Friday, October 02, 2009

yang tumpul tanpa hati

dalam benak sejumlah reporter dan pembaca berita di TV, rupanya terinstall sebuah layar teleprompter yang lebih kurang bentuknya seperti layar komputer yang dijalankan dengan DOS. setiap kali ia melaporkan suatu kejadian dan harus ngarang, layar itu akan muncul dan memandunya berbicara. sayangnya, teleprompter itu sudah kuno, terlalu usang, maka tak heran, pertanyaan yang keluar dari mulut sejumlah reporter dan pembaca berita di TV yang sedang kubahas ini, terdengar nggak pantas dan nyata-nyata tolol.

"bagaimana perasaan Bapak setelah mengetahui anak Bapak meninggal dalam gempa ini, Pak?"
"bagaimana perasaan Bapak karena tidak mendampingi anak Bapak saat gempa terjadi?"
"apakah para orangtua murid yang sedang menunggu kepastian berita mengenai anak mereka yang tertimbun puing-puing terlihat cemas, begitu?"
"bagaimana jika ternyata keadaan berkata lain dan anak Bapak tidak berhasil diselamatkan dari reruntuhan?"

dalam teleprompter otak mereka yang dangkal dan tumpul, dalam hati mereka yang tak punya rasa, para reporter dan pembaca berita ini rupanya mengajukan pertanyaan dengan jawaban berganda dan pilihannya kira-kira begini:
a. yagitudeh...
b. sedih, tapi saya sudah pasrah, ini semua kehendak Allah
c. biasa aja, sih. ini juga kalo istri saya gak ngotot kesini, mendingan saya tidur di rumah.
d. kalo memang meninggal, itu berarti kesempatan buat saya bikin anak lagi.
e. saya sih agak berdebar-debar karena habis ini pasti banyak bantuan datang
f. semua jawaban benar

bahkan ketika yang diwawancarainya sudah tersedu-sedu berlinang air mata, rentetan pertanyaan itu tak kunjung berhenti. seolah tangis hanya sekedar jeda iklan. pertanyaan dialihkan sebentar pada orang di sebelahnya, lalu ketika tangis narasumber yang dimaksud sudah reda, mic segera diacungkan lagi pada yang bersangkutan dan pertanyaan berikutnya segera terlontar.

media kita, terutama yang bersikeras menyebut dirinya media berita meskipun melaporkan hal-hal serius dengan gaya infotainment dan drama sinetron, benar-benar memerlukan pasokan baru reporter dan pembaca berita dengan kemampuan otak yang lebih baik.

Friday, September 11, 2009

adventure series: mengenang Langnau am Albis



bagaimana harus kukenang Langnau?
desa sunyi di lembah Sihltal yang tampak bagai kartupos, hembusan angin sejuk pegunungan dan lolongan serigala yang sayup-sayup terdengar dari Wildpark Langenberg yang pintu masuknya hanya berjarak sepuluh menit jalan kaki dari rumah. hutan konservasi yang juga berisi kijang, rusa, kambing gunung, rubah, berbagai jenis hewan pengerat dan kucing hutan. celotehan ramai anak-anak TK, bayi-bayi dan ibu-ibu yang bertukar gosip dalam bis yang membawa mereka pulang dari playgroup yang letaknya hanya berselang dua bangunan dari sebuah rumah jompo berdinding batu dan berhalaman taman bunga. keramahan pasangan yang aku kunjungi, serta anjing mereka, Raya, yang mendadak kegirangan setiap saat dan melupakan tata krama yang dipelajarinya di sekolah, persis seperti anak kecil yang sibuk cari perhatian saat ada tamu datang ke rumah.

jalan-jalan beraspal halus yang lengang dan kanan-kirinya ditumbuhi pepohonan dan rimbunan berbagai jenis semak berry, buah-buahnya yang luruh mewarnai trotoar dengan cairan merah tua, ungu, biru tua nyaris hitam. setiap saat kami lengah, dengan serta merta Raya akan menyurukkan kepalanya ke dalam semak, mengunyah berry sampai sari-sarinya berlelehan dari sela-sela mulutnya. dan karena udara hari itu teramat panas, setiap beberapa meter sekali, Raya akan melompat masuk ke dalam selokan yang airnya sejernih air PAM di negaraku, cockier spaniel berbulu gondrong itu tampak begitu bahagia di dalam air karena berhasil mengenyahkan gerah yang melingkupinya. dalam suhu 25˚C, tak hanya manusia, binatang di Swiss pun merasa kegerahan.

dan saat ia melihat burung terbang rendah, darah pemburu yang mengalir dalam diri anjing sejenisnya menggelegak. membuatnya meloncat dan mengejar burung-burung malang itu sambil menyalak-nyalak ganas. berhasil atau tidak, tak berapa lama kemudian ia akan kembali dengan mulut yang nyengir lebar, lidah kemerahan terjulur, terengah-engah...

atau, rumah petani yang hanya lima belas menit jalan kaki jauhnya dari halaman tempat aku menyantap bolu pandan yang manis-gurih dan teh beraroma buah yang wangi segar. dengan kandang kuda, kandang sapi, hamparan gandum yang menguning keemasan, kebun apel yang dahan-dahannya merunduk diberati buah, dan gundukan balok-balok jerami... aku seperti melihat penjelmaan peternakan nenek bebek dari album komik Donal karya Walt Disney.

dan masakan Wisnu yang mengagumkan. sarapan tanpa cela, pilihan restoran yang cermat untuk makan siang yang tak terlupakan... belum pernah aku makan makanan vegetarian seenak itu, serta hidangan santap malam yang sampai sekarang masih kuingat kelezatannya, Veal Schnitzel and Spaghetti Milanese. aku bertekad suatu hari bisa menemukan daging sapi selembut itu untuk dibuat jadi masakan yang sama.

desa yang hanya berjarak sekitar 15 menit naik mobil dari pusat kota Zurich ini juga mudah dijangkau dengan kereta api dan bus. dari stasiun Zurich, naik kereta S-Bahn Zürich di peron S4. sesampai di Langnau-Gattikon 21 menit kemudian, naik bus Zimmemberg, yang bisa membawa kita sampai ke berbagai pelosok lembah Sihl.

Thursday, September 10, 2009

adventure series: Beyeler Fondation

kami berjalan melintasi koridor berdinding kaca. lorong-lorong panjang ini menghubungkan beberapa ruangan pameran luas, berlantai kayu dan berdinding putih yang memajang karya-karya sejumlah seniman terkenal dari Eropa dan Amerika. di sebelah kiri kami, dari balik dinding kaca, terhampar pemandangan ke arah kebun dan kolam sarat teratai yang bermekaran, nuansa ungu-merah muda ditingkahi hijau daun dan kesegaran musim panas menghadirkan permainan warna yang luar biasa cantik, yang sontak membuatku berkomentar:

"look! it's a perfect canvas of Cézanne, or Monet!" kataku kagum.
"and look what you got on the wall" kata Markus sambil tertawa kecil, seperti geli sendiri karena berhasil memberiku kejutan.

dan di dinding itu, aku melihat triptych karya Monet. memanjang 4,5 meter dan lebar 1,5 meter. anggun bermandikan cahaya matahari musim panas yang menyirami atap kaca tembus pandang dan 900 keping brise-soleil yang melindunginya. Monet seolah memindahkan pemandangan di kebun Beyeler Fondation ke dalam kanvasnya. warna-warna yang saling berpadu maupun kontras, biru, hijau, kuning, merah muda, ungu, diterakan dengan sapuan yang lembut dan ringan seperti kibasan selendang sutera berwarna-warni pelangi milik seorang penari balet yang menjelma jadi bidadari.



kompleks Fondation Beyeler dibangun untuk mewadahi The Beyeler Collection, sekitar 200 karya seni yang berhasil dikumpulkan oleh pasangan suami istri Ernst dan Hildy Beyeler, yang selama 50 tahun sukses sebagai pemilik galeri di Eropa. kompleks museum, ruang pameran, restoran, klub seni, dan art shop ini terletak di desa Riehen, sekitar 20 menit dari Basel, Swiss. tempat ini dahulu dikenal sebagai Berower Park, wilayah hunian bagi kalangan terpandang sejak abad ke-13, dan dokumentasi pemilik-pemilik sebelumnya dapat ditelusuri sampai tahun 1620 saat kompleks ini dimiliki oleh seorang saudagar kain.

pada tahun 1976, komunitas Riehen mengambil alih seluruh kompleks ini, dan saat pasangan Beyeler menyerahkan koleksi mereka dibawah perlindungan sebuah yayasan, diputuskan untuk membangun sebuah museum sehingga seluruh koleksi ini dapat dipertontonkan pada publik. bangunannya yang sekarang adalah karya arsitek terkenal Italia, Renzo Piano, yang juga merancang Centre Georges Pompidou di Paris dan Shard London Bridge Tower. Bayeler Fondation di Riehen diresmikan tahun 1997.

singkatnya, ini adalah tempat yang istimewa yang dirancang oleh orang yang istimewa dan berisi koleksi yang istimewa.



aku datang ke sana untuk melihat pameran khusus karya-karya salah satu seniman Swiss yang paling terkenal, Alberto Giacometti. seniman multitalenta yang dikenal sebagai pematung, pelukis, penggambar sketsa yang luar biasa, sekaligus seorang seniman cetak. pameran itu dikuratori oleh Ulf Küster, yang membuatku terkagum-kagum sama kemampuannya menguasai ruang dan display karya.

selain itu, aku seperti mengunjungi ruang pamer seniman-seniman yang selama ini nama dan karyanya hanya aku lihat dari buku-buku, katalog dan website saja. nggak heran, karena pasangan Beyeler adalah pemilik galeri yang sangat terkenal, mereka pernah bekerja sama dengan banyak seniman ternama, dan sebagian karya mereka itu aku lihat dengan mata kepala sendiri, sampai-sampai otakku ini terseok-seok harus mengingat dan mencerna begitu banyak karya hebat pada saat yang bersamaan. tingkat kemabukan yang nantinya jadi modal penting dalam kunjungan ke Musée d'Orsay dan Musée du Louvre.

selain Monet yang udah aku ceritakan di atas, ada pula karya Wassily Kandinsky, Ellsworth Kelly, beberapa karya Picasso --mulai dari saat ia masih melukis potret dengan gaya realis sampai karya Cubism-nya yang mendunia, satu kanvas besar Pollock yang siap mencengkeram dan menghempaskanmu dalam keruwetan tak berujung, patung Rodin.

sebuah lukisan Mark Rothko yang dipasang dalam ruangan bercahaya minim, yang memaksamu untuk menatapnya selama beberapa menit sebelum retina mata terbiasa pada keremangan. lalu tiba-tiba, persegi-persegi dalam lukisan itu jadi lebih menonjol bagai layar 3D serta entah bagaimana, lukisan itu diam-diam tampak berkilauan. aku terheran-heran. ada pula karya seniman modern Belanda, Piet Mondrian, figur-figur warna-warni dalam lukisan Henri Matisse, juga karya-karya Rousseau, Fernand Léger, Miro dan Francis Bacon, seniman Inggris yang kontroversial itu.

sejujurnya, Beyeler Fondation membuatku betah. dan kalau bukan karena sudah lewat jam makan siang dengan perut yang semakin sulit diajak berunding, aku masih enggan beranjak dari kumpulan benda-benda indah yang mengelilingiku dalam museum ini. sebelum pulang, kami menyempatkan makan siang di Restaurant Berower Park yang hanya beberapa puluh langkah jauhnya dari bangunan utama Fondation, untuk menyantap Bündner Gerstensuppe. sup biji barley, khas orang-orang di pegunungan Swiss, yang rasanya gurih, creamy dan panas mengepul itu cocok berteman beberapa kerat roti bawang. sebuah cara yang nikmat untuk mengakhiri siang yang melelahkan, sambil menanti redanya hujan yang tiba-tiba mengguyur Riehen, menurunkan suhu beberapa derajat, menjadikan angin bertambah kencang, dan berhasil membuatku menggigil.

Thursday, August 06, 2009

adventure series: little slice of heaven



kue kecil berwarna-warni yang sangat ringan. bentuknya seperti burger mini, yang mula-mula membuatku menyangka, bentuknya inilah yang membuat dia diberi nama Luxem-burger-li:). katanya, kue ini dibuat juga di Paris, dengan sebutan macaron. tapi kalo menurut orang Swiss sih tetep aja, Luxemburgerli yang hanya ditemui di toko kue dan cokelat Sprüngli di Zurich ini yang paling lebih yummy.

warnanya disesuaikan dengan isinya. cokelat untuk mocca, berbintik untuk capuccino, kuning untuk jeruk, merah jambu untuk strawberry, putih untuk vanilla dan seterusnya. bagian yang bentuknya seperti bun itu ternyata renyah lembut dan rasanya sangat ringan. berpadu sempurna dengan krim isian yang manis dan kaya, sekaligus gurih lezat. pada setiap gigitan, kita bisa merasakan kue mungil ini meleleh di dalam mulut, memberi sensasi kenikmatan yang luar biasa. smooth and soft, delicious and dreamy.

tak heran ada yang menyebutnya a little slice of heaven.

Saturday, August 01, 2009

adventure series: study, culture and identity



hingga saat pertama kali kakiku menjejak pelataran gedung Drift 21 dan 23 tempat Summer School berlangsung, aku selalu membayangkan yang indah-indah saja tentang bersekolah di luar negeri. pergi ke tempat yang jauh, yang lebih terdengar bagaikan tamasya. hidup di tempat yang sama sekali berbeda, yang diterjemahkan sebagai ratusan lembar foto bernuansa Eropa. memakai bahasa Inggris dan belajar bersama dosen yang easygoing serta teman-teman dari berbagai latar belakang dan warna.

yeah, this is a perfect description of a movie set which combines 90210, Dawson's Creek and Gossip Girl. and if your study is related to witchcraft and wizardry, you can put Harry Potter series on the list. not to mention extra music from Hairspray and High School Musicals.
oh, the list is infinite


cukup aku aja deh yang punya bayangan tolol kayak begitu. bisa kuliah di luar negeri itu bukan sekedar tujuan, tapi adalah awal dari sebuah perjuangan panjang yang penuh kerja keras, bersimbah peluh dan kadang air mata.
dari apa yang aku alami, Utrecht Summer School is a big deal. puluhan mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh penjuru dunia datang ke kota ini untuk mengisi liburan musim panas mereka dengan mengambil kelas (yang salah satunya) European Culture and Identity. dengan kelas ini, mereka akan bisa mendapatkan 4 kredit, yang bisa ditransfer ke universitas mereka masing-masing. dari pengakuan beberapa diantara mereka, universitas tempat mereka kuliah mendorong mereka untuk melakukan hal semacam ini. di kelasku aja ada beberapa mahasiswa dari University of Florida, Oklahoma, Hong Kong University, Chinese Hong Kong University, Salzburg, dan seterusnya, dan seterusnya...

kuliah biasanya dimulai pada jam 9 pagi, dan seluruhnya baru selesai sekitar jam 4 sore. di sela-selanya tentu ada waktu untuk ngemil dan makan siang, tapi banyak juga yang mempergunakannya untuk membaca bahan kuliah, menulis paper, bikin riset untuk tugas dan kerja kelompok. jadwal yang cukup padat dan tugas-tugas yang datang silih berganti selain ujian di akhir summer school yang durasinya sekitar 14 hari ini membuat setiap orang harus bekerja keras supaya bisa berhasil dengan baik di kelas.

aku makin sadar waktu harus bikin essay 500 kata untuk membuktikan bahwa Arsitektur bukanlah contoh yang tepat untuk menjelaskan ketegangan antara romantisme dan positivisme. after collecting resources here and there, I practically spent almost 24 hours to read and discuss my findings with my roommate, before each of us found plenty sentences to make a decent paper and prepare ourselves for a solo debate in the class the next day. aku beruntung karena setelah kelas dibagi menjadi 6 kelompok besar, aku dan Hee Rim --teman sekamarku, secara nggak sengaja mendapat judul paper yang sama, jadi kami bisa diskusi bareng dan nulis papernya berdasarkan preferensi masing-masing.

however, the debate itself was tough.
dan aku rasa seluruh mahasiswa di kelompok seminarku sepakat kalau kami berdua sama-sama gigih, dan karenanya pantas dapat sekantong kue yang enak sebagai hadiah karena menyajikan debat terbaik di kelas. fiuh!



ada satu kelas yang jadi highlight buat aku adalah tentang Agama dan Ritual di Eropa dan Bahasanya, yang aku dapatkan waktu kami sekelas pergi ke Belgia. Summer Course-ku yang judulnya "European Culture and Identity" ini diselenggarakan bersama oleh Utrecht University dan University of Antwerp. di tempat yang kedua itulah, aku mendapat penjelasan tentang perkembangan kehidupan di Eropa, yang seiring dengan perkembangan agama dan bahasa yang dipergunakan, terjadi pula perubahan pada bentuk perkotaannya. ini agak sulit dijelaskan dengan kata-kata karena memang sifatnya sangat 'lokal' dan harus dialami sendiri supaya bisa menyerapnya dengan pas. lagian, kesadaranku akan hal ini nggak hanya datang dari kuliah aja, tapi juga dari apa yang aku lihat di beberapa kota yang sempat aku datangi, dan museum-museumnya.



jadi gini, agama Kristen sebetulnya mulai berakar di Eropa pada masa Romawi, karena kiprah Constantine I yang menganjurkannya. perkembangannya yang sangat luas kemudian mempengaruhi kebudayaan Eropa. terbukti, museum seni di seluruh Eropa memajang lukisan dan patung dari masa Renaissance dan seterusnya, yang sebagian besar adegannya diangkat dari cerita-cerita dalam injil, atau kisah yang berkaitan dengannya. hal ini juga mempengaruhi arsitektur, misalnya yang terus bisa kita saksikan sekarang adalah bangunan gereja yang arsitekturnya bisa dikenali mulai dari gaya Romawi, Gothic, Art Nouveau, Art Deco dan seterusnya. lalu, agama jugalah yang mendorong terjadinya penjelajahan samudera yang mengantarkan pada berdirinya misi gereja di berbagai belahan dunia dan dalam banyak hal, pada akhirnya penjelajahan itu mengantarkan pada terjadinya kolonialisasi. kolonialisasi yang kemudian memberi mereka modal besar untuk membangun dan tumbuh jadi negara yang maju. pengaruh ini aku saksikan di semua kota yang aku datangi, dan makin kusadari waktu aku pergi ke museum. duduk di kelas pada hari itu, rasanya aku tercerahkan.

dalam gambarku ini, bisa dilihat bahwa meskipun strukturnya mirip dan kental dengan nuansa Kristen, bangunan-bangunan yang aku ambil gambarnya ini tidak semuanya gereja. ada Peace Palace di Paris yang terletak di depan Saint Chapele, gereja yang disebut-sebut dan hadir dalam novel dan film 'Da Vinci Code', lalu ada gedung universitas, dan bahkan Binnenhof, pusat pemerintahan Belanda. keindahan arsitektur luar dalam ini menunjukkan betapa agama bisa jadi pemicu berkembangnya sebuah peradaban, terutama pada masa dimana segala kegiatan memang dimaksudkan sebagai bagian dari ritual keagamaan. bukan begitu?

dua lukisan yang aku pasang disini aku lihat di Musée du Louvre. yang pertama karya Raphael, dan yang kedua adalah karya Veronese, yang dipajang di seberang Monna Lisa. lukisan 'Coronation of The Virgin' menggambarkan peristiwa saat Bunda Maria naik ke surga dan dinobatkan menjadi Ratu, sementara 'The Wedding Feast at Cana' adalah peristiwa di mana Yesus dan pengikutnya diundang ke pesta pernikahan di Cana, lalu anggurnya habis. saat itulah Yesus meminta supaya orang-orang mengisi gentong dengan air dan Yesus mengubah air dalam gentong itu menjadi anggur. itu adalah mukjizat pertamanya.

terlalu banyak yang harus diceritakan tentang ilmu dan pencerahan. jadi aku pikir sebaiknya kamu pergi sendiri dan belajar juga di Belanda.
*wink*

Tuesday, July 28, 2009

adventure series: tale from musée d'orsay

siapakah ibu yang paling terkenal di dunia?

waktu pertanyaan ini aku ketikkan di papan pencari google, keluarlah daftar yang kira-kira berisi Bunda Teresa (yang meskipun nggak punya anak kandung tapi jadi ibu untuk ribuan anak di Kolkatta, India), Daphna Edwards Ziman yang menginisiasi program PBB untuk anak-anak, Chilren United Nations, atau mereka yang jadi korban kekejaman Nazi di Eropa pada Perang Dunia II, seperti misalnya Gerda Klein dan Raja Weksler. nama-nama lain dalam daftar ini adalah para selebritis yang juga jadi ibu, baik ibu kandung maupun ibu adopsi, seperti Angelina Jolie dan Cindy Crawford. entah kenapa Madonna nggak disebut. padahal kalau menurut Bruno, Angelina Jolie dan Madonna ada di tingkatan yang sama:

"Angelina's got one, Madonna's got one, now Bruno's got one"

tapi di Musée d'Orsay, ibu yang paling terkenal adalah 'Ibunya Whistler' atau judul resminya 'Arrangement in Grey and Black No.1'. setelah lihat gambarnya, mungkin udah pada nggak asing lagi sama ibu yang satu ini, karena selain wajah dan posturnya pernah menghiasi permukaan perangko, dia juga pernah main film bareng dengan Rowan Atkinson dalam karakternya sepanjang masa Mr.Bean dan filmnya; Bean: The Ultimate Disaster Movie.



lukisan ini adalah karya James McNeill Whistler seorang seniman kelahiran Amerika Serikat, dan lukisan ini disebut-sebut sebagai ikon seni rupa Amerika. tapi meskipun begitu, lukisan ini hampir nggak pernah dipajang di Amerika, karena dibuat di Inggris dan setelahnya dipajang di Paris, mulai dari dinding Musée du Luxembourg lalu kemudian ke seberang sungai Seine, Musée d'Orsay.

selain lukisan ini, dalam museum yang mula-mula merupakan stasiun kereta Gare d'Orsay ini utamanya menyimpan berbagai koleksi seni rupa Perancis, mulai dari lukisan, patung, foto sampai furniture. tapi yang paling menarik perhatianku adalah koleksi karya-karya seniman aliran impressionis-nya yang cukup lengkap dan sangat menarik. terutama karya-karya Edgar Degas, Pierre Renoir, Claude Monet, Édouard Manet dan Paul Cézanne.

aku beruntung karena waktu datang ke sana, sebagian besar karya-karya terkenal itu sedang berada di tempat, nggak jalan-jalan atau dipinjem institusi lain yang mengadakan pameran. aku melihat satu seri studi dan karya Degas yang diinspirasi oleh kelembutan dan kehalusan gerak para penari balet. yang paling menarik, sudut pandang yang dipakai oleh Degas lebih ke sudut pandang fotografi dengan pendekatan yang sama sekali lain dengan angle yang dipergunakan oleh rata-rata para pelukis yang semasa dengannya. selain lukisan, Degas juga membuat sejumlah patung, diantaranya patung ini: 'Small Dancer Aged 14'.



karya lain yang masih terus aku inget sampai sekarang adalah 'Luncheon on the Grass'-nya Manet. dari sejak pertama kali ngeliat lukisannya, aku udah merasa aneh karena mbak cantik yang agak montok dan telanjang ini justru melihat ke arah depan, pada yang melihat lukisannya, dan bukannya pada dua orang laki-laki yang ada di sebelahnya, yang jelas-jelas tampak sedang ngobrol. lagipula, posenya telanjang itu tempatnya kok ya nggak tepat banget, duduk di rumput gitu 'kan banyak sekali semut dan serangganya. nah, antara si seniman memang mau menunjukkan kalau perempuan ini bersikap 'berani' menghadapi dunia. atau memang dia ingin mengacuhkan kedua lelaki di sebelahnya, yang juga tampaknya terlalu sibuk sama dunia mereka sendiri, tanpa mempedulikan ketelanjangan perempuan cantik ini. yea, beginilah akibatnya kalau masuk museum tanpa panduan audio. lebih sibuk menduga-duga dengan pikiran sendiri:D



karya terakhir yang mau aku ceritakan, dibuat oleh Renoir, dewanya impressionisme, menurutku. wah, lukisan-lukisannya begitu manis dan romantis, dengan pencahayaan lembut dan warna-warna yang berpadu cantik, bikin aku mabuk kepayang. yang paling manis tentu lukisan ini: 'Dance at The Moulin de la Galette', yang menunjukkan kecerdasannya dalam menangkap warna, bayangan dan jatuhnya cahaya matahari di berbagai permukaan bidang, lalu melukisnya dengan tepat. cantik yah?!



akhirnya setelah mati-matian antri karcis di depan museum (karena entah kenapa, sepanjang musim panas, ribuan orang tiap harinya berpikir museum adalah tempat yang chic untuk menghabiskan hari), berkeliaran selama beberapa jam di dalamnya, dan susah payah menuju jalan keluar, pada jam 15: 30 aku yang sempoyongan karena lapar cepat-cepat mencari restoran yang masih buka. menyantap makan siang yang terlambat, enak banget dan mahal! sebelum kembali berkelana di belantara Paris.

Monday, July 27, 2009

adventure series: mourning day

seperti hari-hari sedih lainnya, hari itu sangat kelabu. mendung memenuhi angkasa, hujan tak henti mengguyur bumi sejak subuh. Langnau yang kecil dan permai seolah sedang berduka, duka yang diseret-seretnya sampai ke jalan raya antar kota yang menghubungkan Zurich dan Basel.

hujan membasahi pucuk-pucuk hutan cemara, menjadikan puncak gunung diselimuti kabut. laporan cuaca menyebut angka 12˚C dengan perkiraan terjadinya hujan badai di sejumlah kawasan Swiss. aku bayangkan binatang-binatang di Langenberg, wild park yang kami lewati saat keluar kompleks perumahan tadi, para beruang bulu cokelat, rusa bertanduk panjang, kucing hutan dan serigala, semua meringkuk kedinginan dan agak kebingungan. kemarin cuaca begitu cerahnya. ada apa gerangan?

rupanya hari ini hari sedih. 
dua bom meledak di Jakarta. di hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Mega Kuningan. kabar yang membuatku terpekur saat pertama kali mendengarnya di radio. penyiarnya berbahasa Jerman, jadi aku hanya bisa mendengar kata Jakarta-Indonesia-Marriott-hotel-Ritz-Carlton-bom yang diulang-ulang beberapa kali. Markus yang menerjemahkan isi beritanya padaku.

aku berduka. 
semoga mereka yang tak berdosa dan terenggut nyawanya mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. mereka pantas mendapat tempat yang terbaik dan keadilan di dunia, agar kematian mereka tidak sia-sia.

Friday, July 24, 2009

adventure series: the day I saw her

aku bergegas turun dari kereta, lalu naik eskalator ke stationshal untuk mencari jalan keluar, ke arah Centrum. naik, kiri, kiri, aku mengingat-ingat petunjuk yang diberikan Kiki sesaat sebelum berpisah di restoran Paradise, rumah makan Cina yang masakannya paling oke se-Utrecht. masih kebayang rasanya babat bumbu kecap yang gurih... nyam.

keluar dari stasiun, lurus terus sampai ketemu deretan kafe dengan pemandangan khas musim panas, meja-meja dipasang di teras, diteduhi bayangan parasol, orang-orang berbusana ringan dan berwarna-warni, sebagian berkemeja dan dasi, khas pekerja dari kantor-kantor di sekitar pelataran itu. hari ini agak dingin, sebagian dari mereka memakai kaus hangat lengan panjang dan sepatu boot setinggi lutut. duh, boot itu... kalo Bali gak segitu panasnya, aku pasti udah beli deh. beneran deh.

di tengah plasa ada orang-orang sedang berdemo, berjalan kaki mengelilingi plasa, meneriakkan yel-yel, membawa poster, foto-foto... ah, aku dengar Sebrenica disebut-sebut. mungkin ini acara peringatan pembantaian etnis di Bosnia-Herzegivina. seorang wanita langsing jangkung dalam balutan gaun pendek warna cokelat menyusut airmatanya saat berpapasan denganku, laki-laki di sampingnya langsung merangkul bahunya dengan erat.

aku membelok ke kanan, lurus sampai melihat gerbang Buitenhof, menyeberang jalan, membelok tajam ke kanan, Mauritshuis tegak di kiriku. turun tangga dikit, lalu sampai di pintu masuk museum ini, gedung tiga lantai yang dulu merupakan kediaman Gubernur Jenderal Nassau, Maurits.



aku membeli tiket di loket. penjaganya cekatan dan ramah. ia memberiku juga selembar flier yang berisi info singkat mengenai koleksi di rumah besar ini. aku memandangnya sambil tersenyum

"where can I see her?" tanyaku sambil menunjuk poster di dinding. ia balas tersenyum.
" second floor, room 15" jawabnya sambil tersenyum lebih lebar. aku rasa dia sudah menjawab pertanyaan yang sama ratusan kali.

aku naik tangga setengah berlari. suara langkahku teredam oleh karpet tebal yang terpasang di tangga, sebagian orang tampak berdiri di depan lukisan sambil mendengarkan penjelasan dari headphone yang terpasang di kepala. sesampai di lantai dua, aku masuk ke ruangan di pojok kanan, tapi yang aku temukan adalah lukisan besar Rembrandt.

aku keluar lagi, pindah ke ruangan di pojok kiri.
dan di sanalah ia.

dalam kemudaannya yang abadi, usianya pasti masih belasan waktu wajahnya dipulaskan pada lukisan itu. ia seperti sedang berjalan di suatu lorong gelap, saat seseorang memanggil namanya. ia menoleh, semburat terkejut tampak di wajahnya. mulutnya setengah terbuka, dengan bayang basah di ujung bibirnya. ekspresi kaget yang mestinya hanya bertahan selama beberapa detik, kilau mutiara yang membiaskan cahaya, semua terekam dengan sempurna. dengan warna biru yang dihasilkan oleh gerusan halus lapiz lazuli dari Afghanistan. ratusan tahun yang lalu.



aku berdiri di hadapannya. akhirnya aku berjumpa dengannya. kamu, yang cantik sempurna.
aku merasakan getaran haru menyebar ke seluruh tubuhku, dan tiba-tiba air mataku berlinang tak dapat kutahan.

Tuesday, July 21, 2009

adventure series: I was there!



Gelsenkirchen | Nice | Paris | Milan | Gothenburg | Chorzow | Toronto | Dublin | Amsterdam
All these places feel like home



Snow Patrol [loves] Amsterdam

dengan simpatik Snow Patrol membuka penampilannya dalam rangkaian konser tur 360˚ di Amsterdam ArenA, tadi malam, 20 Juli 2009, jadi salah satu hari paling bersejarah dalam hidupku, karena aku ada di sana!

aku di sana waktu para penonton berulang-ulang bikin stadium wave sebelum konser dimulai. aku ada di sana waktu Gary Lightbody dengan gitar yang strapnya hitam-putih itu menyanyi dan jingkrak-jingkrak keliling panggung, sebelum stadion tenggelam dalam koor lantang 'Chasing Cars'

if I lay here
if I just lay here
would you lie with me and just forget the world...


tiketnya mahal gak? jelas. bikin miskin.
tapi semua rasanya terbayar lunas waktu puluhan ribu orang (katanya ada 60 ribu yang nonton tadi malam) berdiri serempak dan ikut menyanyi bergemuruh waktu 'Space Oddity' berkumandang. rasanya seperti sedang menyanyikan lagu kebangsaan dalam sebuah majelis akbar U2.

lalu tak lama, lampu sorot menerangi sesosok pria berkaus putih, yang melambaikan tangan membalas puluhan ribu lengan yang terangkat ke atas. Larry Mullen, Jr. menempati posisinya di panggung dan mulai menabuh drum. suaranya mengundang tepuk tangan membahana.

menyusul Adam Clayton dan The Edge yang muncul hampir berbarengan. lalu Bono dalam balutan jaket kulit hitam lari dari belakang panggung... seketika itu pula, sorak sorai panjang seolah memecahkan Amsterdam ArenA, tangan-tangan teracung ke arahnya. sambutan yang pantas untuk Hitler. dan Bono. ia menggoyangkan stand mic dengan gaya yang khas, lalu intro  'Breathe' mengalun.

sesudahnya, gak ada yang mau duduk lagi. semua berdiri sampai selesai, walaupun tiketnya untuk duduk.



dan saat 'Mysterious Way' dimulai, seluruh stadion seperti jadi sebuah lantai dansa raksasa, puluhan ribu orang menggoyangkan badan, menyanyi, mengacungkan tangan, melompat-lompat. senada, seirama. ketika Bono memimpin tepuk tangan, semua serempak bertepuk tangan bersamanya. ketika Bono menggerakkan tangan ke kiri dan kanan, dengan mencondongkan badan, seluruh stadion memiringkan badan 50˚ ke kanan.

saat Bono membungkukkan badan hormat, puluhan ribu pasang tangan bertepuk tangan, saat Bono bersimpuh, puluhan ribu tangan terangkat seolah menyentuhnya...

seisi kabupaten ArenA tadi malam bagai tersihir oleh penampilan empat sahabat yang begitu mencintai karir mereka, dan menghargai lagu-lagu yang mereka ciptakan. seluruh lagu diaransemen ulang, dimainkan dengan cara berbeda dari albumnya, dan Bono, sang bupati, terus memimpin koor panjang lagu-lagu, tetap menyanyikan seluruh lirik, meskipun para penonton hafal mati setiap lagu yang ditampilkan tadi malam.



saat 'City of Blinding Lights', layar yang tadinya tampak pendek itu merenggang, memanjang turun dari lengkungan raksasa. lalu permainan lampu yang dahsyat dimulai bersamaan dengan seruan membahana 

oh, you look so beauuuuuutiful, tonight!
in the city... of blinding lights...

dan karena tanggal 20 Juli 2009 adalah peringatan 40 tahun Neil Amstrong menjejakkan kaki di bulan, para astronot di International Space Station ikut berpartisipasi dan tampil selama beberapa menit, mengirimkan pesan siaran langsung dari luar angkasa!

It's the fortieth anniversary of Neil Amstrong's walk on the face of the moon, a moment that impressed itself on a 9 year old future rock star--demikian tertulis dalam website U2 yang diupdate tadi malam.
"I remember it so well, an image of making the impossible possible and I've held on to that with more earthly problems..." kata Bono dari atas panggung.

tak lama kemudian... sebuah wajah keibuan terpampang di layar. Bono mengajak semua yang hadir di stadion melayangkan pikiran sejenak padanya, yang selama lebih dari 20 tahun menjadi tahanan rumah karena ingin menyuarakan kebebasan.

"Amsterdam, tonight we Walk On for Aung San Suu Kyi"


aku merinding. 
lagu itu diawali dengan 'Irish Lullaby' yang membuat suasana stadion jadi begitu syahdu. intro 'Walk On' dimainkan The Edge, lalu bersama lagu itu wajah Suu Kyi ditampilkan di layar, dan beberapa puluh orang naik ke lingkaran tambahan di luar panggung utama, memasang topeng wajah Suu Kyi di depan wajah mereka. berjalan menuju bagian depan titik pusat panggung, berdiri menghadapi puluhan ribu penonton. 

you could have flown away
a singing bird in an open cage 
who will only fly, only fly, for freedom!

panggung menjelma pesawat ruang angkasa saat 'One' dilantunkan. Bono meminta kami menghidupkan apa aja yang kami punya, lampu dari kamera, hp, korek, atau apapun yang menyala. puluhan ribu kerlip kecil berpendaran dari segala penjuru. larut dalam hymne yang khusuk. bagaikan sebuah ibadah yang intens dengan Bono sebagai imamnya. 



para penonton baru beranjak pergi setelah U2 benar-benar meninggalkan stadion, dan seluruh lampu dinyalakan. kakak-adik di sebelah kiriku yang sudah jadi penggemar U2 sejak album Joshua Tree (dan memakai t-shirt dari konser musim panas album itu di tahun 1987), serta rombongan asal Irlandia yang mengibarkan benderanya di belakangku pergi dengan senyum lebar terpasang di wajah.

"bye! it was great, isn't it? they're still amazing"
"yeah, tonight's the night. my best night in Europe"
aku kehabisan kata-kata.

maka 60 ribu orang dari berbagai usia itu berangsur pergi dalam gelombang demi gelombang kerumunan. banyak diantara mereka yang tampaknya paruh baya. 40 atau 50 tahun-an. para remaja datang bersama orang tuanya. para orang tua datang bersama anak gadis dan pacarnya. sisanya adalah mereka yang berasal dari generasiku. duniaku.

lunas, sudah.
aku telah menunaikan rukun U2 yang ke-5. nonton konsernya bila mampu:) 

see the world in green and blue
see China right in front of you
see the canyons broken by clouds
see the tuna fleets clearing the sea out
see the Bedouin clears at night
see the oil fields at first light
and see the bird with the leaf in her mouth
after the floods all the colors came out

it was a beautiful day
don't let it get away
beautiful day

Monday, July 13, 2009

adventure series: canoing at rijn



kenalkan. ini Fabien dari Perancis. ia adalah satu dari beberapa belas mahasiswa peserta Summer School lainnya yang ikut serta dalam kegiatan wisata ke Kromm Rijn ini. dari asramaku, kami berlima berangkat bersama. aku dan Atta, lalu Hee Rim teman sekamarku dan Sue Yen, serta Idda, gadis Norwegia yang kini bermukim di Denmark, yang menjadi penunjuk jalan kami. 

Idda memang pecinta kegiatan luar ruangan yang kemampuan membaca petanya canggih. pagi itu ia dengan yakin melarangku berangat terlalu awal ke Kromm Rijn, seperti rencanaku semula, jam 9 pagi, naik bis.
"the trip wouldn't start until 10.30. you don't have to go so early. I know the way, only 25 minutes walking. let's just walk"

ia membimbing kami menelusuri jalan tanpa ragu-ragu, tanpa sekalipun melihat ulang petanya. ajaib, kami sampai ke tempat berkumpul dengan selamat tanpa nyasar sekalipun. padahal aku biasanya masih tetap nyasar walaupun udah sambil bawa-bawa dan baca petanya berkali-kali.

sesampainya di tempat berkumpul,  orang-orang lainnya mulai bermunculan. mahasiswa yang mengambil berbagai macam subject dalam Summer School ini, datang dari berbagai negara. siang itu ada yang dari UK dan merupakan keturunan India, generasi ketiga yang tinggal di negara itu. ada pula beberapa orang dari Norwegia, Amerika Serikat, Jerman, Austria dan Turki. tapi ini belum seberapa kalau dibandingkan dengan peserta Summer School-nya sendiri. di kelasku ada beberapa siswa dari Hong Kong, juga dari Yunani, Austria, Rumania, Estonia, Rusia, Spanyol dan entah negara mana lagi, karena sekelas besar hampir 100 orang jumlahnya. tapi aku kenal hampir semua orang dalam kelas kecilku yang biasa ngumpul untuk seminar. dan emang berasa banget, kita cuma perlu Bahasa Inggris untuk bisa ngobrol. kalo nggak karena di mana-mana petunjuk dan tulisan bahasanya Belanda, mungkin nggak sulit untuk menganggap kita sedang berada di Inggris cabang Ambon. banyak banget orang Ambon di sini!:D

dan berkano sepanjang kanal selama 1.5 jam ternyata sangat menyenangkan! walopun tangan lumayan pegel dipake mendayung. Fabien ngajarin aku cara mendayungnya. kapan ke kiri, kapan ke kanan, kapan maju, kapan mundur. sebenernya tugasku udah nggak berat karena dia yang sibuk mengarahkan kano supaya arahnya nggak melenceng, zig-zag, berbalik arah, ato malah nabrak kano lain.

sepanjang jalan aku bisa melihat alam yang sangat Belanda. hutan gerumbul semak yang gak ada apa-apanya dibandingkan dengan hutan Kalimantan, kanopi pohon yang sedang hijau karena musim panas, udara sejuk, sapi-sapi item-putih kayak di kaleng susu merumput dengan tenang, belibis berenang-renang, bebek berenang cuek, burung-burung lewat seenaknya, dan gadis-gadis pirang dengan rambut berkibar bersepeda, membunyikan bel dengan riang. sementara mas-mas bule juga berseliweran, dan entah kenapa kalo naik sepeda terlihat lebih tampan. uhm, mungkin karena kalo pake motor, mukanya malah gak keliatan, tertutup helm. 

dan bunga-bunga musim semi yang beraneka warna... luar biasa!

acara kano ditutup dengan gelak tawa, gara-gara Hee Rim dan sepasang gadis Turki dalam kano yang berbeda, sama-sama salah arah, lalu terus nyasar gak sampe-sampe garis finish. panitia Erasmus sampe harus bersepeda mencari mereka, lalu menyuruh mereka balik arah lagi. sampai di tempat mengembalikan perahu, wajah mereka merah padam kelelahan. dan malu. hihihi.

Saturday, July 11, 2009

adventure series: the haunted fortress of rhijnauwen

laki-laki tua itu memakai jaket kedap air di luar jaket tebalnya yang tampak hangat dan berwarna oranye. celana khaki-nya berujung pada sepatu trekking, kepalanya terbenam dalam topi hijau tua. di tangan kanannya sebuah payung panjang ia perlakukan bagai tongkat memandu langkahnya melintasi rerumputan dan jalanan licin yang tersusun dari bata merah yang tampak berumur. seperti matanya yang memandang ramah dari balik kacamata berbingkai logam kekuningan. tubuhnya gemuk, tapi wajar untuk orang seusianya. kurasa umurnya tak kurang dari 65 tahun. mungkin lebih. dan dalam cuaca sedingin ini, orang harus punya cukup cadangan lemak kalau tidak mau terhuyung-huyung sempoyongan tertiup hembusan angin jahanam. seperti yang setiap hari terjadi padaku.

ia mengawali kisahnya dengan memperkenalkan diri. lalu menceritakan bagaimana benteng tua yang tampak kokoh, anggun sekaligus menyeramkan itu mulai dibangun. bagaimana dinding bata setebal 1,3 sampai 1,6 meter itu sengaja dirancang untuk memperkuat pertahanan Utrecht, setelah Perang Dunia I, melengkapi pertahanan air, serangkaian parit selebar 3-5 m sedalam 40-50 cm yang dibangun mengelilingi beberapa kota di Belanda untuk melumpuhkan kekuatan mobilisasi musuh. Fort of Rhijnauwen di Kromm Rijn adalah satu dari sekian banyak benteng di seluruh Belanda yang termasuk dalam jaringan Nieuwe Hollandse Waterlinie.

bahkan pada jam 11 pagi, tempat ini membuatku merinding.

ia bercerita bahwa benteng ini tidak pernah mengalami masa pertempuran, saat para tentara harus bertahan menghadapi serbuan musuh, meskipun sesungguhnya ia dirancang untuk itu. benteng ini hanya dipergunakan selama 15 tahun, sebelum akhirnay ditinggalkan. tapi tetap saja, di tempat ini... sebagaimana pada situs-situs militer tua di belahan bumi manapun, kamu bisa mengendus maut. aromanya menyengat. menegakkan bulu kuduk.

saat kami melewati pintu masuknya, hawa dingin menyergap. suhunya bisa mencapai 2 atau 4˚C, kata orang tua itu. aku mengeratkan kancing mantel hitamku yang terasa berat. hawa dingin kurasakan mulai menyusup tulang jemari yang terbuka. lembab, dingin, dengan kegelapan nyaris sempurna yang meliputi kami. sia-sia aku berusaha merasa nyaman di tempat dengan langit-langit serendah ini. segalanya seperti mengurungku. masa lalu, kegelapan, tetes air yang samar, gesekan langkah kaki pada bata yang berusia ratusan tahun, kilatan cahaya samar dari layar hp yang dikibaskan kesana kemari, bunyi yang menggema dari pita suaranya yang renta saat berbicara... claustrophobic.

dalam kepalaku ada suara melengking, jerit kematian yang melolong sesaat lalu lenyap ditelan sunyi dan kegelapan, para prajurit putus asa yang mendekam putus asa selama 4 tahun dalam tawanan Nazi, darah segar membuncah di dinding, cipratannya amis dan mematikan. 

diantara bangunan-bangunan dalam lingkungan benteng ini, ada sebuah lonceng besar di salah satu pelataran. lelaki tua itu bercerita; pada masa pendudukan Nazi, ratusan tentara pembebasan yang berhasil ditawan, diikat dalam baris-baris berjajar di pelataran di hadapan lonceng itu. kesemuanya kemudian ditembak mati dan dikubur serampangan di tempat yang sama. seorang petani yang memiliki rumah di balik gundukan bukit di depan benteng, dikabarkan mencatat setiap tembakan yang didengarnya. usianya kini 85 tahun. dan tetap tinggal di rumah yang sama. ia mendengar lebih dari 700 tembakan telah menewaskan begitu banyak tentara di pelataran maut itu. 

aku bertanya-tanya apakah arwah para tentara bergentayangan di sekitar sini, dan apakah mereka akan bangkit setiap tanggal 4 Mei, ketika lonceng dibunyikan, dan ribuan orang datang berduyun-duyun pada acara peringatan kematian mereka?

benteng ini menurutku sangat canggih dan dirancang dengan baik untuk ukuran bangunan yang dibangun pada abad ke-19. ia memiliki sistem penyulingan air yang baik, sedemikian rupa sehingga air hujan yang disuling melalui dinding bata tebal ini berubah menjadi air yang bisa diminum dan mengalir langsung ke ceruk-ceruk di sepanjang dinding barak tentara, tetesannya bisa kami dengar di setiap ruangan. sampai kini, masih ada bagian dari ceruk-ceruk itu yang mengalirkan air yang aman untuk diminum. 

kami juga sampai di salah satu dinding yang penuh lubang. dikabarkan, dua lubang terbesar pada dinding itu dulunya merupakan gantungan belenggu besi tempat tawanan diborgol dalam keadaan berdiri. itu adalah tempat interogasi. para tentara Nazi yang berusaha mengorek keterangan dari para tawanan akan menakut-nakuti mereka dengan menembakkan peluru ke sekitar mereka. aku merinding membayangkannya. alangkah seramnya!

aku dan sekitar 15 orang lainnya dari Korea, Inggris, Perancis, Belanda, Norwegia, Denmark, Turki, Austria dan lainnya baru keluar dari Fort Rhijnauwen satu setengah jam kemudian, setelah berhasil dibuat tercekam sepanjang perjalanan menyusuri kisah benteng yang muram itu.

tiba-tiba, matahari yang malu-malu di balik mendung kelabu dan suhu 12˚C di luar benteng jadi terasa sangat menyenangkan.

duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...