bicara tentang pak ktp berarti harus bicara tentang wisnoe. mas wisnu, begitu kami memanggilnya... dan kadang juga bisa menjadi WM, leo atau el. tergantung siapa yang memanggil. 'affair'ku dengan mas wisnu berawal dari upayanya untuk menyelamatkanku dari pak ktp...
pak ktp adalah panggilan kesayangan dari kami untuk pak ardha. pemilik rumah warkop. pada suatu pagi, jam 7 tepatnya... aku harus pulang buru-buru ke ubud karena mau ngantor. malam sebelumnya aku nginep sama ditta karena kemaleman pulang setelah sesorean kami berbelanja belanji di kuta galeria. waktu aku turun kebawah, aku ketemu dengan si bapak kos... dan dengan manis aku menyapanya "selamat pagi pak!"
alih-alih membalas sapaanku, dia malah bertanya dengan nada galak "abis nginep-nginep disini ya?"
dasar akunya masih tolol karena belum sepenuhnya bangun, ato emang hari itu lagi innocent, aku membalas kegalakannya dengan ucapan lugu "iya..."
wah! reaksi berikutnya betul-betul dahsyat... seketika dia memanggil ali, pembantunya dan bilang "aliii! kalo dia nginep-nginep disini lagi, minta ktpnya!" ihihi... seketika itu juga dia dipanggil pak ktp olehku.
waktu mas wisnu denger tentang insiden ini, dia berjanji untuk memperkenalkanku secara pribadi pada pak ktp. selama ini, nggak ada yang tau kenapa, setiap orang yang 'dibawa' oleh mas wisnu, entah itu sebagai saudara, adik, ato sepupu, atau bahkan keponakan, selalu diterima dan disambut baik oleh pak ktp sekeluarga. giliranku datang pada saat pesta ulangtahun cucu pak ktp, dimana semua anggota warkop diundang. oleh mas wisnu yang hari itu kebagian memotret, aku dikenalkan sebagai temannya. karena dia udah keabisan stok adik dan saudara.
reaksi pak ktp lagi-lagi berlebihan, karena malah langsung mengklaim-ku sebagai 'calonnya wisnu' dan lalu disambung oleh ibu ardha (karena orangnya baik, jadi jangan disebut bu ktp) dengan ucapan..."wah... cocok-cocok..." yah... jadilah aku dan mas wisnu jadi calon untuk masing-masing. calon arang.
mas wisnu bekerja sebagai fotografer profesional walaupun dia lulusan hi unpad. tipikal fotografer, dia sangat perhatian pada hal-hal kecil, pada semua detail. secara pribadi, dia adalah tempat curhat! hehehe...
karena memang karakternya yang (kata onet) seperti kakak buat kami semuanya. orang yang bisa dipercaya dan diandalkan. yang padanya, kita bisa bicara nyaris apa aja, tanpa khawatir akan nggak dihargai.
dalam beberapa hal, dia pemalu. makanya di friendster pun, sampai saat ini nggak ada satupun fotonya terpasang. waktu masih muda, dia adalah pembalap sepeda. sampai hari ini pun, disaat senggang, mas wisnu masih bersepeda kesana kemari. impiannya sejak lama adalah punya rumah di ubud. I was trying to persuade him to move to ubud, eventhough he hasn't buy any house yet. and I guess he think about it seriously.
kamarnya adalah sumber bantal, selimut dan guling tambahan buat onet, ditta dan aku kalo kami nginep di warkop karena saking sibuknya, dia jarang pulang. baru sekali ini aku ketemu orang punya dua guling dan hanya satu bantal di kamarnya.
salah satu yang paling aku hargai adalah waktu aku sedih dan aku bercerita padanya... dia nggak melarangku untuk sedih. karena katanya kesedihanku itu wajar dan manusiawi. dan itu malah bikin aku nggak tenggelam lama dalam kesedihan. dia melihat sedihku dengan cara yang berbeda. mendengarkanku, lalu mengajakku ke pantai. membiarkan aku yang cerewet diam lama di depan hamparan ombak... sampai ocehanku balik lagi, pertanda aku sudah sembuh.
ini satu-satunya foto mas wisnu yang kupunya. waktu dia sedang ngantri bayar makanan di waroengkoe. jangan salah dengan yang baju ijo. itu mbak kasir!
"...kamu bicara seolah kata-katamu tercetak dalam sebuah buku.." demikian seorang teman berkata. suatu hari. disini, serpih-serpih hari kukumpulkan, dalam tulisan
Friday, July 29, 2005
Monday, July 25, 2005
naomi dari tukad musi
sepanjang bulan juli 2004, hidupku penuh petualangan. sebetulnya petualangan itu dimulai sejak akhir bulan juni. saat itu, aku berkenalan dengan beberapa orang yang tinggal bersama di sebuah rumah kos yang terletak di renon, denpasar. mereka menyebut diri sendiri anak TKM, kependekan dari Tukad Musi, nama jalan tempat kos itu berada. tapi sejak sebuah kecelakaan nama bikinan dion -seorang punker-gothic- rumah itu punya julukan baru. warkop. kalo kamu pernah nonton film-film warkop; dono, kasino, indro, pasti kebayang di rumah seperti apa mereka tinggal. ini memang tipikal rumah yang biasa mereka pergunakan untuk syuting film. tiga tokoh itu akan melakukan hal-hal yang bodoh dirumah, sementara para pemain perempuan, biasanya eva arnaz, nurul arifin, sally marcelina atau merriam bellina, akan berlari-lari alias jogging dengan legging ketat di taman bunga cibubur...
di rumah itu, tinggalah ditta. yang lalu mengenalkanku pada naomi. bisa juga dipanggil mimi atau mimi-chan, naomi lahir dari ibu yang orang jepang dan ayah yang orang kalimantan. dia bisa bicara bahasa indonesia dan bahasa jepang sama baiknya. jadi, tergantung dalam bahasa apa, naomi yang suka kucing ini akan menjelma jadi pribadi yang keliatan beda. pekerjaannya berhubungan dengan urusan kerajinan atau handicraft dan sejenisnya. dia akan mencari-cari barang barang yang diperlukan dan mengirimnya kepada pembeli di jepang. dan sekitarnya. tergila-gila sama permainan zuma. well... aku pikir semua anggota rumah warkop suka main game itu. tapi cuma naomi atau naomiawww yang akan ribut berkepanjangan kalau game itu lagi ngambek. atau hang.
naomi juga gampang lapar. dan gampang ngantuk. kalau kita naik mobil sama-sama, dia yang akan paling dulu terkapar, dimanapun dia duduk. sepertinya dia punya bakat untuk langsung terlelap setelah naik diatas kendaraan. entah mengapa. pekerja keras dan penuh perhatian. walopun suka gampang berubah pikiran juga. mungkin karena urusannya banyak... kadang naomi nggak cukup sabar untuk pergi main sama kami. karena kami sering lupa waktuuuu...
ah, ini aku, ditta-berbaju hitam- dan naomi saat kami menghadiri pesta ulang tahun cucu pak ktp yang pertama di kfc sanur. lengkap dengan topi chaki-nya. yayaya, cucu pertama, dan ulang tahun ke-1.
how do we look here? imut 'kan?
di rumah itu, tinggalah ditta. yang lalu mengenalkanku pada naomi. bisa juga dipanggil mimi atau mimi-chan, naomi lahir dari ibu yang orang jepang dan ayah yang orang kalimantan. dia bisa bicara bahasa indonesia dan bahasa jepang sama baiknya. jadi, tergantung dalam bahasa apa, naomi yang suka kucing ini akan menjelma jadi pribadi yang keliatan beda. pekerjaannya berhubungan dengan urusan kerajinan atau handicraft dan sejenisnya. dia akan mencari-cari barang barang yang diperlukan dan mengirimnya kepada pembeli di jepang. dan sekitarnya. tergila-gila sama permainan zuma. well... aku pikir semua anggota rumah warkop suka main game itu. tapi cuma naomi atau naomiawww yang akan ribut berkepanjangan kalau game itu lagi ngambek. atau hang.
naomi juga gampang lapar. dan gampang ngantuk. kalau kita naik mobil sama-sama, dia yang akan paling dulu terkapar, dimanapun dia duduk. sepertinya dia punya bakat untuk langsung terlelap setelah naik diatas kendaraan. entah mengapa. pekerja keras dan penuh perhatian. walopun suka gampang berubah pikiran juga. mungkin karena urusannya banyak... kadang naomi nggak cukup sabar untuk pergi main sama kami. karena kami sering lupa waktuuuu...
ah, ini aku, ditta-berbaju hitam- dan naomi saat kami menghadiri pesta ulang tahun cucu pak ktp yang pertama di kfc sanur. lengkap dengan topi chaki-nya. yayaya, cucu pertama, dan ulang tahun ke-1.
how do we look here? imut 'kan?
Wednesday, July 20, 2005
in memoriam
May you rest in peace, dear friend...
God shows us how He really love you
Lend your strength to us, to continue your journey
Your unfinished future and your legacy in love
Fajar
Passed away on 20 July 2005
03.30 AM
After a terrible motorbike accident on Saturday, few days before
Thursday, July 07, 2005
tiga hari dalam sepatu
ini adalah cuplikan 'surat kepada emili sabadell' yang ditulis hanafi untuk pamerannya di bentara budaya, jakarta.
...
Emili, setiap kejelasan akan membuka kejelasan yang lain, satu gagasan akan melahirkan gagasan berikutnya, dan kita tinggal di dalam aturan yang sudah ditentukan diawal permukaan, yang lebih penting dari lainnya adalah cara melihat bukan cara melakukan. Cara melihat akan menentukan perilaku hidup, hidup itu sendiri "perlakuan sudut pandang" yang membentuk "kepribadian" dan pertautan antar pribadi disebut "kebudayaan". Lalu, kebudayaan merias wajah suatu bangsa
Sepatu, ialah wajah kita, sudah berulang kali kau tanyakan kepadaku: Kenapa aku suka sepatu, setiap kita jalan di "Courte Ingles" aku selalu berdiri lama diantara rak sepatu, mengamati sepatu ialah mengamati kepribadian, rupa-rupa wajah sebuah bangsa, melihat sepatu aku terbayang wajah pemiliknya, setiap melihat sepatu aku melihat jalan panjang, seperti mobil dan jarak tempuh, melihat sepatu juga melihat awal sebuah negara dimulai.
Tetapi di negeriku, orang-orang tak punya sepatu, Bapakku hanya punya satu sepatu, itupun lantaran harus memakai sepatu bila mengambil uang pensiunan bekas tentara Veteran, di ujung jalan arah kota, dan orang Toronto tak sedih sedikitpun: di Indonesia tak mengapa tak punya sepatu, sebab disini tak ada musim salju.
...
Musim panas ini Hanafi, daun-daun jati mulai membuat layang-layang dari daun kering, begitu bunyi sms pertama hari ini, datang dari arah timur, teman lama, Afrizal Malna. Tetapi bulan Mei ini masih mengirim air hujan di malam hari, mengetuk kaca jendela rumahku dan membuat punggung kolam seperti cahaya beribu kunang-kunang dan Afrizal: di Jakarta ada orang yang masuk dalam sepatuku, ia ingin tidur disana meminjam mimpi-mimpiku. Lalu setiap aku ingin memasukkan kakiku ia berontak, ia akan tinggal disana untuk waktu yang tidak ditentukan.
"Aku bisa tinggal dimanapun aku harus tinggal, tidurlah dalam sepatuku, raih mimpi tentang keabadian, tentang syurga yang terbuat dari kulit jeruk, pulut kulitnya jadikan sutera atau kelambu yang menjaga tidurmu, tidurlah sayang..."
...
Emili Sabadell, apabila suatu hari nanti ada orang yang masuk dalam sepatumu, biarkan saja, sebab orang itu ingin kegelapan diluar matanya sendiri, setiap sepatu tak memiliki ventilasi yang cukup, pengap disana, seperti kota yang dibangun tanpa rencana, tiba-tiba dan tergesa, sebuah kota tak pernah menyediakan waktu untuk duduk sejenak: memandang hijau daun-daun Mapel digoyangkan angin, memanggil malam menjadi purnama.
...
Hari ini aku mendapat cukup banyak surat aku tak perlu membuka semuanya di hari yang menyimpan detik-detik akhir musim hujan, tetapi tiba-tiba aku tertarik oleh satu surat yang berbadan tebal. Surat tebal itu berisi sebuah kisah sedih: Bila sampai waktu yang ditentukan aku tak mendapatkan sepatu, aku tak akan diperkenankan mengikuti Ujian Akhir Nasional, dengan begitu pupuslah hari depanku... surat itu datang dari Sumatera Selatan dan ia membayar tiga ribu rupiah untuk sampai di rumahku. Kenapa kita tidak belajar dibawah pohon-pohon besar saja, setiap musim panas tiba kita bisa membuat layang-layang dari daun kering. Bukankah anak-anak suka menerbangkan kapas dibawah pohon-pohon randu tanpa sepatu.
...
Tapi kenapa Emili, kini ada orang tidur dalam sepatuku, setiap aku hendak memasukkan kakiku, ia memberontak ingin menikamku..., kenapa ia demikian hasrat: menelikungku...
kukatakan pada hanafi, aku membaca sindir dan suratan hatinya dengan senang hati, karena ia tak berusaha menegak-negakkan kebenaran dan tak pula menghujat dengan kasar, maka dengan demikian, uangkapnya jadi mengena...
...
Emili, setiap kejelasan akan membuka kejelasan yang lain, satu gagasan akan melahirkan gagasan berikutnya, dan kita tinggal di dalam aturan yang sudah ditentukan diawal permukaan, yang lebih penting dari lainnya adalah cara melihat bukan cara melakukan. Cara melihat akan menentukan perilaku hidup, hidup itu sendiri "perlakuan sudut pandang" yang membentuk "kepribadian" dan pertautan antar pribadi disebut "kebudayaan". Lalu, kebudayaan merias wajah suatu bangsa
Sepatu, ialah wajah kita, sudah berulang kali kau tanyakan kepadaku: Kenapa aku suka sepatu, setiap kita jalan di "Courte Ingles" aku selalu berdiri lama diantara rak sepatu, mengamati sepatu ialah mengamati kepribadian, rupa-rupa wajah sebuah bangsa, melihat sepatu aku terbayang wajah pemiliknya, setiap melihat sepatu aku melihat jalan panjang, seperti mobil dan jarak tempuh, melihat sepatu juga melihat awal sebuah negara dimulai.
Tetapi di negeriku, orang-orang tak punya sepatu, Bapakku hanya punya satu sepatu, itupun lantaran harus memakai sepatu bila mengambil uang pensiunan bekas tentara Veteran, di ujung jalan arah kota, dan orang Toronto tak sedih sedikitpun: di Indonesia tak mengapa tak punya sepatu, sebab disini tak ada musim salju.
...
Musim panas ini Hanafi, daun-daun jati mulai membuat layang-layang dari daun kering, begitu bunyi sms pertama hari ini, datang dari arah timur, teman lama, Afrizal Malna. Tetapi bulan Mei ini masih mengirim air hujan di malam hari, mengetuk kaca jendela rumahku dan membuat punggung kolam seperti cahaya beribu kunang-kunang dan Afrizal: di Jakarta ada orang yang masuk dalam sepatuku, ia ingin tidur disana meminjam mimpi-mimpiku. Lalu setiap aku ingin memasukkan kakiku ia berontak, ia akan tinggal disana untuk waktu yang tidak ditentukan.
"Aku bisa tinggal dimanapun aku harus tinggal, tidurlah dalam sepatuku, raih mimpi tentang keabadian, tentang syurga yang terbuat dari kulit jeruk, pulut kulitnya jadikan sutera atau kelambu yang menjaga tidurmu, tidurlah sayang..."
...
Emili Sabadell, apabila suatu hari nanti ada orang yang masuk dalam sepatumu, biarkan saja, sebab orang itu ingin kegelapan diluar matanya sendiri, setiap sepatu tak memiliki ventilasi yang cukup, pengap disana, seperti kota yang dibangun tanpa rencana, tiba-tiba dan tergesa, sebuah kota tak pernah menyediakan waktu untuk duduk sejenak: memandang hijau daun-daun Mapel digoyangkan angin, memanggil malam menjadi purnama.
...
Hari ini aku mendapat cukup banyak surat aku tak perlu membuka semuanya di hari yang menyimpan detik-detik akhir musim hujan, tetapi tiba-tiba aku tertarik oleh satu surat yang berbadan tebal. Surat tebal itu berisi sebuah kisah sedih: Bila sampai waktu yang ditentukan aku tak mendapatkan sepatu, aku tak akan diperkenankan mengikuti Ujian Akhir Nasional, dengan begitu pupuslah hari depanku... surat itu datang dari Sumatera Selatan dan ia membayar tiga ribu rupiah untuk sampai di rumahku. Kenapa kita tidak belajar dibawah pohon-pohon besar saja, setiap musim panas tiba kita bisa membuat layang-layang dari daun kering. Bukankah anak-anak suka menerbangkan kapas dibawah pohon-pohon randu tanpa sepatu.
...
Tapi kenapa Emili, kini ada orang tidur dalam sepatuku, setiap aku hendak memasukkan kakiku, ia memberontak ingin menikamku..., kenapa ia demikian hasrat: menelikungku...
kukatakan pada hanafi, aku membaca sindir dan suratan hatinya dengan senang hati, karena ia tak berusaha menegak-negakkan kebenaran dan tak pula menghujat dengan kasar, maka dengan demikian, uangkapnya jadi mengena...
Saturday, July 02, 2005
regret
kalau saja aku tau, debutku jadi model akan dimuat full page di sebuah majalah travel dari perancis... aku pasti atur supaya fotonya pake setting facial, bukan foot wash.
ah...penyesalan memang selalu datang belakangan
ah...penyesalan memang selalu datang belakangan
Subscribe to:
Posts (Atom)
duka yang menyusun sendiri petualangannya
rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...
-
meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca bu...
-
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk ...