waktu blogwalking, aku menemukan blog-post ini, yang membuatku teringat pada percakapanku dengan Papa, tentang adik bungsuku, satu-satunya anak laki-laki di rumah, yang tahun ini mulai masuk kuliah. umur tujuh belas itu kan sedang lucu-lucunya. lagi heboh nongkrong tiap hari sama temen-temen di kampus, yang bilangnya kuliah dan pulangnya tengah malem, hihihi... dan lagi sibuk pendekatan sama sekian banyak gadis sekaligus. pendekatan aja mulu, yang diteleponin tiap hari ganti, tapi nggak ada yang jadi. ahaha...
Papa memang cuma bicara sekilas, tapi aku ngerti lah kalau beliau khawatir dan rada-rada cemas sama adikku ini. terutama sama pergaulannya di luar. yah, gimana lagi. jadi orangtua emang penuh dilema, 'kan. kalau terlalu ketat mengawasi, nanti anaknya tertekan dan nggak bisa berkembang dan berontak. kalau memberi kebebasan, takutnya si anak akan memanfaatkan kesempatan dan jadi lepas kendali. makanya waktu aku bilang "Papa jangan terlalu khawatir sama Memet". dengan nada sedih Papa bilang "abis gimana, namanya juga anak"
aku langsung diem. bener juga, ya.
hal lain yang bisa menjelaskan sikap Papa, adalah karena aku dan adik perempuanku, sama-sama keluar rumah sejak umur belasan. aku pergi umur 18 untuk kuliah di Jogja, adikku masuk asrama sekolah perawat umur 15. itu terjadi di tahun yang sama karena usia kami terpaut tiga tahun. aku kembali ke rumah waktu berumur 23 tahun. dan umur 24 aku pergi lagi. hihihi...
jadi Papa nggak benar-benar mengikuti perkembangan kami (aku dan adikku) pas lagi lucu-lucunya, karena kami tinggal jauh dari rumah. nggak tau kalo aku juga melakukan hal yang lebih kurang sama dengan adik bungsuku. bedanya mungkin cuma aku nggak mendekati cowok-cowok, tapi memilih-milih... mana yang paling ganteng dan paling cool. ahahaha...
menghadapi adik bungsuku adalah pengalaman pertama untuk Papa. pada aku dan adikku, Papa nggak terlalu bisa ikut campur karena tau-tau kami udah jadi aja. aku memilih gaya hidup yang Papa anggap alternatif dan sangat keras kepala sama pilihan-pilihanku. dan aku bersikeras nggak mau tinggal serumah dengan orang tua lagi.
Papa jelas ingin sesuatu yang lain untuk adik bungsuku.
kemarin sore waktu baca buku Ayah vs Anak Lelakinya ini, aku malah jadi senyum-senyum sendiri teringat Papa, dan adik bungsuku. aku pikir buku ini bagus buat dibaca orang awam, karena penulisnya, seorang psikolog dan ibu dari dua anak, bisa memaparkan analisanya dengan bahasa yang sangat mudah dicerna, nggak pake istilah yang aneh-aneh, dan nggak mengutip kesana kemari. yang terakhir ini menurutku kecenderungan penulis baru, yang merasa perlu memakai nama-nama besar untuk menunjukkan bahwa dia pintar dan sudah pernah membaca buku atau teori tertentu. please, deh. kalo mau baca teori orang, nanti aku beli sendiri bukunya.
selain itu, dari analisanya, jelas bahwa Ieda Poernomo Sigit Sidi adalah seorang feminis. seluruh analisanya tidak bias dan sensitif gender. terlihat bahwa ia sangat memahami berbagai persoalan yang disebabkan oleh kontruksi budaya (dan agama), terutama dalam hubungannya dengan peran laki-laki dan perempuan, serta bagaimana dinamika hubungan antara dua gender. hal ini menjadikan kasus-kasus yang ditulis dalam buku ini sangat relevan dengan konteks masyarakat Indonesia. nggak sulit buatku untuk mengingat cerita hidupku, saudara atau temanku, yang disana-sini bersesuaian dengan hal-hal yang ditulisnya.
kalaupun ada hal-hal yang tidak ditulisnya, misalnya hubungan antara ayah dan anak laki-laki yang secara terbuka mengakui kalau ia seorang penyuka sesama jenis, aku rasa itu hanyalah sebuah pilihan, dan bukan kekurangan buku ini.
sayang editornya kurang jeli dan teliti, sehingga ada beberapa alur cerita yang agak membingungkan, atau kurang tepat logikanya. kalo yang ngedit Joan, editor yang dalam darahnya mengalir EYD, mungkin ceritanya akan jadi lain.
uhm, apa Bu Ieda mau saya kenalkan?
Papa memang cuma bicara sekilas, tapi aku ngerti lah kalau beliau khawatir dan rada-rada cemas sama adikku ini. terutama sama pergaulannya di luar. yah, gimana lagi. jadi orangtua emang penuh dilema, 'kan. kalau terlalu ketat mengawasi, nanti anaknya tertekan dan nggak bisa berkembang dan berontak. kalau memberi kebebasan, takutnya si anak akan memanfaatkan kesempatan dan jadi lepas kendali. makanya waktu aku bilang "Papa jangan terlalu khawatir sama Memet". dengan nada sedih Papa bilang "abis gimana, namanya juga anak"
aku langsung diem. bener juga, ya.
hal lain yang bisa menjelaskan sikap Papa, adalah karena aku dan adik perempuanku, sama-sama keluar rumah sejak umur belasan. aku pergi umur 18 untuk kuliah di Jogja, adikku masuk asrama sekolah perawat umur 15. itu terjadi di tahun yang sama karena usia kami terpaut tiga tahun. aku kembali ke rumah waktu berumur 23 tahun. dan umur 24 aku pergi lagi. hihihi...
jadi Papa nggak benar-benar mengikuti perkembangan kami (aku dan adikku) pas lagi lucu-lucunya, karena kami tinggal jauh dari rumah. nggak tau kalo aku juga melakukan hal yang lebih kurang sama dengan adik bungsuku. bedanya mungkin cuma aku nggak mendekati cowok-cowok, tapi memilih-milih... mana yang paling ganteng dan paling cool. ahahaha...
menghadapi adik bungsuku adalah pengalaman pertama untuk Papa. pada aku dan adikku, Papa nggak terlalu bisa ikut campur karena tau-tau kami udah jadi aja. aku memilih gaya hidup yang Papa anggap alternatif dan sangat keras kepala sama pilihan-pilihanku. dan aku bersikeras nggak mau tinggal serumah dengan orang tua lagi.
Papa jelas ingin sesuatu yang lain untuk adik bungsuku.
kemarin sore waktu baca buku Ayah vs Anak Lelakinya ini, aku malah jadi senyum-senyum sendiri teringat Papa, dan adik bungsuku. aku pikir buku ini bagus buat dibaca orang awam, karena penulisnya, seorang psikolog dan ibu dari dua anak, bisa memaparkan analisanya dengan bahasa yang sangat mudah dicerna, nggak pake istilah yang aneh-aneh, dan nggak mengutip kesana kemari. yang terakhir ini menurutku kecenderungan penulis baru, yang merasa perlu memakai nama-nama besar untuk menunjukkan bahwa dia pintar dan sudah pernah membaca buku atau teori tertentu. please, deh. kalo mau baca teori orang, nanti aku beli sendiri bukunya.
selain itu, dari analisanya, jelas bahwa Ieda Poernomo Sigit Sidi adalah seorang feminis. seluruh analisanya tidak bias dan sensitif gender. terlihat bahwa ia sangat memahami berbagai persoalan yang disebabkan oleh kontruksi budaya (dan agama), terutama dalam hubungannya dengan peran laki-laki dan perempuan, serta bagaimana dinamika hubungan antara dua gender. hal ini menjadikan kasus-kasus yang ditulis dalam buku ini sangat relevan dengan konteks masyarakat Indonesia. nggak sulit buatku untuk mengingat cerita hidupku, saudara atau temanku, yang disana-sini bersesuaian dengan hal-hal yang ditulisnya.
kalaupun ada hal-hal yang tidak ditulisnya, misalnya hubungan antara ayah dan anak laki-laki yang secara terbuka mengakui kalau ia seorang penyuka sesama jenis, aku rasa itu hanyalah sebuah pilihan, dan bukan kekurangan buku ini.
sayang editornya kurang jeli dan teliti, sehingga ada beberapa alur cerita yang agak membingungkan, atau kurang tepat logikanya. kalo yang ngedit Joan, editor yang dalam darahnya mengalir EYD, mungkin ceritanya akan jadi lain.
uhm, apa Bu Ieda mau saya kenalkan?