"dian-san! ida-san akan datang satu jam lagi!"
kaoru-san serta merta mendekati mejaku sambil meneriakkan kalimatnya. dengan tas hitamnya yang biasa, yang berisi tumpukan file-file yang kujejalkan padanya setiap saat. di tangan kanan ia memegang hand phone yang ringtone-nya selalu terdengar sumbang di telingaku.
"saya barusan dapat menelepon dari ida-san. dia bilang dia udah mau keluar dari bali intercontinental dan langsung ke ubud. ke komaneka untuk bertemu mbak dian"
aku tertawa. rencana kedatangan ida-san udah bikin kami berdua nervous sejak tiga hari yang lalu. satu-satunya yang harus kami pikirkan adalah mengatur jadual, antara bekerja, hidup pribadi dan menemani ida-san. dia jelas-jelas akan ada di ubud untuk berlibur, bukan bekerja. seperti yang lalu, kanak-kanak yang hidup dalam jiwanya bikin kaoru-san harus jadi baby sitter. kali ini untuk dua orang sekaligus. ida-san, dan aku.
kami seharusnya mengurus beberapa teks dan kalau memungkinkan pergi ke tanggayuda. lalu aku juga masih punya beberapa deadline kecil. tapi sebelum itu, kami terlebih dahulu akan menemui ida-san.
aku sedang mengedit teks-ku ketika kaoru memekik kecil
"ida-san... konichiwa!"
dia berdiri disana, tersenyum dari balik jendela kantorku. membungkukkan badan, lalu tersenyum sambil melambaikan tangan padaku. aku balas melambai
"hi, ida-san. come in. pass through that door"
aku merasa harus melakukannya, menunjukkan jalan dengan lambaian tanganku atau dia akan terus berdiri disana tanpa bergerak. dia melangkah dan aku menyongsongnya. kami bersalaman.
topi a la koboi-nya tak berubah. juga kacamata yang sok gaya, sendal gunung, celana kain yang kelihatan nyaman dan kemeja hijau muda. ida-san, hidup dan solid. berdiri di hadapanku lagi setelah lebih dua bulan berlalu.
tapi dia harus buru-buru karena masih ada sedikit pemotretan dengan JTB, yang membiayai perjalanannya kali ini. ada banyak pertanyaan, tapi harus kusimpan sampai satu setengah jam lagi, saat dia berjanji akan kembali. semua barangnya kecuali tas sandang dan kamera ditinggal di kantorku. satu kopor besar yang akupun muat di dalamnya, satu kopor stainless tebal yang lebih kecil, kopor stainless lagi dan lebih kecil dan pipih, tas panjang yang kemungkinan berisi tripod, trolley kecil untuk menghela kopor, satu suitcase berbahan canvas warna hitam yang entah apa isinya... bawaan yang kata kaoru lebih penting dari nyawanya. ah, orang jepang yang suka hiperbola.
tepatnya dua jam lima belas menit kemudian ida-san baru muncul dan langsung menyusul kami yang sedang makan siang. dia masih tetap suka makan makanan pedas dan berempah. jadi bisa kubayangkan betapa tidak senangnya menghabiskan tiga minggu di phuket tanpa makan makanan thailand karena agent yang pergi bersamanya lebih suka masakan eropa dan ida-san harus selalu mengikuti selera agent itu.
masih tetap keringetan kalo makan, masih tetap bicara dengan nada yang sama, tersenyum dengan cara yang sama, dan mata cokelat yang teduh itu tetap memandangku dengan cara yang sama.
percaya atau tidak, aku lebih banyak diam. ikut berkomentar sesekali, atau tertawa kalo ada yang lucu. percakapan lebih banyak terjadi dalam bahasa jepang dan bahasa indonesia. walaupun dia juga bicara dalam bahasa inggris padaku.
kami berpisah pada jam 4 sore dan berjanji bertemu lagi pada jam 7 malam.
waktu satu demi satu tasnya naik ke mobil. ida-san bilang kalo tiba-tiba dia ngerasa sedih... karena suasananya seperti sedang di airport. aku tersenyum dan kubilang padanya kalo kita masih punya banyak waktu untuk ketemu.
jadi sekarang, selamat istirahat, ida-san...
"...kamu bicara seolah kata-katamu tercetak dalam sebuah buku.." demikian seorang teman berkata. suatu hari. disini, serpih-serpih hari kukumpulkan, dalam tulisan
Sunday, March 06, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
duka yang menyusun sendiri petualangannya
rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...
-
meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca bu...
-
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk ...
No comments:
Post a Comment