"...kamu bicara seolah kata-katamu tercetak dalam sebuah buku.." demikian seorang teman berkata. suatu hari. disini, serpih-serpih hari kukumpulkan, dalam tulisan
Saturday, June 20, 2009
those long lost and gone
saat melihat gambar di atas, apa yang terbersit dalam pikiranmu?
gambar kuno? Bali di masa lalu? atau barangkali UU APP.
gambar ini aku ambil dari buku Miguel Covarrubias yang judulnya "Island of Bali", yang pertama kali terbit pada tahun 1937. kira-kira 72 tahun yang lalu. dan hebatnya, sampai hari ini, buku tersebut masih jadi rujukan untuk banyak hal yang ingin diketahui orang mengenai Bali. mulai dari cara berpikir orang-orangnya, kebiasaannya, budaya dan kepercayaannya, cara hidupnya, sampai dengan berbagai mitos yang hidup dan berkembang dalam hidup mereka.
terdapat pula sebuah film dengan judul sama, yang pengambilan gambarnya dilakukan pada saat yang bersamaan dengan saat riset penulisan buku ini dimulai. itulah sebabnya, foto-foto yang ada dalam buku ini merupakan fragmen yang diambil dari film tersebut.
beberapa hari yang lalu aku menonton filmnya, dan aku seperti sedang terbius pada keindahan masa lalu, mata penuh rasa ingin tahu, dan gairah yang mendalam akan cara hidup dan kebudayaan yang dimiliki sekelompok orang yang paling berbakat, paling halus pekerjaan tangannya, paling terbuka sikapnya, sekaligus paling sulit untuk diduga. kesemuanya seolah abadi, dan hadir menjelma selama 90 menit itu.
hal pertama yang aku sadari saat melihat film itu adalah cara hidup yang sophisticated. setiap bagian dari cara hidup itu bersinggungan dengan kesenian dan kebudayaan. mulai dari cara berpakaian, memasak, berkumpul, mengadakan upacara, berbagai kegiatan kesenian, bahkan dari gerak-gerik tangan pendeta Shiwa pada saat memimpin upacara. tentu saja di sana-sini bisa ditemui perempuan-perempuan bertelanjang dada. lalu seseorang berbisik di telingaku:
"waktu itu, angka perkosaan tinggi nggak ya?"
hmmm...
aku pikir nggak. justru rasanya pada saat itu, tubuh adalah sebuah cara untuk mengekspresikan diri, dan dipandang biasa. tidak ada yang ditutupi, semua serba biasa. rumah-rumah Bali pada masa itu terdiri dari paviliun-paviliun yang bahkan tak berdinding! tentu hal ini akan menimbulkan kegemparan luar biasa kalau diterapkan sekarang. perempuan bertelanjang dada ke mana-mana, maksudku.
aku juga melihat gairah yang luar biasa dalam melakukan upacara, membuat sesajen, serta utamanya, bermain gamelan dan menari.
tuntutan hidup yang belum segila sekarang, rasio jumlah tanah dan sumberdaya yang tersedia dengan jumlah penduduk pada masa itu tentu menyumbang banyak pada kenyataan ini. pada saat memainkan gamelan dan menari, dari layar hitam putih yang menampilkan gambar hitam putih itu, aku bisa melihat energi luar biasa yang dipancarkan setiap gerak tangan, gelengan kepala, liukan tubuh dan lirikan mata.
lalu, apa yang membuatku tertegun begitu lama?
saat kepalaku mulai membandingkan gambar-gambar hitam putih yang aku lihat di layar, dengan hal-hal yang aku temukan dalam hidup sehari-hari.
benar, aku memang merasa kalau aku telah hidup di masa modern. dengan berbagai hasil teknologi yang setiap harinya aku pergunakan dalam kehidupan. dan dibandingkan dengan orang-orang yang terekam dalam gambar itu, aku merasa hidupku berlipat-lipat lebih nyaman.
aku tinggal dalam sebuah rumah lengkap dengan dinding tembok bata dan atap yang memastikan aku tidak kedinginan atau kepanasan. dengan segala hal yang ada dalam jangkauan. lampu yang tidak membuat mukaku panas menghitam, kendaraan bermotor sehingga aku tidak perlu berjalan kaki kesana-kemari. makanan yang tidak perlu kutanam, kutumbuhkan dan kurawat sebelum dimasak; memasak pun kadang tak perlu. segala kemudahan, segala kecepatan, segala kesempuraan dari apa yang mereka miliki.
tapi dari semua kelebihan itu, aku juga menyadari bahwa nyaris tidak ada yang berubah dalam bentuk. pakaian yang dipakai dalam berbagai upacara tetaplah sama, begitupun pakaian menari. bentuk sesajen juga persis, meskipun jenis buahnya berbeda. lalu hiasan yang dipasang di rumah-rumah saat ada upacara khusus juga sama saja. dalam banyak hal, aku merasa bahwa pulau ini membeku. waktu yang bergerak dengan kepastian dan terus melaju seolah hanya meninggalkan jejak mendalam yang tak kentara dari lapisan luar yang terjaga. hutan beton yang menggantikan rimbun pohon, sunga kotor dan udara yang menyesakkan nafas, serta wajah-wajah kuyu orang-orang miskin yang tampak begitu sengsara tanpa senyum dan tanpa gairah hidup. bahkan energi yang meluap-luap itu pun seolah sirna dari permainan gamelan dan tarian.
jika Covarrubias kembali ke Bali, ia mungkin akan sangat kehilangan karena trenggiling, satu-satunya hewan liar yang muncul beberapa kali dalam filmnya, tidak bisa dengan mudah ia jumpai lagi.
Tuesday, June 16, 2009
55555
Mahén (33) mengaku baru sekali ini dibuatkan pesta kejutan ulang tahun. Ia juga merasa lebih senang karena pesta ini dibuat dengan menyertakan keluarga intinya, serta sejumlah anggota keluarga besarnya, dalam perencanaan dan persiapan acaranya.
"Tanteku bilang 'kok masih ada sih, jaman sekarang, yang temenan sampe kayak gitu?" katanya menceritakan komentar tantenya, yang lahir dan besar di Jakarta, dan tahu pasti bagaimana situasi pergaulan masa kini, yang semakin lama justru semakin individual. Setiap orang sudah terlalu disibukkan dengan kegiatan mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga waktu untuk berkumpul dan bersosialisasi semakin berkurang.
"Aku sendiri lebih senang karena acaranya dibikin di rumah, jadi semua datang ke rumahku, suasananya menyenangkan, dan proper. Ada makanan, ada kue, kejutannya berhasil..." proper buat Mahén yang tergila-gila pada detail adalah sesuatu yang sangat penting. Semua harus pantas dan sesuai pada tempatnya. "Lagian, aku udah ninggalin rumah lebih dari 10 tahun. Acara kemarin bikin keluargaku bisa kenal juga sama teman-temanku. Kalo dulu 'kan mereka kenal karena aku masih tinggal di rumah, sekarang nggak. Dan kesempatan kayak gini aku pikir bagus, supaya mereka juga lebih kenal aku"
"Dan kalian berkomplot dengan orang yang tepat. Yang paling jago kalo disuruh nipu aku itu ya, ibuku" kata Mahén lagi sambil tertawa, mengetahui bahwa kedua orang tuanya telah mengetahui rencana kejutan itu sejak dua minggu sebelumnya.
Dalam acara tersebut, misalnya... ada Lea dan Indra yang menyempatkan diri untuk datang dari Jakarta, lalu kembali lagi ke Jakarta setelah acaranya selesai.
"Aku udah nggak ketemu Friedo sekitar setengah tahun sebelum dia datang ke rumah pas ulang tahunku itu" kata Mahén menambahkan. "Tapi kenapa orang-orang tua pada seneng ngerjain aku ya?" tambahnya mengomentari pesan facebook dari Bundanya Abi yang menyayangkan kenapa dia tidak diajak ikut serta mengagetkan Mahén tengah malam itu, atau ayahnya Ari yang buru-buru mengirim pesan dan menanyakan "Bagaimana, apa kejutannya berhasil?"
Hidup sendiri, individualistis, adalah ciri umum masyarakat perkotaan masa kini. Hampir sudah tidak ada lagi waktu untuk bersosialisasi. Namun kemudian, teknologi bisa menjadi jembatan penghubung antara mereka yang sebelumnya hidup sendiri dan individualistis, sehingga menemukan kembali naluri untuk bergaul, berkumpul, berkelompok, berbincang, bahkan berjodoh dan bereproduksi (dalam pengertian ilmiah).
Teknologi itu, Internet, melalui email dan fasilitas mailing list kemudian menumbuhkan berbagai komunitas yang dipersatukan oleh minat yang sama, tujuan yang sama, kegemaran yang sama, atau bahkan dipersatukan tanpa sebuah kesamaan, seperti ID-GMAIL. Tahun ini, komunitas tanpa bentuk itu berusia 5 tahun. Dan sebuah kesamaan dirumuskan. Sama-sama ingin mencapai jumlah email 55.555 dalam 30 hari.
Absurd? Memang.
Tapi hal-hal absurd semacam inilah yang ternyata mempersatukan ratusan membernya. Seperti halnya keyakinan buta kalau Oom Ganteng adalah admin milis di seluruh dunia, Jim sudah selesai mendownload internet, Hengky senang dandan dan bawa-bawa kecrekan, Naif adalah rocker merangkap pemimpin tertinggi front tertentu di seluruh dunia, Koh Fahmi sudah beredar sejak masa dinosaurus (bahkan bikin manual cara mengendarai dino dengan baik dan benar), Oom Husni menyandang gelar PhD bidang tata boga, serta Abang Emil masih belum lulus... eh, yang ini bukan mitos, sih.
Dan demikianlah, melalui berbagai hal absurd dan ketidaksamaan yang mempersatukan ini, Kampung Gajah melewati lima tahun yang penuh suka, duka, canda, tawa, air mata, dengan dua tahun diantaranya dibayangi skandal komentar sepakbola berujung futsal antara Tonyer dan Eka yang sampai kini belum mencapai kata putus. Iyah, mereka masih nyambung.
Maka Mahén bertemu kekasihnya, juga Deden, Surur, Tukang Kiridit dan ponakannya, Nenda dan Adit (nungging, woy!) yang memberinya kejutan ulang tahun, Tub dan Blub menikah lalu lahirlah Lana, Henny kesulitan menjelaskan kepada murid-muridnya bahwa kedua frasa tembok dicat dan tembok di cat sama-sama valid, Pak Jambul Uwanen mendadak jadi profesor, Rara dan Weslie bersatu padu menghasilkan foto-foto blur dan gelap, Enda disinyalir memiliki dada berbulu dan Anom disadarkan kenyataan bahwa semua fantasinya tentang Andromeda sia-sia belaka. Tenang Nom, masih ada Herman.
Lalu dari Madiun, Bunda Endhoot yang tiap hari menyantap Sego Pecel meledek Pakerte yang sampai sekarang tak juga minum panadol: "Kopdar Akbar adalah Hoax"
Happy Birthday, ID-GMAIL
Wednesday, June 10, 2009
benar-benar celaka
membaca Jakarta Post hari ini dan terheran-heran sendiri dengan judul berita dan artikel yang bilang kalau Miss Indonesia akan belajar Bahasa Indonesia dan kebudayaan Indonesia.
he? memangnya yang terpilih orang mana?
ternyata Karenina Sunny Halim ini berdarah campuran Indonesia dan Amerika. meskipun tinggal di Jakarta dan adalah warga negara Indonesia, sehari-harinya dia selalu menggunakan Bahasa Inggris. Dan karena tidak sekolah secara formal, jarang pergi ke luar rumah dan bersosialisasi sehingga pengetahuan dan kemampuannya dalam bidang bahasa dan kebudayaan Indonesia kurang, tidak terlatih. begitu alasannya. pikir sendiri deh, aku membacanya dengan perasaan pengen mencibir sambil menertawakan sekaligus.
setidaknya itu kesimpulan menggelikan yang aku dapat dari artikel di koran yang sama, juga pernyataan dari saudaranya yang dikutip dalam artikel tersebut. lebih ironis lagi, dalam acara penjurian sang finalis Miss Indonesia harus dibantu oleh penerjemah untuk memahami pertanyaan yang dilontarkan oleh para juri dalam Bahasa Indonesia. *tepok jidat*
eh, situ oke?
lalu setelah semua itu, dia masih terpilih, mewakili Indonesia dan menyematkan gelar dengan nama Indonesia di belakang namanya. benar-benar konyol.
memang kemampuan berbahasa Inggris itu penting. tapi aku pikir kekonyolan pemilihan Miss Indonesia kali ini melebihi pemilihan sejenis yang pernah terjadi sebelumnya. nggak bisa berbahasa Inggris dengan baik di ajang internasional (misalnya dengan menyebut Indonesia sebagai a beautiful city) itu memang terdengar bodoh.
tapi dalam sebuah acara di Indonesia, yang memilih orang Indonesia, untuk mewakili Indonesia, lalu yang terpilih adalah orang yang TIDAK bisa berbahasa Indonesia dan tidak memahami kebudayaan Indonesia?
kebacut, kata orang Jawa. benar-benar celaka.
lagian, kalo Karenina ini setengah berdarah Amerika lalu jadi pintar berbahasa Inggris, apa hebatnya? aku tidak melihat ada keanehan di situ. sama seperti anak-anak TK di Paris yang lancar berbahasa Prancis, atau remaja-remaja Brazil yang jago ngomong Portugis. biasa aja.
dan aku jadi bertanya-tanya, apa diantara dua ratusan juta penduduk Indonesia sudah nggak ada perempuan lain yang lebih pantas?
pasti ada banyak. cuma mungkin mata juri-jurinya terlalu silau sama segala hal yang (seolah-olah) berbau internasional. (seolah-olah) maju, (seolah-olah) modern. sehingga harus menggadaikan nilai-nilai lokal yang luhur dengan segala atribut impor, didatangkan langsung dalam keadaan segar siap disantap. sehingga orang yang terpilih semakin mengukuhkan fakta bahwa sampai saat ini, bangsa ini masih dijajah. dan belum punya jatidiri.
Monday, June 08, 2009
routine
kalau kamu merasa hari-harimu selalu berjalan menuruti rutinitas yang selalu sama, aku rasa kamu salah besar. mungkin kamu cuma kurang memberi ruang pada rasa peka dalam hatimu, untuk mengamati setiap detil kecil yang terjadi di sekelilingmu, yang membuat setiap hari tidak sama, meskipun seolah-olah tak ada yang berubah.
memang benar kalau kamu melewati lorong yang sama, jalan yang sama, deretan toko yang sama setiap hari, tapi adakah kamu memperhatikan kalau angin hari ini berhembus tak sekencang kemarin? kalau tak ada bentuk awan di langit yang lebih biru daripada biasanya, karena terbebas dari cengkeraman awan mendung yang gemuk padat menggelembung, kalau ternyata kamu tak lagi melaju di belakang mobil pengangkut tabung gas 3kg yang warnanya hijau pupus hanya karena kamu keluar rumah 10 menit lebih pagi?
kalau kamu mau mengamati lebih lanjut, tentu tanpa melamun, tanpa kehilangan arah kemudi, kamu bisa melayangkan pandang pada deretan pemandangan yang kamu lewati sepanjang perjalanan. anak-anak berseragam sekolah yang main bola di lapangan, mobil baru yang dikendarai dengan canggung, perempuan tua yang terbungkuk-bungkuk menyapu halaman sebuah rumah, panas matahari yang membakar punggung telapak yang tidak dibalut sarung tangan...
mungkin juga hal-hal yang kamu lihat menimbulkan berbagai pertanyaan.
bagaimana rasa makanan di warung yang pemiliknya begitu percaya diri mengecat pagar dengan warna merah fanta, dan mengecat dinding dengan warna ungu? kenapa dia mengecatnya dengan warna seaneh itu, yang bahkan mengurangi selera untuk memasuki warungnya. atau apa yang menyebabkan seorang laki-laki berperut buncit menaikkan kausnya sehingga seisi jalan raya bisa melihat kulit perutnya yang membulat? sejak kapan ada lubang di jalan depan toko itu? kenapa tak seorang pun berpikir untuk memperbaikinya? kenapa pohon-pohon peneduh jalan semakin menghilang, makin jarang dan sulit ditemui? kenapa, betapapun kamu berusaha bangun lebih pagi, pada akhirnya kamu selalu berkejaran dengan waktu karena sudah nyaris terlambat?
jika memang pada akhirnya kamu masih memutuskan kalau hidupmu rutin, selalu sama dan amat sangat menjemukan, mungkin ada baiknya kalau kamu mulai melakukan hal berbeda, dan merasakan perbedaan itu merasuki dirimu, memberi kesegaran dan memberi kesempatan udara yang hangat berhembus mengganti kekosongan yang majal, himpitan yang mendesak dan kadang nyaris tak terelakkan? mungkin kita cuma perlu memberi sedikit arti pada hari, membagi sesuatu pada orang lain, sehingga apa yang kita miliki, jadi lebih bermakna karena bisa dilipatgandakan. yang entah kenapa, akan membuat kita merasa lebih baik.
memang benar kalau kamu melewati lorong yang sama, jalan yang sama, deretan toko yang sama setiap hari, tapi adakah kamu memperhatikan kalau angin hari ini berhembus tak sekencang kemarin? kalau tak ada bentuk awan di langit yang lebih biru daripada biasanya, karena terbebas dari cengkeraman awan mendung yang gemuk padat menggelembung, kalau ternyata kamu tak lagi melaju di belakang mobil pengangkut tabung gas 3kg yang warnanya hijau pupus hanya karena kamu keluar rumah 10 menit lebih pagi?
kalau kamu mau mengamati lebih lanjut, tentu tanpa melamun, tanpa kehilangan arah kemudi, kamu bisa melayangkan pandang pada deretan pemandangan yang kamu lewati sepanjang perjalanan. anak-anak berseragam sekolah yang main bola di lapangan, mobil baru yang dikendarai dengan canggung, perempuan tua yang terbungkuk-bungkuk menyapu halaman sebuah rumah, panas matahari yang membakar punggung telapak yang tidak dibalut sarung tangan...
mungkin juga hal-hal yang kamu lihat menimbulkan berbagai pertanyaan.
bagaimana rasa makanan di warung yang pemiliknya begitu percaya diri mengecat pagar dengan warna merah fanta, dan mengecat dinding dengan warna ungu? kenapa dia mengecatnya dengan warna seaneh itu, yang bahkan mengurangi selera untuk memasuki warungnya. atau apa yang menyebabkan seorang laki-laki berperut buncit menaikkan kausnya sehingga seisi jalan raya bisa melihat kulit perutnya yang membulat? sejak kapan ada lubang di jalan depan toko itu? kenapa tak seorang pun berpikir untuk memperbaikinya? kenapa pohon-pohon peneduh jalan semakin menghilang, makin jarang dan sulit ditemui? kenapa, betapapun kamu berusaha bangun lebih pagi, pada akhirnya kamu selalu berkejaran dengan waktu karena sudah nyaris terlambat?
jika memang pada akhirnya kamu masih memutuskan kalau hidupmu rutin, selalu sama dan amat sangat menjemukan, mungkin ada baiknya kalau kamu mulai melakukan hal berbeda, dan merasakan perbedaan itu merasuki dirimu, memberi kesegaran dan memberi kesempatan udara yang hangat berhembus mengganti kekosongan yang majal, himpitan yang mendesak dan kadang nyaris tak terelakkan? mungkin kita cuma perlu memberi sedikit arti pada hari, membagi sesuatu pada orang lain, sehingga apa yang kita miliki, jadi lebih bermakna karena bisa dilipatgandakan. yang entah kenapa, akan membuat kita merasa lebih baik.
Saturday, June 06, 2009
kram otak
setelah yoga, lalu facebook dan kini acara sulap di televisi.
dan setiap kali ada berita semacam ini, aku segera mencari artikelnya, berharap bisa mendapatkan penjelasan yang dapat diterima dengan akal sehat yang bebas zat kimiawi (terutama msg), lalu setelah itu jadi kecewa berat. semua penjelasan yang aku baca hanya membuatku semakin bertanya-tanya apakah mereka serius, atau sedang bercanda. barangkali sudah lama tidak mengecek penanggalan, jadi nggak sadar kalau tanggal 1 April sudah lewat lama. dan betapapun mereka berusaha, nggak akan ada satu tahun yang April Mopnya sampai 3 kali. atau lebih.
apakah sudah tidak ada lagi hal yang lebih penting dari urusan semacam ini untuk dipikirkan dan dibahas? buang-buang energi aja!
kenapa, wahai para kyai yang jumlahnya ratusan di Jawa Timur, dan ribuan di seluruh Indonesia, tidak mengerahkan santri untuk, misalnya, membuat program-program yang memberdayakan para korban bencana Lapindo. menggiatkan usaha skala kecil yang memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan memadai atau membangun rumah lagi?
aku yakin usaha semacam ini akan lebih barokah dan lebih bermanfaat dan akan bikin orang senang, bukannya membuat ribuan orang di Indonesia mengernyitkan dahi bersama-sama dan tertawa terpingkal-pingkal karena fatwa yang dikeluarkan terdengar konyol.
etapi kalo bikin orang tertawa itu berpahala ya?
atau, ide lain, nih...
membimbing para penggiat ormas yang mengatasnamakan dirinya Islam dan memanfaatkan nama itu untuk merusak, supaya kembali ke jalan yang benar, yang lebih lurus. yang nggak pake acara melakukan kekerasan, nggak pake sweeping-sweeping nggak penting, yang motifnya menguarkan bau tidak sedap. you know what I mean, lah.
dan kalo memang masih bersikeras ingin mengeluarkan fatwa haram, aku punya usul yang aku rasa cukup bagus. brilian, malah. ada dua hal yang aku rasa penting banget untuk diharamkan segera.
pertama, sinetron.
wah, segala jenis cara untuk njahatin orang, mengadu domba, iri hati, dengki, keserakahan, menusuk dari belakang, menggunting dalam lipatan, tipu daya, perselingkuhan, mengumbar nafsu, perbuatan maksiat, sampai berkumpulnya lawan jenis yang bukan muhrim, berpakaian seronok dan pergaulan bebas semua ada di sini. itu pemain sinetron yang umurnya masih belasan, pada peluk-pelukan, cium-ciuman di depan kamera, ditonton sekian juta orang, bikin anak muda jadi termakan ingin nyobain pacaran sampai melewati batas, itu apa ndak haram, pak kyai?
kalopun pada pake jilbab, di sinetron mereka tetap jahat sama menantu, anak yatim, fakir miskin, orang-orang terlantar. aduh, itu kan bikin citra busana muslimah jadi tercoreng. mau ditaruh di mana wajah orang Islam, pak kyai?
apalagi sinetron bikin banyak orang jadi bengong di depan TV, gak inget waktu, nggak produktif, jangankan pergi pengajian atau memakmurkan masjid. jelas-jelas ini ampaknya lebih berbahaya daripada acara sulap secanggih apapun. udah gitu, sinetron ini menyusup juga ke tayangan lainnya, walaupun namanya kontes nyanyi atau reality show, semua dibuat seperti sinetron. ini lebih berbahaya daripada laten komunis! tolong cepat-cepat diharamkan, wahai bapak-bapak kyai yang sering berkumpul dan membahas berbagai masalah agama. ini sudah gawat.
kedua, MSG, alias mono sodium glutamate. ini adalah bahan penyedap segala jenis masakan di seluruh penjuru negeri ini, dan bikin hampir semua makanan, jadi nggak sehat. ia dituangkan dengan murah ke dalam setiap mangkuk bakso, soto, bakmi, setiap bungkus makanan ringan serba gurih, dan entah apalagi. MSG, diketahui menyebabkan matinya sel otak, membuatnya menciut, menyusut, lalu tak bisa digunakan lagi. akibatnya jelas, pikiran yang sempit dan picik (karena jaringan otak tak luas lagi), menurunnya daya tangkap (membuat orang menjadi gak pedulian, gak mau tahu dan ngikutin maunya sendiri), menurunnya IQ (secara signifikan), yang berarti pembodohan massal.
aku sendiri curiga, kecenderungan mengeluarkan fatwa haram yang seolah diputuskan tanpa pikir panjang ini juga merupakan salah satu bagian dari sindrom akibat menumpuknya asupan MSG dalam otak.
kalau dua ide ini masih kurang bagus, mungkin ada baiknya membuat fatwa haram seperti usulan temanku si Isman: mengharamkan kecenderungan untuk mencetuskan fatwa haram hanya berdasarkan sudut pandang pencetus yang enggan buka pikiran.
dan setiap kali ada berita semacam ini, aku segera mencari artikelnya, berharap bisa mendapatkan penjelasan yang dapat diterima dengan akal sehat yang bebas zat kimiawi (terutama msg), lalu setelah itu jadi kecewa berat. semua penjelasan yang aku baca hanya membuatku semakin bertanya-tanya apakah mereka serius, atau sedang bercanda. barangkali sudah lama tidak mengecek penanggalan, jadi nggak sadar kalau tanggal 1 April sudah lewat lama. dan betapapun mereka berusaha, nggak akan ada satu tahun yang April Mopnya sampai 3 kali. atau lebih.
apakah sudah tidak ada lagi hal yang lebih penting dari urusan semacam ini untuk dipikirkan dan dibahas? buang-buang energi aja!
kenapa, wahai para kyai yang jumlahnya ratusan di Jawa Timur, dan ribuan di seluruh Indonesia, tidak mengerahkan santri untuk, misalnya, membuat program-program yang memberdayakan para korban bencana Lapindo. menggiatkan usaha skala kecil yang memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan memadai atau membangun rumah lagi?
aku yakin usaha semacam ini akan lebih barokah dan lebih bermanfaat dan akan bikin orang senang, bukannya membuat ribuan orang di Indonesia mengernyitkan dahi bersama-sama dan tertawa terpingkal-pingkal karena fatwa yang dikeluarkan terdengar konyol.
etapi kalo bikin orang tertawa itu berpahala ya?
atau, ide lain, nih...
membimbing para penggiat ormas yang mengatasnamakan dirinya Islam dan memanfaatkan nama itu untuk merusak, supaya kembali ke jalan yang benar, yang lebih lurus. yang nggak pake acara melakukan kekerasan, nggak pake sweeping-sweeping nggak penting, yang motifnya menguarkan bau tidak sedap. you know what I mean, lah.
dan kalo memang masih bersikeras ingin mengeluarkan fatwa haram, aku punya usul yang aku rasa cukup bagus. brilian, malah. ada dua hal yang aku rasa penting banget untuk diharamkan segera.
pertama, sinetron.
wah, segala jenis cara untuk njahatin orang, mengadu domba, iri hati, dengki, keserakahan, menusuk dari belakang, menggunting dalam lipatan, tipu daya, perselingkuhan, mengumbar nafsu, perbuatan maksiat, sampai berkumpulnya lawan jenis yang bukan muhrim, berpakaian seronok dan pergaulan bebas semua ada di sini. itu pemain sinetron yang umurnya masih belasan, pada peluk-pelukan, cium-ciuman di depan kamera, ditonton sekian juta orang, bikin anak muda jadi termakan ingin nyobain pacaran sampai melewati batas, itu apa ndak haram, pak kyai?
kalopun pada pake jilbab, di sinetron mereka tetap jahat sama menantu, anak yatim, fakir miskin, orang-orang terlantar. aduh, itu kan bikin citra busana muslimah jadi tercoreng. mau ditaruh di mana wajah orang Islam, pak kyai?
apalagi sinetron bikin banyak orang jadi bengong di depan TV, gak inget waktu, nggak produktif, jangankan pergi pengajian atau memakmurkan masjid. jelas-jelas ini ampaknya lebih berbahaya daripada acara sulap secanggih apapun. udah gitu, sinetron ini menyusup juga ke tayangan lainnya, walaupun namanya kontes nyanyi atau reality show, semua dibuat seperti sinetron. ini lebih berbahaya daripada laten komunis! tolong cepat-cepat diharamkan, wahai bapak-bapak kyai yang sering berkumpul dan membahas berbagai masalah agama. ini sudah gawat.
kedua, MSG, alias mono sodium glutamate. ini adalah bahan penyedap segala jenis masakan di seluruh penjuru negeri ini, dan bikin hampir semua makanan, jadi nggak sehat. ia dituangkan dengan murah ke dalam setiap mangkuk bakso, soto, bakmi, setiap bungkus makanan ringan serba gurih, dan entah apalagi. MSG, diketahui menyebabkan matinya sel otak, membuatnya menciut, menyusut, lalu tak bisa digunakan lagi. akibatnya jelas, pikiran yang sempit dan picik (karena jaringan otak tak luas lagi), menurunnya daya tangkap (membuat orang menjadi gak pedulian, gak mau tahu dan ngikutin maunya sendiri), menurunnya IQ (secara signifikan), yang berarti pembodohan massal.
aku sendiri curiga, kecenderungan mengeluarkan fatwa haram yang seolah diputuskan tanpa pikir panjang ini juga merupakan salah satu bagian dari sindrom akibat menumpuknya asupan MSG dalam otak.
kalau dua ide ini masih kurang bagus, mungkin ada baiknya membuat fatwa haram seperti usulan temanku si Isman: mengharamkan kecenderungan untuk mencetuskan fatwa haram hanya berdasarkan sudut pandang pencetus yang enggan buka pikiran.
Wednesday, June 03, 2009
bebaskan Prita Mulyasari
saat kalimat ini aku ketik, halaman cause di facebook: Dukungan Bagi Ibu Prita Mulyasari, Penulis Surat Melalui Internet Yang Ditahan mencatat anggota sejumlah 46.114. sebagaimana diberitakan melalui berbagai mailing list, blogpost, plurk, twitter dan artikel media online, Prita ditahan atas perintah Kejaksaan Tangerang dikarenakan tuntutan yang diajukan oleh RS. Omni Internasional di Alam Sutra, Tangerang.
penyebabnya sepele. sebuah email.
Prita mengirimkan email yang berisi curhatnya mengenai pelayanan rumah sakit yang sangat tidak memuaskan, dokter yang diagnosanya berubah-ubah, pemberian obat dalam dosis tinggi tanpa sepengetahuan keluarga dan yang membuat kondisi Prita memburuk, hasil rekam medis yang disembunyikan oleh pihak rumah sakit serta penanganan komplain yang tidak bersahabat dan cenderung diulur-ulur dengan beberapa kali ingkar janji. email ini ia kirimkan kepada 10 orang temannya, lalu dengan cepat email itu disebarluaskan ke berbagai mailing list, bahkan sampai ke media online dan dimuat sebagai surat pembaca.
pihak rumah sakit yang kemudian mengetahui keberadaan email ini berang, dan mengambil langkah yang sangat mengherankan. langkah yang nyaris mustahil ditempuh oleh bidang pelayanan dan jasa manapun saat berhubungan dengan keluhan pelanggan. ya, Prita dituntut mencemarkan nama baik rumah sakit ini. mula-mula ia dituntut secara perdata, dan rumah sakit memenangkan gugatannya, lalu kemudian kedua belah pihak mengajukan banding. Prita karena merasa keadilan belum ditegakkan, rumah sakit karena jumlah ganti rugi yang dikenakan pada Prita oleh pengadilan perdata dianggap kurang, karena lebih kecil dari jumlah tuntutan.
sampai di sini, aku merasa kalau Dewi Keadilan di Indonesia sekedar mengenakan kaca mata hitam supaya gaya, sambil menenteng timbangan rusak dan pedang berkarat.
setelah itu, Prita dituntut secara pidana, dan bagaikan teroris berdarah dingin, perampok bersenjata atau koruptor kelas kakap, Prita buru-buru dijebloskan ke dalam tahanan agar tidak melarikan diri. saat ini, ia menghadapi tuntutan pidana selama maksimal 6 tahun penjara dan denda maksimal 1 milyar rupiah. Prita harus menunggu sampai sekitar dua minggu berada dalam tahanan baru kemudian para penggiat blog dan atau dunia maya lainnya mencium ketidakberesan dalam kasus ini.
sebuah ungkapan ketidakpuasan adalah hal yang sangat sering dijumpai dalam dunia jasa. termasuk di dalamnya rumah sakit. masing-masing kita barangkali pernah mengajukan keluhan, mengomel dalam hati, bercerita pada teman, menulis postingan di blog atau bahkan mengirim surat pembaca saat mendapatkan pelayanan yang tidak memuaskan. dan sebetulnya, orang tidak akan mengeluh kepada pihak lain jika saja pada awalnya keluhan mereka didengarkan dan ditangani dengan baik. dalam kasus Prita, keluhannya tidak ditanggapi dan bahkan ia mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. tak heran ia kemudian mengeluhkan ketidakpuasannya itu pada pihak lain. yang lantas menyebarluaskannya, dengan semangat agar hal yang sama tidak dialami oleh orang lain.
pernahkah terpikir bahwa ketika seorang pelanggan mengajukan keluhan, ia menghindarkan lembaga yang ia keluhkan itu dari masalah yang lebih besar? bahwa ketika keluhannya ditangani dengan baik, pelanggan itu akan batal menyebarluaskan berita negatif tentang pelayanan yang diterimanya?
dalam dunia pariwisata dikenal web tripadvisor.com, yang berisi review dari ribuan orang mengenai tempat wisata, hotel, penyedia layanan trasportasi dan lain-lain. ulasan yang baik dari website ini secara signifikan meningkatkan popularitas dan jumlah pengunjung suatu tempat atau hotel tertentu. sebaliknya, ulasan yang buruk akan dengan segera menurunkan popularitas suatu tempat tertentu. sebagaimana layaknya tempat yang beradab, mereka yang menerima keluhan atas pelayanan, atau menerima pujian, menanggapi dengan sepatutnya. belum pernah ada yang mengeluhkan pelayanan di satu hotel melalui tripadvisor lalu dituntut karena mencemarkan reputasi suatu hotel.
sebelum dengan membabibuta mengajukan gugatan, pihak RS. Omni Internasional mestinya sudah lebih dulu sadar dan memahami hal semacam ini. tetapi alih-alih mengambil tindakan yang tepat dan menangani keluhan pasien sebaik-baiknya, mereka malah memilih cara bunuh diri. pepatah mengatakan buruk muka cermin dibelah. jika demikian cara yang ditempuh setiap kali ada pasien yang mengajukan keluhan, jangan salahkan orang lain kalau reputasi buruk menyebar, membuat orang semakin enggan datang berobat atau melakukan kerjasama dengan mereka. menang atau kalah di pengadilan, image yang terbentuk di pikiran setiap orang saat mendengar nama Omni Internasional adalah pelayanan buruk, keluhan pasien tidak didengarkan dan tidak ditangani, atau bahkan setor nyawa. jangan sebut aku berlebihan. rumah sakit didatangi karena seseorang ingin sembuh. kalau penanganannya asal-asalan, bukannya jadi sembuh, yang ada malah melepaskan nyawa di badan.
malapetaka ini diperkeruh dengan berlakunya UU ITE yang pasal 27 ayat 2-nya menjerat Prita Mulyasari dengan tuduhan pencemaran nama baik. kalau yang membuat nama nama jadi cemar adalah dirinya sendiri, apa masih mungkin orang lain membuatnya jadi lebih cemar lagi?
penahanan terhadap Prita membuatnya seolah-olah sudah pasti bersalah. dan membuat beberapa pihak mulai berkomentar "makanya kalau menulis di Internet harus hati-hati, jangan menuduh sembarangan, menulis email pribadi juga ada aturannya." halah.
terlepas dari ungkapan yang barangkali ada benarnya (walaupun sedikit) ini, peristiwa ini menunjukkan bahwa hal yang dikhawatirkan sejak sebelum RUU ITE disahkan. bahwa undang-undang ini akan memberangus kebebasan berpendapat dan berbicara. karena bagaimanapun gamblangnya kebenaran yang kita sampaikan melalui pendapat kita, jika ada pihak yang tidak menyukainya, bisa dengan subyektif disebut sebagai pencemaran nama baik. bahwa pasal tertentu dalam undang-undang ini dengan mudah bisa dipelintir, diinterpretasi sesuai kepentingan kuasa, uang dan orang-orang tertentu, yang menganggap segala hal bisa dibeli, dan tidak semua orang boleh mengungkap kesalahan, keburukan dan hal-hal yang semestinya diperbaiki.
sayangnya, Prita Mulyasari bukan seorang selebriti, bersaudara dengan selebriti, atau sekedar selebriti wanna be. ia juga tidak bernama asing, atau memiliki perawakan campuran dengan darah Kaukasia. ia tidak memiliki nama belakang yang mengingatkan kita pada satu jenis anggur. dan tidak seperti Manohara Odelia Pinot, kisah Prita Mulyasari tidak menguarkan aroma sinetron yang bergelimang harta, uang, intrik, melibatkan keluarga kerajaan, dunia socialite dan bernuansa internasional. oleh karenanya, siaran berita serius di televisi masih menyiarkan lanjutan The Manohara Saga dengan balutan infotainment. dengan potongan gambar-gambar pesta, diary, foto-foto yang diiringi lagu-lagu romantis nan menyayat.
apakah kita bisa mengharapkan keadilan datang pada Prita Mulyasari?
apakah kita bisa mengharapkan pemimpin negara ini juga bilang "Prita Mulyasari adalah warga negara Indonesia. tujuan kami adalah membantu dan melindungi warga negara yang diperlakukan dengan tidak adil"
apalah kita bisa mengharapkan Prita segera bebas dari semua tuntutan yang tidak masuk akal dan dapat berkumpul kembali dengan anak-anaknya?
sejujurnya, pada negara di mana bencana akibat kelalaian perusahaan yang tidak bertanggung jawab disebut sebagai bencana alam, saat ini aku lebih sangsi daripada menaruh harapan. betapapun aku mencintai negaraku.
penyebabnya sepele. sebuah email.
Prita mengirimkan email yang berisi curhatnya mengenai pelayanan rumah sakit yang sangat tidak memuaskan, dokter yang diagnosanya berubah-ubah, pemberian obat dalam dosis tinggi tanpa sepengetahuan keluarga dan yang membuat kondisi Prita memburuk, hasil rekam medis yang disembunyikan oleh pihak rumah sakit serta penanganan komplain yang tidak bersahabat dan cenderung diulur-ulur dengan beberapa kali ingkar janji. email ini ia kirimkan kepada 10 orang temannya, lalu dengan cepat email itu disebarluaskan ke berbagai mailing list, bahkan sampai ke media online dan dimuat sebagai surat pembaca.
pihak rumah sakit yang kemudian mengetahui keberadaan email ini berang, dan mengambil langkah yang sangat mengherankan. langkah yang nyaris mustahil ditempuh oleh bidang pelayanan dan jasa manapun saat berhubungan dengan keluhan pelanggan. ya, Prita dituntut mencemarkan nama baik rumah sakit ini. mula-mula ia dituntut secara perdata, dan rumah sakit memenangkan gugatannya, lalu kemudian kedua belah pihak mengajukan banding. Prita karena merasa keadilan belum ditegakkan, rumah sakit karena jumlah ganti rugi yang dikenakan pada Prita oleh pengadilan perdata dianggap kurang, karena lebih kecil dari jumlah tuntutan.
sampai di sini, aku merasa kalau Dewi Keadilan di Indonesia sekedar mengenakan kaca mata hitam supaya gaya, sambil menenteng timbangan rusak dan pedang berkarat.
setelah itu, Prita dituntut secara pidana, dan bagaikan teroris berdarah dingin, perampok bersenjata atau koruptor kelas kakap, Prita buru-buru dijebloskan ke dalam tahanan agar tidak melarikan diri. saat ini, ia menghadapi tuntutan pidana selama maksimal 6 tahun penjara dan denda maksimal 1 milyar rupiah. Prita harus menunggu sampai sekitar dua minggu berada dalam tahanan baru kemudian para penggiat blog dan atau dunia maya lainnya mencium ketidakberesan dalam kasus ini.
sebuah ungkapan ketidakpuasan adalah hal yang sangat sering dijumpai dalam dunia jasa. termasuk di dalamnya rumah sakit. masing-masing kita barangkali pernah mengajukan keluhan, mengomel dalam hati, bercerita pada teman, menulis postingan di blog atau bahkan mengirim surat pembaca saat mendapatkan pelayanan yang tidak memuaskan. dan sebetulnya, orang tidak akan mengeluh kepada pihak lain jika saja pada awalnya keluhan mereka didengarkan dan ditangani dengan baik. dalam kasus Prita, keluhannya tidak ditanggapi dan bahkan ia mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. tak heran ia kemudian mengeluhkan ketidakpuasannya itu pada pihak lain. yang lantas menyebarluaskannya, dengan semangat agar hal yang sama tidak dialami oleh orang lain.
pernahkah terpikir bahwa ketika seorang pelanggan mengajukan keluhan, ia menghindarkan lembaga yang ia keluhkan itu dari masalah yang lebih besar? bahwa ketika keluhannya ditangani dengan baik, pelanggan itu akan batal menyebarluaskan berita negatif tentang pelayanan yang diterimanya?
dalam dunia pariwisata dikenal web tripadvisor.com, yang berisi review dari ribuan orang mengenai tempat wisata, hotel, penyedia layanan trasportasi dan lain-lain. ulasan yang baik dari website ini secara signifikan meningkatkan popularitas dan jumlah pengunjung suatu tempat atau hotel tertentu. sebaliknya, ulasan yang buruk akan dengan segera menurunkan popularitas suatu tempat tertentu. sebagaimana layaknya tempat yang beradab, mereka yang menerima keluhan atas pelayanan, atau menerima pujian, menanggapi dengan sepatutnya. belum pernah ada yang mengeluhkan pelayanan di satu hotel melalui tripadvisor lalu dituntut karena mencemarkan reputasi suatu hotel.
sebelum dengan membabibuta mengajukan gugatan, pihak RS. Omni Internasional mestinya sudah lebih dulu sadar dan memahami hal semacam ini. tetapi alih-alih mengambil tindakan yang tepat dan menangani keluhan pasien sebaik-baiknya, mereka malah memilih cara bunuh diri. pepatah mengatakan buruk muka cermin dibelah. jika demikian cara yang ditempuh setiap kali ada pasien yang mengajukan keluhan, jangan salahkan orang lain kalau reputasi buruk menyebar, membuat orang semakin enggan datang berobat atau melakukan kerjasama dengan mereka. menang atau kalah di pengadilan, image yang terbentuk di pikiran setiap orang saat mendengar nama Omni Internasional adalah pelayanan buruk, keluhan pasien tidak didengarkan dan tidak ditangani, atau bahkan setor nyawa. jangan sebut aku berlebihan. rumah sakit didatangi karena seseorang ingin sembuh. kalau penanganannya asal-asalan, bukannya jadi sembuh, yang ada malah melepaskan nyawa di badan.
malapetaka ini diperkeruh dengan berlakunya UU ITE yang pasal 27 ayat 2-nya menjerat Prita Mulyasari dengan tuduhan pencemaran nama baik. kalau yang membuat nama nama jadi cemar adalah dirinya sendiri, apa masih mungkin orang lain membuatnya jadi lebih cemar lagi?
penahanan terhadap Prita membuatnya seolah-olah sudah pasti bersalah. dan membuat beberapa pihak mulai berkomentar "makanya kalau menulis di Internet harus hati-hati, jangan menuduh sembarangan, menulis email pribadi juga ada aturannya." halah.
terlepas dari ungkapan yang barangkali ada benarnya (walaupun sedikit) ini, peristiwa ini menunjukkan bahwa hal yang dikhawatirkan sejak sebelum RUU ITE disahkan. bahwa undang-undang ini akan memberangus kebebasan berpendapat dan berbicara. karena bagaimanapun gamblangnya kebenaran yang kita sampaikan melalui pendapat kita, jika ada pihak yang tidak menyukainya, bisa dengan subyektif disebut sebagai pencemaran nama baik. bahwa pasal tertentu dalam undang-undang ini dengan mudah bisa dipelintir, diinterpretasi sesuai kepentingan kuasa, uang dan orang-orang tertentu, yang menganggap segala hal bisa dibeli, dan tidak semua orang boleh mengungkap kesalahan, keburukan dan hal-hal yang semestinya diperbaiki.
sayangnya, Prita Mulyasari bukan seorang selebriti, bersaudara dengan selebriti, atau sekedar selebriti wanna be. ia juga tidak bernama asing, atau memiliki perawakan campuran dengan darah Kaukasia. ia tidak memiliki nama belakang yang mengingatkan kita pada satu jenis anggur. dan tidak seperti Manohara Odelia Pinot, kisah Prita Mulyasari tidak menguarkan aroma sinetron yang bergelimang harta, uang, intrik, melibatkan keluarga kerajaan, dunia socialite dan bernuansa internasional. oleh karenanya, siaran berita serius di televisi masih menyiarkan lanjutan The Manohara Saga dengan balutan infotainment. dengan potongan gambar-gambar pesta, diary, foto-foto yang diiringi lagu-lagu romantis nan menyayat.
apakah kita bisa mengharapkan keadilan datang pada Prita Mulyasari?
apakah kita bisa mengharapkan pemimpin negara ini juga bilang "Prita Mulyasari adalah warga negara Indonesia. tujuan kami adalah membantu dan melindungi warga negara yang diperlakukan dengan tidak adil"
apalah kita bisa mengharapkan Prita segera bebas dari semua tuntutan yang tidak masuk akal dan dapat berkumpul kembali dengan anak-anaknya?
sejujurnya, pada negara di mana bencana akibat kelalaian perusahaan yang tidak bertanggung jawab disebut sebagai bencana alam, saat ini aku lebih sangsi daripada menaruh harapan. betapapun aku mencintai negaraku.
Sunday, May 24, 2009
Thanks, NESO!
"Kamu akan pergi ke Belanda!"
Kalimat itu terdengar seperti lagu yang luar biasa merdu, aria terbaik, soneta yang tiada duanya, simfoni yang mendamaikan, menyejukkan, dan tak akan terlupakan. Sekarang aku mendapatkan bukti kalau mimpi yang sungguh-sungguh dipercayai, dikejar, diusahakan, akan jadi kenyataan, karena dunia bisa ditaklukkan dengan harapan.
Terima kasih untuk NESO, yang memberikan satu lagi kesempatan buatku mencapai keinginanku. Untuk para juri: Enda Nasution, Wicaksono dan Raditya Dika (yang blognya tidak perlu aku pasang url-nya di sini karena sudah amat terkenalnya), yang mempercayaiku, dan membuatku semakin percaya kalau apa yang kutulis bisa mempengaruhi banyak orang.
Untuk semua komentar yang aku terima dalam tulisan "Pak Janggut dan Komunitas Global", terima kasih karena tidak seorang pun berpikir untuk menulis 'pertamax', hihihi...
Untuk keluargaku, sahabat dan teman-temanku Ari, Ayin, Naomi, Mahén (I love you), semua yang mendukung sepenuh hati dan percaya kalau aku punya kemampuan itu, dan akan sampai kesana. Untuk Pieter Cornelis Wijn, yang membuat salah satu tokoh komik paling hebat yang pernah kubaca selama masa kecilku, dan untuk Komunitas Pak Janggut Indonesia, yang senantiasa menghidupkan kenangan indah itu dengan kegigihan mereka mencari, men-scan, dan mengupload komik Pak Janggut dalam web mereka. You guys did a marvelous job! Thanks!
Some dreams live on in time forever
Those dreams, you want with all your heart
And I'll do whatever it takes
Follow through with the promise I made
Put it all on the line
What I hope for at last will be mine
Kalimat itu terdengar seperti lagu yang luar biasa merdu, aria terbaik, soneta yang tiada duanya, simfoni yang mendamaikan, menyejukkan, dan tak akan terlupakan. Sekarang aku mendapatkan bukti kalau mimpi yang sungguh-sungguh dipercayai, dikejar, diusahakan, akan jadi kenyataan, karena dunia bisa ditaklukkan dengan harapan.
Terima kasih untuk NESO, yang memberikan satu lagi kesempatan buatku mencapai keinginanku. Untuk para juri: Enda Nasution, Wicaksono dan Raditya Dika (yang blognya tidak perlu aku pasang url-nya di sini karena sudah amat terkenalnya), yang mempercayaiku, dan membuatku semakin percaya kalau apa yang kutulis bisa mempengaruhi banyak orang.
Untuk semua komentar yang aku terima dalam tulisan "Pak Janggut dan Komunitas Global", terima kasih karena tidak seorang pun berpikir untuk menulis 'pertamax', hihihi...
Untuk keluargaku, sahabat dan teman-temanku Ari, Ayin, Naomi, Mahén (I love you), semua yang mendukung sepenuh hati dan percaya kalau aku punya kemampuan itu, dan akan sampai kesana. Untuk Pieter Cornelis Wijn, yang membuat salah satu tokoh komik paling hebat yang pernah kubaca selama masa kecilku, dan untuk Komunitas Pak Janggut Indonesia, yang senantiasa menghidupkan kenangan indah itu dengan kegigihan mereka mencari, men-scan, dan mengupload komik Pak Janggut dalam web mereka. You guys did a marvelous job! Thanks!
Some dreams live on in time forever
Those dreams, you want with all your heart
And I'll do whatever it takes
Follow through with the promise I made
Put it all on the line
What I hope for at last will be mine
Monday, May 04, 2009
after dark
ratusan, mungkin ribuan kisah sudah pernah ditulis mengenai hal-hal yang terjadi di malam hari. malam dan kegelapan, seperti makhluk raksasa misterius yang menaungi dan menjadi sebab terjadinya berbagai hal. terutama yang buruk dan mengerikan. film horor, thriller dan suspense lebih sering terjadi di malam hari. sutradaranya pasti jago sekali kalo bikin film horor yang hantunya keluar di tempat terang benderang pada siang hari bolong dan masih bisa ngasih efek ngeri ke yang nonton.
kisah-kisah itu kemudian punya tokoh dan karakternya masing-masing. kegelapan malam menyuburkan kejahatan, menuai ketakutan yang seolah jadi makananya untuk hidup dan merajalela. vampir dan semua makhluk yang haus darah jadi lebih kuat di malam hari. iblis, kuntilanak dan seluruh penjelmaannya juga selalu berkeliaran di malam hari. perampok, segala jenis penjahat (termasuk penjahat kelamin) juga lebih banyak beraksi di malam hari. kecuali perompak, mungkin. apalagi yang di Somalia. tapi toh kulit mereka selegam malam.
waktu kecil, aku pernah mendengar cerita film, tentang bagaimana jiwa kita bisa keluar dari dalam raga dan berjalan-jalan sepanjang malam, berkeliling kota, melihat-lihat pemandangan dan melakukan hal-hal yang dia inginkan tanpa kita sadari, karena kita sedang tidur. dalam film itu, suatu hari ketika sang jiwa hendak kembali pulang ke raganya, ia tidak bisa mengenalinya karena wajah orang tersebut sedang tertutup masker. sejak itu, aku selalu sangat khawatir setiap kali melihat ibuku pergi tidur dengan wajah bermasker atau berbedak dingin. aku berusaha membuat mama memasang maskernya pada pagi hari saja, tapi tentu nggak berhasil. setiap pagi setelah malam horor itu, aku selalu lega menemukan ibuku baik-baik saja. mungkin jiwanya nggak suka keluyuran. atau cukup pintar untuk menentukan tanda untuk 'rumah'nya.
dalam "afteR DaRk", Haruki Murakami menceritakan hal-hal yang terjadi pada suatu malam di belantara beton Tokyo. Mari yang berumur 19 tahun dan menghabiskan malam dengan membaca buku tebal yang entah apa judulnya di Denny's, Takahashi yang berlatih bersama band-nya di salah satu ruang bawah tanah gedung tak jauh dari situ, perempuan Cina pelacur yang jadi sapi perahan geng Cina bermotor dan dipukuli tanpa ampun karena mendadak menstruasi, Shirakawa yang selalu bekerja di malam hari dan hanya bertemu istrinya melalui telepon, Kaoru, Komugi dan Korogi yang bekerja di hotel murahan yang bisa disewa per jam dan Eri Asai yang sedang tidur, tapi mengalami berbagai kejadian aneh.
tokoh-tokoh yang mulanya tunggal kemudian saling bertemu dan kisahnya terjalin kelindan dalam serangkaian kejadian. percakapan-percakapan dalam novel ini terasa sangat nyata dan dan wajar. bahasa ungkapnya yang lugas membuat bangun penceritaan tokoh-tokohnya menelusup lembut nyaris tanpa paksaan, dan tiba-tiba sudah meresap dalam cerita. seperti mimpi yang datang tanpa disadari dan pada pagi hari, yang tersisa hanya ingatan yang samar. tapi ada.
seperti novel-novel Murakami lainnya, "afteR DaRk" dihiasi tokoh-tokoh yang terhisap dalam kesendirian dan menjadi terasing, lalu tak bisa kembali menjadi dirinya karena telah terlanjur mengalami suatu kondisi. yang aku maksud semacam mental breakdown, atau emotional disorder. kurasa karena mereka tidak memilih menyendiri, tapi diasingkan dan dibedakan oleh hal-hal di luar dirinya, yang seringkali tak bisa dikontrol.
kini aku bertanya-tanya, berapa banyak kejadian yang kulewatkan, dan berapa jauh jiwaku telah berkelana, karena aku menghabiskan malam dengan tidur.
Wednesday, April 29, 2009
Pak Janggut dan Komunitas Global
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk mengunjungi tempat-tempat baru. Dalam penelusuran dan pengembaraannya itu, ia selalu menemukan berbagai petualangan yang mengasyikkan, mendebarkan dan fantastis. Sejak kali pertama kami berkenalan, ia langsung menceritakan berbagai petualangannya, kapan pun kami bertemu.
Seperti layaknya pengelana, kawan saya ini hidup sederhana. Nyaris setiap kali kami bertemu, ia memakai pakaian serba hijau tua, kontras dengan rambut dan jenggotnya yang memutih. Bahkan sepatunya pun berwarna hijau, seperti topi berhias bulu warna oranye yang selalu melekat di kepalanya. Di bahunya tersandang sebuah buntelan, yang dibawanya dengan bantuan sepotong kayu.
Saya tidak tahu berapa lama dia sudah hidup sebagai pengelana. Saya hanya mengetahui dia telah melakukan ini selama bertahun-tahun. Dan sebagai gadis kecil yang tahu bersopan santun, saya tak pernah menanyakan usianya. Saya bersyukur karena di usia yang tampaknya sudah tidak muda lagi, tak terlihat tanda-tanda petualangannya akan segera diakhiri. Selama bertahun-tahun, sekali dalam sepekan, saya bertemu dengannya. Setiap pertemuan selalu mengesankan, dan sepanjang waktu saya tidak berjumpa dengannya, saya akan mengingat-ingat kisah yang dia ceritakan, memutar ulang gambarannya di kepala saya, berharap saya ikut serta dalam petualangannya itu.
Namanya Pak Janggut.
Di negara asalnya ia bernama Douwe Dobbert. Ia adalah tokoh ciptaan Piet Wijn dan Thom Roep, pembuat komik dan penulis cerita dari Belanda. Bersama Pak Janggut dan buntelan ajaib yang selalu menyediakan apa saja yang ia butuhkan, saya berkelana mengelilingi Eropa, Jepang, Afrika, Amerika dan bahkan Negeri Satwa. Saya dikenalkan pada berbagai tokoh dengan bermacam-macam kepribadian. Mulai dari yang iseng, usil dan sering bertengkar seperti tiga penyihir Pompit, Rika dan Domoli; yang pemberani dan tabah seperti Nana si gadis Afrika, yang manis seperti Omika; yang lucu seperti si burung Dodo, yang pengetahuannya luas seperti Kuping Pengingat, bahkan yang jahat dan tak kunjung jera berbuat onar seperti Ludo Lampart dan Wredulia si penyihir.
Tak hanya orang-orang yang kami temui, Pak Janggut juga membawa saya menelusuri keindahan alam dan kekayaan plasma nutfah yang beragam di berbagai belahan dunia. Hutan dan sabana di Afrika, musim salju ganas di Eropa, laut Selatan yang misterius, hal-hal yang hanya bisa ditemui pada lansekap dan rumah di Jepang. Tak seorang pun dapat menyangkal betapa cerita Pak Janggut mengandung nilai pendidikan dan moral yang sangat kaya. Nirkekerasan, anti perbudakan, anti rasialisme, sensitif gender, kemurahan hati untuk berbagi, pelajaran tentang karma, usaha untuk menghadapi dan mengalahkan rasa takut, hanyalah sebagian dari sekian banyak nilai-nilai yang bisa dipelajari dari cerita ini, lengkap dengan pengetahuan dan tambahan wawasan yang sangat berguna. Dalam hal ini, Pak Janggut memberikan dasar bagi setiap anak yang membacanya, termasuk saya, dasar pengetahuan dan nilai yang memungkinkan saya untuk mengenal dunia dengan segala keragamannya tanpa harus pergi keluar dari rumah.
Dalam semangat yang sama, saya menangkap hal-hal serupa juga ditawarkan oleh pendidikan di Belanda. Tentu dengan kedalaman dan penekanan tertentu pada beberapa hal. Kekuatan utama tentu terletak pada kualitas pendidikan dengan standar internasional. Hal ini disebabkan oleh struktur pendidikan yang lebih sempurna, penguasaan ilmu yang lebih baik, tingkat kedisiplinan yang lebih tinggi dan budaya belajar yang jauh lebih matang daripada yang ada di Indonesia. Pendidikan yang berkualitas akan memberikan pengetahuan dan wawasan yang memadai untuk berhubungan dan bersaing di tingkat global.
Aspek lain dari pendidikan dengan standar internasional adalah pertemuan dan pengalaman langsung untuk bergaul di tingkat global, karena standar pendidikan yang tinggi mengundang hadirnya mahasiswa internasional, yang saat ini di Belanda jumlahnya mencapai kisaran 70,000 orang. Angka ini merupakan catatan untuk mahasiswa yang pendidikannya disponsori oleh pemerintah. Belum termasuk yang membiayai pendidikannya secara mandiri, atau melalui jalur swasta. Menjadi mahasiswa di Belanda berarti belajar dan dapat berinteraksi dengan begitu banyak mahasiswa internasional dengan beragam karakter dan kebudayaan yang datang dari lebih dari 45 negara di dunia. Ini tentu membuat kemampuan akademik dan kemampuan bahasa teruji.
Menyoal bahasa, yang ditahbiskan sebagai bahasa internasional tentu adalah Bahasa Inggris. Laporan Newsweek mengenai bahasa menyebutkan bahwa trend pemakaian bahasa tidak berada dalam satu jalur yang lurus dengan pertambahan populasi. Jadi dalam sekurangnya dua dekade dari sekarang, bukan bahasa China atau India yang jumlah penuturnya paling banyak di dunia, melainkan bahasa Inggris. Artikel tersebut bahkan menyebut kepastian bahwa perbandingan jumlah penutur dwi-bahasa (bilingual) dengan penutur asli (native speaker) adalah 3:1. Artinya, sebagian besar warga dunia akan bicara dalam Bahasa Inggris dengan variasi ragam lisan yang membentang dari Afrika sampai Asia, termasuk Australia dan Amerika Latin. Fenomena ini bahkan dapat dijumpai di negara-negara yang memiliki huruf dan bahasanya sendiri, seperti Jepang, Korea dan China. Dengan 1402 program studi internasional yang 1388 diantaranya diajarkan sepenuhnya dalam bahasa Inggris, struktur pendidikan di Belanda jelas disusun dalam langkah yang sejalan dengan kecenderungan masa kini.
Keseluruhan aspek tersebut dirangkum dalam sejarah kebudayaan dan kaitan erat antara Indonesia dan Belanda. Saya yakin banyak mahasiswa Indonesia yang seketika merasakan kedekatan Belanda sebagai rumah kedua segera setelah mereka sampai di sana karena riwayat peradaban yang saling bersinggungan dalam banyak hal ini. Terlebih berbagai fasilitas dan kemudahan yang disediakan pemerintah Belanda, mampu menunjang kebutuhan setiap mahasiswa Indonesia. Hingga selain jarak yang jauh dari tanah air dan cuaca yang berbeda, setiap mahasiswa Indonesia dapat menjadi dirinya sendiri, dan merasakan keakraban yang melekat pada berbagai sudut bangunan tua, peninggalan sejarah dan keramahan yang bersahabat.
Artinya, pendidikan di Belanda mampu memberikan modal yang menyeluruh untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga seseorang mampu menjadi bagian dari komunitas global secara utuh. Berdiri sejajar dan terlibat pada upaya-upaya global untuk menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik. Dan pada saat yang sama, peningkatan kualitas itu juga disertai dengan kesadaran untuk tetap berakar pada jati diri dan kebudayaan Indonesia.
Seperti layaknya pengelana, kawan saya ini hidup sederhana. Nyaris setiap kali kami bertemu, ia memakai pakaian serba hijau tua, kontras dengan rambut dan jenggotnya yang memutih. Bahkan sepatunya pun berwarna hijau, seperti topi berhias bulu warna oranye yang selalu melekat di kepalanya. Di bahunya tersandang sebuah buntelan, yang dibawanya dengan bantuan sepotong kayu.
Saya tidak tahu berapa lama dia sudah hidup sebagai pengelana. Saya hanya mengetahui dia telah melakukan ini selama bertahun-tahun. Dan sebagai gadis kecil yang tahu bersopan santun, saya tak pernah menanyakan usianya. Saya bersyukur karena di usia yang tampaknya sudah tidak muda lagi, tak terlihat tanda-tanda petualangannya akan segera diakhiri. Selama bertahun-tahun, sekali dalam sepekan, saya bertemu dengannya. Setiap pertemuan selalu mengesankan, dan sepanjang waktu saya tidak berjumpa dengannya, saya akan mengingat-ingat kisah yang dia ceritakan, memutar ulang gambarannya di kepala saya, berharap saya ikut serta dalam petualangannya itu.
Namanya Pak Janggut.
Di negara asalnya ia bernama Douwe Dobbert. Ia adalah tokoh ciptaan Piet Wijn dan Thom Roep, pembuat komik dan penulis cerita dari Belanda. Bersama Pak Janggut dan buntelan ajaib yang selalu menyediakan apa saja yang ia butuhkan, saya berkelana mengelilingi Eropa, Jepang, Afrika, Amerika dan bahkan Negeri Satwa. Saya dikenalkan pada berbagai tokoh dengan bermacam-macam kepribadian. Mulai dari yang iseng, usil dan sering bertengkar seperti tiga penyihir Pompit, Rika dan Domoli; yang pemberani dan tabah seperti Nana si gadis Afrika, yang manis seperti Omika; yang lucu seperti si burung Dodo, yang pengetahuannya luas seperti Kuping Pengingat, bahkan yang jahat dan tak kunjung jera berbuat onar seperti Ludo Lampart dan Wredulia si penyihir.
Tak hanya orang-orang yang kami temui, Pak Janggut juga membawa saya menelusuri keindahan alam dan kekayaan plasma nutfah yang beragam di berbagai belahan dunia. Hutan dan sabana di Afrika, musim salju ganas di Eropa, laut Selatan yang misterius, hal-hal yang hanya bisa ditemui pada lansekap dan rumah di Jepang. Tak seorang pun dapat menyangkal betapa cerita Pak Janggut mengandung nilai pendidikan dan moral yang sangat kaya. Nirkekerasan, anti perbudakan, anti rasialisme, sensitif gender, kemurahan hati untuk berbagi, pelajaran tentang karma, usaha untuk menghadapi dan mengalahkan rasa takut, hanyalah sebagian dari sekian banyak nilai-nilai yang bisa dipelajari dari cerita ini, lengkap dengan pengetahuan dan tambahan wawasan yang sangat berguna. Dalam hal ini, Pak Janggut memberikan dasar bagi setiap anak yang membacanya, termasuk saya, dasar pengetahuan dan nilai yang memungkinkan saya untuk mengenal dunia dengan segala keragamannya tanpa harus pergi keluar dari rumah.
Dalam semangat yang sama, saya menangkap hal-hal serupa juga ditawarkan oleh pendidikan di Belanda. Tentu dengan kedalaman dan penekanan tertentu pada beberapa hal. Kekuatan utama tentu terletak pada kualitas pendidikan dengan standar internasional. Hal ini disebabkan oleh struktur pendidikan yang lebih sempurna, penguasaan ilmu yang lebih baik, tingkat kedisiplinan yang lebih tinggi dan budaya belajar yang jauh lebih matang daripada yang ada di Indonesia. Pendidikan yang berkualitas akan memberikan pengetahuan dan wawasan yang memadai untuk berhubungan dan bersaing di tingkat global.
Aspek lain dari pendidikan dengan standar internasional adalah pertemuan dan pengalaman langsung untuk bergaul di tingkat global, karena standar pendidikan yang tinggi mengundang hadirnya mahasiswa internasional, yang saat ini di Belanda jumlahnya mencapai kisaran 70,000 orang. Angka ini merupakan catatan untuk mahasiswa yang pendidikannya disponsori oleh pemerintah. Belum termasuk yang membiayai pendidikannya secara mandiri, atau melalui jalur swasta. Menjadi mahasiswa di Belanda berarti belajar dan dapat berinteraksi dengan begitu banyak mahasiswa internasional dengan beragam karakter dan kebudayaan yang datang dari lebih dari 45 negara di dunia. Ini tentu membuat kemampuan akademik dan kemampuan bahasa teruji.
Menyoal bahasa, yang ditahbiskan sebagai bahasa internasional tentu adalah Bahasa Inggris. Laporan Newsweek mengenai bahasa menyebutkan bahwa trend pemakaian bahasa tidak berada dalam satu jalur yang lurus dengan pertambahan populasi. Jadi dalam sekurangnya dua dekade dari sekarang, bukan bahasa China atau India yang jumlah penuturnya paling banyak di dunia, melainkan bahasa Inggris. Artikel tersebut bahkan menyebut kepastian bahwa perbandingan jumlah penutur dwi-bahasa (bilingual) dengan penutur asli (native speaker) adalah 3:1. Artinya, sebagian besar warga dunia akan bicara dalam Bahasa Inggris dengan variasi ragam lisan yang membentang dari Afrika sampai Asia, termasuk Australia dan Amerika Latin. Fenomena ini bahkan dapat dijumpai di negara-negara yang memiliki huruf dan bahasanya sendiri, seperti Jepang, Korea dan China. Dengan 1402 program studi internasional yang 1388 diantaranya diajarkan sepenuhnya dalam bahasa Inggris, struktur pendidikan di Belanda jelas disusun dalam langkah yang sejalan dengan kecenderungan masa kini.
Keseluruhan aspek tersebut dirangkum dalam sejarah kebudayaan dan kaitan erat antara Indonesia dan Belanda. Saya yakin banyak mahasiswa Indonesia yang seketika merasakan kedekatan Belanda sebagai rumah kedua segera setelah mereka sampai di sana karena riwayat peradaban yang saling bersinggungan dalam banyak hal ini. Terlebih berbagai fasilitas dan kemudahan yang disediakan pemerintah Belanda, mampu menunjang kebutuhan setiap mahasiswa Indonesia. Hingga selain jarak yang jauh dari tanah air dan cuaca yang berbeda, setiap mahasiswa Indonesia dapat menjadi dirinya sendiri, dan merasakan keakraban yang melekat pada berbagai sudut bangunan tua, peninggalan sejarah dan keramahan yang bersahabat.
Artinya, pendidikan di Belanda mampu memberikan modal yang menyeluruh untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga seseorang mampu menjadi bagian dari komunitas global secara utuh. Berdiri sejajar dan terlibat pada upaya-upaya global untuk menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik. Dan pada saat yang sama, peningkatan kualitas itu juga disertai dengan kesadaran untuk tetap berakar pada jati diri dan kebudayaan Indonesia.
Monday, April 13, 2009
menanam sejarah dunia
sejarah dunia kita sebetulnya ditentukan oleh tanaman.
aku sedang pergi ke stand penjual tanaman yang ada di sepanjang jalan Hayam Wuruk tadi siang dengan Naomi waktu pikiran itu datang. setelah memilih tanaman merambat (yang sampai saat aku menulis, aku masih belum tahu kenapa tanaman ini disebut Lee Kwan Yew), teman serumahku itu bilang kalau dia ingin menanam jeruk, tapi kebingungan jeruk apa yang sebaiknya dipilih. kalau menanam jeruk nipis, buahnya sangat berguna, tapi daunnya nggak bisa dipakai bumbu masak. kalau menanam jeruk purut, daunnya bisa jadi bumbu, tapi buahnya minim sekali dipakai.
"kalau ada tanaman jeruk yang buah dan daunnya sama-sama bisa dipakai, nanti nggak adil buat spesies jeruk yang lainnya, mi" kataku sambil memandangi jeruk yang warnanya belang hijau tua dan kuning.
dan bukankah sejarah Cosa Nostra, yang kita kenal sebagai mafia Italia menyebutkan bahwa organisasi rahasia ini mulai berkembang saat menunggangi tumbuh dan majunya perkebunan jeruk di Sisilia? para anggota mafia memulainya dengan meminta uang keamanan pada para pemilik perkebunan, memaksa mereka membayar sejumlah tertentu jika ingin buah-buah berharga itu selamat mulai dari saat ditanam, panen, sampai pengapalan ke luar negeri. uang keamanan lama kelamaan meningkat jadi pemaksaan sistem ijon, monopoli dagang, bahkan pembunuhan dan pengambilalihan perkebunan jeruk dari pemiliknya yang sah.
jauh sebelum minyak ditemukan dan jadi alasan petaka, tanaman juga yang memicu dimulainya kolonialisasi besar-besaran di Asia. adalah tanaman rempah yang jadi hal, penyebab para petualang lautan mengangkat sauh dan pergi ke selatan, agar mendapatkan lebih banyak lada, pala, cengkeh dan sebangsanya. selama ratusan tahun, tanaman ini jadi alasan kekuatan imperialisme tradisional itu memeras keringat ratusan ribu orang nyaris tanpa sepeser pun imbalan.
lalu ada opium. tanaman yang membiayai nyaris semua pemberontakan bersenjata, kelompok separatis dan rejim militer yang tiran di berbagai negara. tanaman ini juga sudah jadi penyebab malapetaka sejak beratus tahun yang lalu. namun peranannya di masa kini dalam berbagai perang saudara, tampaknya masih akan berlangsung lama.
penebangan hutan untuk diambil kayunya, adalah alasan utama penggundulan paru-paru dunia baik di Kalimantan dan Sumatera maupun di Amazon. tanaman-tanaman kayu keras itu tentu terlihat seperti air mancur uang bagi para pemegang hak pengusahaan hutan, cukong-cukong yang menimbun kekayaan dengan menghancurkan keanekaragaman hayati yang paling kaya.
daftar ini bisa memanjang.
aku jadi curiga kalau ini saatnya kita terjun dalam bidang pertanian untuk dapat menguasai dunia.
aku sedang pergi ke stand penjual tanaman yang ada di sepanjang jalan Hayam Wuruk tadi siang dengan Naomi waktu pikiran itu datang. setelah memilih tanaman merambat (yang sampai saat aku menulis, aku masih belum tahu kenapa tanaman ini disebut Lee Kwan Yew), teman serumahku itu bilang kalau dia ingin menanam jeruk, tapi kebingungan jeruk apa yang sebaiknya dipilih. kalau menanam jeruk nipis, buahnya sangat berguna, tapi daunnya nggak bisa dipakai bumbu masak. kalau menanam jeruk purut, daunnya bisa jadi bumbu, tapi buahnya minim sekali dipakai.
"kalau ada tanaman jeruk yang buah dan daunnya sama-sama bisa dipakai, nanti nggak adil buat spesies jeruk yang lainnya, mi" kataku sambil memandangi jeruk yang warnanya belang hijau tua dan kuning.
dan bukankah sejarah Cosa Nostra, yang kita kenal sebagai mafia Italia menyebutkan bahwa organisasi rahasia ini mulai berkembang saat menunggangi tumbuh dan majunya perkebunan jeruk di Sisilia? para anggota mafia memulainya dengan meminta uang keamanan pada para pemilik perkebunan, memaksa mereka membayar sejumlah tertentu jika ingin buah-buah berharga itu selamat mulai dari saat ditanam, panen, sampai pengapalan ke luar negeri. uang keamanan lama kelamaan meningkat jadi pemaksaan sistem ijon, monopoli dagang, bahkan pembunuhan dan pengambilalihan perkebunan jeruk dari pemiliknya yang sah.
jauh sebelum minyak ditemukan dan jadi alasan petaka, tanaman juga yang memicu dimulainya kolonialisasi besar-besaran di Asia. adalah tanaman rempah yang jadi hal, penyebab para petualang lautan mengangkat sauh dan pergi ke selatan, agar mendapatkan lebih banyak lada, pala, cengkeh dan sebangsanya. selama ratusan tahun, tanaman ini jadi alasan kekuatan imperialisme tradisional itu memeras keringat ratusan ribu orang nyaris tanpa sepeser pun imbalan.
lalu ada opium. tanaman yang membiayai nyaris semua pemberontakan bersenjata, kelompok separatis dan rejim militer yang tiran di berbagai negara. tanaman ini juga sudah jadi penyebab malapetaka sejak beratus tahun yang lalu. namun peranannya di masa kini dalam berbagai perang saudara, tampaknya masih akan berlangsung lama.
penebangan hutan untuk diambil kayunya, adalah alasan utama penggundulan paru-paru dunia baik di Kalimantan dan Sumatera maupun di Amazon. tanaman-tanaman kayu keras itu tentu terlihat seperti air mancur uang bagi para pemegang hak pengusahaan hutan, cukong-cukong yang menimbun kekayaan dengan menghancurkan keanekaragaman hayati yang paling kaya.
daftar ini bisa memanjang.
aku jadi curiga kalau ini saatnya kita terjun dalam bidang pertanian untuk dapat menguasai dunia.
Friday, April 10, 2009
tentang perjalanan
Anggun pergi meninggalkan Indonesia saat ia masih sangat belia, 20 tahun. di halaman Wikipedianya tertulis, setelah mendapatkan kesuksesan di Indonesia sejak berusia 12 tahun, Anggun memutuskan untuk pergi ke Eropa dan memulai karir internasionalnya.
berapa banyak dari kita mengukur kesuksesan dengan cara yang sama seperti Anggun? meninggalkan kampung halaman dan pergi ke belahan dunia yang dianggap lebih maju, untuk mengejar sesuatu yang tidak bisa didapatkan di negara sendiri.
berapa banyak dari kita yang merasa, semakin banyak bagian dunia yang pernah disinggahi, berbanding lurus dengan pencapaian kita. dan ini bukan isian formulir frequent flyer.
aku adalah satu diantara semua orang itu.
yang sudah gatal ingin pergi jauh dan melihat betapa luasnya dunia yang selama ini kujelajahi hanya lewat halaman buku, majalah dan halaman website (apa sih bahasa Indonesia bakunya?). yang merasa iri membaca plurk seorang teman yang sedang bersiap pergi ke Guggenheim, merespon plurknya dengan permintaan untuk mengajakku ikut serta.
lalu di suatu kali yang lain, aku bertemu dengan orang-orang yang merasa menemukan rumah dan kebahagiaannya di negaraku. dan pada kali-kali berikutnya aku mendapati kalau perasaan seperti itu dimiliki oleh begitu banyak orang yang setelah datang menolak untuk kembali lagi "hidupku muram dan menyedihkan di tempat yang dingin dan gelap itu. di sini, semua terang dan bercahaya". maka meski masih tetap mengomeli ketidakberesan dan kecerobohan yang terus terjadi diantara setumpuk kebodohan, mereka tetap tinggal. seperti siap mengambil alih tempat yang ingin kutinggalkan.
orang lain yang telah menjelajahi banyak tempat sebelum memutuskan untuk kembali berkata padaku bahwa tidak ada tempat lain yang lebih baik daripada rumah sendiri, negara sendiri. betapapun tertib, maju, banyaknya uang yang didapatkan. tapi bagiku, kata-katanya adalah sebuah misteri yang masih harus dipecahkan sendiri, karena barangkali, kalau detektifnya beda, penyelesaian kasusnya juga akan berlainan.
dan suatu hari Anggun diwawancarai oleh Weekender. saat ditanya tentang keputusan paling gila yang pernah dilakukannya, ia menjawab: meninggalkan Indonesia.
berapa banyak dari kita mengukur kesuksesan dengan cara yang sama seperti Anggun? meninggalkan kampung halaman dan pergi ke belahan dunia yang dianggap lebih maju, untuk mengejar sesuatu yang tidak bisa didapatkan di negara sendiri.
berapa banyak dari kita yang merasa, semakin banyak bagian dunia yang pernah disinggahi, berbanding lurus dengan pencapaian kita. dan ini bukan isian formulir frequent flyer.
aku adalah satu diantara semua orang itu.
yang sudah gatal ingin pergi jauh dan melihat betapa luasnya dunia yang selama ini kujelajahi hanya lewat halaman buku, majalah dan halaman website (apa sih bahasa Indonesia bakunya?). yang merasa iri membaca plurk seorang teman yang sedang bersiap pergi ke Guggenheim, merespon plurknya dengan permintaan untuk mengajakku ikut serta.
lalu di suatu kali yang lain, aku bertemu dengan orang-orang yang merasa menemukan rumah dan kebahagiaannya di negaraku. dan pada kali-kali berikutnya aku mendapati kalau perasaan seperti itu dimiliki oleh begitu banyak orang yang setelah datang menolak untuk kembali lagi "hidupku muram dan menyedihkan di tempat yang dingin dan gelap itu. di sini, semua terang dan bercahaya". maka meski masih tetap mengomeli ketidakberesan dan kecerobohan yang terus terjadi diantara setumpuk kebodohan, mereka tetap tinggal. seperti siap mengambil alih tempat yang ingin kutinggalkan.
orang lain yang telah menjelajahi banyak tempat sebelum memutuskan untuk kembali berkata padaku bahwa tidak ada tempat lain yang lebih baik daripada rumah sendiri, negara sendiri. betapapun tertib, maju, banyaknya uang yang didapatkan. tapi bagiku, kata-katanya adalah sebuah misteri yang masih harus dipecahkan sendiri, karena barangkali, kalau detektifnya beda, penyelesaian kasusnya juga akan berlainan.
dan suatu hari Anggun diwawancarai oleh Weekender. saat ditanya tentang keputusan paling gila yang pernah dilakukannya, ia menjawab: meninggalkan Indonesia.
Subscribe to:
Posts (Atom)
duka yang menyusun sendiri petualangannya
rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...
-
meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca bu...
-
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk ...