ada apa sih di mainz?
lagunya manis tapi mengganggu
*lebih dari 10 kali dengerin lagu itu hari ini*
9.55 pm
gak ada apa. kesepian aja.
gak ada yang mau ngomong inggris.
9.57 pm
ah...jadi dari situ asalnya nada yang sedih,
menggapai-gapai tapi tak sampai itu
9.59 pm
iya. balinese loneliness.
terutama saat suling dan biola itu sautan
10.00 pm
seperti rindu. jauh dan hampa
lubang yang nggak ada dasarnya...
10.02 pm
wuih dalem banget bahasanya.
aku udah lima kali ke jerman (mainz)
feeling selalu sama
10.04 pm
kayaknya lagumu yang ngajarin aku bahasa itu tadi.
mungkin sama seperti 3 bulan pertamaku di ubud
10.10 pm
aku masih mendengarkan Mainz in My Mind dan hujan terus jatuh diluar jendelaku. tepatnya pada saat-saat seperti inilah lagu itu terdengar lebih liris. lebih masuk kedalam hati. lagu ini mengingatkanku pada alasan pertamaku membuat blog. kesepian pada tiga bulan pertamaku di Ubud, ketika ada begitu banyak yang ingin kuceritakan, tapi nggak ada teman bicara (kecuali Pak Koman dan Indra). ketika setiap kali aku menghadapi kesulitan aku harus berusaha menyelesaikannya sendiri dan sekuat tenaga nggak mau menyerah karena aku udah bertekad untuk berhasil dengan jalan yang aku pilih. makanan, bahasa, lingkungan, kondisi di tempat kerja, perbedaan pola pikir ... hal-hal yang aku simpan. sementara yang aku tulis adalah hal-hal yang baik, yang menarik, yang menyenangkan, yang positif... lebih untuk menguatkan diriku sendiri.
lalu aku juga menulis karena ada banyak teman yang bertanya bagaimana kehidupanku di Ubud. sementara aku nggak bisa menghubungi tiap orang satu demi satu dan bercerita panjang lebar. jadi aku minta mereka membaca blogku. supaya mereka juga bisa menjadi saksi hidupku. supaya mereka tau di tempat seperti apa aku tinggal. ditempat seperti apa aku bekerja, dengan orang-orang yang bagaimana. bagaimana aku menjalani hari-hariku, pengalaman apa yang aku dapat, klienku, mereka yang selalu berganti setiap hari, datang dan pergi... kadang memberikan sesuatu, kadang merenggut sesuatu dan membawanya pergi...
lalu aku menulis karena Ari bilang hidupku menarik dan pantas untuk diceritakan. dari Ubud kamu bisa merubah dunia, begitu katanya dengan agak-agak hiperbola. aku juga menulis karena Indie bilang dia suka membaca tulisan-tulisanku. yang katanya mengalir dan enak dibaca. dia terus bertanya ini itu kalau aku nggak menulis. Indie, pembaca setia blog-ku yang pertama. aku baru menyadari kalau ternyata sangat menyenangkan jika ada orang yang mengetahui apa yang kita pikirkan, lalu kemudian memberikan tanggapan. rasanya seperti sedang meletakkan sepiring makanan yang resepnya dibuat sendiri, lalu banyak yang mencicipi dan bilang enak!
*kalaupun nggak enak, jangan bilang yaaa...*
Thom, asistenku waktu aku bekerja di radio selalu mengingatkanku untuk menulis tiap kali aku bilang kalau di kepalaku ada banyak sekali yang berjejalan. kalau tiga-empat tahun yang lalu aku masih menyimpan semuanya di dalam laptop, nggak mengeluarkannya sama sekali. kini aku memasang pikiran-pikiranku disini, pertanyaanku, kegelisahan, pengalaman, kegembiraan bahkan kesedihanku.
aku berterima kasih pada siapapun dia, yang memulai weblog, yang memulai perubahan dengan memberi kesempatan pada orang-orang sepertiku, yang pengetahuan internetnya terbatas, untuk bisa mengekspresikan apa yang dipikirkannya. yang dirasakannya.
aku belum pernah bilang sama Balawan kalau sekali, waktu dia memainkan Mainz in My Mind di panggung, aku melihatnya seperti lenyap dalam alunan gitarnya. dia seperti membeku, memeluk gitar sendiri, sementara ruangan, orang yang lalu lalang, jalanan, pohon-pohon dan kota di sekitar tempatnya menjadi kelebatan bayangan yang samar. kesepian yang pernah sangat aku pahami.
"...kamu bicara seolah kata-katamu tercetak dalam sebuah buku.." demikian seorang teman berkata. suatu hari. disini, serpih-serpih hari kukumpulkan, dalam tulisan
Tuesday, March 21, 2006
Monday, March 20, 2006
the dream
I couldn't forget it. I couldn't get you out of my head
The sound of his music and the flashes of your smile spinning in my mind
Your lips, and how you closed your eyes
Wandering in the pages of the book I read
The sensation that turn me on
The warm feeling that you gave when you look at me
from across the table
I wish I could soothe the feeling with his song
The emptiness you left. The hope of your coming
And I blame you for that
I blame you for every dream I had within these three days
*with Mainz on My Mind playing*
The sound of his music and the flashes of your smile spinning in my mind
Your lips, and how you closed your eyes
Wandering in the pages of the book I read
The sensation that turn me on
The warm feeling that you gave when you look at me
from across the table
I wish I could soothe the feeling with his song
The emptiness you left. The hope of your coming
And I blame you for that
I blame you for every dream I had within these three days
*with Mainz on My Mind playing*
Sunday, March 19, 2006
akar, diaspora dan ubur-ubur
Yudi Ahmad Tajudin, sutradara Teater Garasi datang ke Bali untuk pertunjukan kolaborasi karya seorang sutradara Italia yang dipentaskan di Pura Dalem Batuan di Sukawati. pertunjukan itu sendiri tidak hanya melibatkan seniman-seniman di Batuan, tetapi juga penampil dari seluruh dunia. aku menerima sms-nya siang itu.
Ina, ini Ogleng. Kamu masih di Bali? Aku baru nyampe Ngurah Rai
15.19
15.03.2006
sementara hari itu aku punya pertunjukan Harri Stojka di galeri dan nggak mungkin kabur gitu aja ke Batuan. akhirnya disepakati kalau kami akan bertemu di Komaneka setelah dia selesai di Batuan.
malamnya, kami bertemu dan dalam suasana yang campur aduk kami memutuskan ke Flava Lounge menemui beberapa teman yang sudah datang terlebih dahulu, lalu mulai bercakap-cakap. dia bilang kalau dia datang untuk beristirahat sebelum memulai kerja yang lain. dia ingin menemukan damai disini. di Ubud tempat waktu berhenti.
aku nggak ingat kapan terakhir kali aku ngobrol lama dengan mas Yudi. rasanya udah lama sekali, atau bahkan memang nggak pernah. aku hanya ketemu dengannya dalam beberapa peristiwa. sebagian besar karena pentas Garasi. sebagian yang lagi karena berbagai acara dan selalu terkait dengan pekerjaan. sekali, pernah aku bicara lama dengannya di telepon, waktu aku sedang sedih dan patah hati. yang sampai sekarang juga aku nggak paham kenapa waktu itu memilih curhat padanya.
kami bicara tentang berbagai macam hal. dan semuanya lalu bermuara pada kesendirian. pada bagaimana selama ini masing-masing kami menjalani hidup. aku kesulitan untuk menulis ulang apa-apa saja yang kami bicarakan selama dua malam dan satu hari itu. karena percakapan yang terjadi susul menyusul satu sama lain. berawal dan berujung pada pertanyaan. kami sama-sama sepakat bahwa masing-masing kami tidak punya akar. kehilangan kemampuan untuk berpegang pada hanya satu tanah, satu tempat, satu alasan. bahwa apa yang aku percayai, misalnya adalah sesuatu untuk bisa memberiku pijakan, memberiku arah. tapi aku nggak akan pernah bisa benar-benar terhubung dengan sebuah tempat dengan sekelompok orang. setidaknya untuk saat ini.
aku bilang kalau aku mungkin ubur-ubur. yang mengambang dan nggak pernah lekat pada sesuatu, kalaupun itu yang menjadi ukuran akar. Casper (belakangan waktu aku bercerita padanya) bilang kalau ubur-ubur itu bukan tanaman, jadi ini soal lain. mas Yudi bilang kalau aku ini semacam diaspora, yang melayang bersama angin. sementara dia lebih memilih untuk jadi komuter. menetap di suatu tempat saja, lalu terus menerus melakukan perjalanan ulang alik. hal terbaik dari orang yang (saat ini) tak berakar sepertiku adalah aku selalu punya perspektif sebagai orang luar. sehingga seringkali bisa melihat semuanya dengan lebih jernih. aku nggak punya pembelaan mati-matian yang heroik atas segala sesuatu. karena hidup selalu berubah. dan jalannya, meski ada pengulangan disana sini, adalah seperti spiral, yang melingkar dan berevolusi.
aku berpisah dengan mas Yudi selepas tengah malam pada jam-jam terakhirnya berada di Ubud. dia akan berangkat ke bandara pada jam 4.00 untuk naik pesawat yang bertolak pada pukul 06.05. dua sms-nya aku terima di pagi hari, sebelum -dengan mata melebar dan wajah yang pucat karena kurang tidur, aku berangkat ke Komaneka untuk sarapan pagi dengan Gundi Lamprecht.
aku gagal untuk tetap terjaga. tapi berhasil bangun pada saatnya. dan tersenyum membaca cerita tentang hubungan yang diharapkan terjalin lewat sejumput mie yang tak juga masak pada saatnya.
03.00
17.03.2006
aku pulang. terima kasih atas seluruh percakapan yang kau curi dari dirimu yang mengambang dalam dunia kecil yang tenang bernama ubud ini. sampai waktu yang lain, dunia yang lain.
03.08
17.03.2006
Ina, ini Ogleng. Kamu masih di Bali? Aku baru nyampe Ngurah Rai
15.19
15.03.2006
sementara hari itu aku punya pertunjukan Harri Stojka di galeri dan nggak mungkin kabur gitu aja ke Batuan. akhirnya disepakati kalau kami akan bertemu di Komaneka setelah dia selesai di Batuan.
malamnya, kami bertemu dan dalam suasana yang campur aduk kami memutuskan ke Flava Lounge menemui beberapa teman yang sudah datang terlebih dahulu, lalu mulai bercakap-cakap. dia bilang kalau dia datang untuk beristirahat sebelum memulai kerja yang lain. dia ingin menemukan damai disini. di Ubud tempat waktu berhenti.
aku nggak ingat kapan terakhir kali aku ngobrol lama dengan mas Yudi. rasanya udah lama sekali, atau bahkan memang nggak pernah. aku hanya ketemu dengannya dalam beberapa peristiwa. sebagian besar karena pentas Garasi. sebagian yang lagi karena berbagai acara dan selalu terkait dengan pekerjaan. sekali, pernah aku bicara lama dengannya di telepon, waktu aku sedang sedih dan patah hati. yang sampai sekarang juga aku nggak paham kenapa waktu itu memilih curhat padanya.
kami bicara tentang berbagai macam hal. dan semuanya lalu bermuara pada kesendirian. pada bagaimana selama ini masing-masing kami menjalani hidup. aku kesulitan untuk menulis ulang apa-apa saja yang kami bicarakan selama dua malam dan satu hari itu. karena percakapan yang terjadi susul menyusul satu sama lain. berawal dan berujung pada pertanyaan. kami sama-sama sepakat bahwa masing-masing kami tidak punya akar. kehilangan kemampuan untuk berpegang pada hanya satu tanah, satu tempat, satu alasan. bahwa apa yang aku percayai, misalnya adalah sesuatu untuk bisa memberiku pijakan, memberiku arah. tapi aku nggak akan pernah bisa benar-benar terhubung dengan sebuah tempat dengan sekelompok orang. setidaknya untuk saat ini.
aku bilang kalau aku mungkin ubur-ubur. yang mengambang dan nggak pernah lekat pada sesuatu, kalaupun itu yang menjadi ukuran akar. Casper (belakangan waktu aku bercerita padanya) bilang kalau ubur-ubur itu bukan tanaman, jadi ini soal lain. mas Yudi bilang kalau aku ini semacam diaspora, yang melayang bersama angin. sementara dia lebih memilih untuk jadi komuter. menetap di suatu tempat saja, lalu terus menerus melakukan perjalanan ulang alik. hal terbaik dari orang yang (saat ini) tak berakar sepertiku adalah aku selalu punya perspektif sebagai orang luar. sehingga seringkali bisa melihat semuanya dengan lebih jernih. aku nggak punya pembelaan mati-matian yang heroik atas segala sesuatu. karena hidup selalu berubah. dan jalannya, meski ada pengulangan disana sini, adalah seperti spiral, yang melingkar dan berevolusi.
aku berpisah dengan mas Yudi selepas tengah malam pada jam-jam terakhirnya berada di Ubud. dia akan berangkat ke bandara pada jam 4.00 untuk naik pesawat yang bertolak pada pukul 06.05. dua sms-nya aku terima di pagi hari, sebelum -dengan mata melebar dan wajah yang pucat karena kurang tidur, aku berangkat ke Komaneka untuk sarapan pagi dengan Gundi Lamprecht.
aku gagal untuk tetap terjaga. tapi berhasil bangun pada saatnya. dan tersenyum membaca cerita tentang hubungan yang diharapkan terjalin lewat sejumput mie yang tak juga masak pada saatnya.
03.00
17.03.2006
aku pulang. terima kasih atas seluruh percakapan yang kau curi dari dirimu yang mengambang dalam dunia kecil yang tenang bernama ubud ini. sampai waktu yang lain, dunia yang lain.
03.08
17.03.2006
Saturday, March 11, 2006
sate tentara
sate apa yang kamu suka? sate kambing? sate ayam? sate sapi? nama-nama sate itu menunjukkan dari daging apa sate yeng bersangkutan dibuat. lalu, bagaimana dengan sate tentara?
letaknya di kompleks tentara di kawasan sudirman, denpasar. plang di depan warung sate itu berbunyi: Warung Muslimin. Sate dan Gulai. that's all. ngggak ada keterangan daging apa yang disajikan. warung itu pada akhirnya dikenal sebagai warung sate tentara. dan beginilah versi WM dan Toni tentang warung sate itu.
dagingnya? daging tentara. terbukti karena nggak ada lemaknya sama sekali! pasti waktu belum jadi sate semuanya pada rajin berolahraga. darimana mereka berasal? dari mana aja. daerah konflik di seluruh Indonesia bisa jadi tempat daging-daging itu berasal. dan hanya yang tekun berlatih, lari-lari, lintas alam dan lain sebagainya yang akan cepat dijadikan bahan untuk bikin sate. tentara yang rajin berolahraga, dagingnya akan susah dikunyah, penuh urat. dan demikianlah sate tentara ini. rasanya? untuk ukuran (daging) tentara... boleh juga!
jadi kalo sekali waktu makan di sate tentara, dilihat aja itu tentara-tentara yang ngumpul di depan warung sate. kalo ada yang paling berotot dan nggak banyak lemaknya, mungkin besok dia udah nggak keliatan lagi. ihihihihi...
letaknya di kompleks tentara di kawasan sudirman, denpasar. plang di depan warung sate itu berbunyi: Warung Muslimin. Sate dan Gulai. that's all. ngggak ada keterangan daging apa yang disajikan. warung itu pada akhirnya dikenal sebagai warung sate tentara. dan beginilah versi WM dan Toni tentang warung sate itu.
dagingnya? daging tentara. terbukti karena nggak ada lemaknya sama sekali! pasti waktu belum jadi sate semuanya pada rajin berolahraga. darimana mereka berasal? dari mana aja. daerah konflik di seluruh Indonesia bisa jadi tempat daging-daging itu berasal. dan hanya yang tekun berlatih, lari-lari, lintas alam dan lain sebagainya yang akan cepat dijadikan bahan untuk bikin sate. tentara yang rajin berolahraga, dagingnya akan susah dikunyah, penuh urat. dan demikianlah sate tentara ini. rasanya? untuk ukuran (daging) tentara... boleh juga!
jadi kalo sekali waktu makan di sate tentara, dilihat aja itu tentara-tentara yang ngumpul di depan warung sate. kalo ada yang paling berotot dan nggak banyak lemaknya, mungkin besok dia udah nggak keliatan lagi. ihihihihi...
Wednesday, March 08, 2006
on the day like yesterday
seringkali aku nggak tau apa yang akan aku hadapi pada hari tertentu. makanya aku suka jadual. aku akan kebingungan kalo ada waktu yang banyak, tanpa sesuatu untuk dilakukan. tanpa sambungan internet, atau lebih parah lagi, tanpa buku. tapi ada pula hari-hari ketika aku sudah tau apa yang akan kuhadapi, namun hasilnya tetap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. seperti yang terjadi kemarin.
aku sudah tau kalo aku mungkin akan menghadapi pembicaraan yang sulit. dengan seseorang yang menyebalkan, arogan dan menganggapku rendah (yaya, karena dia lebih suka bicara dengan owner). yang nggak kusangka adalah pembicaraan itu jadi sangat menyebalkan sampai hampir-hampir aku lempar teleponnya. otakku memerintahkan aku untuk tetap tenang selama pembicaraan dan nggak melawan kata-katanya yang tajam.
aku nggak ngerti jalan pikiran orang ini. dia sedang dalam posisi bernegosiasi dengan aku untuk mendapatkan support Komaneka buat acara yang akan dia selenggarakan. tapi caranya bicara sama sekali nggak menunjukkan kalau dia ada di posisi mengajukan sebuah penawaran. betul-betul nggak masuk akal. kalau aku nggak menanggapinya dengan kata-kata yang tajam juga, lebih karena aku melihat apa yang sedang kami bicarakan, acara yang mau diselenggarakan ini, boleh jadi punya dampak dan tujuan yang lebih besar. sebuah pertimbangan yang kemudian dibenarkan oleh pak Koman.
setelah telepon ditutup, aku nggak tahan lagi. aku tumpahkan kekesalanku di milis keparat (yang aku sayangi) itu. aku tau, membuat thread baru disana nggak akan bikin masalahku selesai. tapi setidaknya, aku bisa menulis apa yang sudah menyesakkan dada. well, mantili mode on dengan (peras)aan menempel banyak sekali di thread itu.
dan memang jalannya hari nggak bisa diduga. perasaanku terhadap orang itu memang nggak berubah. tetep sebel. tapi setidaknya, aku bisa lebih tenang dan melihat semuanya dengan jelas. dan pada tengah hari, dua jam setelah percakapan telepon yang menyebalkan itu, aku udah bisa menguasai diriku lagi, dan membuat keputusan yang tepat.
aku rasa, itu semua karena WM, yang mau mendengarkan ceritaku tepat setelah kejadian dan membantuku menghilangkan emosi sesaat yang udah hampir bikin aku menghunus pedang setan!... ehehe... juga pak Koman yang mengajakku ngeliat sisi lain kejadian ini dengan lebih jernih, dan bilang "kamu salah, kalo ngomong gitu!" sehingga aku bisa belajar dan akan mengingat-ingat ini..."kalo dia marah, kamu jangan ikutan marah. kamu harus cari cara penyelesaian yang lain". pak Koman membantuku menyelesaikan semuanya dengan bijaksana...
makasih juga buat Lu Zipeng yang udah mau nanggapin obrolanku lewat YM. jarang-jarang aku bisa ngobrol sama orang yang sama sekali aku belum kenal, apalagi karena aku yang cerita. biasanya aku yang dicurhatin...
last but not least... special thanks to Balawan who cheer me up again. your gig last night was wonderful!!!
aku sudah tau kalo aku mungkin akan menghadapi pembicaraan yang sulit. dengan seseorang yang menyebalkan, arogan dan menganggapku rendah (yaya, karena dia lebih suka bicara dengan owner). yang nggak kusangka adalah pembicaraan itu jadi sangat menyebalkan sampai hampir-hampir aku lempar teleponnya. otakku memerintahkan aku untuk tetap tenang selama pembicaraan dan nggak melawan kata-katanya yang tajam.
aku nggak ngerti jalan pikiran orang ini. dia sedang dalam posisi bernegosiasi dengan aku untuk mendapatkan support Komaneka buat acara yang akan dia selenggarakan. tapi caranya bicara sama sekali nggak menunjukkan kalau dia ada di posisi mengajukan sebuah penawaran. betul-betul nggak masuk akal. kalau aku nggak menanggapinya dengan kata-kata yang tajam juga, lebih karena aku melihat apa yang sedang kami bicarakan, acara yang mau diselenggarakan ini, boleh jadi punya dampak dan tujuan yang lebih besar. sebuah pertimbangan yang kemudian dibenarkan oleh pak Koman.
setelah telepon ditutup, aku nggak tahan lagi. aku tumpahkan kekesalanku di milis keparat (yang aku sayangi) itu. aku tau, membuat thread baru disana nggak akan bikin masalahku selesai. tapi setidaknya, aku bisa menulis apa yang sudah menyesakkan dada. well, mantili mode on dengan (peras)aan menempel banyak sekali di thread itu.
dan memang jalannya hari nggak bisa diduga. perasaanku terhadap orang itu memang nggak berubah. tetep sebel. tapi setidaknya, aku bisa lebih tenang dan melihat semuanya dengan jelas. dan pada tengah hari, dua jam setelah percakapan telepon yang menyebalkan itu, aku udah bisa menguasai diriku lagi, dan membuat keputusan yang tepat.
aku rasa, itu semua karena WM, yang mau mendengarkan ceritaku tepat setelah kejadian dan membantuku menghilangkan emosi sesaat yang udah hampir bikin aku menghunus pedang setan!... ehehe... juga pak Koman yang mengajakku ngeliat sisi lain kejadian ini dengan lebih jernih, dan bilang "kamu salah, kalo ngomong gitu!" sehingga aku bisa belajar dan akan mengingat-ingat ini..."kalo dia marah, kamu jangan ikutan marah. kamu harus cari cara penyelesaian yang lain". pak Koman membantuku menyelesaikan semuanya dengan bijaksana...
makasih juga buat Lu Zipeng yang udah mau nanggapin obrolanku lewat YM. jarang-jarang aku bisa ngobrol sama orang yang sama sekali aku belum kenal, apalagi karena aku yang cerita. biasanya aku yang dicurhatin...
last but not least... special thanks to Balawan who cheer me up again. your gig last night was wonderful!!!
Monday, March 06, 2006
low junk diet
lebih setahun yang lalu, saat aku mulai bekerja di Komaneka, situasi sedang sulit, karena tingkat hunian hotel yang masih juga belum pulih setelah Bali Blast di tahun 2002. saat itu, rata-rata uang servis yang diterima oleh staff di Komaneka sebesar Rp 350.000,-. uang servis ini adalah 10% dari total hasil penjualan kotor setiap bulannya. seringkali jumlah uang servis ini jauh lebih besar daripada gaji mereka.
misalnya begini... seorang gardener, dengan gaji Rp 500.000,- (sudah termasuk tunjangan) bisa membawa pulang penghasilan sebesar Rp 1.500.000, kalau uang servis berjumlah Rp 1.000.000,-.
bulan ini, uang servis itu jumlahnya Rp 200.000,- padahal sejak setahun yang lalu, nilai uang sudah berkurang sedikitnya 40% gara-gara kenaikan bbm. sigh. sedih banget...
dan kayaknya salah besar kalo aku lebih sibuk buang-buang bandwith untuk milis keparat ini. yang bikin aku kadang (baca:sering) lupa sama apa yang harusnya aku kerjakan. dan malah berkelana dari satu thread ke thread yang lain. untuk sementara, kuputuskan untuk menjalani diet khusus. low junk diet.
sampai jumpa lagi nanti kalo ada sumur di ladang, dan kalian ingin menumpang m... ah, sudahlah.
misalnya begini... seorang gardener, dengan gaji Rp 500.000,- (sudah termasuk tunjangan) bisa membawa pulang penghasilan sebesar Rp 1.500.000, kalau uang servis berjumlah Rp 1.000.000,-.
bulan ini, uang servis itu jumlahnya Rp 200.000,- padahal sejak setahun yang lalu, nilai uang sudah berkurang sedikitnya 40% gara-gara kenaikan bbm. sigh. sedih banget...
dan kayaknya salah besar kalo aku lebih sibuk buang-buang bandwith untuk milis keparat ini. yang bikin aku kadang (baca:sering) lupa sama apa yang harusnya aku kerjakan. dan malah berkelana dari satu thread ke thread yang lain. untuk sementara, kuputuskan untuk menjalani diet khusus. low junk diet.
sampai jumpa lagi nanti kalo ada sumur di ladang, dan kalian ingin menumpang m... ah, sudahlah.
Thursday, March 02, 2006
Little Prince
seberapa berat beban yang harus diderita seseorang saat dia lahir? sebagian orang mungkin lahir tanpa beban. sebagian yang lain menanggung beban atas nama besar yang disandang keluarga atau orangtuanya. ada pula yang menanggung pengharapan yang luar biasa besarnya.
dua hari yang lalu aku menghadiri upacara tiga bulan-an seorang bayi laki-laki yang kelahirannya telah ditunggu-tunggu selama lebih dari sepuluh tahun. untuk upacara itu, enam ekor babi guling terkapar pasrah di atas meja. hampir seminggu lamanya orang-orang se-banjar menyiapkan segala perangkat upacara dan sesajen. di hari H, seorang pinandita duduk memimpin upacara. ini adalah kali pertama aku melihat seorang pendeta memimpin upacara, diluar pura.
upacara tiga bulanan dilakukan di bale dangin atau paviliun timur dalam rumah Bali, sebagaimana semua rangkaian Manusa Yadnya dilakukan. Manusa Yadnya adalah segala ritual yang berkaitan dengan tahapan kehidupan manusia. termasuk di dalamnya adalah upacara tujuh bulan kehamilan, nelu bulanin, Otonan atau ulang tahun Bali yang dilakukan setiap 210 hari, pernikahan dan Ngaben. setelah upacara ini dilakukan, si bayi telah disucikan dan diperkenankan masuk ke pura.
dalam adat Bali, memiliki anak laki-laki sangatlah penting. karena anak laki-laki yang akan mewarisi segala harta keluarga, dan menjadi penerus keluarga dalam setiap hal yang berkaitan dengan adat baik di banjar maupun di pura. ayah bayi yang aku saksikan upacaranya adalah anak ketiga dari empat bersaudara. kesemua saudaranya telah menikah dan mempunyai anak. dua saudara perempuannya telah memiliki anak laki-laki, tapi sebagai cucu laki-laki dari anak perempuan, mereka tidak diprioritaskan memegang tanggung jawab dari sisi ibu. saudara laki-lakinya belum memiliki anak laki-laki. anaknya ini adalah anak ke empat setelah tiga anak pertamanya perempuan. si bayi diakui sebagai penerus karena ia adalah cucu laki-laki dari anak laki-laki. sistem patrilineal ini persis sama seperti dalam keluarga Tionghoa. cucu dalam yang menjadi penerus nama keluarga.
seketika dia lahir, saat itu juga seluruh perhatian dan harapan tercurah tumpah padanya. beban sebagai penerus keluarga sontak jatuh ke pundaknya. nenek, orang yang paling berpengaruh dalam keluarga, seperti tergila-gila padanya. setiap pagi dia akan datang dan memandikan si bayi. pada upacara kemarin, nyaris tak pernah nenek melepaskan si bayi dari gendongannya. sampai pada upacara itu, yang semestinya diadakan di rumah orang tua si bayi karena plasenta bayi tertanam di rumah orang tuanya, akhirnya diselenggarakan di rumah nenek karena nenek memintanya. si bayi telah menjadi pangeran kecil untuk nenek.
aku harap si bayi nggak akan jadi spoiled boy nantinya.
aku harap Pande Ketut Putra Wahyuda sanggup memikul bebannya.
dua hari yang lalu aku menghadiri upacara tiga bulan-an seorang bayi laki-laki yang kelahirannya telah ditunggu-tunggu selama lebih dari sepuluh tahun. untuk upacara itu, enam ekor babi guling terkapar pasrah di atas meja. hampir seminggu lamanya orang-orang se-banjar menyiapkan segala perangkat upacara dan sesajen. di hari H, seorang pinandita duduk memimpin upacara. ini adalah kali pertama aku melihat seorang pendeta memimpin upacara, diluar pura.
upacara tiga bulanan dilakukan di bale dangin atau paviliun timur dalam rumah Bali, sebagaimana semua rangkaian Manusa Yadnya dilakukan. Manusa Yadnya adalah segala ritual yang berkaitan dengan tahapan kehidupan manusia. termasuk di dalamnya adalah upacara tujuh bulan kehamilan, nelu bulanin, Otonan atau ulang tahun Bali yang dilakukan setiap 210 hari, pernikahan dan Ngaben. setelah upacara ini dilakukan, si bayi telah disucikan dan diperkenankan masuk ke pura.
dalam adat Bali, memiliki anak laki-laki sangatlah penting. karena anak laki-laki yang akan mewarisi segala harta keluarga, dan menjadi penerus keluarga dalam setiap hal yang berkaitan dengan adat baik di banjar maupun di pura. ayah bayi yang aku saksikan upacaranya adalah anak ketiga dari empat bersaudara. kesemua saudaranya telah menikah dan mempunyai anak. dua saudara perempuannya telah memiliki anak laki-laki, tapi sebagai cucu laki-laki dari anak perempuan, mereka tidak diprioritaskan memegang tanggung jawab dari sisi ibu. saudara laki-lakinya belum memiliki anak laki-laki. anaknya ini adalah anak ke empat setelah tiga anak pertamanya perempuan. si bayi diakui sebagai penerus karena ia adalah cucu laki-laki dari anak laki-laki. sistem patrilineal ini persis sama seperti dalam keluarga Tionghoa. cucu dalam yang menjadi penerus nama keluarga.
seketika dia lahir, saat itu juga seluruh perhatian dan harapan tercurah tumpah padanya. beban sebagai penerus keluarga sontak jatuh ke pundaknya. nenek, orang yang paling berpengaruh dalam keluarga, seperti tergila-gila padanya. setiap pagi dia akan datang dan memandikan si bayi. pada upacara kemarin, nyaris tak pernah nenek melepaskan si bayi dari gendongannya. sampai pada upacara itu, yang semestinya diadakan di rumah orang tua si bayi karena plasenta bayi tertanam di rumah orang tuanya, akhirnya diselenggarakan di rumah nenek karena nenek memintanya. si bayi telah menjadi pangeran kecil untuk nenek.
aku harap si bayi nggak akan jadi spoiled boy nantinya.
aku harap Pande Ketut Putra Wahyuda sanggup memikul bebannya.
Wednesday, March 01, 2006
the secretary
warning: nggak ada unsur sara dalam tulisan ini. kebetulan aja cerita ini terjadi pada orang tertentu.
dia minta kami memanggilnya Mbak Is, walaupun usianya jauh diatas kami. dia lahir pada tahun 1955. di rumahku, orang yang lahir di tahun itu kami panggil Mama. dari wajah dan gerak-geriknya, dia terlihat jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. dalam ingatanku, Mama tidak tampak setua itu. tapi Mbak Is terlihat lebih tua dari usia yang sebenarnya meskipun gayanya berpakaian masih seperti anak muda, make up yang dikenakannya mengkilap, antingnya besar dan rokoknya Dji Sam Soe filter!
seminggu yang lalu, dia resmi menjadi sekretaris Phillipe. Mbak Is diterima karena bisa berbahasa Inggris dengan baik, bisa mengetik dan bisa Office sedikit-sedikit, cukup lancar berbahasa Perancis dan juga karena cerita hidupnya. dia pernah menjadi pengusaha yang cukup berhasil. dan sempat bekerja untuk sebuah perusahaan Perancis yang ternama. menikah dengan seorang Bali yang tampan, Mbak Is memiliki dua anak, Wisnu dan Dewi. pernikahan itu berjalan dengan baik karena Mbak Is yang bekerja keras menjadi tulang punggung keluarga. suaminya yang tampan, menikmati hasil jerih payah istrinya dengan kesadaran bahwa hal seperti inilah yang pantas dia terima karena wajah yang dimilikinya. keluarga dari pihak suami juga tak segan terus meminta bantuan dan menggerogoti keuangan keluarga Mbak Is.
ketika usaha Mbak Is mengalami kemunduran, alih-alih berusaha membantu dan ikut bekerja untuk mengembalikan keadaan, Mbak Is justru mengalami kekerasan dalam rumah tangga. karena nggak tahan, dia lalu meminta cerai. keputusan yang pada akhirnya membuat mereka pergi dari Jakarta, dan anak-anak terhenti pendidikannya. anak-anak memilih untuk ikut dengan ibu mereka. menjadi orang tua tunggal dengan dua anak yang beranjak dewasa dan memulai lagi satu hidup baru.
sejak pertama kali bertemu dengannya, sampai sekarang, aku nggak pernah menatap wajah Mbak Is lama-lama. aku nggak mau dia melihat trenyuh dan haru yang ada di mataku. aku nggak mau dia merasa aku mengasihaninya, lalu jadi menyinggungnya. Wisnu sekarang bekerja menjadi penjaga warnet. Dewi sempat menjadi pramuniaga di Surf Girl sebelum berhenti dan berkonsentrasi dengan niatnya untuk menjadi DJ. Mbak Is menjadi sekretaris untuk bisa terus bertahan hidup.
ah, di usianya yang sudah segitu, mestinya Mbak Is sudah hidup tenang, dan tinggal menikmati hasil dari apa-apa yang sudah dia rintis sejak lama.
tapi jalan hidup orang siapa yang tau?
dia minta kami memanggilnya Mbak Is, walaupun usianya jauh diatas kami. dia lahir pada tahun 1955. di rumahku, orang yang lahir di tahun itu kami panggil Mama. dari wajah dan gerak-geriknya, dia terlihat jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. dalam ingatanku, Mama tidak tampak setua itu. tapi Mbak Is terlihat lebih tua dari usia yang sebenarnya meskipun gayanya berpakaian masih seperti anak muda, make up yang dikenakannya mengkilap, antingnya besar dan rokoknya Dji Sam Soe filter!
seminggu yang lalu, dia resmi menjadi sekretaris Phillipe. Mbak Is diterima karena bisa berbahasa Inggris dengan baik, bisa mengetik dan bisa Office sedikit-sedikit, cukup lancar berbahasa Perancis dan juga karena cerita hidupnya. dia pernah menjadi pengusaha yang cukup berhasil. dan sempat bekerja untuk sebuah perusahaan Perancis yang ternama. menikah dengan seorang Bali yang tampan, Mbak Is memiliki dua anak, Wisnu dan Dewi. pernikahan itu berjalan dengan baik karena Mbak Is yang bekerja keras menjadi tulang punggung keluarga. suaminya yang tampan, menikmati hasil jerih payah istrinya dengan kesadaran bahwa hal seperti inilah yang pantas dia terima karena wajah yang dimilikinya. keluarga dari pihak suami juga tak segan terus meminta bantuan dan menggerogoti keuangan keluarga Mbak Is.
ketika usaha Mbak Is mengalami kemunduran, alih-alih berusaha membantu dan ikut bekerja untuk mengembalikan keadaan, Mbak Is justru mengalami kekerasan dalam rumah tangga. karena nggak tahan, dia lalu meminta cerai. keputusan yang pada akhirnya membuat mereka pergi dari Jakarta, dan anak-anak terhenti pendidikannya. anak-anak memilih untuk ikut dengan ibu mereka. menjadi orang tua tunggal dengan dua anak yang beranjak dewasa dan memulai lagi satu hidup baru.
sejak pertama kali bertemu dengannya, sampai sekarang, aku nggak pernah menatap wajah Mbak Is lama-lama. aku nggak mau dia melihat trenyuh dan haru yang ada di mataku. aku nggak mau dia merasa aku mengasihaninya, lalu jadi menyinggungnya. Wisnu sekarang bekerja menjadi penjaga warnet. Dewi sempat menjadi pramuniaga di Surf Girl sebelum berhenti dan berkonsentrasi dengan niatnya untuk menjadi DJ. Mbak Is menjadi sekretaris untuk bisa terus bertahan hidup.
ah, di usianya yang sudah segitu, mestinya Mbak Is sudah hidup tenang, dan tinggal menikmati hasil dari apa-apa yang sudah dia rintis sejak lama.
tapi jalan hidup orang siapa yang tau?
Monday, February 27, 2006
sawan ka mahina vs buaye gile
Benyamin Sueb adalah salah seorang yang terus bernyanyi di dalam hatiku akhir-akhir ini. dan rasanya kemanapun aku pergi, Bang Ben jadi selalu mengikuti. seperti malam itu, di salah satu kursi belakang di Hall milik Bali Hai Resort and Spa, aku mendengarkan intro lagu Benyamin yang sering kali aku putar akhir-akhir ini. aku tau kalo lagu itu sebenarnya adalah interpretasi dengan parodi dari sebuah lagu India. tapi mendengarnya di tengah konser biola Bali Violin School yang sangat serius, membuatku ingin tertawa karena teringat lirik ini...
Saban lu kerumah
Aduk-aduk kasur
Jemurannye pade baseh
Duit ceban ente gusur
Saban lu kerumah
Lu mintanya sahur
Diarahkan puase
Lu malah aduk sumur
Rame pada bekelai
Ye buaye...
Die same lu kite same tetangge
Rame pada bekelai
Ye buaye lo...
Disuruh sekolah malah lu ngisep ganje
(Masya Allah!)
lagu itu berjudul Buaye Gile. cara Bang Ben menyanyi juga dibikin lambat dan men-dangdut dan agak-agak kayak orang Arab (ato India?). ihihihihi... ditengah-tengah penonton yang serius menyimak lagu itu, aku cekikikan sendiri. aduh! untung ruangannya gelap jadi nggak ada yang tau kalo aku ketawa.
esoknya aku googling tentang lagu ini. ternyata judulnya Sawan Ka Mahina, dan jadi musik terbaik untuk film Milan, yang juga mendapatkan nominasi sebagai film terbaik dalam Filmfare Awards saat dirilis pada tahun 1967. penulis lagu ini, Laxmikant Pyarelal menunjuk Lata Mangeshkar dan Mukesh untuk menyanyikannya. demikian lirik asli lagu ini...
Sawan ka mahina, pawan kare sor
Jiyara re jhoome aise, jaise banmaa naache mor..
Sawan ka mahina, pawan kare sor
Jiyara re jhoome aise, jaise banmaa naache mor
Sawan ka mahina, pawan kare sor
Jiyara re jhoome aise, jaise banmaa naache mor
Raama gajab dhaae, yeh purwaiyya
Naiyya sambhalo kit, khoe ho khiwaiyya
Rama gajab dhaae, yeh purwaiyya
Naiyya sambhalo kit, khoe ho khiwaiyya
Hey.. Purwaiya ke aage, chale naa koi zor
Jiyara re jhoome aise, jaise banmaa naache mor
sedikit ulasan mengenai Milan, dapat dilihat di alamat blog ini, lengkap dengan MP3 Sawan Ka Mahina yang bisa di-download. keterangan mengenai Lata Mangeshkar aku baca di wikipedia
buat yang kekeuh pengen denger aku nyanyi lagu ini, silakan telepon aku.
Saban lu kerumah
Aduk-aduk kasur
Jemurannye pade baseh
Duit ceban ente gusur
Saban lu kerumah
Lu mintanya sahur
Diarahkan puase
Lu malah aduk sumur
Rame pada bekelai
Ye buaye...
Die same lu kite same tetangge
Rame pada bekelai
Ye buaye lo...
Disuruh sekolah malah lu ngisep ganje
(Masya Allah!)
lagu itu berjudul Buaye Gile. cara Bang Ben menyanyi juga dibikin lambat dan men-dangdut dan agak-agak kayak orang Arab (ato India?). ihihihihi... ditengah-tengah penonton yang serius menyimak lagu itu, aku cekikikan sendiri. aduh! untung ruangannya gelap jadi nggak ada yang tau kalo aku ketawa.
esoknya aku googling tentang lagu ini. ternyata judulnya Sawan Ka Mahina, dan jadi musik terbaik untuk film Milan, yang juga mendapatkan nominasi sebagai film terbaik dalam Filmfare Awards saat dirilis pada tahun 1967. penulis lagu ini, Laxmikant Pyarelal menunjuk Lata Mangeshkar dan Mukesh untuk menyanyikannya. demikian lirik asli lagu ini...
Sawan ka mahina, pawan kare sor
Jiyara re jhoome aise, jaise banmaa naache mor..
Sawan ka mahina, pawan kare sor
Jiyara re jhoome aise, jaise banmaa naache mor
Sawan ka mahina, pawan kare sor
Jiyara re jhoome aise, jaise banmaa naache mor
Raama gajab dhaae, yeh purwaiyya
Naiyya sambhalo kit, khoe ho khiwaiyya
Rama gajab dhaae, yeh purwaiyya
Naiyya sambhalo kit, khoe ho khiwaiyya
Hey.. Purwaiya ke aage, chale naa koi zor
Jiyara re jhoome aise, jaise banmaa naache mor
sedikit ulasan mengenai Milan, dapat dilihat di alamat blog ini, lengkap dengan MP3 Sawan Ka Mahina yang bisa di-download. keterangan mengenai Lata Mangeshkar aku baca di wikipedia
buat yang kekeuh pengen denger aku nyanyi lagu ini, silakan telepon aku.
Saturday, February 25, 2006
SBY:Mari Makan di Kedewatan
beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 17 Februari 2006, tiba-tiba ada banyak sekali polisi di Ubud. di setiap persimpangan jalan, sekurang-kurangnya ada dua orang polisi sibuk berjaga-jaga. terutama di Bebek Bengil. ada kira-kira sekompi polisi sibuk mondar-mandir. apakah ada ancaman bom di Ubud? wah... tapi kok nggak ada Gegana?
dugaan pertamaku, ada pejabat yang datang ke Ubud. dugaan kedua, di Bebek Bengil lagi ada rapat para polisi dari berbagai kesatuan. ternyata dugaan pertama yang benar. tapi tepatnya, SBY datang ke Bali dan makan malam di Bebek Bengil. tapi ya itu, dari siang kayaknya polisi dan petugas protokoler udah sibuk bikin acara bersih-bersih sapu jagat disana.
hmmm... mungkin SBY nggak akan pernah baca tulisanku ini. tapi sekiranya ada Paspampres yang kemudian membaca tulisan ini, aku berharap dia menyampaikannya kepada SBY. atau kalo tidak Paspampres, kamu juga boleh deh.
*Hi Roy!
untuk makan di Bebek Bengil diperlukan sekurangnya Rp 200.000,- atau Rp 300.000 per satu kali makan berdua. dengan harga segitu, berapa banyak orang Ubud, orang Bali yang makan disana?apalagi dalam keadaan sepi nggak jelas penghasilan kayak sekarang? hanya segelintir. dan segelintirnya itu sedikit banget. aku pikir, kalau SBY mau menghayati kehidupan rakyatnya di Bali, yang udah jatuh tertimpa tangga dan pemerintahnya seperti tidur ngelindur dan nggak melakukan apa-apa untuk memperbaiki keadaan. lebih baik SBY makan di tempat lain. apalagi kalo makannya sama Menteri Pariwisata yang sampai sekarang masih juga belum bikin kampanye pariwisata apa-apa.
coba makan nasi ayam di Kedewatan. di tempat seperti ini rakyatnya makan. dengan hanya Rp 6000 udah dapet nasi yang gundukannya cukup tinggi untuk bisa nutupin pandangan dari pengunjung warung yang lain, ayam yang disuwir dengan kuah yang pedash, urab, telur dan sambal matah yang membakar lidah dengan mantab. rasanya gurih dan kaya rempah.
sayangnya, SBY nggak tau makanan enak ini. sayangnya, SBY nggak mendesak Menteri Pariwisata dan Kantor Negara Pariwisata untuk bikin promosi yang baik untuk Bali. sayangnya, SBY belum juga bikin proyek yang padat karya dan menciptakan lapangan kerja yang banyak sebelum semakin banyak orang yang putus asa dan jadi berpikir pendek. sayangnya, SBY nggak kenal pak tua dari Banjar Pande yang setiap sore jadi calo tiket untuk menonton pertunjukan tari di Puri Ubud.
yang tiap hari jadi makin lesu karena semakin sedikit tiket yang bisa dia jual.
dugaan pertamaku, ada pejabat yang datang ke Ubud. dugaan kedua, di Bebek Bengil lagi ada rapat para polisi dari berbagai kesatuan. ternyata dugaan pertama yang benar. tapi tepatnya, SBY datang ke Bali dan makan malam di Bebek Bengil. tapi ya itu, dari siang kayaknya polisi dan petugas protokoler udah sibuk bikin acara bersih-bersih sapu jagat disana.
hmmm... mungkin SBY nggak akan pernah baca tulisanku ini. tapi sekiranya ada Paspampres yang kemudian membaca tulisan ini, aku berharap dia menyampaikannya kepada SBY. atau kalo tidak Paspampres, kamu juga boleh deh.
*Hi Roy!
untuk makan di Bebek Bengil diperlukan sekurangnya Rp 200.000,- atau Rp 300.000 per satu kali makan berdua. dengan harga segitu, berapa banyak orang Ubud, orang Bali yang makan disana?apalagi dalam keadaan sepi nggak jelas penghasilan kayak sekarang? hanya segelintir. dan segelintirnya itu sedikit banget. aku pikir, kalau SBY mau menghayati kehidupan rakyatnya di Bali, yang udah jatuh tertimpa tangga dan pemerintahnya seperti tidur ngelindur dan nggak melakukan apa-apa untuk memperbaiki keadaan. lebih baik SBY makan di tempat lain. apalagi kalo makannya sama Menteri Pariwisata yang sampai sekarang masih juga belum bikin kampanye pariwisata apa-apa.
coba makan nasi ayam di Kedewatan. di tempat seperti ini rakyatnya makan. dengan hanya Rp 6000 udah dapet nasi yang gundukannya cukup tinggi untuk bisa nutupin pandangan dari pengunjung warung yang lain, ayam yang disuwir dengan kuah yang pedash, urab, telur dan sambal matah yang membakar lidah dengan mantab. rasanya gurih dan kaya rempah.
sayangnya, SBY nggak tau makanan enak ini. sayangnya, SBY nggak mendesak Menteri Pariwisata dan Kantor Negara Pariwisata untuk bikin promosi yang baik untuk Bali. sayangnya, SBY belum juga bikin proyek yang padat karya dan menciptakan lapangan kerja yang banyak sebelum semakin banyak orang yang putus asa dan jadi berpikir pendek. sayangnya, SBY nggak kenal pak tua dari Banjar Pande yang setiap sore jadi calo tiket untuk menonton pertunjukan tari di Puri Ubud.
yang tiap hari jadi makin lesu karena semakin sedikit tiket yang bisa dia jual.
Friday, February 24, 2006
antara discovery dan hard rock
hari itu Kuta sibuk sekali. begitu juga dengan kami. setelah menelusuri pasir sepanjang pantai, belanja di Discovery Mall, kami memutuskan makan di Pizzza Hut. saat itulah kamera digital andalan baterenya habis. ah!
OK! chargernya harus diambil. dan cara yang paling gampang adalah mengambil motorku yang diparkir di pantai, naik motor ke Poppies Lane dan balik lagi ke Pizza Hut. makanan masih dipesan dan perlu beberapa lama sampai bisa siap.
tadinya kami mau berjalan kaki ke pantai. tapi dipikir-pikir, jauh juga ya...
ya udah, naik taksi aja. kami menyetop Blue Bird yang lewat. sebenarnya lewatnya ke arah lain. tapi sopirnya memberi gesture kalo dia mau putar balik. buru-buru kami naik ke taksinya.
"Hard Rock, pak!" kataku sambil menutup pintu.
"Iya, bu" jawabnya, lalu menyalakan argo. tertulis 5000.
kami saling berpandangan. lalu dia mengeluarkan pecahan 10.000-an. tatapan matanya bertanya "cukup?". aku mengangguk.
jalan Kartika Plasa ke pantai bukan jarak yang jauh buat taksi. jadi waktu kami sampai disana, di argo masih tertera 5000. belum berubah. kuangsurkan 10.000-an itu padanya. lalu kami membuka pintu.
"kembaliannya bu" kata si sopir.
"nggak usah pak, dibawa aja" kami berucap hampir bersamaan.
"Alhamdulillah..." katanya. lalu..."Terima kasih bu, terima kasih, pak" katanya pada kami.
kami berpandangan. dia sudah ada diluar taksi dan aku tertegun beberapa detik sebelum tersadar, lalu buru-buru turun dan menutup pintu.
tiba-tiba aku jadi terharu. sebak mataku...
OK! chargernya harus diambil. dan cara yang paling gampang adalah mengambil motorku yang diparkir di pantai, naik motor ke Poppies Lane dan balik lagi ke Pizza Hut. makanan masih dipesan dan perlu beberapa lama sampai bisa siap.
tadinya kami mau berjalan kaki ke pantai. tapi dipikir-pikir, jauh juga ya...
ya udah, naik taksi aja. kami menyetop Blue Bird yang lewat. sebenarnya lewatnya ke arah lain. tapi sopirnya memberi gesture kalo dia mau putar balik. buru-buru kami naik ke taksinya.
"Hard Rock, pak!" kataku sambil menutup pintu.
"Iya, bu" jawabnya, lalu menyalakan argo. tertulis 5000.
kami saling berpandangan. lalu dia mengeluarkan pecahan 10.000-an. tatapan matanya bertanya "cukup?". aku mengangguk.
jalan Kartika Plasa ke pantai bukan jarak yang jauh buat taksi. jadi waktu kami sampai disana, di argo masih tertera 5000. belum berubah. kuangsurkan 10.000-an itu padanya. lalu kami membuka pintu.
"kembaliannya bu" kata si sopir.
"nggak usah pak, dibawa aja" kami berucap hampir bersamaan.
"Alhamdulillah..." katanya. lalu..."Terima kasih bu, terima kasih, pak" katanya pada kami.
kami berpandangan. dia sudah ada diluar taksi dan aku tertegun beberapa detik sebelum tersadar, lalu buru-buru turun dan menutup pintu.
tiba-tiba aku jadi terharu. sebak mataku...
Subscribe to:
Posts (Atom)
duka yang menyusun sendiri petualangannya
rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...
-
meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca bu...
-
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk ...