang cuma bicara sekilas, tapi aku ngerti lah kalau beliau khawatir dan rada-rada cemas sama adikku ini. terutama sama pergaulannya di luar. yah, gimana lagi. jadi orangtua emang penuh dilema, 'kan. kalau terlalu ketat mengawasi, nanti anaknya tertekan dan nggak bisa berkembang dan berontak. kalau memberi kebebasan, takutnya si anak akan memanfaatkan kesempatan dan jadi lepas kendali. makanya waktu aku bilang "Papa jangan terlalu khawatir sama Memet". dengan nada sedih Papa bilang "abis gimana, namanya juga anak"

aku langsung diem. bener juga, ya.

hal lain yang bisa menjelaskan sikap Papa, adalah karena aku dan adik perempuanku, sama-sama keluar rumah sejak umur belasan. aku pergi umur 18 untuk kuliah di Jogja, adikku masuk asrama sekolah perawat umur 15. itu terjadi di tahun yang sama karena usia kami terpaut tiga tahun. aku kembali ke rumah waktu berumur 23 tahun. dan umur 24 aku pergi lagi. hihihi...

jadi Papa nggak benar-benar mengikuti perkembangan kami (aku dan adikku) pas lagi lucu-lucunya, karena kami tinggal jauh dari rumah. nggak tau kalo aku juga melakukan hal yang lebih kurang sama dengan adik bungsuku. bedanya mungkin cuma aku nggak mendekati cowok-cowok, tapi memilih-milih... mana yang paling ganteng dan paling cool. ahahaha...
menghadapi adik bungsuku adalah pengalaman pertama untuk Papa. pada aku dan adikku, Papa nggak terlalu bisa ikut campur karena tau-tau kami udah jadi aja. aku memilih gaya hidup yang Papa anggap alternatif dan sangat keras kepala sama pilihan-pilihanku. dan aku bersikeras nggak mau tinggal serumah dengan orang tua lagi.

Papa jelas ingin sesuatu yang lain untuk adik bungsuku.

kemarin sore waktu baca buku Ayah vs Anak Lelakinya ini, aku malah jadi senyum-senyum sendiri teringat Papa, dan adik bungsuku. aku pikir buku ini bagus buat dibaca orang awam, karena penulisnya, seorang psikolog dan ibu dari dua anak, bisa memaparkan analisanya dengan bahasa yang sangat mudah dicerna, nggak pake istilah yang aneh-aneh, dan nggak mengutip kesana kemari. yang terakhir ini menurutku kecenderungan penulis baru, yang merasa perlu memakai nama-nama besar untuk menunjukkan bahwa dia pintar dan sudah pernah membaca buku atau teori tertentu. please, deh. kalo mau baca teori orang, nanti aku beli sendiri bukunya.

selain itu, dari analisanya, jelas bahwa Ieda Poernomo Sigit Sidi adalah seorang feminis. seluruh analisanya tidak bias dan sensitif gender. terlihat bahwa ia sangat memahami berbagai persoalan yang disebabkan oleh kontruksi budaya (dan agama), terutama dalam hubungannya dengan peran laki-laki dan perempuan, serta bagaimana dinamika hubungan antara dua gender. hal ini menjadikan kasus-kasus yang ditulis dalam buku ini sangat relevan dengan konteks masyarakat Indonesia. nggak sulit buatku untuk mengingat cerita hidupku, saudara atau temanku, yang disana-sini bersesuaian dengan hal-hal yang ditulisnya.

kalaupun ada hal-hal yang tidak ditulisnya, misalnya hubungan antara ayah dan anak laki-laki yang secara terbuka mengakui kalau ia seorang penyuka sesama jenis, aku rasa itu hanyalah sebuah pilihan, dan bukan kekurangan buku ini.

sayang editornya kurang jeli dan teliti, sehingga ada beberapa alur cerita yang agak membingungkan, atau kurang tepat logikanya. kalo yang ngedit Joan, editor yang dalam darahnya mengalir EYD, mungkin ceritanya akan jadi lain.
uhm, apa Bu Ieda mau saya kenalkan?

Thursday, January 31, 2008

I love Cinta Laura

*wink*

thanks to Nenda, and her persuasive approach, aku jadi join in the group Aku Cinta CINTA LAURA. what a joy! karena she is a very charismatic figure di television Indonesia. such an inspirational moment. dia adalah inspirasi untuk orang banyak di negara ini, dimana education tidak, uhm... not so good, sehingga I think kita harus pergi ke Australia untuk improve our Bahasa Indonesia.

Cincha Lawra (beginilah charra membachanya) adalah my role model dalam look (can you see rambutnya yang beautiful?) and fashion dan cara menghadapi journalists. she will not kasih komentar yang tidak bermutu seperti "no comments". Cincha selalu knows apa yang she wants to say. dan tau apa yang harus dia share ke all of her fans di Indonesia. jaman sekarang, siapa sih yang masih mau naik ojek waktu hujan becek? everybody wants to naik mobil, you know!

segera setelah aku bergabung di grup ini, aku hapus grup-grup lainnya, yang tidak perlu. misalnya, aku yakin ID-Gmail Pirates akan minder kalo harus berhadapan dengan Cincha Lawra, jadi lebih baik aku menyelamatkan muka mereka, dan menghapusnya from my profile.

for those who want to join in the fans club of the greatest celebrity figure in Indonesia, cepatlah bikin account Facebook dan bergabung di grup ini. satisfaction guaranteed!

Wednesday, January 30, 2008

Second chance for Pamela



aku pernah punya perjanjian serius dengan diriku sendiri untuk nggak akan pernah mendengarkan Toto lagi. kayaknya gara-gara itu sempat juga melarang seseorang untuk nyanyiin lagu Toto di suatu kafe, hanya karena aku datang ke tempat itu suatu malam. sebelum sampai, aku kirim sms yang bunyinya "malam ini, jangan ada lagu Toto. please"
*lirik kampung sebelah*

ha!
dan siang ini malah jadi membahas lagu Pamela, dari album The Seventh One, karena liriknya sangat relevan dengan topik yang sedang dibahas di YM. mau nggak mau aku juga jadi inget masa lalu, waktu obrolannya sampai pada soal there is no second chance, for the one who leaves it all behind. yang aku sambung dengan sometimes you just don't know what you got till its gone.

eh, aku malah dikirimi lagu Pamela abis itu.
dan ya, udah! kuakhiri saja perjanjian untuk nggak akan pernah mendengarkan lagu Toto. pada hari ini, aku mendengarkan Toto lagi setelah lima tahun lewat. aku berikan kesempatan kedua untuk Toto, dan untukku.

Thursday, January 24, 2008

choice and understanding

Newsweek edisi 21 Januari memuat sebuah sebuah artikel tentang gap antara generasi pertama imigran di Amerika dengan anak-anak mereka. wait! jangan bayangkan kalau yang disebut imigran generasi pertama itu terjadi ratusan tahun yang lalu, yang kemudian sekonyong-konyong memerangi Indian. did I say sekonyong-konyong? :p

para imigran masa kini, sebagaimana pendahulu mereka ratusan tahun yang lalu, datang dari berbagai negara untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. mereka adalah tipikal orang yang rela melakukan apa saja agar anak-anak mereka memperoleh kesempatan, pendidikan dan pekerjaan yang menjamin hidup mereka kelak. mereka bekerja 80-90 jam per minggu dan meninggalkan segala hal di negara asalnya untuk memungkinkan hal tersebut terjadi.

masalah mulai timbul ketika anak-anak mereka mengambil jalur yang tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. anak-anak mereka mendapatkan tekanan yang luar biasa untuk study hard, get into top schools and choose careers that offer financial stability witout considering personal fulfilment. maka ketika anak-anak yang sudah diterima di universitas ternama seperti Harvard atau Stanford kemudian justru memilih karir yang kurang diharapkan, seperti menjadi filmmaker, pekerja sosial untuk human trafficking, atau menjadi musisi.

"I sometimes feel guilt, having chosen to be an artist, because I know that if I had chosen a scientific background, I could help my parents a lot more" salah satu dari mereka mengakui.

tapi ada juga yang dapat support penuh dari ibunya, atas pilihannya menjadi musisi. si ibu menjadi penggemarnya yang nomor satu, karena si anak berhasil menggapai mimpinya. salah satu lagu yang ditulisnya, berjudul "Mama", berlirik seperti ini;

who worked 16 hours just the other day
breaking her back, breaking her pride, her bones
so that we wouldn't ever have to do the same
never have to groan and moan
when we were on our own

musisi ini menyebut kehidupan ibunya sebagai sumber inspirasi yang tak ada habisnya karena ibunya telah memilih untuk mengabdikan diri untuk keluarga ketimbang mengejar mimpinya sendiri. "because she didn't get to live her dreams, I have to"

dan tiba-tiba aku teringat orangtuaku. yang aku yakin seringkali heran dan khawatir pada jalan yang kupilih dan keputusan yang aku ambil. dengan keras kepala menempuh jalur yang berbeda dari apa yang dapat mereka pahami. aku tau kalau mereka nggak selalu mengerti apa dan kenapa aku melakukan sesuatu. tapi kesadaran bahwa mereka selalu memberikan kasih sayang dan dukungan tanpa syarat membuat aku menjalani hidup dengan lebih percaya diri.

dalam artikel itu, ditulis pula tentang hubungan antara Irshad Manji dan ibunya, Mumtaz Manji. Irshad yang menulis buku kontroversial berjudul "The Trouble with Islam" mendapatkan dukungan penuh dari ibunya, seorang muslim yang taat dan aktif memakmurkan masjid. pada akhirnya buku karangan anaknya menyulut gunjingan dari sesama jamaah di masjid, dan ia hanya berkomentar singkat mengenai hal itu "until this day, there are so many people who don't talk to me. but who cares? my daughter comes first"

hmmm... I can't wait to meet my parents on Saturday.

Wednesday, January 23, 2008

Tiga Stanza Untuk Gabriella. #3

Gabriella mengirimiku buku sketsa dari Losari. membuatku ingat kalau aku belum menyelesaikan bagian terakhir dari tiga cerita tentangnya.



tapi sebelum bercerita banyak mengenai hal lain yang dilakukan Gabri, sebaiknya aku tunjukkan dulu buku sketsanya seperti apa. ide buku ini sederhana aja. ada seniman yang diminta membuat sketsa dari setiap sudut yang menarik di Losari, lalu Gabri menulis sedikit hal-hal yang mau dia sampaikan mengenai tempat itu. Misalnya bagaimana ia menemukan stasiun kayu kuno yang sekarang jadi tempat pendaftaran dan penerimaan tamu. dan begitulah, itu jadi buku sketsa yang mengembalikan kenangan orang yang pernah tinggal di Losari, sekaligus memperkenalkan Losari pada orang yang belum pernah tinggal disana.





selain buku sketsa itu tadi, bagian terakhir kisahku mengenai Gabriella ini juga akan berisi tentang apa yang dilakukan Yayasan Losari dengan buku, masih di desa Gemawang. mereka membantu masyarakat desa untuk membuat perpustakaan, uhm... semacam taman bacaan masyarakat, dan aku sempat juga mengunjungi tempat ini. namanya TBM Nurul Fatah, dan sekarang masih menumpang di salah satu rumah penduduk walaupun sudah ada tanah yang akan dipakai untuk mendirikan taman bacaan yang permanen, tapi pembangunannya masih belum selesai.



tapi mereka memang luar biasa. seseorang sampai rela meminjamkan rumahnya sampai waktu yang belum ditentukan untuk menampung taman bacaan. ini di desa, lho! dan ini desa yang minat baca masyarakatnya masih rendah. tapi kesadaran warganya untuk maju benar-benar harus kuacungi jempol. mereka berinisiatif sendiri untuk mengumpulkan buku-buku, majalah dan berbagai jenis bacaan untuk dimasukkan sebagai koleksi, dan tak lupa menggunakan teori persepuluhan Dewey untuk membuat label dan kode bukunya.

dari swadaya masyarakat, mereka juga berhasil mengumpulkan uang sekitar 15 juta rupiah untuk membangun taman bacaan secara permanen. dilihat dari sisi manapun, duit segitu itu banyak! lalu, beberapa pemuda desa juga menjadi pengurus perpustakaan, secara sukarela menjaga dan merawat koleksi, serta mengawasi setiap pengunjung yang datang. pada hari-hari libur, sebuah konvoi bermotor yang terdiri dari para pemuda desa juga pergi ke desa-desa lain, terutama yang letaknya cukup jauh dari jalan raya, untuk menyebarkan fliers mengenai perpustakaan desa Gemawang. sampai saat itu, belum pernah aku merasa terharu karena kegiatan konvoi motor.

nah, sekalian aku mau menawarkan, buat yang punya majalah atau buku atau bahan bacaan lainnya, dan berminat untuk menyumbang atau menambah koleksi Perpustakaan Gemawang, bisa mengirimkan buku-buku dan lainnya ke:

Yayasan Losari
Losari Coffee Plantation- Resort and Spa
Desa Losari-Grabag
PO BOX 108, Magelang 56100

Jawa Tengah, Indonesia


kunjungan keliling kami hari itu, diakhiri di Pondok Diakona. ini adalah sebuah panti asuhan yang menampung lebih dari seratus anak yatim piatu, anak dari keluarga yang sangat miskin, atau anak yang tidak diinginkan oleh keluarga mereka. ketika pengasuh panti menceritakan tentang bagaimana sebagian besar anak yang cacat datang, air mataku rasanya sudah nggak bisa kutahan lagi. bayi-bayi yang cacat sebagian besar datang ke pintu panti dalam keranjang, atau diletakkan begitu saja di dekat tempat sampah. mengetahui bahwa pengasuh panti tidak akan membuang mereka lagi.





kami sampai tepat saat mereka akan makan siang. jadi kami berkeliling dulu sebelum bertemu dan ngobrol dengan mereka. aku memperhatikan ada beberapa diantara anak di panti asuhan ini memiliki down syndrome, sehingga tidak bisa diajak bercakap-cakap dengan cara yang normal. salah satunya kemudian memilih Ayu menjadi ibunya. aku sempat memotret mereka berdua. aku yakin dalam hatinya, anak berkaus kuning itu juga tersenyum.



Rumah Diakona baru saja selesai direnovasi dengan bantuan dari HSBC Kita, sehingga mereka bisa punya kamar-kamar tambahan untuk menampung lebih banyak anak. gedung baru itu punya sirkulasi udara yang baik dan memang dirancang untuk menampung banyak orang sekaligus. kata Gabriella, tempat tidur dan kasurnya didatangkan dari Losari, setelah sebelumnya hanya sekali dipakai oleh Paspampres yang mengawal Presiden SBY waktu menginap di Losari. kedengarannya memang merepotkan kalo mau kedatangan Presiden, sampai harus beli kasur dan tempat tidur baru. tapi untunglah, masih bisa dipergunakan untuk hal baik sesudahnya.



cerita apapun yang kudengar hari itu, hal apapun yang kami lakukan di Pondok Diakona hari itu, seperti berusaha menumpahkan bergalon-galon air mataku. aku betul-betul harus berusaha keras mengendalikan diri. haru dan perasaan tidak berdaya campur aduk jadi satu. ingatan bahwa aku seringkali lupa bersyukur dan berterima kasih atas semua yang sudah kudapatkan, terasa mencabik-cabik hati. disisi lain, aku juga terharu karena melihat anak-anak di Pondok Diakona tampak sehat dan terawat. jadi kalau dalam foto-foto di postingan ini aku bisa tersenyum, itu adalah hasil dari usahaku mengeraskan hati, supaya tidak terduduk lemas berkubang air mata ketika anak-anak itu menghampiriku, mengucapkan selamat datang dan mengajakku bercakap-cakap.


di foto ini, aku dan Ayu ikut menyanyi bersama anak-anak Pondok Diakona, tak lama setelah mereka makan siang. kalau nggak salah, kami sedang menyanyikan More Than Words waktu foto itu diambil.



setelah itu kami pergi mengunjungi perpustakaan mereka. tempatnya betul-betul menyenangkan! dan koleksi bukunya cukup beragam, suasananya juga nyaman. ada banyak buku bacaan anak, dan mereka juga punya TV serta beberapa film untuk ditonton beramai-ramai. di salah satu rak, kami menemukan juga buku-buku klasik seperti Chronicles of Narnia dan Robin Hood. tapi yang bikin kami kaget adalah buku "Heidi Grown Up". pasti pada tau kan, cerita Heidi, gadis yang tinggal di gunung bersama kakeknya, yang lalu dikirim ke kota untuk menemani gadis kaya yang tinggal di rumah mewah, tapi badannya lemah sehingga nggak bisa berjalan dan harus duduk di kursi roda. ternyata ada versi ketika Heidi sudah dewasa! aku jadi penasaran seperti apa isi bukunya.




aku terkagum-kagum sama Gabri yang bisa dengan cool bisa tersenyum, bicara dan mendengarkan cerita anak-anak. memeluk mereka, tertawa bersama mereka, nyaris tanpa perubahan ekspresi yang berarti. walaupun menurut pengakuannya, setiap kali datang, ia selalu trenyuh dan siap menumpahkan air mata kapanpun juga.


tak heran, waktu aku mengucapkan selamat berpisah pada Gabri, air mata haru yang kutahan-tahan selama beberapa hari itu tak bisa kubendung lagi. dengan mata berkaca-kaca, aku memeluknya, lalu hanya bisa berkata.
"Gabri, thank you for doing so much untuk orang Jawa"

Wednesday, January 16, 2008

a taste of dream

bisa tidur nyenyak sebenarnya bukan pengalaman yang terlalu istimewa. setidaknya buat orang yang nggak pernah mengalami kesulitan tidur. nggak pernah amnesia, nggak pernah mengalami harus sudah bangun jam 7 pagi walaupun pergi tidur jam 2 dini hari.

buatku, tidur nyenyak dalam waktu yang panjang adalah kemewahan yang nggak setiap hari bisa didapatkan. makanya terasa agak aneh pas pergi ke Jogja-Bandung-Jakarta akhir tahun kemarin, bisa-bisanya aku tidur nyenyak selama tujuh malam berturut-turut, walaupun setiap malam aku berada di tempat yang berbeda-beda.

rasanya jadi seperti merasakan sekecap mimpi pada masing-masing persinggahanku setiap malam. oyah, postingan ini rada basbang karena harusnya ditulis pas abis liburan tahun baru, tapi baru sempat dikerjain sekarang.


27.12; Rumah Indie, Jogja
kayaknya hanya di rumah ini deh aku tidur sekamar sama tuan rumah. Indie ini sekarang menulis untuk websitenya yang berisi segala cerita tentang hidup di Jogja, termasuk dari sisi kuliner, seni dan jalan-jalan. dia juga menulis untuk sebuah majalah fashion dan kami jadi membahas-bahas tentang penulisan untuk fashion. seneng deh, bisa begitu. soalnya udah lama banget kami nggak ketemu dan cerita-cerita seperti waktu di kampus dulu. atau seperti nyaris sepanjang dua hari semalaman itu.


28.12; Rumah Pak Warno, Jogja
letaknya memang hampir keluar Jogja. dan Wonocatur itu ternyata nggak ada hubungannya sama Condong Catur. :D
di rumah ini aku mengalami pagi yang menyenangkan bersama Pak Warno dan Bu Rini. membahas topik-topik yang bervariasi, mulai dari seni rupa, masa lalu, kehidupan masa kini, sampai urusan-urusan yang berkaitan dengan jodoh dan masa depan. lengkap deh, pokoknya!

hari itu juga aku baru tahu kalau ternyata Bu Rini adalah vokalis dari band keroncong paling legendaris di Jogja, yaitu Keroncong Sukar Maju. wah! aku langsung memperkenalkan diri sebagai pengagum. sesuatu yang ia sambut dengan tawa sumringah. hihihi...

aku bahkan sempat bicara dengan anak kedua keluarga ini, Gita, yang sedang mengikuti program AFS di Vermont. dan lucu juga karena aku sama Gita, yang saat itu aja langsung dikenalin, bisa seketika lancar ngobrol dan cerita-cerita. kayak udah pernah ketemu sebelumnya.


29.12; Studio Taman Jiwa, Muntilan
di studio ini sebetulnya aku lebih sibuk sama dua ekor anjing yang namanya sama ini. sebutlah Bo! dan salah satu atau kedua anjing ini akan segera menghampirimu. mereka manja banget!
dan setelah aku foto disana sini, dengan setia mereka mengikutiku setiap kali jalan hilir mudik menyeberangi halaman dari rumah induk ke studio.





30.12; Kereta Api Turangga, Jogja - Bandung
aku duduk sendiri, sesuai dengan tiketku. dikasih selimut begitu mulai duduk, dan dapet juga 4 bantal bermerek kereta api. Turangga itu berangkat tengah malam dari Jogja, bikin aku lumayan lama duduk-duduk menggosip sama Jambul di Stasiun Tugu. seperti biasanya, kalo lagi nunggu dan ada temennya, pastilah seluruh keributan datangnya dari arah tempat dudukku.

baru sekali ini aku tidur dalam posisi ketekuk nggak enak, tapi bisa tidur lama, tanpa pegal-pegal dan tanpa kesemutan. ajaib banget lah, pokoknya.


31.12; Rumah Abi, Bandung
malam tahun baru yang seru bersama warga Kampung Gajah. sebetulnya cerita di rumah ini bisa jadi satu postingan blog sendiri. tapi berhubung aku sedang nggak dalam mood untuk menulis laporan, jadi buat yang pengen tahu bagaimana cerita kopdarnya, mendingan minta diceritain sama Mahen yang udah bikin report aja.

aku sampai di rumah ini sore-sore setelah pulang dari belanja barang-barang yang mau dipergunakan untuk acara malamnya, sekalian dengan beli jaket kulit warna ungu akibat dikomporin Abi. rumahnya sejuk dan well designed, thanks to orang tuanya Abi yang arsitek dan desainer interior.

setelah mandi, tiba-tiba hawa ngantuk mulai terasa. dan hamparan bed cover yang melapisi matras itu terasa begitu mengundang. aku segera terlelap dalam hitungan detik. bangun-bangun langsung ngerasa laper dan jadi harus menghadapi tatapan Abi yang bengong mendengar pengakuan laparku, padahal baru berselang tiga jam dari waktu makan siang.

hihihihi, tapi sebelum aku jadi cranky, Abi buru-buru memastikan aku dapat Indomie goreng lengkap dengan telur ceploknya. thanks, Abi. having a friend like you is a bless.

malemnya, waktu pergantian tahun kira-kira tinggal kurang satu jam lagi, aku yang udah kecapekan nyanyi-nyanyi, masih kenyang karena udah makan duluan, dan kebawa-bawa hawa yang sejuk nyaman dengan dikelilingi teman-teman, mendadak terlelap dengan sukses di kasur yang terhampar di depan TV, sambil memakai jaket yang warnanya nggak matching sama warna bajuku itu. dan lihatlah apa yang mereka lakukan padaku selama aku tidur.



walopun aku emang rada keterlaluan, sih. karena aku tetep nggak bangun walopun suasana begitu riuh-rendah, gegap-gempita, pake acara ditiup-tiupin terompet ke kupingku segala. walaupun sambil dikasih selimut juga. hihihi...


01.01; Rumah Taufik, Bandung
aku menulis postingan ini sekaligus untuk minta maaf sama Taufik. karena sesampai di rumahnya, setelah mandi, kami berencana pergi makan bareng. sebelum mandi aku dan Taufik udah cempat ngobrol-cerita-curhat seperti biasa. abis mandi juga cerita-cerita lagi. lalu tiba waktunya Isya dan Taufik pamit ke masjid depan dulu.

niatnya sih pergi. niatnya mo makan malam sambil menikmati suasana Bandung.
tapi niat tinggal niat, karena begitu Taufik pulang dari masjid, aku udah terlelap dengan manisnya di kasur yang empuk itu. duh, kesannya kok obrolannya Taufik jadi dongeng pengantar tidur ya?


02.01; Rumah Ari, Jakarta
setelah tidur terus di Bandung, nginep di rumah Ari malah jadi penuh kegiatan;))
sempat makan malam bareng Ochie dan Oom Deddy, minus Tante yang lagi pergi naik haji. sempat nonton Quickie Express sama Ari dan Fikri, sempat ngopi dan nggak sengaja ketemu make up artist yang kerja bareng aku di Komaneka bulan lalu. dan sempat pergi beli DVD! hihihi...
tapi hampir lupa bawa tiket waktu mau berangkat ke airport.
*wink*

Saturday, January 12, 2008

La Vie En Rose

Hold me close and hold me fast The magic spell you cast This is la vie en rose When you kiss me heaven sighs And though I close my eyes I see la vie en rose
akan perlu waktu lama sekali untuk melupakan cara Marion Cotillard dalam perannya sebagai Edith Piaf naik ke atas panggung. gerak tubuhnya, senyum dan terutama tatapan matanya yang berbinar-binar membuatnya tampak begitu bercahaya. Cotillard berhenti menjadi dirinya sendiri, dan sepenuhnya menjadi Piaf dengan segala hal yang melekat padanya. rambut ikal keriting, bibir penuh berwarna merah darah, alis mata yang tipis, garis rambut yang jauh, menunjukkan kening yang luas. seluruh tampilan itu diperkuat dengan gerakan tubuh yang sempurna. posisi berdiri, cara tangan bergerak, ekspresi waktu menyanyi, caranya berjalan, bagaimana bahu sedikit membungkuk dan terlihat kaku, sementara bagian tubuh yang lain terlihat bebas. Edith Piaf hidup hanya untuk menyanyi diatas panggung. dan Cotillard berhasil menerjemahkan pesan itu dengan tepat. Piaf diatas panggung menjelma menjadi dewi yang diberi nyawa oleh musik yang mengalun mengiringinya. dewi bergaun hitam berkalung salib emas yang selalu dikenakannya. dewi yang begitu mencintai seni suara dan lagu bahkan hingga saat kanker sudah menggerogoti tubuhnya, ia masih bisa bergerak, bersemangat dan berekspresi karena sebuah komposisi yang bagus. sebuah komposisi yang menggugah. Piaf terlahir dan dibesarkan oleh tempaan kerasnya hidup. setelah ditelantarkan oleh ibunya, Piaf kecil tumbuh berpindah-pindah. mula-mula dititipkan pada nenek dari ibunya, lalu di rumah bordil yang dikelola nenek dari ayahnya saat ia mengalami kebutaan sementara, sampai kemudian ia berkeliling bersama ayahnya dalam sirkus, sebelum kemudian mereka menggelar pertunjukan akrobat dan nyanyian bersama. kehidupannya di jalan menurutku membentuk kepribadian Piaf seperti tampak dalam film. ia menghargai ayahnya, membenci ibunya, mencintai Momone, memberikan segala-galanya untuk memiliki cinta, dan memiliki gairah hidup yang begitu besar meskipun segala sesuatu terenggut dari kedua telapak tangannya yang indah. ia dipisahkan paksa dari Titine pada usia 8 tahun. adegan pemisahan ini kemudian berulang pada saat polisi menjemput Momone dari kamar tempatnya tinggal bersama Piaf. Marcelle anaknya meninggal pada saat berusia 2 tahun. Louis Leplee yang menemukannya di jalan dan memberinya kesempatan pertama untuk tampil di panggung mati dibunuh. tapi yang menghancurkannya adalah kematian Marcel Cerdan, kekasihnya yang terikat pernikahan dengan perempuan lain. Piaf dalam film itu berkata; "Tuhan jadi saksiku bahwa dalam hubungan ini aku tidak meminta apa-apa, tetapi aku bersedia memberikan segala-galanya" maka ketika Marcen meninggal dalam kecelakaan pesawat Air France yang naas pada malam saat ia kembali dari New York menuju Paris untuk menemuinya, hidup Edith Piaf berakhir. ia kehilangan alasan untuk meneruskan hidup yang begitu tragis, hampa dan sengsara. hanya musik, lagu dan ketergantungannya pada obat-obatan terlarang yang menopang hidupnya selama lima tahun ke depan. namnu jika hidupnya mudah, barangkali Edith Piaf tidak akan jadi legenda seperti yang kita kenal sekarang.

Saturday, January 05, 2008

desember ceria 10

"kamu romantis" katanya sambil tersenyum. komentar yang membuatku tersenyum balik. sebelumnya Ugoran bilang kalau dia sudah membaca pengantar yang kutulis untuk pameran tunggal Wayan Suja, yang bisa didownload disini, (sekalian promosi) dua hari sebelum aku memberikan katalog pameran itu padanya. malam ini.

malam saat aku bertemu lagi dengan Ugoran Prasad ini memang istimewa karena kami semua sedang berkumpul untuk merayakan masa lalu. tahun 1997, Forum Musik Fisipol pertama kali mengadakan acara "Desember Ceria", pentas musik yang lahir dari kegemaran dan keseharian nongkrong bersama di area sekitar kantin-pohon mangga-tapal kuda-depan setrajana-kandang babi. ya, kami menyebut ruangan tempat kami bekerja menyiapkan acara musik sebagai Kandang Babi. dari pentas pertama itu, timbul keinginan untuk melakukannya terus menerus, setiap tahun. meski dengan uang yang terbatas, dengan peralatan seadanya, dengan cuaca Desember yang seringkali tak bersahabat.

lalu semakin banyak band lahir dan tumbuh bersama pentas ini. lalu FMF memutuskan untuk menampilkan hanya band-band yang menyanyikan lagu mereka sendiri, bukan sekedar cover version lagu orang lain. lalu waktu terus berjalan, dan tahu-tahu Desember Ceria sudah berusia 10 tahun.

malam itu aku disambut senyum lebar beraroma air kedamaian, dirangkul dalam dekap rindu dan persahabatan, ditepuk bahu dengan sayang, diselingi canda tawa dan pekik keceriaan, lalu mereka akan mengacak rambutku seperti selalu kuingat.
"apa kabarmu?" sapa dan tanya kudengar berkali-kali.


Jambul-Ina-Ugoran-Yossie

dan aku bertemu band lamaku, Melancholic Bitch, secara utuh. rasanya sudah lama sekali berlalunya tahun-tahun ketika aku pikir aku nggak bisa hidup tanpa mereka. Yossie, Ugoran dan Teguh Hari a.ka Jambul. lalu belakangan ada Yanu dan Aan juga. senang sekali rasanya bisa turun ke lapangan di depan Plasa Fisipol yang becek oleh gerimis, berteriak ke arah panggung seperti groupies bersama teman-teman, berharap mendengarkan lagu-lagu keparat dari masa lalu.

"Ugo, I love youu!!!"
bwahahahaha... memang gitarisnya lebih ganteng. tapi mendingan panggil-panggil vokalis, soalnya kalo bukan kita-kita sebagei kru dan mantan kru, siapa lagi yang akan mengelu-elu-kannya. ahahahaha...

beberapa teman, seperti aku, datang dari luar kota, menyengajakan diri supaya bisa bertemu dengan semua teman. ada pula yang nitip dibeliin suvenir aja, asal masih tercatat sebagai anak FMF, komunitas tanpa bentuk yang prestisius. hehehe... seleksi masuknya susah! nggak semua orang bisa tahan berlaga disini.

lewat tengah malam ketika Kill the DJ dan DJ Vanda masih nyalang di panggung, aku meninggalkan kampus dengan hati yang bernyanyi dan berbunga-bunga. kelopaknya tersebar sepanjang langkahku meninggalkan parkiran yang sangat kukenal, diiringi ikatan persahabatan yang mengambang di udara, dan tak akan lenyap dengan mudah. Yossie dan istrinya melambaikan tangan, Ugoran dan kekasihnya yang cantik sudah lenyap terlebih dulu. Jambul yang duduk di sudut meja, yang gelarnya everybody's darling-nobody's lover, berbisik padaku "kapan punya waktu bertemu lagi?"

segera, kataku. nanti ku-sms.

Thursday, January 03, 2008

serendipity

adalah disapa seorang teman yang sudah bertahun-tahun tak bertemu denganmu, di sebuah kota yang jaraknya 20 jam perjalanan darat dari tempatmu tinggal. teman itu bilang, ia memutuskan untuk mendatangimu karena melihatmu menyeberang jalan.

serendipity, adalah menerima sms dari seseorang, pada saat kamu sedang mengetik sms untuknya, mengenai hal yang sama. lalu mendadak hatimu terasa hangat karena menyadari, selama beberapa saat, kalian tengah saling memikirkan.

selamat tahun baru!
:D

Wednesday, December 19, 2007

Tiga Stanza Untuk Gabriella. #2



tempat itu dulunya adalah sebuah sekolah dasar. akibat keberhasilan program KB, jumlah siswanya turun drastis dan pada akhirnya terpaksa ditutup. semua bangunannya masih lengkap. ruang kelas yang kosong, mungkin dengan bangku dan meja di dalamnya, kini jadi tempat sapi-sapi yang kehujanan berteduh. jadi tempat penggembala menyimpan jerami.

dulu, itu adalah sebuah SD Inpres yang ideal. dengan arsitektur yang sama dari Sabang sampai Merauke, dan halaman luas yang membentang sampai kejauhan, dibatasi oleh jalan berbatu dan sawah penduduk.

di jalan berbatu itu, dari kejauhan kulihat Andrea mendekati kami dari atas sepedanya, dengan rambut pirangnya yang berkibar-kibar dan earphone tertancap di liang telinga. senyumnya melebar setelah sosok kami memasuki jarak pandangnya. jalan berbatu itu terhubung dengan Losari, dan semakin menjadikan bangunan SD yang terlantar ini sebagai tempat yang ideal untuk menjadi pusat pembelajaran dan pengembangan batik.

dalam waktu yang tak lama lagi, orang akan bisa berkunjung ke tempat ini sebagai bagian dari tur setengah hari yang diawali dengan trekking keliling desa, belajar sedikit tentang batik, dan diakhiri dengan makan siang.

sebetulnya itu ideku.



satu-satunya hal yang kusesali dari masa kecil yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain adalah keadaan yang tidak memungkinkan aku untuk sering bertemu dengan nenekku. akibatnya, aku tidak mewarisi keterampilannya membatik. kalau saja kami sering bertemu, tentu aku sudah bisa meyakinkannya untuk mengajariku, meskipun ia menganggap keterampilan itu sudah ketinggalan jaman dan nggak perlu lagi diturunkan pada anak dan cucunya.

aku ingat waktu aku berumur 10 tahun, dalam satu kesempatan yang sangat jarang, kami sekeluarga menghabiskan sebulan liburan di Pacitan. di rumah Mbah Milatin dan Mbah Kayat yang bersebelahan di Peden, aku menemukan beberapa ibu dan nenek yang sedang membatik. waktu itu aku sedang jalan-jalan sama Mbah Kakung yang masih sehat.

kini yang tersisa tinggal Mbah Kayat. dan setelah nenekku terkena serangan stroke tahun lalu, hanya itu satu-satunya ingatanku tentang membatik.

justru di Bali hidupku bersinggungan lagi dengan batik. melihat, menyentuh, mengagumi dan mempelajarinya setiap hari. seperti deja vu yang terjadi selalu dan terus, ketertarikan dan ikatan yang kurasakan pada batik datang dari bawah sadarku. kalau aku punya kehidupan lain sebelum kehidupan saat ini, boleh jadi pada kehidupan lain itu aku dan batik memang tak terpisahkan.

dan luapan rasa itu membuncah tanpa ampun, sebuah tong kayu yang diisi terlalu penuh sehingga permukaan airnya menjilat bibir tong -nyaris tumpah, seluruh ingatan, haru dan sesal bercampur aduk menjadi satu ketika aku mengunjungi rumah tempat warga desa Gemawang membatik siang itu.

untuk menyambut kedatangan kami yang bergaya seperti turis, dengan jins dan t-shirt dan kacamata hitam, mereka semua memakai batik tulis yang mereka buat sendiri. pakaian apa yang lebih istimewa dari pada sesuatu yang menunjukkan keterampilan dan kemampuan orang yang memakainya.

warga desa ini sudah mulai membatik sejak dua tahun yang lalu, atas dorongan Gabriella Teggia dan Yayasan Losari. sebelumnya, di sekitar daerah itu sama sekali tidak ada orang atau komunitas yang membuat batik. kalau kuingat-ingat, memang belum pernah kutemui literatur yang menyebut bahwa di Kabupaten Semarang dikenal motif atau jenis batik tertentu. CMIIW, ya...

mereka yang membatik menggabungkan diri dalam satu kelompok dan berkegiatan di rumah salah satu warga desa, tempat kami dijamu kue pancung siang itu. pembagian tugasnya sederhana, sebagian besar laki-laki memusatkan perhatian pada pengolahan kain, pembuatan pola, dan pewarnaan. sementara para perempuan yang tangannya tetap lebih banyak membatik. keheningan dalam ruangan tempat membatik begitu terasa, sampai aku khawatir justru kedatangan kami yang membuat keheningan itu pecah, dan membuyarkan konsentrasi.



aku mendengar suara canting beradu dengan wajan kecil tempat malam dipanaskan, mendengar suara nafas dihembuskan pada malam yang cair sebelum diterakan.



mereka memulainya dari awal. mulai dari mengolah kain, membuat pola, menerakan malam, dan mewarnai batik dengan bahan-bahan alami. salah satu pola baru yang dikembangkan, bermotif kopi yang merupakan tanaman yang banyak dijumpai di sekitar tempat ini. saat ini, terutama, mereka sedang berusaha keras menguasai teknik pewarnaan dengan nila, tanaman yang dengan mudah bisa dijumpai di sawah, tapi banyak yang tidak tahu kegunaannya.



padahal hanya sekitar satu abad yang lalu, Jawa terhisap habis oleh politik tanam paksa VOC. nenek moyangku membangun Belanda dengan menanam nila. dengan ingatan yang pendek, kita begitu mudah melupakan sejarah dan warisan nilai-nilai.

kadang aku takut memikirkan begitu banyak hal yang lenyap karena kita tidak ingat lagi.

duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...