aku sedang dalam perjalanan dari ubud ke denpasar bersama bonnie vietcong waktu tiba-tiba ada yang bergetar-getar...
"gunjreeeenggg!!!"
hapeku berdering dan nama bosku tercetak di layar. tepatnya, nama yang aku pergunakan di phone-book-ku untuknya. aku mengangkat telepon dengan sapaanku yang biasa...
I: selamat malam, pak koman
K:malam, dian
I: saya, pak koman
K:kamu tau tadi malam saya makan dengan siapa?
I: nggak tau, siapa ya?
K:tadi malam saya sama george soros
I: (terpekik kaget) hah?
I: yang bener, pak koman?!
K:iya, dia ada disini. nginep di komaneka, kamu tau?
I: oya? sejak kapan?
K:(tertawa kecil) nggak...nggak, saya bercanda
K:tapi dia memang ada di ubud. nginepnya di ********. saya ketemu dia disana
K:dia sama, siapa itu, yang dapat nobel ekonomi dan pernah ke tanggayuda?
I: ya, pak koman, saya inget orangnya, tapi nggak inget namanya
K:dia pergi kesini waktu ada isu kalo ubud mau di-bom pas natal-tahun baru
K:tapi pasti ada sesuatu, orang sepintar dia, tiba-tiba ada disini, justru waktu ada isu
I: pastinya! orang yang bisa ngacak-acak ekonomi asia tenggara
I: kalo nggak ada perlunya nggak bakalan kesini
K:saya rasa juga gitu, karena dia bilang sama saya
K:dia datang dan ketemu orang banyak disini
I: wah! tapi keren pak koman bisa ketemu dan ngobrol sama dia
K:iyah, di new york pasti orang ngantri buat ketemu george soros
K:dia malah disini, santai-santai, naik kijang
I: hihihihihihi
I: emang bener, di bali bisa ketemu siapa aja. nggak terduga.
K:memang, karena disini itu seperti pintu.
K:kalo kamu cukup pintar memanfaatkan,kamu bisa kemana aja setelah dari sini.
K:ya udah dian, gitu aja yang mau saya bilang.
K:saya sebel karena udah cerita sama beberapa orang dan mereka gak ngerti
K: saya bilang george soros mereka jawab "siapa itu?"
I: ahahaha! kasiyan deh, pak koman
K:iya nih, tadinya mau show off malah harus ngejelasin. gak seru lagi
I: hehehe...
tak lama kemudian pembicaraan diakhiri. aku mematikan hape sambil tersenyum. setelah setahun, perasaanku terhadap komaneka masih sama seperti di hari pertama aku mulai bekerja. aku merasa tempat ini semakin menjelma menjadi rumahku. dan percakapan semacam ini dengan pak koman masih akan terus terjadi.
"...kamu bicara seolah kata-katamu tercetak dalam sebuah buku.." demikian seorang teman berkata. suatu hari. disini, serpih-serpih hari kukumpulkan, dalam tulisan
Saturday, December 31, 2005
Saturday, December 24, 2005
...dan kau beri nyawa
piano itu ada disana setiap hari. di lantai dua galeriku, tepatnya di sudut antara puncak tangga dengan pintu ke arah ruang kerja pak Koman. kadang-kadang aku duduk didepannya. mencoba memainkan beberapa nada dengan canggung sambil mengingat-ingat pelajaran yang pernah kuterima dulu. tak jarang ada yang datang dan duduk di depannya, lalu memainkan berbagai lagu. ada yang selalu memainkan komposisi yang sama. seperti sedang berlatih selama beberapa jam dengan piano itu. ada pula yang datang untuk memainkannya sambil menyanyi. ah... suara si penyanyi ditingkahi suara piano. aku rasa si grand piano hitam ingin supaya dia berhenti menyanyi, sama sepertiku. ada pula seorang kaukasian berambut pirang selalu memainkan lagu-lagu yang sedih dan pilu. sampai aku duduk dengan tegak diruanganku sambil berpikir mungkin si pemain piano sedang patah hati.
belum pernah ada yang memainkannya seperti Kazue Inoue.
hari itu, minggu, 18 Desember 2005... untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat sebuah piano seperti bernyawa. bukan lagi sekedar sebuah instrumen yang dipakai untuk memainkan lagu. Kazue Inoue memberi... ah, tepatnya memindahkan nyawanya ke dalam piano hitam dilantai dua galeriku. lalu dengan piano hitam itu dia bicara, bercerita dan tertawa. aku nggak tau komposisi apa yang dia mainkan. tidak penting apakah itu Weber, Chopin atau Mozart. yang jelas, aku bisa memahami ceritanya. mengerti bahwa cerita ini adalah cerita gembira, sedih, tegang, bahkan memahami bahwa tokoh dalam cerita yang disampaikan piano itu, sedang menjalani sesuatu yang misterius dan rahasia, yang membuat dia harus berjalan mengendap-endap dan bicara dengan suara lirih, supaya nggak ketahuan. lalu di bagian yang lain, tampaknya si tokoh sedang bersenang hati, menikmati suasana pagi yang indah dengan burung yang berkicau dan matahari yang bersinar lembut. entah apa kisahnya, tapi aku berdiri terpaku disana, menatap jemarinya yang lincah diatas tuts piano dan di benakku ada padang rumput yang luas, petak-petak bunga dan kolam yang airnya berwarna keperakan tertimpa cahaya mentari.
terima kasih karena telah mengajakku sampai kesana dengan musikmu, Kazue-san. aku tak akan melupakanmu.
belum pernah ada yang memainkannya seperti Kazue Inoue.
hari itu, minggu, 18 Desember 2005... untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat sebuah piano seperti bernyawa. bukan lagi sekedar sebuah instrumen yang dipakai untuk memainkan lagu. Kazue Inoue memberi... ah, tepatnya memindahkan nyawanya ke dalam piano hitam dilantai dua galeriku. lalu dengan piano hitam itu dia bicara, bercerita dan tertawa. aku nggak tau komposisi apa yang dia mainkan. tidak penting apakah itu Weber, Chopin atau Mozart. yang jelas, aku bisa memahami ceritanya. mengerti bahwa cerita ini adalah cerita gembira, sedih, tegang, bahkan memahami bahwa tokoh dalam cerita yang disampaikan piano itu, sedang menjalani sesuatu yang misterius dan rahasia, yang membuat dia harus berjalan mengendap-endap dan bicara dengan suara lirih, supaya nggak ketahuan. lalu di bagian yang lain, tampaknya si tokoh sedang bersenang hati, menikmati suasana pagi yang indah dengan burung yang berkicau dan matahari yang bersinar lembut. entah apa kisahnya, tapi aku berdiri terpaku disana, menatap jemarinya yang lincah diatas tuts piano dan di benakku ada padang rumput yang luas, petak-petak bunga dan kolam yang airnya berwarna keperakan tertimpa cahaya mentari.
terima kasih karena telah mengajakku sampai kesana dengan musikmu, Kazue-san. aku tak akan melupakanmu.
Thursday, December 22, 2005
suatu malam di casa pasta
Ida-san datang! yiiihhhhhaaaaaa!!!
aku selalu senang kalo Munehide Ida alias Idapon , si fotografer muda berbakat dari Tokyo ini datang ke Bali. kali ini tiba-tiba dia muncul di Komaneka Tanggayuda sebelum pesta untuk travel agent dimulai. kaget dan nyaris meledak karena rasa gembira, aku menyambutnya dan kami langsung tenggelam dalam percakapan seru.
hari Jumat esoknya, dia sesiangan ada di kantorku. biasalah, update cerita ini itu dalam hidup masing-masing, nge-burn mixingan musik terbarunya buatku, motret karya Pande Ketut Taman di galeri dan ngecek email. dia memberiku dua CD berisi DJ set yang dia mainkan di Tokyo OVO dan Shimoda Ayjo Cave. diluar kesibukannya sebagai fotografer, Idapon adalah DJ yang funky.
malamnya, aku dan dia pergi ke Casa Pasta. ini adalah restoran baru di jalan Monkey Forest. selain restoran, mereka juga punya bar dan lounge. sebetulnya, kami datang karena DJ Cozi dan suaminya DJ Gus Til serta DJ Steevy dari Chicago akan main malam itu. ternyata waktu datang jam 7 malam, kami harus nyobain menu restoran itu satu demi satu. makanannya lumayan enak. pujian khusus harus diberikan untuk sup sayuran berdagingnya yang gurih, fish roll dan bayam rebusnya, serta tiramisu lembut yang mereka hidangkan malam itu. anyway, itu cuma tiga dari 9 menu yang diujicobakan pada kami.
setelah acara makan selesai, kami pindah ke bar untuk live DJ. Idapon memperkenalkanku pada DJ Cozi, tapi kami nggak bicara banyak diluar karena dia baru datang dan masih harus nyiapin alat dulu sebelum mulai main. mula-mula kupikir Cozi akan memainkan set lounge-nya. tapi ternyata nggak. dia langsung menghentak suasana dengan dance dan deep house. aku dan Idapon akhirnya bergabung dengan teman-teman dan temannya teman. seorang seniman Jepang yang tinggal di Peliatan (dan aku lupa namanya), Jamie Huskisson dan partnernya, Michelle, serta seorang penyanyi kelab dan pacarnya, yang duduk semeja dengan kami waktu makan malam. dasar DJ, kami malah sibuk membahas kendala teknis di tempat itu. mulai dari kualitas sound, kekuatan ampli yang nggak sepadan dengan speaker dan bikin suara musiknya collaps dan lampu mana yang sebaiknya dimatikan supaya visualnya lebih nyata. tentu saja Idapon nggak lupa menjepretkan kameranya seperti yang biasa dia lakukan.
waktu DJ Steevy memainkan set trance dan breakbeat-nya, aku dan Cozi sempat ngobrol. dia mengaku terkejut karena dari wajah dan penampilanku, dia pikir seleraku lebih 'tradisional' dan aku akan bosan dengan suasana pesta malam itu. aku tertawa dan bilang kalo beberapa tahun yang lalu, aku biasa berkeliling klub mendatangi berbagai rave scene karena terlibat menyelenggarakan scene untuk DJ dan musisi elektronik di Indonesia. Cozi, you're wrong. aku ada di rave scene bukan karena alkohol atau drugs, tapi karena musiknya. ada ketetapan yang ritmis dalam musik elektronik yang memberiku kenyamanan. aku suka mendengarkannya sambil memejamkan mata, lalu membiarkan tubuhku bergerak sesuai irama. saat perpindahan lagu dan aku membuka mata, rasanya sama seperti waktu aku bangun pagi dalam keadaan segar, atau baru saja melakukan relaksasi dalam kelas yoga. kalau musiknya bagus sekali, dan DJ-nya bisa mengendalikan crowd, aku bisa sampe meneteskan airmata haru dalam suasana rave scene yang hingar bingar.
aku dan Idapon baru keluar dari Casa Pasta jam 1 dini hari, setelah Gus Til menyelesaikan set tribalnya dan mengijinkan kami pulang. waktu pertama kali pamitan, Gus Til bilang kami harus tinggal dulu sampai setnya selesai. dan tak lama kemudian, dia memainkan beberapa remix untuk lounge, yang memaksa beberapa gadis berkebaya yang tadinya berada di tempat itu untuk pembukaan restoran, turun melantai. wah! kalo nggak di Ubud, mana pernah ada ibu pemilik restoran berkebaya merah dengan konde sebesar tampah berada di sofa sebuah bar sementara gadis-gadis berkebaya melantai!
ngomong-ngomong, DJ Cozi itu ibu dari dua anak dan berusia 38 tahun sekarang. masih keren ya?!
aku selalu senang kalo Munehide Ida alias Idapon , si fotografer muda berbakat dari Tokyo ini datang ke Bali. kali ini tiba-tiba dia muncul di Komaneka Tanggayuda sebelum pesta untuk travel agent dimulai. kaget dan nyaris meledak karena rasa gembira, aku menyambutnya dan kami langsung tenggelam dalam percakapan seru.
hari Jumat esoknya, dia sesiangan ada di kantorku. biasalah, update cerita ini itu dalam hidup masing-masing, nge-burn mixingan musik terbarunya buatku, motret karya Pande Ketut Taman di galeri dan ngecek email. dia memberiku dua CD berisi DJ set yang dia mainkan di Tokyo OVO dan Shimoda Ayjo Cave. diluar kesibukannya sebagai fotografer, Idapon adalah DJ yang funky.
malamnya, aku dan dia pergi ke Casa Pasta. ini adalah restoran baru di jalan Monkey Forest. selain restoran, mereka juga punya bar dan lounge. sebetulnya, kami datang karena DJ Cozi dan suaminya DJ Gus Til serta DJ Steevy dari Chicago akan main malam itu. ternyata waktu datang jam 7 malam, kami harus nyobain menu restoran itu satu demi satu. makanannya lumayan enak. pujian khusus harus diberikan untuk sup sayuran berdagingnya yang gurih, fish roll dan bayam rebusnya, serta tiramisu lembut yang mereka hidangkan malam itu. anyway, itu cuma tiga dari 9 menu yang diujicobakan pada kami.
setelah acara makan selesai, kami pindah ke bar untuk live DJ. Idapon memperkenalkanku pada DJ Cozi, tapi kami nggak bicara banyak diluar karena dia baru datang dan masih harus nyiapin alat dulu sebelum mulai main. mula-mula kupikir Cozi akan memainkan set lounge-nya. tapi ternyata nggak. dia langsung menghentak suasana dengan dance dan deep house. aku dan Idapon akhirnya bergabung dengan teman-teman dan temannya teman. seorang seniman Jepang yang tinggal di Peliatan (dan aku lupa namanya), Jamie Huskisson dan partnernya, Michelle, serta seorang penyanyi kelab dan pacarnya, yang duduk semeja dengan kami waktu makan malam. dasar DJ, kami malah sibuk membahas kendala teknis di tempat itu. mulai dari kualitas sound, kekuatan ampli yang nggak sepadan dengan speaker dan bikin suara musiknya collaps dan lampu mana yang sebaiknya dimatikan supaya visualnya lebih nyata. tentu saja Idapon nggak lupa menjepretkan kameranya seperti yang biasa dia lakukan.
waktu DJ Steevy memainkan set trance dan breakbeat-nya, aku dan Cozi sempat ngobrol. dia mengaku terkejut karena dari wajah dan penampilanku, dia pikir seleraku lebih 'tradisional' dan aku akan bosan dengan suasana pesta malam itu. aku tertawa dan bilang kalo beberapa tahun yang lalu, aku biasa berkeliling klub mendatangi berbagai rave scene karena terlibat menyelenggarakan scene untuk DJ dan musisi elektronik di Indonesia. Cozi, you're wrong. aku ada di rave scene bukan karena alkohol atau drugs, tapi karena musiknya. ada ketetapan yang ritmis dalam musik elektronik yang memberiku kenyamanan. aku suka mendengarkannya sambil memejamkan mata, lalu membiarkan tubuhku bergerak sesuai irama. saat perpindahan lagu dan aku membuka mata, rasanya sama seperti waktu aku bangun pagi dalam keadaan segar, atau baru saja melakukan relaksasi dalam kelas yoga. kalau musiknya bagus sekali, dan DJ-nya bisa mengendalikan crowd, aku bisa sampe meneteskan airmata haru dalam suasana rave scene yang hingar bingar.
aku dan Idapon baru keluar dari Casa Pasta jam 1 dini hari, setelah Gus Til menyelesaikan set tribalnya dan mengijinkan kami pulang. waktu pertama kali pamitan, Gus Til bilang kami harus tinggal dulu sampai setnya selesai. dan tak lama kemudian, dia memainkan beberapa remix untuk lounge, yang memaksa beberapa gadis berkebaya yang tadinya berada di tempat itu untuk pembukaan restoran, turun melantai. wah! kalo nggak di Ubud, mana pernah ada ibu pemilik restoran berkebaya merah dengan konde sebesar tampah berada di sofa sebuah bar sementara gadis-gadis berkebaya melantai!
ngomong-ngomong, DJ Cozi itu ibu dari dua anak dan berusia 38 tahun sekarang. masih keren ya?!
Monday, December 19, 2005
singapore:on signing system and toilets
setelah terguncang-guncang selama hampir setengah jam, SQ 143 yang aku tumpangi mendarat di bandara Changi. awan tebal menyelimuti angkasa Singapura hari itu. setiap kali menembus gumpalan yang kelihatannya lembut dan empuk itu, pesawat bergetar dan berguncang. ini merupakan perjalanan menembus awan yang paling parah yang pernah kualami dan kebetulan saat pertama kalinya aku ke Singapura. big thanks to Mr. Amar Darira buat supportnya untukku sehingga aku bisa sampai disini. ini juga pertama kalinya aku naik Singapore Airlines (soalnya tiketnya mahal) dan pesawatnya memang benar-benar nyaman, pramugarinya pun ramah-ramah. dua setengah jam perjalanan sebagian besar kuhabiskan dengan mendengarkan Ministry of Sound di channel rock .
On Signing System
walopun pertama kali pergi, aku berangkat sendiri. diatas pesawat, rasanya aku sedang memulai perjalanan menjelajah a la Pramuka. "jangan lupa bawa peta!" begitu pesan pak Koman padaku sebelum aku berangkat. sebetulnya aku agak ragu karena aku ini payah dalam memahami arah. dan bawa-bawa peta itu bikin aku jadi turis banget! susahnya, aku nggak bisa bayangkan daerah yang akan aku jelajahi dengan peta itu seperti apa, seluas apa?
belum lagi kedatanganku ini sarat dengan pekerjaan. bawa-bawa karya pula. makanya perjalanan ini bener-bener seperti bertualangnya Lima Sekawan. atau Sapta Siaga. bedanya aku sendiri.
kalo biasanya di kota manapun aku pergi aku bertemu dan diantar-antar oleh teman, disini teman karibku adalah signing system. Singapura yang serba teratur, dilengkapi dengan berbagai tanda yang mudah dibaca dan dipahami. sayangnya, aku ini masih belum terbiasa dengan tanda-tanda seperti itu. jadi ya tetep aja aku nyasar-nyasar. kalo nggak karena kelewatan baca tanda, nyasar karena nanya sama orang yang salah. *ahahaha*
dimanapun, apapun apapun ada tandanya. dengan menemukan dan membaca tanda yang diperlukan, dijamin seluruh area akan dipahami dengan baik. Changi yang gedenya minta ampun jadi nggak seberapa menakutkan. mengikuti ban berjalan sampai hall luas dengan antrian di depan petugas imigrasi. setelah semua urusan kartu kedatangan, periksa paspor dan lain sebagainya beres, aku mengambil barang di belt yang ditunjukkan oleh monitor TV, sesudahnya menemukan counter SIA Stopover Holiday dan menunggu driver untuk hotel transfer.
setelah pengalaman pertama dengan signing system di Changi, aku jadi lebih pede menelusuri setiap tempat yang harus aku datangi di Singapura dengan jalan kaki dan naik kereta. maka bekalku berkeliling dan menyelesaikan tugasku di Singapura adalah kunci kamar hotel, paspor, peta, uang pecahan S$ 2 (untuk naik MRT), air mineral dan HP. semuanya masuk dalam tas tanganku, atau dalam backpack.
Toilet-Toilet-Toilet
selain keteraturan yang serba thoughtful itu, aku juga sangat menikmati toilet bersih yang ada kemanapun aku pergi. secara aku ini beser, jadi sebentar-sebentar perlu kamar mandi. maka berbahagialah hatiku karena toiletnya kering, bersih dan wangi. kerannya nggak ada yang rusak dan beberapa bahkan nyentor air secara otomatis, tanpa harus ditekan tombol atau handle penyiram airnya.
aku jadi kenal toilet di Changi, di People's Park Centre, Chinatown, di stasiun MRT Chinatown, Dhoby Ghaut, City Hall dan Orchard, di Singapore Art Museum, di Takashimaya, di Night Safari dan di Chinatown Heritage Centre. hihihihi... kok kayaknya kerjaanku cuma ke toilet yah? anyway, itu karena aku dendam sama keran toilet di terminal keberangkatan di Bandara Ngurah Rai yang rusak dan airnya nyemprot sehingga aku sukses masuk pesawat dengan hampir separuh badan basah. nggak sopan!
Call Your Ex
di Singapura aku mendatangi pameran Angkatan Pelukis Aneka Daya (Association of Artists of Various Resources-APAD), yaitu persatuan seniman muda Melayu-Singapura. pamerannya diadakan di ARTrium@MICA Building di Hill Street. salah seorang diantaranya, Harman, adalah seniman yang pernah berhubungan denganku waktu aku membantu project kolaborasi seniman Singapura dan Indonesia hampir tiga tahun yang lalu.
aku dan Harman belum pernah bertemu muka. kami janjian lewat sms dan dia langsung bisa mengenali aku waktu aku sampai di MICA.
"call your ex" katanya membaca pin yang tersemat di tas punggungku.
"is this from Irwan Ahmett's project? Change Yourself?" tanyanya lagi
wah! senangnya ketemu dengan orang yang referensinya sama. Harman menemaniku berkeliling lalu ngopi di Ya Kun Kaya Toast, kami ngobrol tentang seniman di Jogja yang kami kenal, project kolaborasinya dengan seniman Bandung di Selasar, project baru yang sedang dia rencanakan... dan tentu saja petunjuk praktis untuk bisa sampai ke Kinokuniya di Takashimaya-Orchard dengan segera.
dengan beban pekerjaan, sebelum ke MICA aku ke Raffles dan bertemu dengan Angeline dan Sally di Artfolio Artspace. meeting yang disambung dengan makan siang di restoran China-Thailand bernama Shanghai yang masakannya enak banget. didepan restoran itu, ada toko interior bernama Cream, yang memajang lukisan Hanafi. aku merasa pulang ke rumah. feels like home banget deh, dikelilingi lukisan karya seniman Indonesia:D
sayangnya aku nggak sempat ke Esplanade. padahal kilau bangunan yang atapnya seperti durian itu seperti memanggil-manggil dari kejauhan. aku simpan Esplanade untuk kunjunganku berikutnya.
Waktunya Jadi Turis
kalo aku jadi turis, kemana aku pergi?
pertama, ke Night Safari. sejak pertama kali baca brosurnya, aku udah terpikat. betapa menyenangkan mengunjungi kebun binatang dimalam hari, rasanya lebih menegangkan dan bikin penasaran. yang lebih menggoda lagi adalah karena binatang-binatangnya dilepas dialam terbuka, dan tidak seperti Taman Safari di Indonesia, tram yang membawa para pengunjung berkeliling sama sekali nggak berjendela. antara binatang dan manusia, hanya dipisahkan oleh psychological borders. dan ya, Night Safari benar-benar menyenangkan. harga tiketnya yang minta ampun mahalnya (S$ 45) setara dengan hal-hal menarik yang aku dapatkan.
satu hal lagi yang aku perhatikan adalah, kepandaian mereka untuk mencari dan mengolah dana. beberapa binatang dilabeli telah diadopsi oleh sejumlah perusahaan, misalnya These tigers are adopted by Tiger Balm. cerdas!
kedua, ke toko buku.
kadang-kadang kupikir surga itu pastinya penuh buku, dan sekali kamu menginginkan satu buku, maka buku itu akan ada di tanganmu. dan kamu bisa membacanya dengan senang hati. oh, aku nggak akan bisa lupa betapa menyenangkan rasanya bisa kesasar diantara rak-rak yang tinggi dan sarat dengan buku di Popular@Bras Basah Road, Kinokuniya@Takashimaya dan Borders!
di Borders, boleh baca buku apa aja dari pagi sampai malam. boleh dengerin CD juga sepuas-puasnya. dikasih sofa pula biar makin betah. nah, satu yang paling ajaib adalah, harga bukunya lebih murah daripada di QB atau Periplus. kok bisa yah? aku terheran-heran sendiri sambil tetap kegirangan.
aku beli Walden-nya Thoreau, Close Range:Brokeback Mountain-nya Annie Proulx, The Known World-nya Edward P. Jones dan The God of Small Things-nya Arundhati Roy. sampe sekarang aku masih bisa merasakan betapa ringan hatiku waktu keluar dari toko-toko buku itu.
ketiga, Orchard Road. ini adalah jalan yang wajib didatangi di Singapura. aku nggak tertarik untuk belanja sebenarnya. tidak untuk baju, atau sepatu, atau kosmetik. walaupun harus kuakui, aku sempat berbinar-binar melihat toko Shanghai Tang, tapi langsung mundur teratur waktu tau jas flannel hijau gelap yang kutaksir harganya S$559. setelah itu, aku lebih menikmati hiasan-hiasan natal yang dipasang disegala penjuru Orchard. dimalam hari, jalan ini seperti bertabur glitter berwarna warni. di siang hari, ia terlihat semarak. seperti akan ada pesta besar yang hendak digelar disini. Orchard sudah berdandan, dan ia cantik sekali.
Warisan Sejarah dan Kebudayaan
tempatku tinggal di Miramar Hotel, Havelock Road kamar 1620 letaknya nggak jauh dari Chinatown. Chinatownini adalah salah satu wilayah konservasi dibawah pengawasan Singapore National Heritage Board. ini memungkinkanku melihat sejumlah tempat yang dirawat dan dilestarikan sebagai kekayaan budaya Singapura.
sebelum menelusuri sudut-sudut Chinatown, aku pergi ke Singapore Art Museum. disana sedang ada pameran lukisan Gao Xingjian, seorang penulis Cina yang mendapatkan Nobel Sastra pada tahun 2000. karya-karyanya dipajang di dua lantai di salah satu sayap Singapore Art Museum. judul pamerannya Gao Xingjian Experience. ruang pamernya berlantai kayu dan karyanya semua hitam puitih. aku seperti tersedot dan dilingkupi keteduhan yang dipancarkan oleh karya-karya itu. mereka seperti sedang berusaha menciptakan keheningan yang abadi di ruangan itu. kadang-kadang karyanya bersenandung lirih, kadang seperti merintih, tapi semuanya dilakukan dengan pelan-pelan, nyaris tanpa suara. sejuk, tenang dan teduh...
yang paling mengharukan adalah menemukan karya-karya seniman Indonesia dalam kondisi luar biasa baik dalam Art Of Our Time. mulai dari Raden Saleh, sampai Widayat. Gerakan Seni Rupa Baru diwakili replika 'Ken Dedes' karya Jim Supangkat, sampai karya Agung Kurniawan. semuanya terawat, dan yang lebih mengagumkan, ini adalah karya-karya dari seri yang sangat kuat secara konsep dan mungkin tidak dikenal di pasaran. tidak pernah pula kulihat beredar balai lelang. hampir menetes air mataku menyadari bahwa orang-orang di negara lain lebih tau bagaimana merawat dan menjaga kekayaan seni rupa Indonesia.
mengawali penjelajahan budayaku di Chinatown, aku pergi ke Chinatown Heritage Centre. bangunannya adalah ruko yang terletak ditengah-tengah Pagoda Street yang sibuk. siapapun yang pergi ke Singapore, aku sarankan pergi kesini. menarik sekali. bangunan ini menunjukkan padaku bagaimana para imigran dari Cina berjuang hidup, mulai dari perjalanan yang penuh bahaya, kerja keras yang nyaris tiada akhir dan ancaman the four evils yang selalu membayangi hidup mereka. semua hal dalam museum ini adalah bukti kerja keras mereka. banyak diantaranya perempuan.
salah satu yang bikin aku geleng-geleng kepala adalah kesaksian seorang pembantu rumah tangga (majie) tentang caranya menjaga kesehatan...
"setiap kali aku merasa sakit, aku akan ambil seekor kecoak yang lagi berkeliaran. aku bersihkan, lalu aku telan dengan teh cina. setelah itu aku pergi tidur. biasanya keesokan harinya aku udah lebih segar"
aku juga pergi ke Sri Mariamman Temple, sebuah kuil India di South Bridge Road, dan Kelenteng Thian Hock Keng yang dulunya jadi tujuan pertama para imigran yang baru saja merapat di Telok Ayer, untuk mengucapkan terima kasih dan bersyukur pada Tuhan karena sudah sampai ke Si Lat Po dengan selamat. aku juga jalan-jalan di sekitar Club Street, tempat expatriat yang tinggal di Chinatown, dan Amoy Street, yang katanya dulu dikenal sebagai lokalisasi. aku jadi ingat kata Amoy dipakai untuk menyebut gadis-gadis muda keturunan Tionghoa di Pontianak. padahal aslinya itu adalah sebutan dalam bahasa Inggris untuk Xiamen, pelabuhan di propinsi Fujian. didekat tempat ini, tepatnya sebelum Mosque Street, juga ada Masjid Jamae Chulia, yang cantik dan berwarna hijau.
akhirnya, aku harus pulang dan mengakhiri petualanganku, dengan kaki yang pegal-pegal luar biasa dan badan letih akibat berjalan kaki kemana-mana di siang hari sementara malamnya aku nggak begitu bisa tidur.
sebelum aku akhiri, aku mau mengucapkan terima kasih buat Peter, penjaga toko HP di People's Park Centre yang bantuin aku banget dengan HP dan SIM card baruku, buat Dani dan Diana dari SIA Stopover Holiday, buat concierge di Miramar Hotel yang selalu aku mintain tolong, dan buat door-man di Raffles untuk semua bantuannya padaku.
On Signing System
walopun pertama kali pergi, aku berangkat sendiri. diatas pesawat, rasanya aku sedang memulai perjalanan menjelajah a la Pramuka. "jangan lupa bawa peta!" begitu pesan pak Koman padaku sebelum aku berangkat. sebetulnya aku agak ragu karena aku ini payah dalam memahami arah. dan bawa-bawa peta itu bikin aku jadi turis banget! susahnya, aku nggak bisa bayangkan daerah yang akan aku jelajahi dengan peta itu seperti apa, seluas apa?
belum lagi kedatanganku ini sarat dengan pekerjaan. bawa-bawa karya pula. makanya perjalanan ini bener-bener seperti bertualangnya Lima Sekawan. atau Sapta Siaga. bedanya aku sendiri.
kalo biasanya di kota manapun aku pergi aku bertemu dan diantar-antar oleh teman, disini teman karibku adalah signing system. Singapura yang serba teratur, dilengkapi dengan berbagai tanda yang mudah dibaca dan dipahami. sayangnya, aku ini masih belum terbiasa dengan tanda-tanda seperti itu. jadi ya tetep aja aku nyasar-nyasar. kalo nggak karena kelewatan baca tanda, nyasar karena nanya sama orang yang salah. *ahahaha*
dimanapun, apapun apapun ada tandanya. dengan menemukan dan membaca tanda yang diperlukan, dijamin seluruh area akan dipahami dengan baik. Changi yang gedenya minta ampun jadi nggak seberapa menakutkan. mengikuti ban berjalan sampai hall luas dengan antrian di depan petugas imigrasi. setelah semua urusan kartu kedatangan, periksa paspor dan lain sebagainya beres, aku mengambil barang di belt yang ditunjukkan oleh monitor TV, sesudahnya menemukan counter SIA Stopover Holiday dan menunggu driver untuk hotel transfer.
setelah pengalaman pertama dengan signing system di Changi, aku jadi lebih pede menelusuri setiap tempat yang harus aku datangi di Singapura dengan jalan kaki dan naik kereta. maka bekalku berkeliling dan menyelesaikan tugasku di Singapura adalah kunci kamar hotel, paspor, peta, uang pecahan S$ 2 (untuk naik MRT), air mineral dan HP. semuanya masuk dalam tas tanganku, atau dalam backpack.
Toilet-Toilet-Toilet
selain keteraturan yang serba thoughtful itu, aku juga sangat menikmati toilet bersih yang ada kemanapun aku pergi. secara aku ini beser, jadi sebentar-sebentar perlu kamar mandi. maka berbahagialah hatiku karena toiletnya kering, bersih dan wangi. kerannya nggak ada yang rusak dan beberapa bahkan nyentor air secara otomatis, tanpa harus ditekan tombol atau handle penyiram airnya.
aku jadi kenal toilet di Changi, di People's Park Centre, Chinatown, di stasiun MRT Chinatown, Dhoby Ghaut, City Hall dan Orchard, di Singapore Art Museum, di Takashimaya, di Night Safari dan di Chinatown Heritage Centre. hihihihi... kok kayaknya kerjaanku cuma ke toilet yah? anyway, itu karena aku dendam sama keran toilet di terminal keberangkatan di Bandara Ngurah Rai yang rusak dan airnya nyemprot sehingga aku sukses masuk pesawat dengan hampir separuh badan basah. nggak sopan!
Call Your Ex
di Singapura aku mendatangi pameran Angkatan Pelukis Aneka Daya (Association of Artists of Various Resources-APAD), yaitu persatuan seniman muda Melayu-Singapura. pamerannya diadakan di ARTrium@MICA Building di Hill Street. salah seorang diantaranya, Harman, adalah seniman yang pernah berhubungan denganku waktu aku membantu project kolaborasi seniman Singapura dan Indonesia hampir tiga tahun yang lalu.
aku dan Harman belum pernah bertemu muka. kami janjian lewat sms dan dia langsung bisa mengenali aku waktu aku sampai di MICA.
"call your ex" katanya membaca pin yang tersemat di tas punggungku.
"is this from Irwan Ahmett's project? Change Yourself?" tanyanya lagi
wah! senangnya ketemu dengan orang yang referensinya sama. Harman menemaniku berkeliling lalu ngopi di Ya Kun Kaya Toast, kami ngobrol tentang seniman di Jogja yang kami kenal, project kolaborasinya dengan seniman Bandung di Selasar, project baru yang sedang dia rencanakan... dan tentu saja petunjuk praktis untuk bisa sampai ke Kinokuniya di Takashimaya-Orchard dengan segera.
dengan beban pekerjaan, sebelum ke MICA aku ke Raffles dan bertemu dengan Angeline dan Sally di Artfolio Artspace. meeting yang disambung dengan makan siang di restoran China-Thailand bernama Shanghai yang masakannya enak banget. didepan restoran itu, ada toko interior bernama Cream, yang memajang lukisan Hanafi. aku merasa pulang ke rumah. feels like home banget deh, dikelilingi lukisan karya seniman Indonesia:D
sayangnya aku nggak sempat ke Esplanade. padahal kilau bangunan yang atapnya seperti durian itu seperti memanggil-manggil dari kejauhan. aku simpan Esplanade untuk kunjunganku berikutnya.
Waktunya Jadi Turis
kalo aku jadi turis, kemana aku pergi?
pertama, ke Night Safari. sejak pertama kali baca brosurnya, aku udah terpikat. betapa menyenangkan mengunjungi kebun binatang dimalam hari, rasanya lebih menegangkan dan bikin penasaran. yang lebih menggoda lagi adalah karena binatang-binatangnya dilepas dialam terbuka, dan tidak seperti Taman Safari di Indonesia, tram yang membawa para pengunjung berkeliling sama sekali nggak berjendela. antara binatang dan manusia, hanya dipisahkan oleh psychological borders. dan ya, Night Safari benar-benar menyenangkan. harga tiketnya yang minta ampun mahalnya (S$ 45) setara dengan hal-hal menarik yang aku dapatkan.
satu hal lagi yang aku perhatikan adalah, kepandaian mereka untuk mencari dan mengolah dana. beberapa binatang dilabeli telah diadopsi oleh sejumlah perusahaan, misalnya These tigers are adopted by Tiger Balm. cerdas!
kedua, ke toko buku.
kadang-kadang kupikir surga itu pastinya penuh buku, dan sekali kamu menginginkan satu buku, maka buku itu akan ada di tanganmu. dan kamu bisa membacanya dengan senang hati. oh, aku nggak akan bisa lupa betapa menyenangkan rasanya bisa kesasar diantara rak-rak yang tinggi dan sarat dengan buku di Popular@Bras Basah Road, Kinokuniya@Takashimaya dan Borders!
di Borders, boleh baca buku apa aja dari pagi sampai malam. boleh dengerin CD juga sepuas-puasnya. dikasih sofa pula biar makin betah. nah, satu yang paling ajaib adalah, harga bukunya lebih murah daripada di QB atau Periplus. kok bisa yah? aku terheran-heran sendiri sambil tetap kegirangan.
aku beli Walden-nya Thoreau, Close Range:Brokeback Mountain-nya Annie Proulx, The Known World-nya Edward P. Jones dan The God of Small Things-nya Arundhati Roy. sampe sekarang aku masih bisa merasakan betapa ringan hatiku waktu keluar dari toko-toko buku itu.
ketiga, Orchard Road. ini adalah jalan yang wajib didatangi di Singapura. aku nggak tertarik untuk belanja sebenarnya. tidak untuk baju, atau sepatu, atau kosmetik. walaupun harus kuakui, aku sempat berbinar-binar melihat toko Shanghai Tang, tapi langsung mundur teratur waktu tau jas flannel hijau gelap yang kutaksir harganya S$559. setelah itu, aku lebih menikmati hiasan-hiasan natal yang dipasang disegala penjuru Orchard. dimalam hari, jalan ini seperti bertabur glitter berwarna warni. di siang hari, ia terlihat semarak. seperti akan ada pesta besar yang hendak digelar disini. Orchard sudah berdandan, dan ia cantik sekali.
Warisan Sejarah dan Kebudayaan
tempatku tinggal di Miramar Hotel, Havelock Road kamar 1620 letaknya nggak jauh dari Chinatown. Chinatownini adalah salah satu wilayah konservasi dibawah pengawasan Singapore National Heritage Board. ini memungkinkanku melihat sejumlah tempat yang dirawat dan dilestarikan sebagai kekayaan budaya Singapura.
sebelum menelusuri sudut-sudut Chinatown, aku pergi ke Singapore Art Museum. disana sedang ada pameran lukisan Gao Xingjian, seorang penulis Cina yang mendapatkan Nobel Sastra pada tahun 2000. karya-karyanya dipajang di dua lantai di salah satu sayap Singapore Art Museum. judul pamerannya Gao Xingjian Experience. ruang pamernya berlantai kayu dan karyanya semua hitam puitih. aku seperti tersedot dan dilingkupi keteduhan yang dipancarkan oleh karya-karya itu. mereka seperti sedang berusaha menciptakan keheningan yang abadi di ruangan itu. kadang-kadang karyanya bersenandung lirih, kadang seperti merintih, tapi semuanya dilakukan dengan pelan-pelan, nyaris tanpa suara. sejuk, tenang dan teduh...
yang paling mengharukan adalah menemukan karya-karya seniman Indonesia dalam kondisi luar biasa baik dalam Art Of Our Time. mulai dari Raden Saleh, sampai Widayat. Gerakan Seni Rupa Baru diwakili replika 'Ken Dedes' karya Jim Supangkat, sampai karya Agung Kurniawan. semuanya terawat, dan yang lebih mengagumkan, ini adalah karya-karya dari seri yang sangat kuat secara konsep dan mungkin tidak dikenal di pasaran. tidak pernah pula kulihat beredar balai lelang. hampir menetes air mataku menyadari bahwa orang-orang di negara lain lebih tau bagaimana merawat dan menjaga kekayaan seni rupa Indonesia.
mengawali penjelajahan budayaku di Chinatown, aku pergi ke Chinatown Heritage Centre. bangunannya adalah ruko yang terletak ditengah-tengah Pagoda Street yang sibuk. siapapun yang pergi ke Singapore, aku sarankan pergi kesini. menarik sekali. bangunan ini menunjukkan padaku bagaimana para imigran dari Cina berjuang hidup, mulai dari perjalanan yang penuh bahaya, kerja keras yang nyaris tiada akhir dan ancaman the four evils yang selalu membayangi hidup mereka. semua hal dalam museum ini adalah bukti kerja keras mereka. banyak diantaranya perempuan.
salah satu yang bikin aku geleng-geleng kepala adalah kesaksian seorang pembantu rumah tangga (majie) tentang caranya menjaga kesehatan...
"setiap kali aku merasa sakit, aku akan ambil seekor kecoak yang lagi berkeliaran. aku bersihkan, lalu aku telan dengan teh cina. setelah itu aku pergi tidur. biasanya keesokan harinya aku udah lebih segar"
aku juga pergi ke Sri Mariamman Temple, sebuah kuil India di South Bridge Road, dan Kelenteng Thian Hock Keng yang dulunya jadi tujuan pertama para imigran yang baru saja merapat di Telok Ayer, untuk mengucapkan terima kasih dan bersyukur pada Tuhan karena sudah sampai ke Si Lat Po dengan selamat. aku juga jalan-jalan di sekitar Club Street, tempat expatriat yang tinggal di Chinatown, dan Amoy Street, yang katanya dulu dikenal sebagai lokalisasi. aku jadi ingat kata Amoy dipakai untuk menyebut gadis-gadis muda keturunan Tionghoa di Pontianak. padahal aslinya itu adalah sebutan dalam bahasa Inggris untuk Xiamen, pelabuhan di propinsi Fujian. didekat tempat ini, tepatnya sebelum Mosque Street, juga ada Masjid Jamae Chulia, yang cantik dan berwarna hijau.
akhirnya, aku harus pulang dan mengakhiri petualanganku, dengan kaki yang pegal-pegal luar biasa dan badan letih akibat berjalan kaki kemana-mana di siang hari sementara malamnya aku nggak begitu bisa tidur.
sebelum aku akhiri, aku mau mengucapkan terima kasih buat Peter, penjaga toko HP di People's Park Centre yang bantuin aku banget dengan HP dan SIM card baruku, buat Dani dan Diana dari SIA Stopover Holiday, buat concierge di Miramar Hotel yang selalu aku mintain tolong, dan buat door-man di Raffles untuk semua bantuannya padaku.
Monday, December 12, 2005
epilogue
you may never read this. and we may never see each other again. not after what had happened. but still, I feel an urgency to speak up.
yes, I don't feel comfortable to know that she doesn't know that I was in the town. it made me feel uneasy and awkward as she's also keeping in touch with me. both of you, more than any other business partner that I have, are having better appreciation of what I'm doing. I never have a glimpse of thought that something like this may occured. it is an honor to have this opportunity. and whatever I say can never enough to express my gratitude for your generosity. and beacuse of that, I prefer to limit this relationship in professional context, for the sake of fine arts.
I've told you that I'm dating out someone seriously. and the last thing that I would do is hurting him and make him disappointed, even if he never find it out. I always respect you and I hope that you will understand and respect me too.
yes, I don't feel comfortable to know that she doesn't know that I was in the town. it made me feel uneasy and awkward as she's also keeping in touch with me. both of you, more than any other business partner that I have, are having better appreciation of what I'm doing. I never have a glimpse of thought that something like this may occured. it is an honor to have this opportunity. and whatever I say can never enough to express my gratitude for your generosity. and beacuse of that, I prefer to limit this relationship in professional context, for the sake of fine arts.
I've told you that I'm dating out someone seriously. and the last thing that I would do is hurting him and make him disappointed, even if he never find it out. I always respect you and I hope that you will understand and respect me too.
Subscribe to:
Posts (Atom)
duka yang menyusun sendiri petualangannya
rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...
-
meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca bu...
-
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk ...