di Ubud rasanya aku sudah dewasa. tinggal sendiri, menghidupi diri sendiri, berusaha menyelesaikan masalah-masalahku sendiri... pernah berhasil, pernah juga gagal. bekerja dengan mengelola sebuah ruang yang kadang rumit, tapi selalu menyenangkan. dan penuh tantangan. hal-hal baru yang datang dan pergi setiap waktu. saat-saat yang senang atau sedih, gembira atau berduka, lebih banyak kualami sendiri. ada kalanya aku menampung cerita teman-teman, membantu mereka melihat masalahnya dengan cara lain. pendek kata, melakukan hal-hal yang kelihatannya dewasa.
waktu aku pulang ke Pacitan karena eyang buyut meninggal akhir minggu kemarin, kayaknya aku lupa membawa serta diriku yang dewasa. meskipun nyaris semua pertanyaan yang dilontarkan oleh saudara-bude-tante-mbak-mas-pakde-paklik-bulik-mbah adalah tentang pernikahan-mempelai pria-undangan-resepsi, tapi dimata mereka, aku yakin aku sama sekali nggak terlihat seperti dewasa. aku tidur sama mama. semalaman meringkuk di sebelahnya. sebelum subuh aku mendengar papa dan mama bercakap-cakap di dekatku. aku merasakan sedang dipeluk, dibelai-belai... lalu mama mengukur pergelangan tanganku dengan melingkarkan telunjuk dan jempolnya. mungkin mama khawatir aku kurang makan di Ubud dan bisa jadi lebih kurus kering daripada sekarang. memang sejak kedatanganku, mama sudah memasak bihun goreng yang pasti akan kutagih. memastikan aku mencoba semua lauk, makan semua jenis kue yang ada di rumah... dan bahkan menyuapiku makan. di Pacitan, aku nggak pernah dewasa. lebih nggak dewasa daripada adik laki-lakiku yang paling kecil, yang berusia 17 tahun, yang nggak dipedulikan apapun yang dilakukannya.
di Pacitan, bagaimanapun juga, ada tante, mbah, bude, pakde, mas, mbak... yang nggak hanya lebih dulu lahir, tapi juga punya legitimasi untuk membuatku jadi anak kecil. orang-orang yang masih ingat dengan jelas bagaimana tampangku waktu dilahirkan, bagaimana caraku menangis waktu lapar, apa yang kuucapkan waktu aku berusia 5 tahun, kepolosan dan kebodohan yang kulakukan saat disuruh membeli ini itu ke warung dekat rumah. apapun jabatanku di kantor, kemampuanku menganalisa dan menyelesaikan masalah, pengalamanku berhadapan dengan berbagai macam orang di berbagai tempat, keterampilan yang aku miliki... semuanya nggak akan bisa merubah keadaan. aku bukan orang dewasa di Pacitan. aku tetap anak kecil yang badannya udah besar.
waktu boleh berjalan. tapi didalam langkahnya, ada hal-hal yang tertinggal...
"...kamu bicara seolah kata-katamu tercetak dalam sebuah buku.." demikian seorang teman berkata. suatu hari. disini, serpih-serpih hari kukumpulkan, dalam tulisan
Thursday, June 22, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
duka yang menyusun sendiri petualangannya
rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...
-
meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca bu...
-
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk ...
5 comments:
*Ngbeyangin tampang Ina waktu kecil* udah di ubud lagi na? nanti jam 7 sore pahlawan double-neckmu main di arma
We will never grow up at home. So,create alter ego yg lain beda sama yg di rumah :)
bli ebo! infonya salah. main di arma 4 hari yang lalu. hari ini di opera. aku dapat info yang lebih valid dari yang bersangkutan.
hehehe...
hahaha... podo karo aku na...
di rumahku di jakarta, aku yo ngono. tapi ya cuwek mereka pikir apa...
wong aku dewekan kok neng kene...
*masih kebawa-bawa pake bahasa jawa, abis dari malang*
serba sendiri yah? swalayan yah? kesepian dong! sama! bobo yuuuuuuu..... hahaha
Post a Comment