guruku yang pertama di sekolah dasar adalah Bu Kristi. aku nggak ingat lagi siapa nama lengkapnya. yang jelas, selama satu tahun pertama di SD, beliau yang mengajarku. aku inget dulu kayaknya sepulang sekolah aku suka tinggal di dalam kelas dan ngajakin beliau ngobrol. abisnya di rumah orangtuaku jelas nggak ada, dan yang ada cuma pembantuku. dan oh, alangkah membosankan ngobrol dengan pembantu di rumah. lagian kerjaan dia banyak. palingan aku ditinggal main sendiri.
Bu Kristi memulai tahun pelajaran dengan bercerita. selama dua hari berturut-turut, ia menceritakah dua kisah. kisah yang pertama adalah kisah yang dikarangnya sendiri. tentang dua anak dari satu keluarga yang sangat bertolak belakang sifatnya. si kakak adalah anak manja yang mementingkan diri sendiri, mata duitan dan terjebak pergaulan yang tidak baik. akhirnya jadi penjahat. hari itu aku kenal yang namanya sampah masyarakat.
sementara si adik adalah anak yang terpuji, baik hati, sopan, selalu menuruti nasihat orang tua, pintar, rajin belajar dan hidupnya mulus tanpa cacat sampai dia menjadi orang yang berhasil dan kaya raya karena gemar menabung juga. yoih, deh!
pada hari kedua, ia menceritakan kisah Ramayana. aku ingat di bagian akhir cerita aku sempat merasa 'aneh' karena Sinta harus terlebih dahulu dibakar untuk menunjukkan kesetiaannya pada Rama. padahal menurutku, kesakitan Sinta tak kalah parahnya dengan kesusahan Rama. ditawan raksasa gitu loh, bok! bentuknya aja udah bikin takut. dan ngedrop.
sepanjang yang kuingat, aku selalu suka dongeng dan cerita. seperti dongeng yang setiap malam diceritakan Mama atau Papa sebelum aku tidur, atau kisah-kisah Nabi yang dibacakan untukku, sampai aku bisa membacanya sendiri. dan juga ratusan, atau mungkin ribuan kisah yang sudah pernah kubaca seumur hidupku.
waktu blog ini dipublikasikan pada bulan Desember 2004, aku mulai berbagi kisah yang kutulis sendiri. dan ceritaku hari ini adalah cerita bernomor 300.
"...kamu bicara seolah kata-katamu tercetak dalam sebuah buku.." demikian seorang teman berkata. suatu hari. disini, serpih-serpih hari kukumpulkan, dalam tulisan
Friday, February 29, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
duka yang menyusun sendiri petualangannya
rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...
-
meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca bu...
-
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk ...
7 comments:
this is... jeng inaaaaa
*pake topeng gerard butler*
hore hore!
makan-makan™
horeeee!!!
makan-makan dobel, jeung!!
makan-makan! selamat yaaaaa... here's to three hundred more! hore!
:-D
Selamat ya, Jeng! Di postingan ke-500 nanti bakal ada kejutan nggak?
*kedip-kedip*
Banyak para kritikus cerita mengkritik berat kisah Ramayana ini. Termasuk aku sendiri tentunya.
Prabu Rama, bukanlah seorang pria yang memiliki keagungan yang seharusnya ditunjukkan oleh seorang yang mengklaim dirinya sebagai titisan Dewa Wisnu. Dia tidak memiliki cinta yang murni terhadap Dewi Shinta. Terbukti bahwa Dewi Shinta HARUS menceburkan dirinya ke dalam kobaran api untuk membuktikan kesetiaannya pada Prabu Rama.
Dilain pihak, tokoh antagonisnya, Rahwana, malah memiliki cinta sejati yang begitu tulus pada sang dewi. Ia mencintai sang dewi tanpa syarat apapun juga. Mau dia perawan, janda, atau bagaimana pun juga keadaan sang dewi. Walaupun memang dalam mendapatkan sang dewi Rahwana telah melakukan suatu keslahan besar dengan memaksakan diri dan melupakan ketentraman rakyatnya.
Tapi di luar keagungan Rama dan kejahatan Rahwana yang di lukiskan di dalam epos Ramayana tersebut, bila kita berbicara cinta yang tulus, aku memiliki kesamaan pandangan dengan beberapa kritikus yang mengatakan bahwa cinta Rahwana-lah yang lebih tulus di banding sang titisan Dewa Wisnu itu sendiri.
By the way..., Nice to read your 300th.
emang sih tampaknya cinta sejati. tapi raksasa, dan barangkali itu yang bikin valmiki memutuskan untuk menjadikan dia tokoh jahat, terlepas dari ketulusannya.
bagaimanapun juga, di dunia nyata, penampilan adalah segalanya. bukan begitu?
Post a Comment