pesawatnya mendarat pada jam 20.25. bergegas ia menuruni tangga pesawat, lalu pergi ke bagian kedatangan. sepanjang perjalanan dari Singapura, duduknya gelisah. dia tau, dia ditunggu.
sopir menyambutnya di pintu kedatangan. istri, anak-anak dan barang mereka akan pergi bersama sopir yang lain. mereka akan tiba dengan pesawat berikutnya, 15 menit dari sekarang. dia harus sampai di Peliatan lebih dulu. dia tau, dia ditunggu.
di dalam mobil, Pak Tut Subrata sudah mempersiapkan pakaian yang harus dikenakannya; kemeja putih lengan pendek, kain batik motif Sidomukti dengan isen Truntum, kain poleng untuk bagian luar, selendang berwarna oranye pucat dan udeng batik. ia berganti pakaian di dalam mobil. jari-jarinya yang panjang dan pipih sebentar-sebentar ditangkupkan lalu diurai lagi. berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya sementara mobil melaju kencang. dia tau, dia ditunggu.
waktu Mbak Ayu meneleponnya sore tadi, dan menyampaikan bahwa keluarga berkeputusan menunggunya datang sebelum pemakaman, dia bertanya dengan sedih, "kenapa harus menunggu saya?" tapi dia tidak mendebat karena sudah tau jawabnya. waktu mendengar beritanya, dia memutuskan untuk pulang, walau harus go show dan merubah seluruh rencana. lebih dari orang lain, dia tau bahwa si mati ingin mengucapkan selamat tinggal, pada orang yang selalu dihormatinya. orang yang memberikan naungan dan penghidupan padanya. Pak Koman tau, dia ditunggu.
Putu Desi duduk dibawah jendela dengan tatapan kosong. semangat hidup telah disedot habis dari tubuhnya. ia tidak bicara, kelenjar air matanya sudah hampir kering. di sebelahnya, Ayunda berceloteh riang seperti layaknya anak berusia dua tahun. menunjuk capung yang terbang diluar jendela, burung yang bersahutan di dahan pohon, lalu tiba-tiba menanyakan ayahnya. setiap kali seseorang mendekatinya, Putu Desi menangis. dan setiap kali pula, Ayunda ikut menangis. kami yang menyaksikan fragmen itu, mau tak mau menyusut air mata dengan hati hancur berkeping.
aku masih ingat adegan yang kusaksikan di ruang ICU rumah sakit Sanglah sore hari sebelumnya. dia terbaring tak sadarkan diri dengan berbagai selang dan alat-alat berseliweran. infus, selang transfusi darah, alat bantu pernafasan, kateter, alat pengukur tensi, monitor jantung...dia sudah seperti manusia mutant dengan tubuh membengkak. dalam setiap helaan nafas, darah mengalir dari lubang hidung dan mulutnya. darah segar berwarna merah.
sekilas kulihat tangannya bergerak. lalu kubaca apa yang bisa kucerna dari laporan medis di meja bundar didekat tempat tidurnya. semua bernada negatif. pendarahan, kritis, koma, fungsi organ negatif, fighting...fighting...fighting. aku berusaha keras mengusir firasat, bayangan buruk yang menghantui sejak beberapa hari yang lalu.
Pande Wayan Supiarta, salah satu sopir di Komaneka, meninggal dunia pada pukul 11.30, hari Rabu, tanggal 10 Mei 2006, setelah tujuh hari berjuang melawan demam berdarah. Ande, demikian kami memanggilnya- adalah sopir yang tak pernah lalai menjalankan tugas, paling rajin, penurut dan sabar luar biasa. seperti Jim Morrison dan orang-orang istimewa lainnya, Pande baru berusia 27 tahun waktu menghembuskan nafas terakhirnya. kenapa harus Pande?
ratusan orang berkumpul sejak siang. tetangga dan saudara di banjar mungkin sudah berkumpul sejak pagi. waktu aku sampai di Peliatan jam tiga sore itu, puluhan orang datang silih berganti. semuanya berduka, dengan mata bengkak dan hidung memerah. bergantian, mendekati jenasah yang tirainya dibuka supaya pelayat bisa memberikan penghormatan terakhir. kepalaku pening, air mata meleleh tak terasa sejak berita itu disampaikan. membanjir waktu aku harus menulis email pada Kambayashi-san, tamu terakhir Pande sebelum masuk rumah sakit. Kambayashi akan datang lagi bulan Juli, dan dia pasti akan mencarinya. aku harus memberitahu mereka. this... is a very difficult email to write, tulisku.
requiem itu begitu menyayat. aku mendengar nyanyian kematiannya saat upacara memandikan jenasah. ditambah dengan denting lonceng yang dibunyikan oleh pendeta, desahan sedih dan tarikan nafas panjang... suasana begitu haru. lalu orang-orang menyalakan dupa dan bersembahyang. tirta diteteskan. ini adalah kematian kedua karena demam berdarah yang kusaksikan. enambelas tahun yang lalu, teman kecilku, sahabatku disebelah rumah, juga dibawanya pergi. demam berdarah yang mengajarkan padaku arti kata 'mati' saat aku berusia 10 tahun.
Pak Koman sampai di banjar Pande beberapa saat sebelum pukul 22. aku tak pernah melihatnya dengan ekspresi sekeras itu. seperti kami semuanya, ia berduka. tapi lebih dari yang lain, ia terluka dan kehilangan. orang yang dipercaya dan disayanginya. yang nyaris selalu mendampinginya kemana-mana. ia langsung mendekati jenasah, disaksikan semua pelayat. hanya ayah dan ibu Pande yang mendekatinya. ia merangkul bahu mereka, berbicara pelan dengan mata sendu. sementara orang-orang mulai mengambil perlengkapan upacara. keranda dikeluarkan, lalu jenasah dibawa keluar. ada yang menyesak di dadaku waktu Pak Koman ikut mengangkat jenasah. kesedihan itu, tidak ada kata yang tepat untuk menyatakannya.
kami berjalan kaki ke Pura Dalam Puri untuk pemakaman. lubang sudah dipersiapkan dan semuanya berlangsung dengan cepat. sampai waktunya untuk Ngaben nanti, Pande akan tidur disini. dalam lubang sempit, di kuburan tanpa nisan. tanpa nama. Putu Desi menangis waktu aku memeluknya sebelum pulang. aku bisa merasakan tubuhnya yang kurus, dengan tulang-tulang yang menekan, bergetar dalam pelukanku. wajahnya terbenam di lekuk bahuku, air matanya membasahi atasan hitamku.
Mbakyu, sebutan yang diberikannya untukku, sudah tidak akan terdengar lagi.
sopir menyambutnya di pintu kedatangan. istri, anak-anak dan barang mereka akan pergi bersama sopir yang lain. mereka akan tiba dengan pesawat berikutnya, 15 menit dari sekarang. dia harus sampai di Peliatan lebih dulu. dia tau, dia ditunggu.
di dalam mobil, Pak Tut Subrata sudah mempersiapkan pakaian yang harus dikenakannya; kemeja putih lengan pendek, kain batik motif Sidomukti dengan isen Truntum, kain poleng untuk bagian luar, selendang berwarna oranye pucat dan udeng batik. ia berganti pakaian di dalam mobil. jari-jarinya yang panjang dan pipih sebentar-sebentar ditangkupkan lalu diurai lagi. berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya sementara mobil melaju kencang. dia tau, dia ditunggu.
waktu Mbak Ayu meneleponnya sore tadi, dan menyampaikan bahwa keluarga berkeputusan menunggunya datang sebelum pemakaman, dia bertanya dengan sedih, "kenapa harus menunggu saya?" tapi dia tidak mendebat karena sudah tau jawabnya. waktu mendengar beritanya, dia memutuskan untuk pulang, walau harus go show dan merubah seluruh rencana. lebih dari orang lain, dia tau bahwa si mati ingin mengucapkan selamat tinggal, pada orang yang selalu dihormatinya. orang yang memberikan naungan dan penghidupan padanya. Pak Koman tau, dia ditunggu.
Putu Desi duduk dibawah jendela dengan tatapan kosong. semangat hidup telah disedot habis dari tubuhnya. ia tidak bicara, kelenjar air matanya sudah hampir kering. di sebelahnya, Ayunda berceloteh riang seperti layaknya anak berusia dua tahun. menunjuk capung yang terbang diluar jendela, burung yang bersahutan di dahan pohon, lalu tiba-tiba menanyakan ayahnya. setiap kali seseorang mendekatinya, Putu Desi menangis. dan setiap kali pula, Ayunda ikut menangis. kami yang menyaksikan fragmen itu, mau tak mau menyusut air mata dengan hati hancur berkeping.
aku masih ingat adegan yang kusaksikan di ruang ICU rumah sakit Sanglah sore hari sebelumnya. dia terbaring tak sadarkan diri dengan berbagai selang dan alat-alat berseliweran. infus, selang transfusi darah, alat bantu pernafasan, kateter, alat pengukur tensi, monitor jantung...dia sudah seperti manusia mutant dengan tubuh membengkak. dalam setiap helaan nafas, darah mengalir dari lubang hidung dan mulutnya. darah segar berwarna merah.
sekilas kulihat tangannya bergerak. lalu kubaca apa yang bisa kucerna dari laporan medis di meja bundar didekat tempat tidurnya. semua bernada negatif. pendarahan, kritis, koma, fungsi organ negatif, fighting...fighting...fighting. aku berusaha keras mengusir firasat, bayangan buruk yang menghantui sejak beberapa hari yang lalu.
Pande Wayan Supiarta, salah satu sopir di Komaneka, meninggal dunia pada pukul 11.30, hari Rabu, tanggal 10 Mei 2006, setelah tujuh hari berjuang melawan demam berdarah. Ande, demikian kami memanggilnya- adalah sopir yang tak pernah lalai menjalankan tugas, paling rajin, penurut dan sabar luar biasa. seperti Jim Morrison dan orang-orang istimewa lainnya, Pande baru berusia 27 tahun waktu menghembuskan nafas terakhirnya. kenapa harus Pande?
ratusan orang berkumpul sejak siang. tetangga dan saudara di banjar mungkin sudah berkumpul sejak pagi. waktu aku sampai di Peliatan jam tiga sore itu, puluhan orang datang silih berganti. semuanya berduka, dengan mata bengkak dan hidung memerah. bergantian, mendekati jenasah yang tirainya dibuka supaya pelayat bisa memberikan penghormatan terakhir. kepalaku pening, air mata meleleh tak terasa sejak berita itu disampaikan. membanjir waktu aku harus menulis email pada Kambayashi-san, tamu terakhir Pande sebelum masuk rumah sakit. Kambayashi akan datang lagi bulan Juli, dan dia pasti akan mencarinya. aku harus memberitahu mereka. this... is a very difficult email to write, tulisku.
requiem itu begitu menyayat. aku mendengar nyanyian kematiannya saat upacara memandikan jenasah. ditambah dengan denting lonceng yang dibunyikan oleh pendeta, desahan sedih dan tarikan nafas panjang... suasana begitu haru. lalu orang-orang menyalakan dupa dan bersembahyang. tirta diteteskan. ini adalah kematian kedua karena demam berdarah yang kusaksikan. enambelas tahun yang lalu, teman kecilku, sahabatku disebelah rumah, juga dibawanya pergi. demam berdarah yang mengajarkan padaku arti kata 'mati' saat aku berusia 10 tahun.
Pak Koman sampai di banjar Pande beberapa saat sebelum pukul 22. aku tak pernah melihatnya dengan ekspresi sekeras itu. seperti kami semuanya, ia berduka. tapi lebih dari yang lain, ia terluka dan kehilangan. orang yang dipercaya dan disayanginya. yang nyaris selalu mendampinginya kemana-mana. ia langsung mendekati jenasah, disaksikan semua pelayat. hanya ayah dan ibu Pande yang mendekatinya. ia merangkul bahu mereka, berbicara pelan dengan mata sendu. sementara orang-orang mulai mengambil perlengkapan upacara. keranda dikeluarkan, lalu jenasah dibawa keluar. ada yang menyesak di dadaku waktu Pak Koman ikut mengangkat jenasah. kesedihan itu, tidak ada kata yang tepat untuk menyatakannya.
kami berjalan kaki ke Pura Dalam Puri untuk pemakaman. lubang sudah dipersiapkan dan semuanya berlangsung dengan cepat. sampai waktunya untuk Ngaben nanti, Pande akan tidur disini. dalam lubang sempit, di kuburan tanpa nisan. tanpa nama. Putu Desi menangis waktu aku memeluknya sebelum pulang. aku bisa merasakan tubuhnya yang kurus, dengan tulang-tulang yang menekan, bergetar dalam pelukanku. wajahnya terbenam di lekuk bahuku, air matanya membasahi atasan hitamku.
Mbakyu, sebutan yang diberikannya untukku, sudah tidak akan terdengar lagi.