aku disambut dengan senyum oleh tiga orang yang duduk di meja itu. tentu saja aku segera mendatangi Azlina, karena padanya aku berjanji untuk datang dan menemui teman-temannya dari Jakarta yang sedang ada di Ubud.
"this is Laura" katanya memperkenalkan gadis muda yang sibuk dengan pensil dan buku sketsa. wajahnya separuh asing namun bernuansa Asia. pastilah ia berdarah campuran.
"ini Pak Nasir" lelaki separuh baya itu tersenyum dan mengulurkan tangannya yang hangat.
aku duduk di satu-satunya kursi yang tersisa, membaca menu yang disodorkan pelayan, memesan dan mulai terlibat dalam percakapan mereka. Laura masih sibuk berkutat dengan pensil dan buku sketsanya. sudah bertahun-tahun aku tidak menganggap sikap seperti itu sebagai tidak sopan. seniman yang baik adalah seniman yang mencurahkan hidupnya untuk berkarya.
seperti yang ditulis Laura di sampul buku sketsanya.
home is here.
home is where a pen is near.
ketika Pak Nasir bercerita mengenai "Tribute to Rumi" yang sedang dipersiapkannya untuk Ubud Writers and Readers Festival, barulah Laura bereaksi. tampaknya dia sudah Rumi overloaded, karena selama lebih dari sebulan ini, ia terus menerus mendengar Pak Nasir bicara mengenai Rumi, pada siapapun yang duduk dengannya. "No more Rumi!" katanya sebelum memutuskan pindah ke meja di sebelah.
kami tertawa.
sejujurnya aku hanya tau sedikit sekali tentang Rumi. dan sempat berpikir untuk mencari tahu lebih banyak. aku membuat mental note untuk membaca karya Rumi. segera.
pesananku datang dan aku mulai makan. sebenarnya, mereka sudah lebih lama sampai dan sudah menyelesaikan makan malam, karena aku lebih dulu menyempatkan datang ke pembukaan pameran "Luminescence"-nya Tisna Sanjaya di Tonyraka Gallery. sambil makan aku sempat bercerita tentang diriku, latar belakangku dan pekerjaanku pada Pak Nasir.
tampaknya ia tertarik, karena kemudian memutuskan untuk datang ke Komaneka hari ini.
ia kemudian bercerita tentang biografi seorang tokoh yang tengah ditulisnya. mula-mula aku mengalami kesulitan mengingat nama perempuan yang fotonya ia tunjukkan. tapi kemudian aku ingat, setelah ia memberi petunjuk tambahan. wah! dari cerita Pak Nasir, perempuan ini hebat sekali. dan dia pasti bukan penulis sembarangan kalau sampai mendapat kesempatan menulis biografinya.
Laura baru kembali ke meja kami setelah seseorang nyaris memindahkan kursinya yang saat itu kosong ke meja yang lain. ia lalu menunjukkan gambar yang dibuatnya. potret diri dengan kedua tangan tertangkup di telinga, meneriakkan "NO MORE RUMI!" dengan bulan sendu yang separuhnya tertutup awan di latar belakang. sementara di bagian bawah gambar dirinya, ia menulis "I was raw, I got baked and sold at Casa Luna"
kami semua tertawa melihatnya. Casa Luna itu Restoran dan bakery di Ubud, kalo ada yang nggak tau. dan adalah Rumi yang berkata "I was raw, I got cooked, I burned"
Laura kemudian menunjukkan buku sketsanya. karena Pak Nasir bilang kalau aku manager galeri seni dan mengkurasi pameran juga. sambil melihat drawing didalamnya, kami mulai bicara tentang Takashi Murakami. aku bilang padanya kalau menurutku Takashi adalah salah satu seniman paling penting di Asia saat ini karena karyanya merangkum pop culture, media massa dan sub culture sekaligus. karya-karyanya menjelaskan bagaimana generasi yang tumbuh pada dekade 80'an dan seterusnya dibesarkan di depan televisi, oleh kartun, anime dan manga. dan fenomena ini menurutku, tidak hanya terjadi di Jepang, tapi juga beberapa negara lain di Asia Timur dan Tenggara.
*lirik-lirik id-anime*
sampai kemudian aku menemukan salah satu halaman buku sketsa Laura berisi gadis berusia belasan, dengan ekspresi yang mengingatkanku pada Usagi Tsukino, yang bilang "Leo, do you, do you, do you want to?"
and I simply said "Franz Ferdinand"
Ha! kami ternyata sama-sama suka 4 cowok Scottish yang tergabung dalam grup post-punk itu:D
sementara Pak Nasir berurusan dengan bill (he said jokingly "di negara ini, membayar bill adalah urusan laki-laki"), Laura menulis alamat emailnya untukku, karena aku berjanji merekomendasikan bacaan tentang Takashi Murakami untuknya. ia menulis. Laura-NASIR TAMARA.
aku tertegun.
pantas wajah itu terasa familiar.
bertahun-tahun yang lalu, waktu masih SMP, setiap hari aku membaca artikel-artikel yang ditulis oleh Nasir Tamara, karena kami langganan koran Republika di rumah dan ia menjadi editor disana. wawasan dan pikiranku tumbuh bersama tulisan-tulisannya. aku belum sepenuhnya memahami apa yang kubaca saat itu, tapi setidaknya, tulisan Nasir Tamara yang paling mudah dibaca. dan tentu akibat kelihaian kamera, aku mengira ia lebih jangkung daripada waktu aku bertemu langsung dengannya tadi malam. dulu juga rasanya ia lebih kurus:p
it was nice meeting you, Pak Nasir.
"...kamu bicara seolah kata-katamu tercetak dalam sebuah buku.." demikian seorang teman berkata. suatu hari. disini, serpih-serpih hari kukumpulkan, dalam tulisan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
duka yang menyusun sendiri petualangannya
rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...
-
meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca bu...
-
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk ...
7 comments:
hmm...ga terlalu akrab dg nama itu..nampaknya aku mesti update info dg jaman sekarang...
*sigh*
Minta tanda tangan dan foto bareng nggak, Jeng? :-D
Ya...kalo jamannya ngkoh dulu kan blom ada republika. Korannya aja masih dipahat di batu
*kabooorrr*
Mudah-mudahan pendapat anda tidak berubah setelah mengenal lebih jauh pribadinya......:-) :-) :-)
Begitu hebat ???? No comment....
yang terlihat hebat di luar belum tentu hebat yang sesungguhnya kan...haha..
Wah, nampaknya anda kenal dekat dengan pak nasir yaa..sampai bernada sinis begitu?kita sih hanya mengagumi tulisan2 beliau di Republika dulu.Apa yang salah dengan personality-seorang nasir tamara?
Post a Comment