"kenapa sih manusia harus dibeda-bedakan agamanya?" pak Koman melontarkan pertanyaannya sambil terus membuka-buka majalah yang dipegangnya. mencari artikel yang memuat Komaneka. majalah itu baru datang tadi pagi, sebagai bukti pemuatan atas wawancara yang dilakukan lebih dari sebulan yang lalu.
"maksudnya, pak Koman? memang takdirnya kan begitu." aku mengangkat kepalaku dari monitor komputer, menanggapi dengan lebih serius.
"ya, maksud saya, kenapa manusia harus dibeda-bedakan, oke lah... mungkin nggak papa berbeda, tapi kenapa harus saling berperang? kenapa nggak dibiarkan saja perbedaan itu apa adanya. jangan jadi alasan untuk perang."
kalo dipikir-pikir, obrolan macam ini udah tua sekali umurnya. sejak entah berapa tahun yang lalu, pertanyaan itu sudah terlontar dan jadi bahan debat, diskusi dan pembahasan ribuan ahli sejak jaman dulu kala. aku percaya banyak orang yang dalam keadaan biasa-biasa saja, nggak sedang emosional, atau menghambur-hamburkan perasaan akan bilang bahwa perbedaan itu ada untuk diterima, untuk dirayakan, karena segala hal yang seragam pasti akan sangat menjemukan. tapi coba kalo udah tersinggung sedikit aja, lupa banget tuh sama segala hal baik yang disebut-sebutkan tadi.
makanya aku sedih ngeliat headline koran beberapa hari ini isinya semua tentang ancaman terhadap perayaan Natal. ada apa sih di kepala orang-orang itu? apa nggak ada kerjaan lain yang lebih menyenangkan buat mereka selain membeli bom, merakitnya dan memasangnya di sembarang tempat, berharap-harap cemas, berapa banyak orang yang bisa mereka bunuh kali ini.
apa mereka nggak kenal hal-hal yang menarik seperti makan kambing guling dan bakar-bakaran lainnya, jalan-jalan di pantai, baca buku didepan jendela waktu hari hujan, naik motor berduaan melihat hamparan sawah, mancing, menggigit pizza fondue hangat yang penuh keju, mengunyah mango tart dingin yang manis dan legit, minum cafe latte sambil dengerin cerita teman tentang film yang baru saja dia tonton... hal-hal yang normal, yang biasa, yang membuat bibir tersenyum, dan tidak mengancam nyawa orang lain maupun nyawa diri sendiri.
get a life!
sudah tiga Desember yang aku lalui di Bali. selama berada di sini, aku belajar banyak soal toleransi dan menjadi minoritas. mungkin kalo aku selamanya jadi orang Jawa yang tinggal di Jawa, dikelilingi orang Jawa yang juga sama-sama beragama Islam, aku nggak akan bisa menghargai bagaimana orang lain akan bisa menerima waktu aku bilang;
"sebentar lagi saya menyusul ikut meeting, saya mau shalat dulu"
atau tersentuh waktu diijinkan libur saat malam tahun baru, sementara semua orang lain bekerja sampai tengah malam karena aku merayakan Idul Adha. toleransi. pemahaman akan perbedaan. yang nggak hanya dimulut aja. tapi juga dijalankan.
tahun ini, tugasku di tim Natal-Tahun Baru adalah bikin teks dan ngerancang publikasi. selain itu juga bikin playlist lagu-lagu Natal yang akan diputar sampai awal Januari nanti di seluruh properti. karena dua tugas ini, Natal datang lebih awal ke mejaku dan Indra. berhari-hari kami mendownload, mendengarkan dan memilih lagu untuk itu. aku juga ikut memilih hiasan untuk pohon Natal dan memasangnya, mengusulkan kue-kue yang harus dibuat, permen yang harus dibeli dan dibagikan. karena perayaan, apapun alasannya, selalu terasa menyenangkan.
aku dan Indra sama-sama tidak merayakan Natal.