Sunday, March 19, 2006

akar, diaspora dan ubur-ubur

Yudi Ahmad Tajudin, sutradara Teater Garasi datang ke Bali untuk pertunjukan kolaborasi karya seorang sutradara Italia yang dipentaskan di Pura Dalem Batuan di Sukawati. pertunjukan itu sendiri tidak hanya melibatkan seniman-seniman di Batuan, tetapi juga penampil dari seluruh dunia. aku menerima sms-nya siang itu.

Ina, ini Ogleng. Kamu masih di Bali? Aku baru nyampe Ngurah Rai
15.19
15.03.2006

sementara hari itu aku punya pertunjukan Harri Stojka di galeri dan nggak mungkin kabur gitu aja ke Batuan. akhirnya disepakati kalau kami akan bertemu di Komaneka setelah dia selesai di Batuan.
malamnya, kami bertemu dan dalam suasana yang campur aduk kami memutuskan ke Flava Lounge menemui beberapa teman yang sudah datang terlebih dahulu, lalu mulai bercakap-cakap. dia bilang kalau dia datang untuk beristirahat sebelum memulai kerja yang lain. dia ingin menemukan damai disini. di Ubud tempat waktu berhenti.

aku nggak ingat kapan terakhir kali aku ngobrol lama dengan mas Yudi. rasanya udah lama sekali, atau bahkan memang nggak pernah. aku hanya ketemu dengannya dalam beberapa peristiwa. sebagian besar karena pentas Garasi. sebagian yang lagi karena berbagai acara dan selalu terkait dengan pekerjaan. sekali, pernah aku bicara lama dengannya di telepon, waktu aku sedang sedih dan patah hati. yang sampai sekarang juga aku nggak paham kenapa waktu itu memilih curhat padanya.

kami bicara tentang berbagai macam hal. dan semuanya lalu bermuara pada kesendirian. pada bagaimana selama ini masing-masing kami menjalani hidup. aku kesulitan untuk menulis ulang apa-apa saja yang kami bicarakan selama dua malam dan satu hari itu. karena percakapan yang terjadi susul menyusul satu sama lain. berawal dan berujung pada pertanyaan. kami sama-sama sepakat bahwa masing-masing kami tidak punya akar. kehilangan kemampuan untuk berpegang pada hanya satu tanah, satu tempat, satu alasan. bahwa apa yang aku percayai, misalnya adalah sesuatu untuk bisa memberiku pijakan, memberiku arah. tapi aku nggak akan pernah bisa benar-benar terhubung dengan sebuah tempat dengan sekelompok orang. setidaknya untuk saat ini.

aku bilang kalau aku mungkin ubur-ubur. yang mengambang dan nggak pernah lekat pada sesuatu, kalaupun itu yang menjadi ukuran akar. Casper (belakangan waktu aku bercerita padanya) bilang kalau ubur-ubur itu bukan tanaman, jadi ini soal lain. mas Yudi bilang kalau aku ini semacam diaspora, yang melayang bersama angin. sementara dia lebih memilih untuk jadi komuter. menetap di suatu tempat saja, lalu terus menerus melakukan perjalanan ulang alik. hal terbaik dari orang yang (saat ini) tak berakar sepertiku adalah aku selalu punya perspektif sebagai orang luar. sehingga seringkali bisa melihat semuanya dengan lebih jernih. aku nggak punya pembelaan mati-matian yang heroik atas segala sesuatu. karena hidup selalu berubah. dan jalannya, meski ada pengulangan disana sini, adalah seperti spiral, yang melingkar dan berevolusi.

aku berpisah dengan mas Yudi selepas tengah malam pada jam-jam terakhirnya berada di Ubud. dia akan berangkat ke bandara pada jam 4.00 untuk naik pesawat yang bertolak pada pukul 06.05. dua sms-nya aku terima di pagi hari, sebelum -dengan mata melebar dan wajah yang pucat karena kurang tidur, aku berangkat ke Komaneka untuk sarapan pagi dengan Gundi Lamprecht.

aku gagal untuk tetap terjaga. tapi berhasil bangun pada saatnya. dan tersenyum membaca cerita tentang hubungan yang diharapkan terjalin lewat sejumput mie yang tak juga masak pada saatnya.
03.00
17.03.2006

aku pulang. terima kasih atas seluruh percakapan yang kau curi dari dirimu yang mengambang dalam dunia kecil yang tenang bernama ubud ini. sampai waktu yang lain, dunia yang lain.
03.08
17.03.2006

2 comments:

jsop said...

Cerita anda , sepertinya terjadi dimana-mana , dan bisa dipahami .

salam kenal dari saya,
jsop

Dian Ina said...

wah! tulisan saya dibaca seorang musisi hebat...
salam kenal juga dari saya
:D

duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...