Orang-orang dalam film karya Garin Nugroho semuanya menari. Demikian lebih kurang kesimpulan yang saya tangkap dari cuplikan film, video, foto, patung dan instalasi yang dipamerkannya dalam pameran yang menandai 30 tahun perjalanan kekaryaannya: Nderek Mariah-Post Cinema yang diselenggarakan di Bentara Budaya Kamis malam lalu (9/6). Melihat bagaimana suasana dan tata artistik diciptakan dalam karyanya, godaan untuk menari memang sulit ditepis. Padang sabana nan luas, hutan hijau, ritual yang ritmis dan menggugah, suasana kota yang riuh rendah nan fotografis, panggung yang megah, instalasi yang mempesona, membuat tokoh-tokoh dalam karyanya menggerakkan tangan, menggoyangkan kaki, menciptakan irama, lalu mulai menari.
Tetapi, tidak seperti film India yang mengekspresikan segala hal melalui tarian dan nyanyian, tokoh-tokoh dalam karya Garin Nugroho menari untuk ketidakpastian, kemuraman yang pilu dan perasaan masygul.
Karya-karya Garin, sebagai mana diakuinya, menguarkan aroma upacara dan ritual yang kental. Ia dengan sadar dan sengaja melakukan itu. Baginya, setiap karya dikerjakan dan disajikan selayaknya upacara, dengan berbagai ritual dan dihadirkan melalui perayaan. Kesan ini semakin kuat mengingat Garin selama tiga puluh tahun terakhir mengelilingi Indonesia untuk menghadiri dan merekam berbagai upacara dan ritual tradisional yang diselenggarakan atas berbagai alasan. Rekaman-rekaman itu yang kemudian muncul sebagian atau keseluruhannya dalam berbagai dokumenter, film televisi dan iklan layanan masyarakat yang disutradarainya. Sejumlah ritual direka ulang, direspon, dilahirkan kembali dengan bentuk berbeda, kemudian muncul dalam berbagai filmnya.
“Lahir di Jogja dan berkelana dalam mencipta di berbagai pulau-pulau Indonesia, sesungguhya menjadikan saya selalu (hidup) mengalami beragam upacara: dari kelahiran, kematian, pernikahan, membuat rumah, hingga meruwat nama, rumah, sampai bumi. Bagi saya, mencipta seperti bekerja dalam upacara tradisi” tulis Garin.
Acara pembukaan pamerannya malam itu pun bagaikan sebuah upacara. Mengingatkan saya pada acara lamaran tradisional Jawa. Sebelum diperkenankan masuk ke dalam rumah, tanda pinangan diterima, terjadi prosesi saling berjawab, berbalas kiasan. Efix Mulyadi, Radhar Panca Dahana dan Nirwan Dewanto menceritakan dalam versi mereka masing-masing siapa Garin Nugroho dan bagaimana karya-karyanya melintas lalu meruntuhkan batas-batas antara film, seni pertunjukan, seni rupa, fotografi. Membuatnya berada di tengah-tengah perlintasan berbagai jenis kesenian sekaligus. Lalu sanjungan diwujudkan pula dalam video persembahan, penampilan musik, nyanyi, baca puisi. Para kampiun musik tradisional, biduan bersuara merdu memamerkan kebolehan, menunjang segala yang akan disajikan Garin dalam pamerannya. Para artisan dan pada akhirnya Garin Nugroho dimunculkan.
Pameran ini dipersembahkan bagi sosok Mariah, mendiang ibunda Garin Nugroho, yang sepanjang karirnya banyak memberi dorongan dan inspirasi. Hal tersebut merupakan kesan kuat kedua yang diekspresikan dalam pameran Nderek Mariah-Post Cinema.
“
Nderek dalam bahasa Jawa berarti mengikuti, menjalani, menuruti. Pameran ini ingin mengungkap dunia ibu: dunia ibu yang mendidiknya dan melahirkan karya-karyanya. Ibu di sini juga bisa berarti ibu siapa saja. Termasuk dalam pengertian tertentu adalah ibu pertiwi.” Demikian Efix Mulyadi menulis dalam pengantarnya.
Tokoh-tokoh perempuan dan ibu bermunculan dalam berbagai penafsiran pada karya-karya yang dipamerkan mulai Kamis malam itu. Hubungan dengan ibu adalah pokok yang paling banyak dieksplorasi. Karya instalasi “Labirin Ibu#2” menampilkan patung perempuan dalam posisi telungkup dengan bokong mencuat. Bagian kepala hingga punggung ditutup secarik bidang merah, seluruhnya terbuat dari resin dan alumunium. Dari bagian bawah tubuhnya muncul kawat melengkung berujung setrika berpaku. “Kusetrika punggungku, agar licin kulitku bisa kau pakai untuk masa depanmu”
Karya ini menurut Garin menuturkan paradoks kehidupan Ibu dan dunianya; antara ketidakberdayaan berhadapan dengan perlawanan, kediaman dengan transformasi, kelembutan dengan kekerasan, keindahan dengan kekacauan, yang keseluruhannya bisa dibaca dalam tubuh, kerja dan benda (yang dipakai) ibu.
Pada salah satu sudut, sejumlah neon box yang menampilkan
still foto dari sejumlah film Garin: Daun di Atas Bantal, Puisi yang Tak Terkuburkan, Angin Rumput Savana, Opera Jawa, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja dan lain sebagainya, dilengkapi potongan dialog yang berhubungan dengan film atau potongan adegan tersebut. Bagi mereka yang mengikuti perkembangan kekaryaan Garin, setidaknya sejak film Cinta Dalam Sepotong Roti, karya yang retrospektif ini tentu membangkitkan nostalgia akan masa dan kejadian yang mengiringi persinggungan dengan film-film tersebut.
Sampai di bagian ini, saya agak bertanya-tanya. Mengapa bukan film-filmnya yang dahsyat itu yang lebih banyak digali dalam pameran ini? Karya-karya dalam pembukaan yang saya datangi malam itu adalah karya-karya baru, tak secara langsung mencerminkan perjalanannya selama tiga puluh tahun. Agak mengherankan mengapa Garin seolah tak sungguh percaya dengan film-filmnya, kemudian mencari-cari makna melalui karya patung dan instalasi itu.
Padahal, karya Garin menurut saya sudah sampai pada tahap melegenda, dan menimbulkan perubahan yang luar biasa. Siapa yang, misalnya, tak kenal dengan film dokumenter Anak Seribu Pulau?
Judul dan film ini pada akhirnya memasuki ingatan kolektif publik dengan begitu gencarnya, hingga kita dapat mencermati sejumlah perubahan. Istilah anak seribu pulau jadi sebuah idiom yang berarti
globetrotter dalam Bahasa Inggris. Orang yang kerap bepergian dari satu tempat ke tempat lain, sudah berpindah-pindah kesana kemari. Tanpa dijelaskan pun, semua langsung paham.
Dan, film ini mengawali perubahan isi televisi Indonesia. Yang pada mulanya hanya berisi tayangan yang semata menonjolkan Jakarta saja, karena daerah lain (terutama di luar Jawa) dianggap terbelakang, dan
nggak keren. Kini terbalik. Siaran televisi swasta justru diisi petualangan ke daerah terpencil. Mulai dari yang bergaya bertahan hidup di rimba, menjelajahi daerah-daerah perawan yang ekstrem dan belum dijamah manusia, sampai yang menceritakan kehidupan anak-anak. Saya yakin, semuanya berutang dan meminjam pada Anak Seribu Pulau-nya Garin Nugroho.
Mungkin, lain kali, ada pameran restrospeksi 30 tahun-nya berkarya yang dipusatkan pada film. Yang menunjukkan kekuatan, kelebihan dan kedahsyatan Garin dari sisi ‘dalam’, yang akrab dan lebih intim, dan selama ini tertutup dari pandangan publik. Semoga saja.