ada yang salah dengan proporsi dalam ruang sidang yang kecil ini. lebih sempit daripada ruang sidang lainnya, namun dengan perabot dan perlengkapan yang sama besarnya dengan ruangan yang empat kali lipat lebih besar.
tiang bendera dengan bendera yang kebesaran, hingga menjuntai sekitar 10cm saja dari lantai. tidakkah para pegawai Pengadilan Negeri Denpasar mengetahui tata cara perlakuan Bendera Nasional?
kursi hakim yang seperti dijejalkan paksa dalam ruangan sempit ini, beserta mejanya yang jelas-jelas salah ukuran, atau barangkali ini efek yang disengaja? aku merasa ruangan itu menyusutkan ukuran badanku, membuatku merasa senasib dengan Stuart Little, atau anak-anak yang disusutkan secara tak sengaja oleh ayah mereka. jika disengaja, mereka berhasil. aku merasa tercekam sekaligus menyusut, karena hal-hal yang menjulang sekaligus menyesakkan.
keanehan lain yang aku lihat, dinding yang kosong tanpa foto pasangan presiden dan wakil presiden. tapi... di dinding sebelah kiriku, tampak gambar hakim dalam lukisan gaya Cina. apakah itu Judge Bao?
sepanjang sidang, ketegangan meruap dari tubuh terdakwa yang duduk kaku tak jauh dariku. apakah semua sidang mencekam seperti ini? apakah sidang Prita juga?
pengalaman pertamaku terlibat dalam sebuah sidang pengadilan ternyata jauh berbeda dengan adegan dalam serial seperti Boston Legal atau Ally McBeal. juga tak sama dengan penggambaran dalam Find Me Guilty atau Ghosts of Mississippi. sepanjang sidang, aku terheran-heran, mengapa jaksa yang sudah mengetahui kalau ada saksi dan terdakwa yang tidak terlalu lancar berbahasa Indonesia, justru membaca dakwaannya dengan menabrak semua tanda baca, tanpa intonasi, dengan volume suara yang rendah, tapi ngebut habis-habisan sehingga dua pertiga dari yang dikatakannya seperti hilang terserap udara, nggak pernah sampai ke telinga orang-orang yang harus mendengarnya.
kesimpulanku setelah hari itu adalah sidang pengadilan lebih seperti rekaan drama dalam sinetron, tetapi dengan pemeran yang tanpa kemampuan akting. bahkan akting membelalakkan mata dengan ekspresi dramatis pun tak mereka miliki.
dan kisah bagaimana sesorang bisa sampai ke ruang pengadilan, adalah kisah yang berwarna-warni. sebagian diantara mereka, memang melakukan suatu kejahatan, entah direncanakan, entah karena kalap. sebagian lagi karena sengaja ingin ditangkap, supaya bisa merasakan keteraturan di dalam penjara, sebab kehidupan dunia luar menyisakan sangat sedikit peluang untuk dia yang tak tahu apa yang hendak dilakukannya. seperti tokoh dalam novel John Steinbeck: The Grapes of Wrath. sebagian lagi, karena nasib sial, seperti yang dialami Prita Mulyasari.
berapa banyak diantara kita yang pernah mengeluh, lewat email pada teman, status facebook, twitter, plurk atau tulisan di blog. berapa banyak juga diantara kita yang melakukan itu dari mulut ke mulut, bercerita pada siapapun yang mau mendengarkan, mengenai pengalaman buruk yang kita alami saat berhubungan dengan lembaga layanan publik, supaya orang lain hati-hati, atau malah sekalian menghindarinya.
adalah hal yang biasa kalau misalnya; aku menceritakan kekesalan karena tidak boleh meminjam toilet karyawan di Circle K depan Pantai Kuta, sementara toilet mereka yang diluar sedang rusak (dan sangat kotor), padahal aku dan teman-temanku sudah menghabiskan sekitar Rp 150,000 sebelum berniat meminjam toilet mereka. menurutku itu namanya pelit! dan kelewatan. yang membaca paragraf ini pasti paham kenapa aku kesal.
juga hal yang biasa kalau aku bersungut-sungut saat keluar dari kantor Bank Bumiputera cabang Denpasar, karena teller yang aku tanyai "kenapa di layar ATM tertulis: 'Anda sudah melewati batas transfer/penarikan dana hari ini' padahal saya cuma transfer Rp 200,000?" menjawabku dengan ketus "saldonya nggak cukup, mungkin" tanpa mengangkat muka, tetap sibuk menghitung uang, dengan wajah jutek. meh.
atau, orang juga bisa mengerti kenapa aku ngomel-ngomel waktu denger pemberitahuan PLN, karena rencana pemadaman bergilir yang harusnya beres akhir tahun ini, masih diperpanjang lagi beberapa bulan ke depan. bah. tagihan gak boleh bayar telat, tapi kerja perusahaan negara yang memonopoli pasokan energi listrik ini asal-asalan. semua orang yang pintar (baik yang minum tolakangin atau bukan) tahu kalau setiap mesin ada jangka pemakaiannya, maka acara perawatan alias maintenance bisa dijadwalkan. lalu, apakah nggak cukup masuk akal buat para pemimpin PLN untuk, misalnya, punya cadangan pembangkit yang bisa dioperasikan selama masa
maintenance? kesannya kok kayak pasang TV di kecamatan. karena TV sedang rusak, acara nonton bareng di kantor kecamatan ditiadakan untuk sementara. bisa-bisanya punya logika dangkal seperti ini, saat berhubungan dengan jutaan pelanggan.
dan ketika keluhan semacam ini ditanggapi berlebihan, orang-orang yang pernah mengalami rasa kesal dan kecewa akibat pelayanan yang kurang profesional, mereka menumpahkan kekesalan dan kekecewaan itu dengan berupaya membebaskan Prita, dari putusan hukum yang telah dibuat sedemikian rupa, dengan cara apapun. termasuk mengumpulkan uang receh, karena keadilan telah direcehkan.
maka selama lebih kurang dua minggu itu, dengan penuh rasa haru aku mengamati berita di surat kabar, di televisi, email-email dalam mailing list dan komentar di beberapa situs, status twitter, plurk dan facebook yang berisi ajakan untuk mengumpulkan koin, bagaimana membawanya dari seluruh Indonesia dan berbagai negara ke pusat pengumpulan di Jalan Langsat, sampai saat penghitungannya. tajuk dan artikel di surat kabar mencatat komentar orang-orang, dari beragam profesi dan usia, yang menyisihkan waktu dan energinya untuk membawa koin, update juga terus bermunculan di situs koinkeadilan. koin-koin itu datang dalam celengan, ransel, buntelan serbet, amplop, kantong kain, karung beras, naik motor, naik mobil, berjalan kaki, didatangkan dengan truk, lalu TIKI JNE juga membebaskan biaya pengiriman koin-koin itu dari berbagai kota di Indonesia ke Jakarta. sebagian dari koin-koin itu telah dikumpulkan selama bertahun-tahun. gerakan ini adalah alasan yang tepat untuk menggunakannya. sebagian besar mereka yang menyumbang menolak menulis nama, atau mengambil tanda terima.
kisah ini sampai pada bagian yang membuatnya pantas difilmkan, dengan adegan dramatis seperti dalam Lean on Me, atau Milk. tentu sutradaranya Gus van Sant, Mike Nichols atau Francis Coppola.
dan di manapun wadah pengumpulan koin itu diletakkan, meskipun terbuka, tak seorang pun berniat untuk mengambil isinya. mereka, yang mengumpulkan koin itu, memahami sakitnya ketidakberdayaan. dan Rp 204,000,000 itu, mereka kumpulkan karena tak mau Prita sendirian menanggungnya.
saat aku menulis ini, jumlah koin itu telah mencapai lebih dari Rp 800,000,000.
lalu ketika uangnya terkumpul, terbetik kabar RS. Omni Internasional mencabut gugatannya. apakah ini akhirnya, Prita? atau apakah ini sekedar ketakutan sementara karena uang receh yang berton-ton beratnya itu sedianya (menurut gosip) akan dilemparkan ke arah mereka-mereka dengan cara seperti melempar jumrah?