"...kamu bicara seolah kata-katamu tercetak dalam sebuah buku.." demikian seorang teman berkata. suatu hari. disini, serpih-serpih hari kukumpulkan, dalam tulisan
Showing posts with label tv. Show all posts
Showing posts with label tv. Show all posts
Monday, October 01, 2012
tentang 2 gadis bangkrut dan korupsi
Sejak akhir tahun lalu, aku mulai nonton serial buatan CBS berjudul "2 Broke Girl$". sitkom buatan CBS ini bercerita tentang kehidupan dua orang pelayan sebuah restoran kecil di bilangan Williamsburg, Brooklyn, New York.
Pelayan pertama, Max Black, berasal dari kalangan pekerja rendahan yang miskin sepanjang hidupnya. Sementara pelayan kedua, Caroline Channing, sebelumnya hidup sebagai gadis kaya raya, sosialita sebagai anak pemilik perusahaan investasi terbesar di kota itu. Caroline bangkrut setelah ayahnya ditangkap polisi lalu dijebloskan ke penjara akibat skandal Ponzi Scheme yang dijalankannya. Setelah kejadian itu, Caroline harus meninggalkan mansion dan seluruh barang mereka yang disita di Manhattan, pindah ke Brooklyn dan memulai hidup baru.
Pertemuan Max dan Caroline dan kudanya Chestnut, serta perjuangan mereka membangun bisnis cupcake diceritakan sedikit demi sedikit setiap episode. Caroline yang seumur hidupnya tak perlu mengerjakan pekerjaan rumah tangga apapun, seperti belajar dari nol, dengan bantuan Max. Perubahan hidup itu begitu drastis, mulai dari hal-hal sepele seperti perbedaan jenis tisu gulung atau keripik kentang antara yang dahulu selalu dimiliki Caroline hingga keharusan mengganti dokter gigi juga toko tempat berbelanja pakaian, dari department store mewah, ke charity shop. Caroline seperti sedang mejalani hidup di sisi gelap bulan.
Dalam rencana mereka memiliki bisnis cupcake sendiri, Caroline menyebut bahwa mereka memerlukan dana sebesar $250,000 agar bisa membuka toko. Selama uang tersebut belum terkumpul, mereka harus tetap menjadi pelayan, sambil membuat cupcake dan menjajakannya dalam setiap kesempatan. Cupcake buatan Max selama ini dijual hanya di restoran tempat mereka bekerja. Maka di akhir setiap episode, akan ditulis berapa banyak uang tabungan yang mereka miliki dalam mencapai $250,000. Kadang bertambah, kadang berkurang.
Sejak episode pertama, serial yang lucu dan penuh satir serta ejekan ras yang mengena dan kadang-kadang keterlaluan ini, mengingatkanku pada soal hukuman pada para tersangka korupsi di Indonesia. Kenapa para koruptor itu tidak jadi miskin setelah tertangkap?
Apa yang dilakukan terhadap tokoh Martin Channing dalam serial ini adalah apa yang seharusnya dilakukan pada para koruptor. Selain pelakunya dijebloskan ke dalam penjara, semua asetnya harus dibekukan sampai sidang pengadilan selesai menentukan berapa lama ia harus dipenjara. Lalu, koruptor harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya. Kalau aset-aset lancar yang dimilikinya tidak mencukupi untuk membayar krugian itu, maka aset-aset tetapnya harus dilelang di hadapan publik dan uang yang dihasilkan dapat digunakan untuk menutupi kerugian itu.
Aku justru nggak pro sama hukuman mati untuk para koruptor. Karena tampaknya mereka tidak takut mati. Mereka lebih takut miskin, sehingga selama bertahun-tahun berusaha memupuk kekayaan, tanpa peduli dari mana asalnya, dan apakah itu hak mereka atau bukan. Dimiskinkan, tentu, adalah momok bagi mereka. Kalau belum sempat dihukum secara sosial, dipermalukan karena jadi maling uang negara, belum sempat hidup susah, terus langsung dihukum mati yang artinya terbebas seketika dari tanggung jawab di dunia, kok kayaknya gampang bener.
Jelas-jelas tindakan memiskinkan itulah yang harus dilakukan supaya pelakunya jera, dan jadi pengingat untuk orang-orang lain yang barangkali mau coba-coba melakukan kejahatan yang sama. Sederhana dan efektif. Tapi kenapa di sini nggak ya?
*masih geram baca berita terpidana korupsi tidak dipecat dari PNS, malah dapat promosi pula*
Subscribe to:
Posts (Atom)
duka yang menyusun sendiri petualangannya
rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...
-
meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca bu...
-
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk ...