Saturday, October 16, 2021

duka yang menyusun sendiri petualangannya

 

rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa mengaku jadi orang yang paling dekat, paling paham, paling kenal, paling mengerti. mungkin bahkan tak pantas menyebut diri teman baik. meski setelah sekian lama, dia tak bisa ingat lagi kapan perkenalan terjadi, lalu jalinan cerita panjang itu bermula dan selalu ada di tempat semestinya. 

dia tak bisa mengaku terlibat atau punya keterlibatan dalam setiap proyek yang pernah disajikan di hadapannya, meski semua, semua aktor, aktris, musisi, dan mereka yang sejenis, akan bilang bahwa penontonlah yang paling penting. karena tanpa penonton mereka bukan siapa-siapa, bukan apa-apa.

 lalu bagaimana dia membuktikan bahwa mereka punya percakapan-percakapan? punya kedekatan dan jalinan dari tahun demi tahun yang berkelindan? dan apakah semua ini perlu pembuktian, jika yang bisa bersaksi atas ikatan yang terjalin dari lakon demi lakon, panggung yang berganti, nyala lampu yang tak sama, adalah yang menyebabkan kehilangan itu? yang kini sudah tak bisa berteriak lantang, atau menulis kata-kata lagi?

bagaimana dia menjelaskan bahwa tahun demi tahun merayap perlahan saat dia menyaksikan penajaman dan pematangan, kemampuan yang diasah hingga tiba-tiba khalayak menjulukinya bintang? ketika orang memandang dengan cara yang tak lagi sama. dia merasakan kehilangan itu, kehilangan kepastian untuk menyaksikannya dalam jadwal terberi, di atas panggung, sekali lagi. menautkan simpul dari ikatan yang sudah menahun, tak berkira panjangnya. kehilangan janji untuk bisa mengalami segala yang dia cerna dengan indera dan perasaannya dari bangku dalam ruangan dengan AC yang kadang-kadang terlalu dingin, dan jika sial, di sebelah orang lain yang menyebalkan. yang adalah juga bagian dari pengalaman itu. dan yang kini tak akan kembali lagi. 

sampai kapan perih bersemayam di sini?


Thursday, September 23, 2021

on cruella

di ujung pekan MetGala ini, aku nonton Cruella, yang seperti prequel untuk adaptasi sebelumnya dari novel yang sama The One Hundred and One Dalmatians. kalau sebelumnya tokoh Cruella de Vil udah dewasa, di film yang dibintangi duo Emma (Stone dan Thompson) ini, kita lihat riwayat hidup tokoh yang belakangan dikenal sebagai musuh para dalmatian.

ceritanya menarik, dialognya bagus, dan aku selalu suka tokoh jahat yang manis.

plotnya mengandung twist, meskipun ada beberapa hal yang kayaknya ya udah jelaslah, udah pasti. some obvious choices including Feeling Good by Nina Simone played as Estella's starting her new job and Mark Strong being a trusted man (can we please give him a main role somewhere? please?)

film ini, seperti The Devil Wears Prada, sepertinya akan lama dikenal karena fashionnya yang timeless dan sangat memanjakan mata. periode yang dipilih, London di tahun 1970-an, dengan revolusi fashion bersenjatakan sketchpad dan mesin jahit. status quo diwakili Baroness (Emma Thompson) dengan tampilan dan koleksi--ingat, ini persaingan dua fashion designer, yang diinspirasi rancangan (Christian) Dior. sementara di ujung lain pendulum, ada Cruella (Emma Stone) yang penampilan dan rancangannya kental dengan unsur-unsur yang dipinjam dari Vivienne Westwood, Alexander McQueen dan John Galliano. mereka adalah tiga diantara perancang busana Inggris paling berpengaruh.

Fun fact, John Galliano pernah jadi creative director Dior selama 13 tahun, sebelum berkasus dan digantikan oleh Alexander McQueen.

sejak hari pertama bekerja, rasa stylish punk menguar dari pilihan kostum serba hitam dan patent boots tinggi, sementara pegawai lain di kantor pakai celana bell bottom, kemeja berkerah tinggi dan tajam. lalu dilanjut dengan jaket gaya militer penuh grafitti saat ketemu dengan Artie, pemilik butik kecil yang memancarkan pengaruh David Bowie.

sepanjang cerita berlangsung, baju-baju paling menarik muncul saat serangan-serangan guerilla fashion dilancarkan ke Baroness. dari biker jacket yang screaming McQueen saat Cruella muncul naik motor balap --Wishnutama sama Jokowi nggak kepikir pakai baju sebagus ini pas Asian Games, mungkin kalau Lady Gaga bisa. dilanjut jaket militer dengan banyak paraphernalia dipadu feathery full ball gown skirt merah hitam yang menakjubkan. puncaknya, waktu muncul gaun 'kertas koran' dengan ekor yang panjangnya ekstrem. it has Galliano written all over it.

penata busana film ini, Jenny Beavan, udah pernah dua kali dapat piala Oscar untuk A Room with A View (1986) dan Mad Max: Fury Road (2015) --apakah dia akan dapat piala Oscar ketiga untuk Cruella?

Sunday, November 03, 2019

finding the best rawon



my family lives in Malang, about an hour flight from Jakarta to the east of Java, Indonesia. it is a provincial city famous for its colder climate, apple plantations, and good food. as I planned to visit it this weekend, I have planned of having some culinary tour while I was there, contacting some friends to do so.

other than bakso, a meatball soup with clear broth, Malang was known for its fine selection of East Java delicacy: rawon -dark beef stew, cwimie -a type of dry noodle dish with chopped chicken and fried wontons, kripik tempe-basically soybean cake chips and tahu campur -a dish of tofu, beansprouts, beef and shrimp paste (petis) broth. I am seriously drooling now

while planning what and where to eat, we jumped into a heated discussion on where is the best rawon in malang now. you see, it is very important to make sure that you make the best use of the time, meaning not wasting time eating in a place that is not worth your while.

rawon is a simple but complicated dish altogether. it is a beef-based dish; therefore, you have to make sure that the brisket used in it has enough tender meat as well as delicious fatty part. the dark broth comes from keluwek, fruit of a species of tall trees native to Indonesia and Papua New Guinea. these fruit need to be specially prepared as it produces poisonous hydrogen cyanide, so it has to be fermented to change its flesh from creamy white to dark brown or black. however, you must be careful to no use rotten keluwek as well. it takes a sharp eye to know which keluwek will help to produce rich, thick broth with yellowish oil surface, as a combination of delicious beef brisket and fresh keluwek.

there are of course hundreds of rawon sellers in Malang, some are more famous than another. some have a very limited opening hours, some others have longer queues as tourists flocking to it to get the best rawon they can find. our conversation today leaving us with at least three candidates, and the discussion is still ongoing. I think if no consensus reached, I will settle with the best rawon I have known: the one made by my mum.

Saturday, November 02, 2019

today's conversation: hotel marketing


the most interesting conversation happened today when a question popped about my old office. how to market it better as a rival established and taking a lot of businesses?

I am thinking about marketing quite a lot this week, and somehow this question intriguing me, knowing that my old boss is frustrated to see other establishment knows how to promote and market themselves better, whereas his crews are pretty much clueless on what to do. he dislikes fake people and of course a digital-based marketing with influencers, without having an organic campaign crafted with sophistication and taste will infuriate him. his last marketing person stayed for only 3 months after several setback and clashes.

do I know a PR company to contact?
my first reaction is whether a PR company is what they need, or whether what they need is a general checkup on positioning, purposes and priorities?
my old office is no longer a startup it used to. it is now transforming from a small-medium enterprise into a bigger enterprise, an established brand and a settle household in its region. it's been around for 22 years.

I said maybe what they need is someone who can help them understand who they are now, so that they can determine the nest steps. I think it will be useless to try different things at this point, without really understanding what is going on. I mean, is it true that the decline in customers really about better marketing outreach to get new markets? what if the new markets are actually the type of cheap customers who will not pay in the level of their service? what if they are launching something in the wrong market, at the wrong time, so that it was not working well? what if they have not choose their battle carefully all these time?

other things to discuss is excitements. a more established brand needs a different strategy to play. maybe what they need is showing that there is always a constant improvements albeit small? new menu, new chef, new CEO, new artist to promote, new acquisition, heck even new plants that happens to be on the brink of extinction!
maybe they need to show more that their places offer a home to return to, an authentic place that will not change, a dependable feelings that you can look forward to every now and then. remember that campaign where mandarin hotel campaigned as if they have an embroidered pillowcase for every guest they ever had? that kind of lips service is what people sometimes need to believe.

it was a nice way to spend 25 minutes, thinking and talking about this. hope that conversation helps.

Tuesday, January 01, 2019

buku-buku di 2018


meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca buku sebanyak-banyaknya di sepanjang tahun. tampaknya, aku masih lebih banyak tunduk pada godaan bantal dan ponsel, terutama karena yang belakangan menyajikan keributan-keributan yang nggak penting-penting amat tapi seru antara grup kampret dan grup cebong (sesuai urutan nomor calon ya, ini). dan tampaknya ini masih akan terus berlangsung, karena sekarang juga ada kontestan tambahan bernama dildo.

di luar itu semua, aku berhasil menamatkan 18 buku di tahun 2018. masih belum sebanyak Obama yang rata-rata membaca 30-an buku dalam setahun (padahal dia lebih sibuk ya, daripada aku!) atau Stephen King yang katanya membaca antara 50-70 buku dalam setahun (tergantung berapa banyak buku yang dia terbitkan.

semua buku kubaca dalam format cetakan. aku masih terlalu cinta pada aroma kertas dan tinta dari buku baru (oh, sungguh bikin kecanduan) untuk menggantikannya dengan buku digital macam kindle. tapi pendirian ini bukan nggak mungkin berubah, kalau ada aromaterapi beraroma buku baru yang bisa kuteteskan ke layar kindle. kalau ada yang tau di mana yang jual, kabarin ya!

daftar tahun 2018 aku bagi jadi dua, fiksi dan nonfiksi. masing-masing aku kasih sedikit catatan, siapa tau ada diantara teman-teman yang tertarik membacanya juga. here goes:


FIKSI 2018

Americanah - Chimamanda Ngozi Adichie
novel yang berangkat dari kisah nyata penulisnya, seorang imigran nigeria di amerika serikat. kisahnya berjalin antara kehidupan migran di negara lain, ketidakstabilan politik akibat pergantian rejim, masyarakat urban nigeria dan perkembangan industri perfilman di nigeria.

The Green Road - Anne Enright
novel berisi kehidupan sebuah keluarga irlandia sepanjang tahun 1980-2005. hubungan antara 4 orang anak keluarga madigan dengan ibu mereka, rosaleen, diceritakan secara rinci, melintasi berbagai gejala zaman, antara lain epidemi HIV/AIDS.

Pachinko - Min Jin Lee
novel tentang perjalanan 4 generasi sebuah keluarga korea yang terseret penjajahan jepang hingga menetap di osaka, dan kemudian yokohama. riwayat panjang keluarga ini berawal dari masa perang, pecahnya korea, sampai kehidupan generasi berikutnya sebagai liyan di negara tempat mereka lahir, yang sekaligus tak pernah menerima keberadaan mereka.

Makramé - Dias Novita Wuri
kumpulan cerpen dengan tokoh-tokoh yang nyata maupun fantastik. dengan imajinasi yang kaya, tiap-tiap cerita berkisah tentang masa-masa panjang, atau pendek, antara tokoh-tokoh dengan latar dan tempat kejadian yang berbeda. kota-kota yang bisa jauh atau dekat, dengan cerita yang sangat mungkin bisa terjadi kapan saja, kalau kita mau melihat lebih jeli.

Call Me by Your Name - Andre Aciman
novel ini, lebih liris daripada filmnya, dengan seorang narator yang menceritakan jalinan kisah yang sangat lembut dan menyentuh, yang terjadi antara dua orang, pada suatu musim panas, di sebuah kota kecil di italia. kejadian-kejadian dalam novel ini, berpusat pada elio, yang jatuh cinta untuk pertama kalinya dan pada saat yang sama berusaha menemukan jati dirinya.  

Muslihat Musang Emas - Yusi Avianto Pareanom
kumpulan cerpen yang berisi kisah-kisah tragis dan getir, yang terjadi pada orang-orang yang berusaha menjalani nasibnya dengan sedikit pertanyaan dan lebih banyak tindakan. tragedi-tragedi di dalamnya banyak berasal dari kemunafikan dan kekerasan yang ditutupi, tapi tak bisa dimungkiri keberadaannya.


NONFIKSI 2018

Chanel: An Intimate Life - Lisa Chaney
salah satu biografi Coco Chanel yang paling lengkap. disertai latar sosial politik dan kebudayaan pada masa yang bersangkutan, biografi ini memberi gambaran nyaris utuh dan meletakkan Chanel dalam konteks dan karyanya yang lintas geografi dan lini masa

Kitchen Confidential - Anthony Bourdain
memoar sang chef ternama tentang bagaimana karirnya bermula, dari mana ia berasal, hal-hal yang terjadi di dapur restoran, sekaligus panduan bagi mereka yang ingin menikmati makanan sebagai seni, bukan hanya pemuas rasa lapar.

Clothes, Clothes, Clothes. Music, Music, Music. Boys, Boys, Boys - Viv Albertine
memoar Viv Albertine, gitaris dan motor kelompok punk cewek legendaris The Slits. bukan hanya judulnya yang catchy, tapi gaya penceritaan dan pergaulannya sangat menjelaskan skena musik punk di inggris pada masa kejayaannya.

Whisful Drinking - Carrie Fisher
memoar Carrie Fisher, bintang film yang tumbuh dari keluarga Hollywood, dengan yang juga bintang film dan ayah penyanyi terkenal. dengan keyakinan dan kemampuan menertawakan diri sendiri, Fisher menulis buku ini sarat dengan humor dan satir. berbagai tragedi pribadi dan keluarga, sampai kisahnya sebagai pecandu diceritakan dengan tawa, dan apa adanya.

Kenangan Tak Terucap Saya, Ayah, dan Tragedi 1965 - Nani Nurrachman Sutojo
kehilangan ayah secara tiba-tiba dalam sebuah kejadian tragis yang selama bertahun-tahun tidak ada kejelasannya, adalah peristiwa pahit yang memukul untuk siapa pun.

Getcha Rocks Off. Sex & Excess. Bust-Ups & Binges. Life & Death on the Rock ‘n’ Roll Road - Mick Wall
memoar penulis, kolumnis dan wartawan musik yang juga pernah kerja di perusahaan rekaman di masa kejayaan musik rock. cerita-cerita di dalamnya dipicu gaya hidup yang berlebihan, ketika ketenaran dan pemujaan menjadikan sedikit orang di dalam buku ini diharapkan menjadi dewa, berbahan bakar adrenalin, alkohol, tubuh dan drugs

The Subtle Art of Not Giving a F*ck - Mark Manson
buku yang semua orang kayaknya udah baca. kumpulan tulisan blogger terkenal yang membantu pembaca mengenali diri sendiri dan memilah hal-hal penting dari sekian banyak hal kurang penting dalam hidup.

Mistisisme Jawa Sebuah Ideologi di Indonesia - Niels Mulder
membaca buku ini jadi lebih paham bagaimana orde baru dikonstruksi, dan kenapa bisa bertahan sampai lebih dari tiga puluh tahun tanpa perlawanan berarti. karena pola dan ideologinya cocok dengan lahan yang tersedia. telaah bagus tentang sebuah pondasi politik dan sosial yang mengakar di Indonesia.

Why Your 5 Year Old Could Not Have Done That - Susie Hodge
karena aku perlu bisa menjawab dengan cara sesederhana mungkin, pertanyaan seperti “ini seninya di mana?” atau komentar “kalo cuma corat-coret gitu doang anak saya juga bisa!”

How Art Can Make You Happy - Bridget Watson Payne
membantu menerjemahkan yang bisa dirasakan tapi nggak selalu gampang untuk dijelaskan

Astrophysics for People in a Hurry - Neil deGrasse Tyson
menjelaskan konsep-konsep dasar astrofisika secara runut dan sederhana. topik yang begitu besar dan rumit, dirangkum dan diterangkan lewat metafora dan contoh kasus yang mencerahkan. buku ini menurutku harus diwajibkan dibaca dan didiskusikan oleh semua siswa SMU/SMK/MA dan yang sederajat di Indonesia. selain buku ini, wajib juga membaca dan mendiskusikan: dasar-dasar filsafat dan dasar-dasar logika.

Xenoglosofilia Kenapa Harus Nginggris? - Ivan Lanin
kumpulan tulisan Ivan Lanin tentang berbagai kata, istilah, ejaan, struktur dan penggunaan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. karena bisa berbahasa Indonesia dengan baik sama pentingnya dengan berbahasa asing dengan baik.

Monday, July 31, 2017

maaf, bangsa kita enggak pernah jadi vegetarian

buat kamu yang vegetarian, maaf aku membawa kabar kurang sedap.

dari hasil  ngobrol-ngobrol sama orang-orang di grup sejarah yang rajin baca babad, kakawin, kropak dan kitab-kitab, memang rupanya nenek moyang kita enggak vegetarian. justru lebih banyak makan daging daripada sayur-sayuran

ada yang bilang kalau makan sayuran itu lebih karena terpaksa. misalnya pas jaman berburu dan meramu, mereka yang makan sayuran saja, biasanya karena badannya lemah, nggak bisa lari cepat mengejar kijang atau kurang sigap menangkap ikan:p

nah, dari abad ke-8 dan 9, pertanian sawah udah jadi salah satu mata pencaharian penting di Jawa. setidaknya dari catatan raja Kamboja yang ngekos sama keluarga dinasti Syailendra (yang bikin Borobudur) sebelum dia balik ke negaranya dan bikin Angkor Wat. dari Borobudur juga, ketahuan kalau orang-orang di Jawa pada masa itu banyak yang sehari-hari minum olahan susu dan makan sagu. nggak heran sih ya mereka bisa bikin candi segede itu juga, makanannya penuh protein dan negaranya kaya raya. 

prasasti yang bahas makanan memang ada cukup banyak, terutama yang dari masa awal kerajaan di Jawa Timur (Kediri) dan di Jawa Barat (Sunda) di abad 9-10M. kayaknya pesta di jaman itu memang seru dan gila-gilaan, sehingga para sekretaris kerajaan perlu memastikan kalau anak cucu mereka tau, nenek moyangnya makan dendeng, pindang, empal atau ikan gabus goreng telur yang disajikan dalam pesta-pesta. nyam!

dari obrolan kemarin itu, aku juga jadi tahu kalau variasi makanan dan teknik memasak sudah sangat beragam sejak ratusan tahun yang lalu. di abad 12 udah ada Rawon, dan namanya jelas-jelas rawon, lengkap dengan penjelasan kuahnya yang hitam karena biji Keluwak. abad 13 sudah ada terasi, yang kemungkinan besar sejaman dengan petis. sejak abad 5 kelapa sudah banyak disebut. mungkin sejak 1000 tahun lalu, olahan kelapa juga udah macam-macam. mulai dari makan kelapa muda, air kelapa, santan, air bunga kelapa yang manis, sampai bikin minuman keras pun, dalam bentuk legen dan tuak. di bali, arak dibuat dari beras. abad 13/14 sudah ada kerupuk, nenek moyang kita nggak bisa makan tanpa sound effect. 

tulisan paling rinci soal teknik memasak orang sunda ditulis dalam buku tahun 1518, bikin ayam tulang lunak aja udah bisa lho! canggih parah! belum lagi masakan pesmol yang warna kuningnya diambil dari bunga labu, sampai bikin fillet ikan yang digoreng sampai renyah. bikin pindang, pepes, pecel dan empal udah bisa dari hampir 500 tahun yang lalu!

di bawah ini, adalah rangkuman dari riset kecil yang aku bikin tentang timeline makanan Indonesia, dengan bantuan dari teman-teman di grup Telegram Sejarah. cus! 


Monday, March 07, 2016

obsesi: pisang goreng


hubunganku dengan pisang bisa dibilang sangat baik, tapi rumit. soalnya aku nggak terlalu tertarik sama pisang yang dimakan sebagai buah. artinya, pisang yang tidak melewati proses pemasakan sebelum disantap. terutama karena alasan rasa yang ditinggalkan. jadi antara rasa pisang yang enak yang pernah ada di dalam mulut dan rasa yang ditinggalkannya setelah masuk ke dalam perut, saling nggak cocok. yang menyebabkan aku nggak suka pisang sebagai buah. ini berarti aku juga nggak suka sama pisang yang dijadikan jus, atau smoothie, atau banana split.
 
tapi aku tergila-gila pada pisang goreng. betapapun nggak sehatnya. hahah.
dalam cuaca apapun, pisang goreng selalu enak. aku bisa membayangkan enaknya sekarang.
dan meskipun pada umumnya aku menghindari makan gorengan, tapi aku nggak pernah bisa menolaknya. pisang-pisang goreng terbaik menurutku dibuat dari pisang kepok, terutama yang warnanya kuning. pisang kepok putih sebetulnya lumayan juga, meskipun lebih sering jadi makanan burung. tapi pisang kepok kuning atau yang kemerahan rasanya lebih mantap! lebih manis dan daging buahnya punya rasa gurih, sementara yang putih agak lebih 'kosong' rasanya. sepa, gitu kata mbahku yang berbahasa jawa.

kalau dalam bahasa inggris, pisang-pisang yang harus dimasak dulu, apakah itu digoreng, direbus, atau dijadikan kolak, biasa disebut plantain sementara yang dimakan langsung ya banana. pada umumnya, aku suka pisang yang sudah dimasak. dalam berbagai bentuk. selain pisang goreng ada pisang kukus, kolak pisang, carang gesing --pisang yang dipotong-potong dan dimasak dengan gula merah dan santan lalu dikukus dalam bungkusan daun pisang, nagasari, pisang sira, pisang bakar dan macam-macam lagi.

untunglah aku dilahirkan di negara yang kaya jenis pisang. atau apakah kesukaan pada pisang ini adalah hasil dari caraku dibesarkan di negara ini? mungkin dua-duanya benar.
tapi bayangkan betapa membosankan kalau di setiap pasar dan swalayan hanya ada satu jenis pisang. pisang ambon yang tak bisa digoreng, dikukus, dikolak, apalagi dibakar. bagaimana nasib mereka yang lebih suka pisang mas atau pisang susu? dan kalau tak ada lagi pisang batu, kita tak mungkin lagi menyantap rujak cingur dengan rasa lengkap.

aku juga pasti akan sangat kehilangan kalau tak ada lagi pisang tanduk, pisang raja, pisang kepok kuning atau pisang nangka. jenis-jenis plantain kesukaanku itu. sayangnya ini sekarang makin banyak terjadi. entah karena kota besar ini kurang kreatif atau bagaimana, di mana-mana orang lebih suka menjual (dan membeli!) pisang chavendis yang membosankan itu.

bisa dibilang, pisang goreng adalah 'makanan berdosa' buatku. guilty pleasure yang sulit ditolak, karena kenikmatannya tak bisa diingkari. dan godaan itu datang setiap hari karena di gedungku ada kedai yang menjual pisang goreng enak. pisangnya selalu pisang raja, atau pisang tanduk yang matangnya pas sehingga sejak gigitan pertama, kita sudah bisa merasakan manisnya pisang yang alami, tanpa banyak bantuan dari gula yang membalut tepung pisang goreng itu. penjual pisang goreng di gedungku ini juga nggak berlebihan memberi tepung. dia bukan tipe penjual yang bikin pisang goreng segede telapak tangan orang dewasa, tapi isinya tepung melulu. dan pisang goreng ini jenis yang dibelah-belah tanpa terputus, bukan yang dipotong-potong. yang berarti pisangnya masih dalam kondisi baik. hasilnya, pisang goreng berukuran sedang yang tepung tipis garing dan renyah, dengan pisang yang manis dan juicy di dalamnya. yum!

karena enaknya, setiap kali ia menggoreng, dalam waktu beberapa menit saja, pisang-pisang itu sudah ludes. kadang harus ditungguin, supaya masih kebagian. atau mengandalkan keberuntungan.

menulis ini bikin aku ingin makan pisang goreng. yuk?!

Thursday, October 29, 2015

postcard from the National Museum in Jakarta

I was visiting the National Museum last week, and I'm ashamed to say that albeit my 5 years staying in Jakarta, that was my first visit. I was there because of Jalur Rempah, an exhibition that struck me hard since the first time I stepped on the museum area. There were many people there. Most of them are middle class Jakartans like me, who complaints about traffic everyday, but using the comfortable cozy air-conditioned car whenever I get the chance. Middle classes who spend more time at the malls than in a museum with dusty displays, 5000 rupiah ticket, and the chance to devour thousands of artifacts, texts, documentations and objects that show the richness of my heritage.

I'm embarrassed because I realize that during my four months stay in New York, I have visited Museum of Modern Art a dozen time, and the other museums such as The New Museum, Whitney, MoMA PS1, The Met, Guggenheim, Jewish Museum, Brooklyn Museum and The American Museum of Natural History at least twice. But never to the National Museum in Jakarta, until last week.

JalurRempah started with one question that matters. "Why not Spice Route?"
I have been familiar with the Silk Road for years. To me, that name sounds so elegant and mysterious at the same time. Smooth and slippery, also unreachable at the same time. Just like high quality, pricey silk. But not until I visited the museum that day, I understand that the most traded, sought after commodity during the time of Silk Road was spices, not silk. On that day too, I learned that there are 188 spices in Indonesia, that the most important spices --that changes the face of this world-- are clove and nutmeg, and both, for many centuries are only grown in Indonesia, in Maluku, the island of spices. Those spices that I have taken for granted, but know nothing about.

For years, I have been complaining that the Indonesian museums do not look like the ones I visited abroad. In Singapore, Paris, Amsterdam, Zurich, Pittsburgh, Basel, Oslo, Stockholm, Chicago or Washington DC. The museums opening hours are weird and impossible if you are working in the office and not joining some sort of student field trip. That there are not enough information provided, no interesting display nor theme. That the toilets are dirty and smelly. That there must be no air conditioning and it will be hot! And above all, to be honest, I really don't know what's on.
So I complained but never came.

My visit to JalurRempah was the biggest slap in my face. It knocks down all of my snobbishness to the ground. The Museum Week and The Indonesian Museum Foundation did a great job promoting this exhibition and creating an easy to follow display with important facts and interesting information laid chronologically. Another thing that makes a difference is the public programs. Numerous programs for kids and adults are prepared and created for anyone willing to join. From what I see, this is one of the success keys for this exhibition. Those who come for the exhibition stay for a public program or two, and then curiously discover other things inside the museum. I believe many people, just like me, wandering inside the museum because of JalurRempah.

No, the toilets are not dirty nor smelly. Yes, the displays are dusty and has not been changed for years. Yes, there are no air conditioners. Yes, you have to find your own way among the dimly lit objects and limited information. Yes, mainly, there are no special exhibition with special curatorial process to follow. But come anyway! See the Indonesian museums and discover the wealth of our cultural treasure.

I learned so much from my first visit. I know you will too.

Sunday, September 13, 2015

This ain't a sentimental note

aku menulis ini sambil menonton Ally McBeal episode "Blowin in the Wind" karena masih belum bisa beranjak dari konser dua hari yang lalu. sebagian dariku masih berharap konsernya lebih spektakuler dan lebih mengesankan. sebagian lagi berusaha menerima kenyataan bahwa sudah dua puluh tahun berlalu dari laki-laki ganteng di dalam kepalaku yang berseru-seru
"all I got is my guitar, 
these chords and the truth. 
all I got is my guitar, 
and all I want, baby… you!"

dia masih ganteng. Jon Bon Jovi masih punya pesona saat menyanyi di panggung, membuatmu merasa mau memberikan segala-galanya. dengan senyum maut sama, yang mematikan; caranya mengerucutkan bibir yang bikin dia keliatan paling keren diantara 40,000 orang isi GBK Jumat lalu.

ada satu adegan dari Ally McBeal yang masih selalu aku ingat, waktu Victor Morrison menunduk dan Ally mendekatinya dari belakang, lalu mengendus bokongnya yang bagus, ketat-padat dan tampak menggemaskan saat diremas. aku masih ingat adegan itu seperti terjadi beberapa hari yang lalu, meskipun tiga belas tahun sudah lewat. banyak hal terjadi tahun itu, termasuk dirilisnya album Crush, yang menjembatani Bon Jovi dengan fans-nya yang lebih muda, yang mengenal mereka dengan lagu "It's My Life"

tampaknya aku yang lebih banyak berubah daripada Jon Bon Jovi. dia masih punya rumah di pinggir sungai di New Jersey, dengan keluarga yang sama, band yang sama. sementara aku sudah kehilangan sebagian besar perasaan mabuk kepayang dan terbuai itu. setiap kali mendengar lagunya, aku nggak lagi merasa dia sedang berbagi perasaan denganku. meskipun aku masih ingin memeluknya waktu dia bilang
"You know I need you like a poet needs the pain. 
And I would give anything, 
my blood my love, my life, 
if you were in these arms tonight"

dan membalas "you don't have to beg".

tapi di dalam hatiku, aku tahu setelah jejeritan di lapangan GBK sambil jingkrak-jingkrak, aku akan pulang ke pelukan Mahen sambil sibuk bercerita "baru sekali ini aku liat orang yang makin keringetan keliatan tambah ganteng, sayang. he's aging gracefully!"

memang sebagian lagunya nggak kukenal dengan baik lagi, karena aku berhenti beli album Bon Jovi setelah Lost Highway. meskipun kebetulan aku masih sepintas ngerti "Who Says You Can't Go Home" dan "Because We Can" tapi keduanya terasa lebih sebagai kenalan daripada teman akrab.
level hubungan yang jauh dengan "I'll Be There For You", "Never Say Goodbye" atau "Dry County"
bahkan wajah Jon yang mulai berkerut dan rambutnya yang kelabu juga tak kukenali. yang bikin dadaku tetap berdesir dengan cara yang sama adalah saat kamera menyorot bokongnya. saat dia membelakangi kami dan menandak-nandak, lalu bergoyang seirama gebukan drum Tico Torres, gitar Phil X, bass Hugh McDonald dan permainan keyboard David Bryan.

sepertinya aku harus menerima kenyataan bahwa sebuah era sudah berakhir, seiring perubahan musik dan jenis lagu yang terjadi. aku bukan lagi fans dengan cara dan kadar yang sama. meski posisi Bon Jovi, dan terutama posisi Jon Bon Jovi tetap tak tergantikan.
ia adalah laki-laki yang penting dalam hidupku, karena telah membantuku belajar bahasa Inggris di SMP. aku masih ingat keningku berkerut, membuka-buka kamus tebal sambil berusaha menerjemahkan frase seperti wayward son, atau memahami penggunaan ain't, kosakata yang nggak dikenal di kelas.

dan sesungguhnya, di satu sudut hatiku, aku merasa sedikit sendu, karena sepertinya, aku tak akan pernah bisa menonton konser Bon Jovi bersama Richie Sambora. pengalaman yang jika mungkin terjadi, rasanya akan luar biasa.

apa kamu masih menyukai band kesayanganmu saat remaja dengan cara yang sama?

Thursday, April 16, 2015

warung ibu belakang


sebelumnya ia berjualan sayur-mayur untuk penghuni kompleks di belakang kantor kami. beberapa tahun yang lalu, ia memutuskan untuk mengubah bisnisnya, dari sekedar menjual bahan mentah menjadi makanan siap saji. bukan, bukan fast food. tapi jadi warung makan yang menyediakan hidangan segar bagi orang-orang di sekitar.

aku biasa menyebutnya warung ibu belakang. saat waktu makan siang tiba, biasanya kami bergegas pergi ke sana bersama-sama. masakannya cukup enak, makanannya selalu baru, dan yang terutama, harganya mencengangkan. saking murahnya, awal-awal makan di situ aku selalu nggak percaya pada jumlah yang disebutkannya. jarang mencapai lima belas ribu rupiah, sudah dengan minuman. apakah ibu yang menyebut dirinya bude yati ini tidak khawatir tergerus inflasi? apakah ia tidak memiliki perencanaan keuangan dan business plan untuk warungnya? atau apakah ia sedang mengerjakan sebuah misi kemanusiaan untuk memastikan tidak ada orang yang kelaparan dalam radius 500 meter dari tempatnya berada?

ketika harga-harga mulai merambat naik akibat kenaikan BBM, aku mendapati bahwa dia juga ikut menaikkan harga. sedikit, tapi menenangkan. karena dengan demikian, ada jaminan bahwa dia akan terus berjualan selama keadaan memungkinkan, dan tak akan bangkrut dalam waktu dekat karena memberikan harga jauh di bawah daya beli pasar.

menu di warung ibu belakang cukup bervariasi, meskipun didasarkan pada genre masakan rumahan. sayur yang hampir selalu tersedia adalah sup sayuran atau sup kacang merah, sayur sambel goreng krecek yang mengandung kacang tolo, tahu dan tetelan dengan bumbu merah dan kuah santan, serta berbagai macam tumisan. selain tumis labu siam, juga cukup sering ada tumis kacang panjang, tumis toge, tumis kangkung, atau daun pepaya.

dalam kesempatan-kesempatan yang menyenangkan, kami akan menemukan lodeh terong, atau lodeh kluwih. ikan cuwe yang digoreng setengah matang lalu disiram sambal merona dengan potongan petai yang serius, ikan nila dimasak dengan cabai ijo dan oncom, ikan bandeng bakar atau masak pesmol adalah juga lauk yang sering kami temukan. pada hari lain, ada ayam bakar atau ayam opor atau ayam semur dengan kuah kecap yang sedap. setiap kali oncom dimasak dengan kemangi dan leunca muncul, biasanya sebagian akan kupindahkan ke piringku. sambal goreng kering berisi udang atau kentang dan hati adalah hidangan sehari-hari. selain itu biasanya selalu ada orek tempe, semur jengkol, rendang dan dendeng sapi, tahu goreng, telur asin, perkedel jagung, perkedel kentang, ikan kembung dan lele goreng serta ayam goreng lengkuas.

dua hal yang selalu kami tunggu-tunggu saat masih panas dan baru saja diangkat dari penggorengan adalah peyek udang segar dengan bagian tepung yang renyah dan udang nan gurih bertonjolan di berbagai penjuru. juga, tempe goreng yang dibumbu bawang putih dan garam. kami akan menyantapnya panas-panas dengan suka cita, diiringi sambal terasi ekstra pedas atau sambal kecap yang senantiasa terhidang di meja.

jadi kapan mau makan di warung ibu belakang bersamaku?


Wednesday, April 15, 2015

a notorious week

kalau ada ramalan bintang yang bilang: "minggu ini adalah saat anda dirundung kesialan berturut-turut. berhati-hati dan waspadalah" pasti aku nggak akan percaya. selama bertahun-tahun, aku terbiasa untuk percaya hanya pada peruntungan baik saja. jadi kalau ada kalimat-kalimat seperti "ada masalah keuangan" atau "cuaca kurang baik, menyebabkan anda sakit" aku akan menolaknya mentah-mentah.

tapi sayangnya, saat-saat kita ditimpa kemalangan memang benar-benar ada. dan dalam satu minggu, kemalangan itu bisa datang bertumpuk-tumpuk. seperti sedang dihinggapi penyakit sial.

awalnya, ketika aku ketinggalan pesawat.
seumur hidup, baru dua kali ini aku mengalaminya. dan dua-duanya di jakarta. dari semua kota di mana aku pernah terbang dari bandaranya, hanya di Jakarta aku selalu was-was dan khawatir ketinggalan pesawat setiap kali akan terbang dari bandara Soekarno-Hatta. dan hari itu, lalu lintas memang luar biasa macetnya. belakangan aku baru tahu bahwa kemacetan terjadi sejak sesaat setelah matahari terbit, sampai tengah malam. teman kantor bilang dia perlu 5 jam untuk pulang ke rumahnya hari itu. perjalanan yang biasanya ditempuh hanya dalam 45 menit sampai 1 jam saja.

tapi kesialan memang datang bertumpuk hari itu. nggak ada taksi tersedia dan jalanan depan kompleks sudah padat merayap. naik kereta ke pangkalan DAMRI dan kereta pun mengalami gangguan. sepanjang Jalan Raya Pasar Minggu sampai Pancoran, perlu waktu satu setengah jam sendiri. aku tiba di loket check-in tepat ketika pintu pesawat baru saja ditutup. karma selama bertahun-tahun mengalami keterlambatan pesawat ternyata tak terbayar hari itu. saat aku memerlukannya terlambat, pesawatku terbang tepat waktu, sesuai jadwal.

maka kesialan pertama hanya bisa ditebus dengan membeli tiket lagi. jangan tanya harganya. mahal. karena rupanya dua lembar tiket terakhir yang tersisa pada hari itu. semua penerbangan penuh. orang-orang bergegas pergi liburan.

kesialan kedua terjadi beberapa hari kemudian. di tengah kepadatan INACRAFT.
aku sudah datang di saat yang tepat. ketika orang sedang sibuk shalat Jumat dan makan siang. dengan sabar kukunjungi macam-macam stand. mencatat barang-barang yang menarik, dan seperti biasa, memegang barang-barang yang harganya paling mahal. seleraku masih bagus rupanya.

menjelang sore, aku kelaparan dan memutuskan makan dulu. lalu rencananya, pulang setelah selesai makan siang yang telat. tapi rencana tinggal rencana. setelah makan, aku melihat satu bagian di lobi utama yang belum aku lihat. jadi aku masuk lagi, memilih lagi, tertarik lagi. dan waktu berencana membeli sesuatu di salah satu stand, aku menyadari kalau dompetku hilang.
mungkin tertinggal di salah satu stand, tapi entah yang mana. mungkin diambil orang waktu secara tidak sadar kuletakkan di sebelah tanganku. yang jelas, dompet yang kusayang-sayang beserta kartu flazz limited edition DWP yang cakep itu, lenyap tak berbekas. lengkap dengan uang jajanku selama seminggu:(
#sedih

tapi ternyata itu pun masih belum cukup. dua hari kemudian, selepas tengah malam, waktu aku sedang enak-enaknya tidur, aku dibangunkan oleh rasa sakit yang luar biasa di perutku. tadinya kupikir ini mimpi aja, mimpi melahirkan bayi alien, mungkin. ternyata bukan. rupanya perutku unjuk rasa dan memaksaku untuk pergi ke kamar mandi. sekarang juga!

dengan mata pedas setengah terpejam, aku pergi ke kamar mandi dan menurutinya. membiarkan rasa sakit menyiksaku selama menit-menit yang panjang ketika unjuk rasa berlangsung, sampai akhinya kantuk sepenuhnya hilang. kurasa ini akibat bebek goreng dengan sambal luar biasa pedas sehari sebelumnya. menurutku enak, perutku tak setuju.

jam setengah tiga, setengah empat, sampai setengah lima. berkali-kali aku ke kamar mandi untuk memenuhi permintaan unjuk rasa, dan berkali-kali pula kantuk yang sudah sempat hinggap, terbang lagi. siyal. baru setengah enam pagi aku bisa tidur lagi. selama kira-kira sejam. *tarik-tarik selimut*

ketika minggu itu berakhir, aku harap minggu berikutnya --yaitu minggu ini-- akan lebih baik. cukuplah seminggu saja kesialan datang bertumpuk. dan biarkan aku hidup sehat, tenang, dan bahagia, setidaknya sampai saat tagihan kartu kredit datang minggu depan.

duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...