Newsweek edisi 21 Januari memuat sebuah sebuah artikel tentang gap antara generasi pertama imigran di Amerika dengan anak-anak mereka. wait! jangan bayangkan kalau yang disebut imigran generasi pertama itu terjadi ratusan tahun yang lalu, yang kemudian sekonyong-konyong memerangi Indian. did I say sekonyong-konyong? :p
para imigran masa kini, sebagaimana pendahulu mereka ratusan tahun yang lalu, datang dari berbagai negara untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. mereka adalah tipikal orang yang rela melakukan apa saja agar anak-anak mereka memperoleh kesempatan, pendidikan dan pekerjaan yang menjamin hidup mereka kelak. mereka bekerja 80-90 jam per minggu dan meninggalkan segala hal di negara asalnya untuk memungkinkan hal tersebut terjadi.
masalah mulai timbul ketika anak-anak mereka mengambil jalur yang tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. anak-anak mereka mendapatkan tekanan yang luar biasa untuk study hard, get into top schools and choose careers that offer financial stability witout considering personal fulfilment. maka ketika anak-anak yang sudah diterima di universitas ternama seperti Harvard atau Stanford kemudian justru memilih karir yang kurang diharapkan, seperti menjadi filmmaker, pekerja sosial untuk human trafficking, atau menjadi musisi.
"I sometimes feel guilt, having chosen to be an artist, because I know that if I had chosen a scientific background, I could help my parents a lot more" salah satu dari mereka mengakui.
tapi ada juga yang dapat support penuh dari ibunya, atas pilihannya menjadi musisi. si ibu menjadi penggemarnya yang nomor satu, karena si anak berhasil menggapai mimpinya. salah satu lagu yang ditulisnya, berjudul "Mama", berlirik seperti ini;
who worked 16 hours just the other day
breaking her back, breaking her pride, her bones
so that we wouldn't ever have to do the same
never have to groan and moan
when we were on our own
musisi ini menyebut kehidupan ibunya sebagai sumber inspirasi yang tak ada habisnya karena ibunya telah memilih untuk mengabdikan diri untuk keluarga ketimbang mengejar mimpinya sendiri. "because she didn't get to live her dreams, I have to"
dan tiba-tiba aku teringat orangtuaku. yang aku yakin seringkali heran dan khawatir pada jalan yang kupilih dan keputusan yang aku ambil. dengan keras kepala menempuh jalur yang berbeda dari apa yang dapat mereka pahami. aku tau kalau mereka nggak selalu mengerti apa dan kenapa aku melakukan sesuatu. tapi kesadaran bahwa mereka selalu memberikan kasih sayang dan dukungan tanpa syarat membuat aku menjalani hidup dengan lebih percaya diri.
dalam artikel itu, ditulis pula tentang hubungan antara Irshad Manji dan ibunya, Mumtaz Manji. Irshad yang menulis buku kontroversial berjudul "The Trouble with Islam" mendapatkan dukungan penuh dari ibunya, seorang muslim yang taat dan aktif memakmurkan masjid. pada akhirnya buku karangan anaknya menyulut gunjingan dari sesama jamaah di masjid, dan ia hanya berkomentar singkat mengenai hal itu "until this day, there are so many people who don't talk to me. but who cares? my daughter comes first"
hmmm... I can't wait to meet my parents on Saturday.
"...kamu bicara seolah kata-katamu tercetak dalam sebuah buku.." demikian seorang teman berkata. suatu hari. disini, serpih-serpih hari kukumpulkan, dalam tulisan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
duka yang menyusun sendiri petualangannya
rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...
-
meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca bu...
-
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk ...
1 comment:
Jadi teringat juga sama ortu...
Post a Comment