Friday, May 19, 2006

terima kasih

karena tidak bicara tentang peristiwa yang tidak ingin kubicarakan. karena tidak bercerita mengenai orang yang tidak ingin kudengar. karena tetap datang walaupun kamu harus menempuh perjalanan yang panjang.

kamu kelihatan sehat dan tenang. tidak gelisah dan punya arah.
dan kamu bisa menatap wajahku. membuatku tidak lagi terlalu merasa bersalah. baik-baiklah ya. dan semoga hidupmu juga bahagia.

Tuesday, May 16, 2006

a fan can't be wrong

hari ini aku merasa perlu mendengarkan Bon Jovi. perlu mendengar hamburan kata-kata cinta dan janji yang diteriakkan oleh laki-laki gagah yang senyumnya membuatku rajin menonton Ally McBeal walaupun harus begadang. lagu-lagu cinta yang aku dengar waktu aku benar-benar percaya bahwa forever memang berarti selamanya dan tanpa syarat. seperti tunduknya Jepang pada Sekutu diakhir Perang Dunia II.

album-album yang paling aku nikmati adalah Keep The Faith dan Cross Roads, yang aku dengarkan waktu aku masih SMP. saat-saat ketika yang harus aku khawatirkan hanyalah bagaimana caranya supaya nggak perlu ikut pelajaran Olahraga, serta punya lebih banyak waktu untuk mendengarkan lagu terkini, menonton Channel V dan membaca Kobo Chan paling baru. rasanya masih belum terlalu lama waktu aku berpikir keras tentang I'm a cowboy // On a steel horse I ride... atau kenapa a poet (harus) needs the pain...

Jambul selalu bilang kalau lagu cinta yang paling keren itu lagunya Bon Jovi. suasananya emang seperti berdarah-darah, straight to the point dan nggrantes. maaf buat yang nggak tau kata yang terakhir itu artinya apa. aku gak bisa mencari padanannya dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. kebayang nggak sih, cowok cakep yang memakai celana kulit, jaket jins belel, lengan bertattoo, sepatu boot kulit yang lancip, lengkap dengan asesoris metal-metal kayak gitu bisa menangis berdarah-darah karena putus cinta... You said you've cried a thousand river // And now you're swimming for the shore // You let me drowning in my tears // And you won't save me anymore...

nah, karena aku mendengarkan semuanya, nggak peduli apakah dulu lagu itu ngetop ataupun tidak, lagu favoritku mungkin nggak banyak yang tau. judulnya tuh I Want You, dan bagian yang aku paling-paling seneng sampai sekarangpun masih ingat adalah ...I tried so hard to remember // Where, when, how, why love went away // I tried to drown myself in pity // But the whiskey kept calling your name // I bought you fancy cars and diamond rings // All the things that my money brings // And the servants to paint the sky blue... Oh-oh-oh... aku bermimpi suatu hari nanti, hanya dengan gitar, Bon Jovi menyanyikan lagu itu di hadapanku. dan aku akan duduk terpaku, diam seribu bahasa ... mungkin dengan air mata meleleh di pipiku.

Saturday, May 13, 2006

buah tangan dari borders

baiklah saudara-saudara!
setelah selama satu minggu badai menghantam kehidupanku, sepertinya matahari mulai semburat di langit. tadi pagi, aku mengawali hari dengan membantu sepasang tamu Jepang melakukan beberapa asana Yoga. selama satu jam, rasanya benar-benar damai dan tenang, karena tidak ada yang dipikirkan. hanya fokus pada pernapasan dan kesempurnaan gerakan.

lalu aku bertemu Kaoru-san yang membawakanku buku yang sudah lama aku cari-cari. aku sungguh berterima kasih padanya, dalam keadaan kesal dan kalut karena musibah beberapa hari yang lalu, ia masih mengingat untuk mencarikanku buku ini.
Photobucket - Video and Image Hosting

tidak ada yang lebih baik dari sebuah novel Marquez untuk diajak menghabiskan waktu di hari-hari yang kelabu. setelah dua tahun yang lalu aku tamat membaca One Hundred Years of Solitude, kini sudah waktunya untuk membaca novel Marquez yang lain. gaya penulisannya yang naratif dengan imajinasi liar sehingga hidup yang surreal pun terlihat sangat nyata, selalu memberiku kepuasan (membaca) yang tak terkira.

sekali ini memang bukan Gregory Rabassa yang menerjemahkan. tapi dari kalimat pertamanya jelas, hanya Marquez yang memulai sebuah novel dengan...It was inevitable: the scent of bitter almonds always reminded him of the fate of unrequited love.

Friday, May 12, 2006

troubleshooter become troublemaker

dibangunin waktu lagi tidur itu nggak enak
lebih nggak enak lagi dibangunin Pak Koman dan dikasih tau kalo aku bikin salah dan aku nggak dimarahin, tapi dinasehati dan diberi usulan untuk memperbaiki kesalahan. dengan nada seperti ayah pada anaknya yang nakal. "ck... kamu ini"
aku jadi sediiiiiiiiih karena merasa mengecewakannya. mendingan aku dimarahin dan dicaci maki aja deh...

sedih? mungkin aneh buat orang lain. tapi begitulah kata yang tepat menggambarkannya karena Pak Koman sama sekali nggak menaikkan nada suaranya. nggak jadi sinis, nggak memakai kata-kata yang tajam. katanya, dia mengerti aku nggak bermaksud buruk. bahwa semuanya hanya kesalahpahaman, dan ini jadi pelajaran buatku. supaya lain kali lebih hati-hati. aku, yang biasanya bantu memperbaiki kesalahan yang dibuat orang lain, sekarang menjadi penyebab terjadinya masalah yang ditimpakan pada Pak Koman.

apakah aku dihukum?
ya. aku melihat dan mendengar sendiri bagaimana Pak Koman dan Bu Mansri taking all the blame on my behalf. mereka mendengarkan kemarahan yang sebenarnya ditujukan untukku. mereka meminta maaf untukku. mereka menenangkan orang yang marah itu dengan merelakan telinga menjadi merah. dan masih sempat melirikku sambil nyengir.
hukuman apa yang lebih berat daripada itu?

tapi seperti kata Casper, ada kalanya aku harus merasakan berbuat kesalahan, supaya bisa lebih memahami kesalahan orang lain. Oom Pipo juga bilang kalo aku harus belajar untuk menyikapi masalah, bukan meresapinya. supaya kalo ada banyak masalah yang datang beruntun, aku bisa menghadapi semuanya dengan lebih baik daripada sekarang. tampaknya, ini peringatan buatku juga, supaya nggak besar kepala, karena troubleshooter sekali waktu bisa jadi troublemaker.

Thursday, May 11, 2006

Ode untuk Pande

pesawatnya mendarat pada jam 20.25. bergegas ia menuruni tangga pesawat, lalu pergi ke bagian kedatangan. sepanjang perjalanan dari Singapura, duduknya gelisah. dia tau, dia ditunggu.
sopir menyambutnya di pintu kedatangan. istri, anak-anak dan barang mereka akan pergi bersama sopir yang lain. mereka akan tiba dengan pesawat berikutnya, 15 menit dari sekarang. dia harus sampai di Peliatan lebih dulu. dia tau, dia ditunggu.
di dalam mobil, Pak Tut Subrata sudah mempersiapkan pakaian yang harus dikenakannya; kemeja putih lengan pendek, kain batik motif Sidomukti dengan isen Truntum, kain poleng untuk bagian luar, selendang berwarna oranye pucat dan udeng batik. ia berganti pakaian di dalam mobil. jari-jarinya yang panjang dan pipih sebentar-sebentar ditangkupkan lalu diurai lagi. berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya sementara mobil melaju kencang. dia tau, dia ditunggu.
waktu Mbak Ayu meneleponnya sore tadi, dan menyampaikan bahwa keluarga berkeputusan menunggunya datang sebelum pemakaman, dia bertanya dengan sedih, "kenapa harus menunggu saya?" tapi dia tidak mendebat karena sudah tau jawabnya. waktu mendengar beritanya, dia memutuskan untuk pulang, walau harus go show dan merubah seluruh rencana. lebih dari orang lain, dia tau bahwa si mati ingin mengucapkan selamat tinggal, pada orang yang selalu dihormatinya. orang yang memberikan naungan dan penghidupan padanya. Pak Koman tau, dia ditunggu.

Putu Desi duduk dibawah jendela dengan tatapan kosong. semangat hidup telah disedot habis dari tubuhnya. ia tidak bicara, kelenjar air matanya sudah hampir kering. di sebelahnya, Ayunda berceloteh riang seperti layaknya anak berusia dua tahun. menunjuk capung yang terbang diluar jendela, burung yang bersahutan di dahan pohon, lalu tiba-tiba menanyakan ayahnya. setiap kali seseorang mendekatinya, Putu Desi menangis. dan setiap kali pula, Ayunda ikut menangis. kami yang menyaksikan fragmen itu, mau tak mau menyusut air mata dengan hati hancur berkeping.

aku masih ingat adegan yang kusaksikan di ruang ICU rumah sakit Sanglah sore hari sebelumnya. dia terbaring tak sadarkan diri dengan berbagai selang dan alat-alat berseliweran. infus, selang transfusi darah, alat bantu pernafasan, kateter, alat pengukur tensi, monitor jantung...dia sudah seperti manusia mutant dengan tubuh membengkak. dalam setiap helaan nafas, darah mengalir dari lubang hidung dan mulutnya. darah segar berwarna merah.
sekilas kulihat tangannya bergerak. lalu kubaca apa yang bisa kucerna dari laporan medis di meja bundar didekat tempat tidurnya. semua bernada negatif. pendarahan, kritis, koma, fungsi organ negatif, fighting...fighting...fighting. aku berusaha keras mengusir firasat, bayangan buruk yang menghantui sejak beberapa hari yang lalu.

Pande Wayan Supiarta, salah satu sopir di Komaneka, meninggal dunia pada pukul 11.30, hari Rabu, tanggal 10 Mei 2006, setelah tujuh hari berjuang melawan demam berdarah. Ande, demikian kami memanggilnya- adalah sopir yang tak pernah lalai menjalankan tugas, paling rajin, penurut dan sabar luar biasa. seperti Jim Morrison dan orang-orang istimewa lainnya, Pande baru berusia 27 tahun waktu menghembuskan nafas terakhirnya. kenapa harus Pande?

ratusan orang berkumpul sejak siang. tetangga dan saudara di banjar mungkin sudah berkumpul sejak pagi. waktu aku sampai di Peliatan jam tiga sore itu, puluhan orang datang silih berganti. semuanya berduka, dengan mata bengkak dan hidung memerah. bergantian, mendekati jenasah yang tirainya dibuka supaya pelayat bisa memberikan penghormatan terakhir. kepalaku pening, air mata meleleh tak terasa sejak berita itu disampaikan. membanjir waktu aku harus menulis email pada Kambayashi-san, tamu terakhir Pande sebelum masuk rumah sakit. Kambayashi akan datang lagi bulan Juli, dan dia pasti akan mencarinya. aku harus memberitahu mereka. this... is a very difficult email to write, tulisku.

requiem itu begitu menyayat. aku mendengar nyanyian kematiannya saat upacara memandikan jenasah. ditambah dengan denting lonceng yang dibunyikan oleh pendeta, desahan sedih dan tarikan nafas panjang... suasana begitu haru. lalu orang-orang menyalakan dupa dan bersembahyang. tirta diteteskan. ini adalah kematian kedua karena demam berdarah yang kusaksikan. enambelas tahun yang lalu, teman kecilku, sahabatku disebelah rumah, juga dibawanya pergi. demam berdarah yang mengajarkan padaku arti kata 'mati' saat aku berusia 10 tahun.

Pak Koman sampai di banjar Pande beberapa saat sebelum pukul 22. aku tak pernah melihatnya dengan ekspresi sekeras itu. seperti kami semuanya, ia berduka. tapi lebih dari yang lain, ia terluka dan kehilangan. orang yang dipercaya dan disayanginya. yang nyaris selalu mendampinginya kemana-mana. ia langsung mendekati jenasah, disaksikan semua pelayat. hanya ayah dan ibu Pande yang mendekatinya. ia merangkul bahu mereka, berbicara pelan dengan mata sendu. sementara orang-orang mulai mengambil perlengkapan upacara. keranda dikeluarkan, lalu jenasah dibawa keluar. ada yang menyesak di dadaku waktu Pak Koman ikut mengangkat jenasah. kesedihan itu, tidak ada kata yang tepat untuk menyatakannya.

kami berjalan kaki ke Pura Dalam Puri untuk pemakaman. lubang sudah dipersiapkan dan semuanya berlangsung dengan cepat. sampai waktunya untuk Ngaben nanti, Pande akan tidur disini. dalam lubang sempit, di kuburan tanpa nisan. tanpa nama. Putu Desi menangis waktu aku memeluknya sebelum pulang. aku bisa merasakan tubuhnya yang kurus, dengan tulang-tulang yang menekan, bergetar dalam pelukanku. wajahnya terbenam di lekuk bahuku, air matanya membasahi atasan hitamku.

Mbakyu, sebutan yang diberikannya untukku, sudah tidak akan terdengar lagi.

Wednesday, May 10, 2006

algojo babi

laki-laki dari Tampaksiring itu bernama Dewa Tagel. ia meminta kami menyebutnya Tagel, sebagaimana semua orang di desa itu mengenalnya. buat kami, yang menghabiskan terlalu banyak waktu untuk hidup di kota, yang dipenuhi pemimpi berkepribadian palsu, orang-orang yang selalu ingin dipandang hebat dan paling oke, Tagel adalah spesies yang langka. sederhana dan polos, percaya diri dan jujur. sangat apa adanya. dia tidak pernah bicara tentang hal-hal yang tidak diketahuinya. tidak pernah berusaha kelihatan lebih baik dari apa yang sebenarnya. pun tidak berani keluar dari lingkaran tradisi yang melingkupinya sejak lahir.

"saya nggak berani minum ini. istri saya sedang hamil, saya takut nanti terjadi sesuatu yang nggak baik kalo saya minum ini. saya nggak tau minuman ini" begitu katanya waktu menolak minuman bersoda. suatu kali ia bersama kami makan siang di rumah makan sunda. setelah meyakini nggak akan suka pada karedok yang kami pesan, ia memutuskan untuk makan nasi goreng. "saya nggak suka makanan itu. saya nggak akan bisa makan itu"

ia percaya nasib, namun tak pernah menyerah. sebagai perajin dari sebuah desa kecil, hari-harinya adalah kerja yang sungguh-sungguh karena ia menginginkan hidup yang lebih baik bagi keluarganya. ia tidak takut melakukan kesalahan dalam bekerja. dan selalu bersedia memperbaiki hasil kerjanya. "saya akan coba sampai bagus hasilnya. saya mau belajar" sekali, ia kalut waktu anak sulungnya yang berumur 12 tahun nyaris nggak mau sekolah lagi. "anak saya memang perempuan, tapi dia harus terus sekolah. jangan seperti saya"

Tagel adalah laki-laki dengan wajah paling jujur dan paling tulus yang pernah kutemui. tidak pernah kulihat ada pikiran macam-macam yang melintas di benaknya, di tatapan matanya. "saya mau jadi orang baik. saya nggak punya banyak, tapi kalo ada, saya pasti akan berikan. saya bukan orang pelit" percaya atau tidak, ia mengucapkan kata-kata itu tanpa sedikit pun terdengar sombong.

setiap kali hari raya, ia akan diminta untuk memotong babi oleh tetangga-tetangganya. salah satu babi yang ia pelihara akan dipilih, lalu masing-masing tetangga memesan sekian kilo daging. sebelum dipotong, harga babi adalah Rp 9.000,- per kilo. setelah dipotong, harganya menjadi Rp 50.000 per tiga kilo. untuk pekerjaan memotong babi, ia diperbolehkan mendapatkan bagian-bagian tertentu dari babi itu, seperti cuping telinga, hati, paru dan lebih banyak darah. memotong babi sama sekali bukan pekerjaan ringan, tetapi "saya suka menyembelih babi" katanya dengan wajah ceria. sama sekali tak terlihat kekejaman jagal di senyumnya.

"kalau waktunya memotong babi, saya harus bangun jam 4 pagi. dan baru jam 3 sore pekerjaannya selesai. saya jadi capek sekali". babi terkahir yang dipotongnya berbobot 143 kilogram. pantas saja dia kelelahan setelah urusan yang bersimbah darah itu.

setiap kali bertemu dengannya, selalu terbersit rasa iri dalam hatiku pada mimik wajahnya yang selalu damai. tanpa galau.

Monday, May 08, 2006

kopi senin senja

aku meletakkan cangkirku. terlalu lelah untuk menghitung berapa banyak kopi yang kuhabiskan dalam dua hari terakhir. tentu lambungku telah dihiasi bercak-bercak kafein. mungkin bentuknya seperti tetesan cat yang mengalir diatas kanvas. karena aku nggak menyesap kopi. aku menenggaknya habis dalam beberapa tegukan saja. aku minum kopi dengan Chih Chiang, lalu dengan Jill, belum lagi yang aku minum tanpa ditemani siapapun. aku merasa sebagian tubuhku solid, dan sebagian lagi transparan. aku harap kafein yang mengendap dalam darahku bisa membuat tubuhku menemukan massanya.

aku sudah mandi tujuh kali sejak kemarin. ini rekor yang agak mencengangkan, karena tempat yang kutuju hanya rumah dan kantor. aku hanya merasa kalau aku harus mandi. harus merasakan aliran air membasahi sekujur tubuhku. membersihkan otakku dari pikiran-pikiran yang nggak perlu. kenangan. ingatan. hal-hal yang selalu melekat disaat yang paling tidak diperlukan. aku melihat keping-kepingnya seperti puzzle. aku memungutnya satu demi satu, dan mencucinya bersih-bersih dengan air hangat, bercampur sabun, shampoo, conditioner, herbal bath bag... tapi ketika kupikir semuanya sudah dilarutkan... dan mengalir ke pelimbahan... entah bagaimana mereka menemukan cara untuk kembali.

kenapa kita masih bisa merasa kehilangan sesuatu yang sudah lama tidak ada di tempatnya? kalau kita bisa mengingat, berapa banyak benda yang pernah kita hilangkan seumur hidup? pena, penghapus, handphone, penggaris, kaset, kesempatan, buku, kunci, stnk, dompet, pensil, karcis parkir, uang, tas, mimpi, persahabatan, cincin, tiket kereta, saputangan, harapan... kehilangan keinginan. mungkin kita menaruhnya di suatu tempat, lalu tertinggal. mungkin kita meletakkannya, dan sengaja tidak mengambilnya kembali. lalu kita lupa.

sayangnya lupa itu tidak permanen. ingatan, kenangan dan masa lalu hanya tenggelam diantara hal-hal baru. mengendap dan menunggu dengan seringai licik dari kegelapan, dari dasar yang terdalam. menunggu kail yang jahil, sampai sesuatu mengaisnya lagi. cukup satu kata kunci, separuh frase, sekelebat bayangan...

disaat-saat seperti ini, iTunes yang menjadi saksi tanpa keluh. kalau Tompi ada disini, duduk di hadapanku, menuang kopi ke cangkirnya di seberang cangkirku. dia pasti minum kopi jahe. aku sudah memaksanya mendendangkan nyanyian yang memujaku sepanjang malam...tahukah kau diriku tak sanggup hidup bila kau jauh dariku...bagian yang terus menerus kudengar dalam tidurku yang gelisah dan penuh potongan wajah. apakah tenggorokanmu serak sekarang?

ada hari-hari ketika, seperti jutaan perempuan yang lain, aku menjadi istimewa karena harus diperlakukan dengan pemahaman lebih. bukan karena kesengajaan kalau hormon-hormonku sedang sama nggak stabilnya dengan nitroglycerin. apalagi kalo reaksi kimianya nggak tepat.

Sunday, May 07, 2006

just married

"berapa umur kamu?" tanya Thor sambil tersenyum sementara musik dari panggung masih terus mengalun. "dua puluh enam" jawabku membalas senyumnya.
"no way! nggak mungkin. kamu pasti bohong. kamu mestinya dua puluh satu, atau dua puluh dua tahun" jawabnya sambil membelalakkan mata. aku hanya tertawa.

esoknya, aku ketemu Angus, yang bertanya apakah benar aku ada di Opera tadi malam dan turun menari di depan panggung. sambil tertawa malu, aku membenarkan. duh, aku bahkan nggak ngeliat Angus ada diantara sekian banyak orang malam itu. yah, gimana bisa lihat meja lain, mejaku penuh oleh sembilan orang rombonganku, dan perhatian kami terpusat pada panggung.
"you look different last night. mmm... how old are you again?"
"twenty six" kataku
"oh, no! I thought that you're twenty two"

dan pagi ini, waktu sedang sarapan bersama jurnalis dan kru TVBS Taiwan, Jill- senior columnistnya bertanya padaku sambil menyantap bubur ayamnya.
"Ina, how old are you?"
"I'm twenty six" jawabku sambil tersenyum.
"really? I don't believe you. you have to be twenty two. you are twenty two" katanya sambil menatapku lekat-lekat. ada ekspresi nggak percaya di matanya.
aku tertawa setelah semua orang di meja berseru juga membenarkan perkiraan Jill. nggak mungkin aku dua puluh enam. hihihi... maksa bener yah...

jadi waktu aku terima smsmu di pagi hari berkabut tadi; waktu kamu bilang kalo pagi ini kamu melangsungkan pernikahanmu dan mohon restu padaku, aku membalas smsmu dengan ucapan selamat. dan berharap semoga keluargamu bahagia.

kamu boleh menikah duluan. tapi aku yang lebih awet muda dan diwawancarai TV dari Taiwan dan majalah dari Taiwan. nggak kalah sama Agnes Monica.

Saturday, May 06, 2006

soaked in english

setiap hari aku hidup dengan dua bahasa, Inggris dan Indonesia. kadang-kadang empat bahasa, kalau Bali dan Jawa dihitung juga. dalam pekerjaanku, aku lebih banyak berhubungan dengan orang asing daripada pribumi. makanya aku lebih banyak hidup dengan bahasa Inggris sekarang. seringkali, aku lebih memahami tulisan dalam bahasa Inggris, dan merasakan nilai maknanya lebih kuat daripada kalau membaca terjemahan dalam bahasa Indonesia. yang aku tulis dibawah ini, contohnya, adalah hal-hal yang dipercakapkan dalam bahasa Inggris selama tiga jam pertemuanku dengan Jamie, Editor in Chief sebuah majalah gaya hidup dan John, Pengacara Properti yang berpraktik di Inggris dan Perancis:

perkenalan, meeting room, gym, spa, villa, bulan madu, Melinjo, alergi Aspirin, kacang, test alergi, Soto, Serai, sungai Campuhan, wedding chapel, sungai Oos, trekking, Borobudur, Prambanan, snowboarding, mountain biking, rock climbing, kemping, salju, kepala sekolah mereka di SMU, bahasa Indonesia, Madame Robinson (guru bahasa Perancis di SMU mereka), SMU mereka, menjadi guru, ibu masing-masing, konferensi, hotel di Ubud, orang Jerman, tidur, rumah Jamie, sepakbola, Ice Bar, stalaktit-stalakmit, pengacara properti, sirkulasi majalah, rencana iklan, pariwisata Bali, mental staff, Mandala, Tibetan Buddhism monk, Seven Years in Tibet (film), Brad Pitt, international law, NKOTB, Take That, Robbie Williams, Beckham, bahasa Inggris, hukum di Inggris, kolam renang, sawah, bebek, tanah (land), matahari terbit, kabut, anjing dan ayam, sabung ayam, monyet, Monkey Forest, lapangan sepakbola, Manchester United, Liverpool, The Curious Incident (judul buku), Balawan, lukisan, bom, kecelakaan, Tube (kereta bawah tanah Inggris), kuliahku, ayah Jamie, hukum Islam, dangdut, Superman is Dead, berbagai jenis makanan, Mc Donald's, orang Inggris, tepung beras, jenis-jenis bumbu, kue tradisional, gado-gado, sambal kacang, label baju, sambal matah, halaman fashion di majalah, harga yacht, yacht dengan gym, bahasa Perancis, cerita dalam sebuah novel berbahasa Perancis, Hanoman, Ramayana, novel Indonesia, Neka Museum, Pak Neka, Pak Koman, Nepal, pemberontak Mao, jungle hammock, peralatan rock climbing, berkemah dalam liang salju, pantai Padang-Padang, Canggu

ini hanya hal-hal yang teringat. rasanya ada juga hal yang terlupakan. jadi Heri, bahasa Indonesia memang nggak cool, tapi ngomong bahasa Inggris terus itu capek....

Friday, May 05, 2006

maaf, straw-nya habis

jangan heran kalau mendengar kalimat itu diucapkan waktu kamu membeli minuman kotak di convenient store 24 jam yang bertebaran di Ubud. awalnya aku sendiri juga bingung. logikanya, setiap minuman kotak datang dari pabrik bersama dengan sedotan alias pipet alias straw-nya. bagaimana mungkin jumlah minuman kotaknya lebih banyak daripada sedotannya, dan sedotannya habis lebih dulu?
udah gitu, kalo sedotannya habis biasanya si penjaga toko nggak mau menjual minuman kotak itu padaku. hal yang pasti akan ditentang pebisnis dan marketer handal. uang kok ditolak!

suatu kali aku bertanya kenapa pada si penjaga toko, gara-gara dia mengambilkan sedotan Capri-Sonne dari bungkusnya, untuk Buavita Guava yang kubeli. alasannya karena dari pusat convenient store itu, semua sedotan udah dilepas dari kotaknya. tetapi bagian pengantaran nggak pernah ambil pusing untuk memastikan jumlah dan jenis sedotan yang disertakannya sama dengan jumlah minuman kotak yang dibawanya. kadang-kadang dibawakan, kadang-kadang nggak. kalau barang sudah sampai, maka tanggung jawab penjaga toko untuk ambil sedotan. meskipun itu kesalahan bagian pengantaran. aneh bener!

aku rasa di gudang pusat convenient store itu, ada seonggok sedotan tanpa minuman kotak. onggokan yang akan berubah jadi gundukan dalam waktu beberapa bulan saja. sekarang ini aku sedang mempertimbangkan untuk meminta pemilik usaha convenient store mencari penanggung jawab sedotan

sedotan lurus berwarna oranye yang diberikan penjaga toko itu tentu saja lebih pendek daripada kotak minumannya dan itu bikin aku harus menjungkirkan kotaknya supaya jus itu bisa kuminum habis tak bersisa.

Wednesday, May 03, 2006

Galungan dan Siklus Waktu

ini Galungan -ku yang ke-empat. Galungan pertamaku on the spot terjadi bulan Agustus, waktu aku belum tinggal di Bali, tapi sedang membantu menyiapkan pembukaan pameran tunggal Suklu. saat itu, di Batubulan, aku kebingungan menemukan semua tempat tutup, semua rumah berhias penjor dengan padi-padian dan kue digantung, serta orang-orang berpakaian adat lalu lalang tanpa kupahami apa yang terjadi. Galungan keduaku di bulan Maret tahun berikutnya, aku lalui dari satu pura ke pura yang lain. Pura Banjar Teruna, Pura Desa Peliatan, Pura di daerah Pejeng, sampai dua Pura di kawasan Nusa Dua. hari itu aku menemani Munehide Ida hunting foto upacara. dan untuk pertama kalinya aku melihat Rangda, tokoh ibu, penyihir hitam yang jahat, bersuara serak melengking dan beraura mistis dalam epik Calon Arang.

Galungan ketiga bertepatan dengan awal puasa. saat aku terjebak tanpa pilihan untuk bisa sahur dan buka hanya dengan nasi padang. lain tidak, karena aku nggak mau makan Indomie waktu puasa. mie instant gitu loh... kesannya merana banget. udahlah puasa sendiri, jauh dari keluarga dan sanak saudara... aduh, jadi mellow lagi karena mengingatnya.
kali ini, ada dua pilihan yang diberikan padaku untuk ikut serta dalam suasana Galungan yang meriah seperti Lebaran di kampung-kampung di seluruh penjuru Indonesia. aku bisa ikut ke Pura Dalam Puri dan menyaksikan semua keramaian disana bersama beberapa tamu Komaneka yang juga ingin melihatnya. kalau ikut, aku akan bisa masuk sampai ke bagian dalam yang aksesnya terbatas, karena yang memba kami adalah salah satu pengurus pura.
atau, aku bisa juga pergi ke Tampaksiring, sebuah keluarga pengrajin yang bekerja pada Onet mengundang kami semua; termasuk aku dan Nelly untuk datang ke desanya hari ini. wah...wah... aku harus atur jadual supaya yang ngajakin nggak pada kecewa.

Galungan sendiri adalah salah satu bukti kaitan erat antara kebudayaan di Bali dengan Jawa. berbeda dengan Nyepi yang perhitungannya didasarkan pada tahun Saka yang diimpor dari India, Galungan yang terjadi menuruti siklus 210 hari, dihitung berdasarkan Pawukon yang berasal dari masa Majapahit. aku menyebutnya siklus karena penanda waktu ini tidak disertai dengan angka tahun. Pawukon berawal dan berakhir di tempat yang sama, tidak bertambah, tidak berkurang. melayang diantara tahun Masehi, Hijriyah, Saka, dan tahun lainnya. perhitungan Pawukon ditandai dengan Wuku atau nama pekan (aku sengaja tidak menggunakan kata 'minggu' untuk tidak mengacaukannya dengan hari Minggu) , yang kesemuanya berjumlah 30 buah. Pawukon adalah siklus agraris, yang didasarkan pada musim tanam. Galungan dalam hal ini dimaksudkan sebagai pesta panen, merayakan keberhasilan musim tanam yang baru saja berakhir dan berdoa untuk musim tanam berikutnya. relief tentang mitos-mitos seputar Pawukon diantaranya dapat ditemui di Candi Sukuh. Galungan terjadi pada Wuku Dunggulan.

dan aku lahir di Wuku Watugunung

duka yang menyusun sendiri petualangannya

  rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...