Sunday, July 29, 2007

Midnight in Jakarta

siapa sih yang nggak tersentuh, kalo melihat wajah-wajah yang pada mulanya ceria



setelah menunggu selama hampir tiga jam berubah menjadi lesu karena kantuk dan jemu



dan yang mereka tunggu adalah aku.
benar-benar mengharukan. Neng Qudsi, Jeng Henny, mBu dan Deden menungguku di Mc Donalds Pondok Indah malam itu. berharap bisa bertemu walaupun hanya sebentar (dan emang sebentar banget) dimalam ketika aku singgah ke Jakarta sebelum meneruskan perjalanan ke Palembang.

mereka tau nggak ya, kalo aku nggak makan fastfood?

di bandara, aku disambut oleh wajah Jeng Ningsih yang ceria, secerah warna kausnya malam itu. pelukannya hangat dan penuh rindu. begitupun tatapan Bunjems waktu menyongsongku di gerbang kedatangan. sama sekali tak terlihat lelah ataupun bosan. padahal yang dijemput itu aku. aduh, aku jadi berkaca-kaca lagi...



nggak ada kalimat yang tepat, atau kata-kata yang cukup untuk mewakili perasaanku yang campur aduk malam itu. aku hanya bisa memeluk mereka. nggak bisa ngomong apa-apa lagi. antara senang dan terharu, sekaligus sedih, karena ketemunya betul-betul nggak lama. sopir kantornya Henny (makasih ya, Pak!) harus segera pulang karena jam 4 pagi berikutnya harus bertugas lagi. padahal waktu itu sudah sekitar jam 23. si Neng juga nggak bisa lama karena besoknya harus ngantor (pada hari yang ke-4).



maka rombongan kecil kami, Odyssey yang berisi Bunjems, Pito (ini nama yang bikin Jeng Ningsih sering dikira laki-laki. padahal dia wanita Jawa yang anggun dalam balutan rok batik dan kebaya) dan pak sopir; diiringi mBu dan Deden di mobil satunya lagi (yeah, kami tidak mau mengganggu kemesraan kalian) bertolak menuju Bintaro. disana, Bunjems akan menciptakan keajaiban di dapur mungilnya.



sehingga kami bisa menikmati Steak Ayam paling enak yang pernah kumakan seumur hidupku. bukan hanya karena ayam dan bumbunya, tapi juga karena kasih sayang yang dicurahkan Bunjems lewat masakannya.
*peluk Bunjems erat-erat*



kami ngobrol sampai menjelang Subuh. sampai terlalu lelah untuk tertawa, walaupun agak nggak rela menyia-nyiakan waktu bertemu untuk tidur, meskipun hanya satu atau dua jam saja.

Henny.


neng Qudsi.


Bunjems.


Pitoresmi Pujiningsih.


Deden.


Iman.


terima kasih banyak. aku bahagia pernah kenal dan sempat bertemu dengan kalian. somehow, you make my life more beautiful.

Saturday, July 28, 2007

dua fragmen Kundera

dia menatapku dengan penuh minat ketika aku menyebutkan 'The Unbearable Lightness of Being'. tersenyum sesaat dan berkata bahwa dia pernah membuat sebuah film tentang salah satu fragmen dalam novel itu. aku bertanya apakah fragmen yang dimaksudkannya mengenai Tomas dan Tereza, atau tentang Sabina dan Franz. dia menjawab dengan kutipan.

...making love with a woman and sleeping with a woman are two separate passions, not merely different but opposite.
Love does not make itself felt in the desire for copulation (a desire that extends to an infinite number of women) but in the desire for shared sleep (a desire limited to one woman).


aku tersenyum semakin lebar. betapa menyenangkan menemukan orang lain yang menghargai fragmen dalam sebuah novel dengan serius. sehingga aku bisa memahami hal-hal macam apa yang dianggapnya penting. buatku, dalam beberapa hal, tulisan-tulisan Kundera setara dengan ensiklopedia, yang mampu memberi penjelasan untuk berbagai kebingungan. tentang cinta, tentang perasaan dan pikiran, hal-hal yang letaknya begitu dalam sehingga nyaris tak pernah bisa dikatakan kepada orang lain. dia lalu menceritakan film yang dibuatnya, lalu percakapan kami semakin meluas dan mengalir...

keesokan harinya, film maker dari Singapura yang baru kukenal itu memberiku 'Memories of My Melancholy Whores' karena ia menemukan bahwa aku menyukai Mrquez. katanya buku itu baru saja dia selesaikan. dan ia memberikannya padaku dengan keyakinan bahwa aku akan bisa menghargainya. di sampul bagian dalamnya, ia menuliskan "to find a Marquez lover in Ubud is just fantastic!..."

tadi siang, waktu membereskan buku-buku di rak, mataku tertumbuk pada 'The Unbearable Lightness of Being' dan teringat pada fragmen lain di dalamnya. sebuah pikiran Tereza yang pernah membuatku tertegun lama...

What is flirtation? One might say that it is behavior leading another to believe that sexual intimacy is possible, while preventing that possibility from becoming a certainty. In other words, flirting is a promise of sexual intercourse without a guarantee.


kali ini, aku tertegun lagi membaca kata-kata yang tercetak itu. tidakkah menakjubkan bahwa fragmen yang berbeda dalam novel yang sama akan mengingatkanku pada tokoh yang lain dalam hidupku baru-baru ini. apakah kali ini, ada ensiklopedia yang bisa menjelaskan padaku, apa yang sedang aku alami?

*colek-colek Milan Kundera*
kalo aku ke-ge-er-an gimana, Oom?

Tuesday, July 24, 2007

drama AirAsia

selama ini, rekorku naik pesawat adalah immaculate.

tidak pernah terlambat. tidak pernah ketinggalan, tidak pernah terburu-buru di bandara. yang ada malah datang kepagian. sampe-sampe bandaranya belum buka.

dan sekali ini, perjalananku bersama AirAsia, bertebar drama dimana-mana.

18 Juli 2007
pesawatku dari DPS ke Cagkarta (baca: CGK) ditunda keberangkatannya selama 30 menit lebih. hmmm... betapa aku resah dan gelisah, karena tahu di CGK, beberapa warga Kampung Gajah akan menunggu kedatanganku. lebih gelisah lagi karena dengan penundaan ini, rencana kopdar yang mestinya pukul 22-an, bener-bener dimulai pada waktu tengah malam. kasihan yang udah nungguin aku sejak jam 20 di Pondok Indah. pasti mukanya udah pada bete dan ngantuk. sambil pasang wajah agak sebal, aku setengah berharap sedang naik Firebolt, karena siapa tahu, jalannya pesawat bisa lebih dikebut:D

19 Juli 2007
setelah kopdar semalaman, pagi-pagi aku udah siap pergi ke Bandara Sukarno-Hatta lagi. aku udah duduk manis di mobil, ditemani Deden di sebelah kananku, dan Bunjemsserta seorang teman yang berperan menjadi chauffeur pagi itu. sambil mengingat-ingat sms mBu yang bernada khawatir sok perhatian, aku mendengarkan orang-orang di dalam mobil membahas soal jalan belakang.

setengah jam berlalu dan kayaknya mobil belum begitu jauh perginya dari rumah Bunjems. ah, tapi kan aku nggak tau jalan di Jakarta. jadi ya, aku tetep duduk manis walopun hati semakin berdebar-debar.

lalu dramanya dimulai.

macet tidak terelakkan. sayangnya tidak ada helikopter untuk menyelamatkanku dari deretan mobil yang menyemut, membentang sepanjang jalan. bahkan meskipun Bunjems menelepon, tidak ada Kapolres yang sanggup membersihkan jalan dari kendaraan yang menghalangi jalannya mobil kami. satu-satunya yang bisa dilakukan adalah memastikan aku sudah dapat check in clearance setibaku di bandara.

well, kalo nggak sama Bunjems dan her magical persuasion over the phone, nggak akan bisa aku dapat privilege untuk bisa melakukan city check in dari dalam mobil. mungkin di Indonesia ini, aku aja yang pernah city check in di AirAsia. sesuatu yang membuatku merasa penting. halah!

dan aku sampai di airport hanya 25 menit sebelum pesawat diberangkatkan. semua penumpang sudah duduk rapi dalam pesawat. petugas ground naik ke atas pesawat untuk memohon pada kapten pilot untuk menungguku. sementara itu, aku lari dari satu koridor ke koridor lain, menembus antrian, melewati eskalator sambil setengah berlari ditemani seorang petugas AirAsia berseragam merah. dan dijemput di depan ruang tunggu oleh seorang petugas guest service berpakaian hitam-hitam dengan garis merah di kerahnya. senyumnya manis dan badannya tertunduk waktu mengucapkan permintaan maaf.

pesawatku sudah berangkat, karena kapten pilot menolak menungguku lebih dari 10 menit.
huh! kalo pesawat yang delay, aku nggak dapat kompensasi. tapi aku telat dikit aja, langsung ditinggal dan tiketku hangus. betul-betul tidak adil.

dengan lunglai dan shock aku kembali ke counter AirAsia untuk menemui duty manager yang bertugas hari itu, dan menanyakan kemungkinan untuk pindah ke penerbangan berikutnya. duty manager yang tampan itu bernama Aribowo. wajahnya agak malas waktu menemuiku pertama kali. dan aku bisa mengerti itu, pasti banyak orang yang seperti aku. terlambat, lalu harus dia tangani, dan orang yang terlambat itu panik dan marah-marah. tapi aku sama sekali tidak berniat memarahi wajah tampan yang nyaris membuatku meleleh itu. I don't want to give him a hard time.

masih dalam keadaan shock karena ketinggalan pesawat dan ketemu cowok ganteng dalam waktu yang bersamaan, aku pasrah saja dan mengiyakan apapun yang disarankan mas Ari. *wink*

justru dia yang menyadarkan bahwa penerbangan berikutnya adalah jam 3 sore, dan akan lama sekali kalau aku menunggu pesawat AirAsia yang berikutnya ke Palembang tanpa mencoba mencari pesawat lain yang berangkat lebih awal. oh, ini gara-gara tatapan dan senyumnya yang begitu memukau:))

oya, hampir lupa untuk kuceritakan, yang terlambat dari sekian banyak penumpang di pesawat itu ada dua, aku dan mempelai laki-laki yang sedianya akan menikah dengan sahabatku. ia adalah salah satu orang yang menyebabkan aku harus melakukan perjalanan ini. jadi kita berdua, keliling terminal A lagi untuk cari tiket paling cepat ke Palembang setelah jam 11 siang. dapatlah tiket Lion Air jam 13.15

dengan senyum ramah mas duty manager bilang kalau sebenarnya dia sudah membooking tiket lagi untukku dan Mas Didik, sang mempelai laki-laki. tapi aku bilang nggak perlu, karena kami dapat yang lebih cepat. lagipula, setelah sampai di Palembang kami masih harus menempuh perjalanan darat selama 5 jam untuk sampai ke Lahat. dan sebelum aku mengucapkan terimakasih secara berlebihan, aku buru-buru berlalu dari hadapannya. kalau terlambat, bisa-bisa mas Didik harus mengemasku dalam botol supaya nggak berceceran.

sampai di Palembang di ujung siang yang panas itu, aku sudah terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan dari saudara-saudara dan keluarga besar sahabatku
"kok bisa telat? kami yang dari Surabaya dan Bandung aja nggak telat"
yeah rite.

*colek-colek mas Ari*
eh, kalo ke Bali harus jadi mampir ya?!

23 Juli 2007
pesawat Sriwijaya Air-ku terlambat mendarat di Bandara Sultan Badarrudin II Palembang. memang hanya 15 menit. tapi itu membuatku mendarat 30 menit lebih lambat dari yang dijadualkan di Jakarta, dan aku hanya punya setengah jam untuk lari dari tempat baggage claim di terminal B ke terminal A, menembus antrian pintu masuk terminal keberangkatan A, check in dan pergi ke ruang tunggu.

jantungku berdegup amatlah kencangnya.

akhirnya aku check in aja di counter depan AirAsia. itu loh, yang tempat jualan tiket. dan udah sekalian sama bayar pajak bandara. tapi kata mas-mas yang mengurus tiketku, aku harus masukin bagasiku ke loket check-in nomor 1, karena tasku terlalau besar untuk dimasukkan ke dalam kabin.

padahal antrian di loket itu begitu panjang. masih ada 15 orang di depanku yang hendak check-in untuk naik pesawat ke Batam. uh-oh! aku melihat jam tangan dengan gelisah.
tapi lalu kulihat ada orang-orang yang keluar dari antrian dan pergi ke bagian belakang counter. rupanya ini kebijakan Air Asia supaya para penumpang tidak tertahan karena bagasinya. aku bergabung bersama mereka, dan dalam waktu kurang dari 10 menit, barang-barangku sudah aman dalam perjalanan ke bagasi pesawat, dan aku bisa pergi ke ruang tunggu. sayup-sayup kudengar pengumuman dari Air Asia lewat megaphone untuk para penumpang ke Bali supaya pergi ke bagian belakang counter 1 untuk mendaftarkan bagasinya.

begitu sampai di deretan ruang tunggu, aku dengar pengumuman yang menyatakan kalau penumpang AirAsia ke Denpasar bisa naik pesawat dari gate A7. aku agak heran, karena di boarding pass tulisannya gate A6. tetapi lantas diyakinkan karena tulisan di layar monitor gate A7 sesuai dengan flight code-ku. sampai di depan petugas gate, sudah ada 6 orang yang sedang berdebat tentang A6 dan A7 ini.

"jangan khawatir Ibu" katanya sambil mengambil boarding pass-ku dan menuliskan tiga garis tebal di bawah tulisan Gate A6. "kami yang akan bertanggung jawab. percaya sama saya. ada kesalahan komunikasi sehingga pengumuman yang diberikan petugas bandara salah. tulisan di boarding pass yang benar"

aku lantas mengajak 6 orang yang terdiri dari 2 orang India dan 4 orang bule itu untuk pergi ke gate A6 dan segera bergegas naik pesawat.

hari itu aku sampai di Denpasar 15 menit lebih awal daripada yang dijadualkan, dan sudah terlalu lelah setibanya di Ubud. hanya punya tenaga untuk mandi sebelum tidur.

oya, tulisan ini adalah yang pertama dari beberapa tulisan mengenai perjalananku ke Sumatera, 18-23 Juli 2007.

Monday, July 09, 2007

berita dari rumah

tadi pagi adikku mengirim berita pendek yang bikin aku kaget lewat Y!M.

A: Ulfa kecelakaan udah tahu?
D: nggak tahu
A: tangan dan kakinya patah
D: ha? kapan? kecelakaan sepeda?
A: kira-kira dua hari yang lalu
D: duh...ketabrak apa?
A: naik motor, dibonceng Winta, ketabrak mobil
D: waaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh
A: operasi di Solo.
D: Winta-nya gimana?
A: itu dia, belum ada yang nanyain kabarnya Winta

sigh...
Ulfa dan Winta itu dua sepupuku di Pacitan. Winta umur 14 tahun, kelas 2 SMP, anak Oom Suhar, adiknya Mama. sementara Ulfa umurnya 11 tahun, anak Tante Ninik, juga adiknya Mama. jadi mereka berdua ini masih kecil-kecil, naik motornya juga rada belum beres, udah turun ke jalanan.

apesnya, hari itu mereka terserempet Kijang. dan akibatnya sangatlah serius. kaki dan lengan kiri Ulfa patah dan harus dioperasi di RS. Dr. Oen, Solo. Ulfa jadi parah gitu karena kakinya tersangkut di bemper mobil. kubayangkan, pasti banyak juga baret-baret bekas aspal di tubuhnya yang kurus.

Winta sendiri ternyata tidak apa-apa. tapi beban mental dan rasa bersalah yang dia tanggung pasti sangatlah berat. apalagi karena dia pasti udah ngerti betapa runyam situasi di rumah tante Ninik saat ini. anak kedua tanteku masih kecil, umurnya baru 7 tahun. udah gitu, di rumah tante Ninik juga tinggal Mbah Putri yang sudah hampir 6 bulan ini praktis harus dirawat ekstra setelah terkena stroke. padahal Tante harus ada di Solo menunggui Ulfa.

waktu kuhubungi, Tante Ninik bilang kalau Mbah Putri sekarang dirawat di rumah Oom Suhar untuk sementara. Papa dan Mama serta adik laki-lakiku juga rencananya ke Pacitan besok. aku cuma bisa nitip buku-buku cerita buat Ulfa. kebayang kan, anak umur 11 tahun harus berminggu-minggu terbaring di tempat tidur, pasti bosan dan rewel setengah mati.

sekarang aku ngerti kenapa dulu Papa dan Mama bersikeras aku nggak boleh belajar naik motor pas SMP, walopun teman-temanku sudah naik motor ke sekolah.

eh, dimana ya, sepeda hitam berkeranjang yang kupakai waktu SMP dulu?

duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...