"...kamu bicara seolah kata-katamu tercetak dalam sebuah buku.." demikian seorang teman berkata. suatu hari. disini, serpih-serpih hari kukumpulkan, dalam tulisan
Wednesday, April 11, 2007
9 tahun lalu
waktu aku masih berusia 18 tahun, masih muda belia, segar, innocent dan ranum seperti bunga yang baru saja mekar -halah-halah..., karena permintaan Papa, yang nggak bisa kutolak, aku ikut tes seleksi untuk masuk STPDN. waktu itu alasan yang dipakai adalah kalau sekolah disana, setelah lulus nggak akan bingung mencari pekerjaan karena sudah langsung ditempatkan. kedengarannya memang seperti sebuah sekolah bermasa depan cerah, yang nggak ada duanya deh, pokoknya paling oke.
akunya sendiri waktu itu hanya mikir, sebisa mungkin aku sekolah di sekolah negeri. soalnya kalo sekolah di swasta, orangtuaku pasti nggak akan sanggup membiayai, bow. itu udah jelas. dan sekolah negeri itu juga bukan di Jakarta. biaya hidup dan ongkos pergaulannya pasti kan mahal sekali.
maka dengan berbagai pertimbangan itu aku setuju ikutan tes sebagai salah satu alternatif. kalau-kalau nggak lolos UMPTN.
pada hari tes, aku merasa aneh karena ujian pertama dan paling dasar itu semuanya serba fisik. sejak kecil aku selalu merasa nggak nyaman kalau dihadapkan sama hal-hal seperti ini karena aku merasa aku emang nggak bertubuh proporsional. aku merasa seperti sedang 'ditelanjangi' dengan tes yang mengharuskan pake celana pendek, lari-lari ditonton sama orang banyak, disuit-suitin sama peserta tes yang laki-laki, dikomentarin sama bapak-bapak gendut berkumis berseragam yang kayaknya sipil tentara. duh! sekolah apa sih ini?
aku yakin kalau tesnya dimulai dengan tes tertulis soal pengetahuan dasar dan pengetahuan umum, aku akan lulus.
sampai di rumah aku tanya sama Papa kenapa tesnya nggak mulai dari kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kalo emang buat sekolah. kenapa nggak dicari aja orang yang pinter dulu, baru yang bisa lari atau yang berat badannya proporsional sama tinggi badannya. kan nyari yang pinter lebih susah daripada yang berat badannya seimbang?
waktu lihat gambar diatas itu tuh...
aku jadi sangat bersyukur dulu gagal masuk STPDN.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
duka yang menyusun sendiri petualangannya
rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...
-
meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca bu...
-
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk ...
9 comments:
wuih mbak, pernah ikut tes STPDN tho? tapi emang sih, sekolah kayak STPDN kemarin2 masih menjadi dambaan tiap ortu buat anaknya. Gratis trus langsung kerja. Nggak tahunya..hiii..dengan kejadian ini smoga semua orang sadar.
wah lo ikutan tes dimana tuh? dah lgs tes fisik? soale setau dan seinget gw, dimana2 utk tes jadi PNS pasti tes tertulis dulu. Dulu gw juga ikut daftar stpdn wilayah DKI Jakarta. Tp kita peserta gak lgs tes kesehatan II tuh, tapi tes tertulis dulu - baca: ilmu pengetahuan umum - dan dilanjutkan dg psikotes dl. Klo kedua tes itu lulus, baru deh tes fisik ato yg disebut dg tes kesehatan I dan II
eh, anonymous...
*buset dah nggak mau kasih nama*
kamu tesnya tahun berapa?
waktu aku masih berusia 18 tahun, masih muda belia, segar, innocent dan ranum seperti bunga yang baru saja mekar
dari pernyataan di atas, jelas2 ada pembohongan publik!!!
*ngeloyor...*
untung
tes tes http://bimoseptyop.blogspot.com
Sounds weird...
Kok bisa sama-an ya...
Aku juga dulu sempat test STPDN, itu tahun 1995. Habis test di Pemda terus dikirim kesana dan test fisik.
Dulu nyesel nggak jadi masuk, sekarang malah bersyukur. Bisa-bisa saya jadi pelaku atau malah masuk kubur :-(.
Allah memang maha adil :-).
syukurlah nggak keterima ya Mbak sehingga sekarang bisa kerja pake otak dan bukan hanya otot saja.
Alhamdulillah kamu batal masuk sekolah itu.
Post a Comment