setelah dua tahun, akhirnya kami bertemu lagi. yuli prayitno. terakhir aku ketemu dia di magelang waktu aku jadi asisten buat salah satu pameran yang dikuratori mikke. dua malam yang lalu, waktu kami ketemu di ARMA, aku nyaris nggak mengenalinya. satu yang kuingat, adalah suaranya yang berat. kalo hanya denger suaranya, bisa jadi orang berpikir kalo sosok yuli akan seperti pak raden. tapi sama sekali enggak. yuli kurus, bermata sempit, berkulit terang dan senyumnya tenang. jadi suaranya yang ber-ton-ton beratnya itu memang jadi ciri sendiri.
kami berdua akhirnya berjalan bersama-sama mengelilingi tempat pameran. melihat dan mengomentari karya-karya sambil bercerita tentang kisah masing-masing. yuli pernah tinggal dan bekerja selama setahun di bali. dan tiba-tiba ada banyak hal yang kami bicarakan. tentang karyanya, perjuangannya memasang karya dari darga gallery ke gaya fusion , penyesalannya atas pilihan bekerja di bali, pekerjaanku, kehidupannya, kehidupanku, pilihan untuk tetap berada di jalan ini, yang kerapkali terasa berat... begitu banyak, walopun aku dan yuli sebenarnya sama sekali nggak akrab. mungkin suasana yang mendukung, mungkin karena setelah pembukaan kami beramai-ramai pergi ke warung opera dan menikmati pertunjukan jazz oleh balawan sampai lewat tengah malam, mungkin karena dia bersikukuh untuk mengeluarkan dompet dan membayar apa-apa yang dia pesan walopun kami duduk semeja dengan para pemilik galeri dan beberapa seniman terkenal...
selain dengan yuli, summit bali biennale ini membuatku semakin dekat dengan taman. pande ketut taman, selama beberapa tahun terakhir tinggal di muntilan, magelang. sejak akhir oktober, taman memindahkan studionya untuk sementara ke bale banjar pande dan praktis setelah libur idul fitri, aku membantu taman mengerjakan karya instalasinya, "menyentuh langit". setiap pagi menjelang siang, aku akan pergi ke banjar pande. memotret proses kerja mereka. lalu sorenya, aku akan menunggu mereka di galeri untuk merakit bagian-bagian instalasi yang sudah dikerjakan hari itu.
instalasi itu panjangnya enambelas meter dan bagian yang paling tinggi sekitar dua setengah meter. mula-mula rangka bambu, lalu ikatan-ikatan jerami untuk alas atas, ikatan jerami untuk ornamen struktur, sampai akhirnya ratusan figur yang dibuat dari adonan tepung beras yang digoreng. hari demi hari, aku mengikuti proses dan merekam nyaris semuanya. setiap hari aku berdiskusi panjang lebar dengan taman. memahami caranya berpikir, memahami konsep karyanya yang sarat dengan tradisi bali, menemukan lagi semangat komunal yang sudah nyaris lenyap dari dunia nyata. ada banyak sekali yang kudapat dan aku pelajari, dan diatas segalanya adalah percakapanku dengan taman. walaupun kami bicara dengan bahasa yang berbeda, namun kami punya pemikiran dan pemahaman yang sama.
bali biennale pun mempertemukanku lagi dengan hanafi dan masa lalu. hanafi memasang dua buah lukisan dan satu karya instalasi di tonyraka gallery. instalasinya adalah sebuah ban kulit yang dijalankan oleh motor besar dan di ban kulit itu tertulis penanda waktu. itu adalah sebuah jam, alat ukur waktu, tapi bentuknya penyok, menandakan waktu yang molor, yang melebar dan menyempit dan jam itu tidak menunjuk pada satu waktu tertentu. masa yang dilewatinya tidak terukur. badannya yang terbuat dari besi berkarat. mungkin ia sudah ada untuk waktu yang lama. mungkin baru saja.
di galeri yang sama, beberapa seniman dari jawa timur memasang karyanya juga. aku tidak akan berusaha menghapuskan sejarah. ya, mereka adalah seniman yang pernah bekerja sama denganku. seniman yang pernah mengkritik pedas event-event yang aku buat, yang pernah mempertanyakan krredibilitas dan kemampuanku. yang -menurut mereka, lebih baik dariku dan menguji aku. sebelum naik mobil dan kembali ke rumah, aku bilang sama hanafi.
"mas, datang kesini seperti kembali ke masa lalu"
"iya. memang. dan sekarang waktunya kamu kembali ke masa kini"
"...kamu bicara seolah kata-katamu tercetak dalam sebuah buku.." demikian seorang teman berkata. suatu hari. disini, serpih-serpih hari kukumpulkan, dalam tulisan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
duka yang menyusun sendiri petualangannya
rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...
-
meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca bu...
-
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk ...
No comments:
Post a Comment