Gabriella mengirimiku buku sketsa dari Losari. membuatku ingat kalau aku belum menyelesaikan bagian terakhir dari tiga cerita tentangnya.
tapi sebelum bercerita banyak mengenai hal lain yang dilakukan Gabri, sebaiknya aku tunjukkan dulu buku sketsanya seperti apa. ide buku ini sederhana aja. ada seniman yang diminta membuat sketsa dari setiap sudut yang menarik di Losari, lalu Gabri menulis sedikit hal-hal yang mau dia sampaikan mengenai tempat itu. Misalnya bagaimana ia menemukan stasiun kayu kuno yang sekarang jadi tempat pendaftaran dan penerimaan tamu. dan begitulah, itu jadi buku sketsa yang mengembalikan kenangan orang yang pernah tinggal di Losari, sekaligus memperkenalkan Losari pada orang yang belum pernah tinggal disana.
selain buku sketsa itu tadi, bagian terakhir kisahku mengenai Gabriella ini juga akan berisi tentang apa yang dilakukan Yayasan Losari dengan buku, masih di desa Gemawang. mereka membantu masyarakat desa untuk membuat perpustakaan, uhm... semacam taman bacaan masyarakat, dan aku sempat juga mengunjungi tempat ini. namanya TBM Nurul Fatah, dan sekarang masih menumpang di salah satu rumah penduduk walaupun sudah ada tanah yang akan dipakai untuk mendirikan taman bacaan yang permanen, tapi pembangunannya masih belum selesai.
tapi mereka memang luar biasa. seseorang sampai rela meminjamkan rumahnya sampai waktu yang belum ditentukan untuk menampung taman bacaan. ini di desa, lho! dan ini desa yang minat baca masyarakatnya masih rendah. tapi kesadaran warganya untuk maju benar-benar harus kuacungi jempol. mereka berinisiatif sendiri untuk mengumpulkan buku-buku, majalah dan berbagai jenis bacaan untuk dimasukkan sebagai koleksi, dan tak lupa menggunakan teori persepuluhan Dewey untuk membuat label dan kode bukunya.
dari swadaya masyarakat, mereka juga berhasil mengumpulkan uang sekitar 15 juta rupiah untuk membangun taman bacaan secara permanen. dilihat dari sisi manapun, duit segitu itu banyak! lalu, beberapa pemuda desa juga menjadi pengurus perpustakaan, secara sukarela menjaga dan merawat koleksi, serta mengawasi setiap pengunjung yang datang. pada hari-hari libur, sebuah konvoi bermotor yang terdiri dari para pemuda desa juga pergi ke desa-desa lain, terutama yang letaknya cukup jauh dari jalan raya, untuk menyebarkan fliers mengenai perpustakaan desa Gemawang. sampai saat itu, belum pernah aku merasa terharu karena kegiatan konvoi motor.
nah, sekalian aku mau menawarkan, buat yang punya majalah atau buku atau bahan bacaan lainnya, dan berminat untuk
menyumbang atau menambah koleksi Perpustakaan Gemawang, bisa mengirimkan buku-buku dan lainnya ke:
Yayasan LosariLosari Coffee Plantation- Resort and SpaDesa Losari-Grabag
PO BOX 108, Magelang 56100
Jawa Tengah, Indonesiakunjungan keliling kami hari itu, diakhiri di Pondok Diakona. ini adalah sebuah panti asuhan yang menampung lebih dari seratus anak yatim piatu, anak dari keluarga yang sangat miskin, atau anak yang tidak diinginkan oleh keluarga mereka. ketika pengasuh panti menceritakan tentang bagaimana sebagian besar anak yang cacat datang, air mataku rasanya sudah nggak bisa kutahan lagi. bayi-bayi yang cacat sebagian besar datang ke pintu panti dalam keranjang, atau diletakkan begitu saja di dekat tempat sampah. mengetahui bahwa pengasuh panti tidak akan membuang mereka lagi.
kami sampai tepat saat mereka akan makan siang. jadi kami berkeliling dulu sebelum bertemu dan ngobrol dengan mereka. aku memperhatikan ada beberapa diantara anak di panti asuhan ini memiliki
down syndrome, sehingga tidak bisa diajak bercakap-cakap dengan cara yang normal. salah satunya kemudian memilih Ayu menjadi ibunya. aku sempat memotret mereka berdua. aku yakin dalam hatinya, anak berkaus kuning itu juga tersenyum.
Rumah Diakona baru saja selesai direnovasi dengan bantuan dari HSBC Kita, sehingga mereka bisa punya kamar-kamar tambahan untuk menampung lebih banyak anak. gedung baru itu punya sirkulasi udara yang baik dan memang dirancang untuk menampung banyak orang sekaligus. kata Gabriella, tempat tidur dan kasurnya didatangkan dari Losari, setelah sebelumnya hanya sekali dipakai oleh Paspampres yang mengawal Presiden SBY waktu menginap di Losari. kedengarannya memang merepotkan kalo mau kedatangan Presiden, sampai harus beli kasur dan tempat tidur baru. tapi untunglah, masih bisa dipergunakan untuk hal baik sesudahnya.
cerita apapun yang kudengar hari itu, hal apapun yang kami lakukan di Pondok Diakona hari itu, seperti berusaha menumpahkan bergalon-galon air mataku. aku betul-betul harus berusaha keras mengendalikan diri. haru dan perasaan tidak berdaya campur aduk jadi satu. ingatan bahwa aku seringkali lupa bersyukur dan berterima kasih atas semua yang sudah kudapatkan, terasa mencabik-cabik hati. disisi lain, aku juga terharu karena melihat anak-anak di Pondok Diakona tampak sehat dan terawat. jadi kalau dalam foto-foto di postingan ini aku bisa tersenyum, itu adalah hasil dari usahaku mengeraskan hati, supaya tidak terduduk lemas berkubang air mata ketika anak-anak itu menghampiriku, mengucapkan selamat datang dan mengajakku bercakap-cakap.
di foto ini, aku dan Ayu ikut menyanyi bersama anak-anak Pondok Diakona, tak lama setelah mereka makan siang. kalau nggak salah, kami sedang menyanyikan
More Than Words waktu foto itu diambil.
setelah itu kami pergi mengunjungi perpustakaan mereka. tempatnya betul-betul menyenangkan! dan koleksi bukunya cukup beragam, suasananya juga nyaman. ada banyak buku bacaan anak, dan mereka juga punya TV serta beberapa film untuk ditonton beramai-ramai. di salah satu rak, kami menemukan juga buku-buku klasik seperti
Chronicles of Narnia dan
Robin Hood. tapi yang bikin kami kaget adalah buku
"Heidi Grown Up". pasti pada tau kan, cerita Heidi, gadis yang tinggal di gunung bersama kakeknya, yang lalu dikirim ke kota untuk menemani gadis kaya yang tinggal di rumah mewah, tapi badannya lemah sehingga nggak bisa berjalan dan harus duduk di kursi roda. ternyata ada versi ketika Heidi sudah dewasa! aku jadi penasaran seperti apa isi bukunya.
aku terkagum-kagum sama Gabri yang bisa dengan cool bisa tersenyum, bicara dan mendengarkan cerita anak-anak. memeluk mereka, tertawa bersama mereka, nyaris tanpa perubahan ekspresi yang berarti. walaupun menurut pengakuannya, setiap kali datang, ia selalu trenyuh dan siap menumpahkan air mata kapanpun juga.
tak heran, waktu aku mengucapkan selamat berpisah pada Gabri, air mata haru yang kutahan-tahan selama beberapa hari itu tak bisa kubendung lagi. dengan mata berkaca-kaca, aku memeluknya, lalu hanya bisa berkata.
"
Gabri, thank you for doing so much untuk orang Jawa"