
waktu aku masih berusia 18 tahun, masih muda belia, segar, innocent dan ranum seperti bunga yang baru saja mekar -halah-halah..., karena permintaan Papa, yang nggak bisa kutolak, aku ikut tes seleksi untuk masuk STPDN. waktu itu alasan yang dipakai adalah kalau sekolah disana, setelah lulus nggak akan bingung mencari pekerjaan karena sudah langsung ditempatkan. kedengarannya memang seperti sebuah sekolah bermasa depan cerah, yang nggak ada duanya deh, pokoknya paling oke.
akunya sendiri waktu itu hanya mikir, sebisa mungkin aku sekolah di sekolah negeri. soalnya kalo sekolah di swasta, orangtuaku pasti nggak akan sanggup membiayai, bow. itu udah jelas. dan sekolah negeri itu juga bukan di Jakarta. biaya hidup dan ongkos pergaulannya pasti kan mahal sekali.
maka dengan berbagai pertimbangan itu aku setuju ikutan tes sebagai salah satu alternatif. kalau-kalau nggak lolos UMPTN.
pada hari tes, aku merasa aneh karena ujian pertama dan paling dasar itu semuanya serba fisik. sejak kecil aku selalu merasa nggak nyaman kalau dihadapkan sama hal-hal seperti ini karena aku merasa aku emang nggak bertubuh proporsional. aku merasa seperti sedang 'ditelanjangi' dengan tes yang mengharuskan pake celana pendek, lari-lari ditonton sama orang banyak, disuit-suitin sama peserta tes yang laki-laki, dikomentarin sama bapak-bapak gendut berkumis berseragam yang kayaknya sipil tentara. duh! sekolah apa sih ini?
aku yakin kalau tesnya dimulai dengan tes tertulis soal pengetahuan dasar dan pengetahuan umum, aku akan lulus.
sampai di rumah aku tanya sama Papa kenapa tesnya nggak mulai dari kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kalo emang buat sekolah. kenapa nggak dicari aja orang yang pinter dulu, baru yang bisa lari atau yang berat badannya proporsional sama tinggi badannya. kan nyari yang pinter lebih susah daripada yang berat badannya seimbang?
waktu lihat gambar diatas itu tuh...
aku jadi sangat bersyukur dulu gagal masuk STPDN.