ini Galungan -ku yang ke-empat. Galungan pertamaku on the spot terjadi bulan Agustus, waktu aku belum tinggal di Bali, tapi sedang membantu menyiapkan pembukaan pameran tunggal Suklu. saat itu, di Batubulan, aku kebingungan menemukan semua tempat tutup, semua rumah berhias penjor dengan padi-padian dan kue digantung, serta orang-orang berpakaian adat lalu lalang tanpa kupahami apa yang terjadi. Galungan keduaku di bulan Maret tahun berikutnya, aku lalui dari satu pura ke pura yang lain. Pura Banjar Teruna, Pura Desa Peliatan, Pura di daerah Pejeng, sampai dua Pura di kawasan Nusa Dua. hari itu aku menemani Munehide Ida hunting foto upacara. dan untuk pertama kalinya aku melihat Rangda, tokoh ibu, penyihir hitam yang jahat, bersuara serak melengking dan beraura mistis dalam epik Calon Arang.
Galungan ketiga bertepatan dengan awal puasa. saat aku terjebak tanpa pilihan untuk bisa sahur dan buka hanya dengan nasi padang. lain tidak, karena aku nggak mau makan Indomie waktu puasa. mie instant gitu loh... kesannya merana banget. udahlah puasa sendiri, jauh dari keluarga dan sanak saudara... aduh, jadi mellow lagi karena mengingatnya.
kali ini, ada dua pilihan yang diberikan padaku untuk ikut serta dalam suasana Galungan yang meriah seperti Lebaran di kampung-kampung di seluruh penjuru Indonesia. aku bisa ikut ke Pura Dalam Puri dan menyaksikan semua keramaian disana bersama beberapa tamu Komaneka yang juga ingin melihatnya. kalau ikut, aku akan bisa masuk sampai ke bagian dalam yang aksesnya terbatas, karena yang memba kami adalah salah satu pengurus pura.
atau, aku bisa juga pergi ke Tampaksiring, sebuah keluarga pengrajin yang bekerja pada Onet mengundang kami semua; termasuk aku dan Nelly untuk datang ke desanya hari ini. wah...wah... aku harus atur jadual supaya yang ngajakin nggak pada kecewa.
Galungan sendiri adalah salah satu bukti kaitan erat antara kebudayaan di Bali dengan Jawa. berbeda dengan Nyepi yang perhitungannya didasarkan pada tahun Saka yang diimpor dari India, Galungan yang terjadi menuruti siklus 210 hari, dihitung berdasarkan Pawukon yang berasal dari masa Majapahit. aku menyebutnya siklus karena penanda waktu ini tidak disertai dengan angka tahun. Pawukon berawal dan berakhir di tempat yang sama, tidak bertambah, tidak berkurang. melayang diantara tahun Masehi, Hijriyah, Saka, dan tahun lainnya. perhitungan Pawukon ditandai dengan Wuku atau nama pekan (aku sengaja tidak menggunakan kata 'minggu' untuk tidak mengacaukannya dengan hari Minggu) , yang kesemuanya berjumlah 30 buah. Pawukon adalah siklus agraris, yang didasarkan pada musim tanam. Galungan dalam hal ini dimaksudkan sebagai pesta panen, merayakan keberhasilan musim tanam yang baru saja berakhir dan berdoa untuk musim tanam berikutnya. relief tentang mitos-mitos seputar Pawukon diantaranya dapat ditemui di Candi Sukuh. Galungan terjadi pada Wuku Dunggulan.
dan aku lahir di Wuku Watugunung
"...kamu bicara seolah kata-katamu tercetak dalam sebuah buku.." demikian seorang teman berkata. suatu hari. disini, serpih-serpih hari kukumpulkan, dalam tulisan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
duka yang menyusun sendiri petualangannya
rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...
-
meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca bu...
-
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk ...
1 comment:
Untuk pertama kalinya aku salah ketik url blogmu ini.. menjadi amalanda.blogspot.com (nggak pede pake fitur autocomplete). Amal anda diterima Tuhan YME.
*lagi nglembur*
Post a Comment