di hadapanku sebuah gerbang rumah Bali tegak berdiri. aku ragu-ragu untuk melangkah terus karena mendengar gonggongan anjing bersahutan dari balik gerbang itu.
"kamu punya anjing?"
"punya banyak. dan suka makan daging manusia"
"terima kasih banyak, informasi yang benar-benar melegakan"
kamu melangkah melewati gerbang, berhenti untuk menyapa salah satu anjing yang mendekat. gonggongan anjing itu berubah jadi geraman yang sama sekali tidak garang. lebih seperti lenguhan, keluhan untuk meluapkan rasa. mungkin anjing itu rindu pada kamu, tuannya yang sudah berhari-hari tidak pulang.
"masuklah!" kamu menyeru padaku.
takut-takut aku memberanikan diri masuk melintasi gerbang. baru lima langkah salah satu anjing mendekatiku. warna bulunya putih, hidungnya berair, mengendus-endus mendekati celanaku. dari sudut rumah di sebelah kananku, anjing berbulu cokelat menyalak-nyalak tak terkendali.
"anjingmu!" protesku
tapi kamu berlalu dan masuk ke dapur. si penjaga rumah yang buru-buru menarik anjing dari dekatku dan menyuruh anjing cokelat untuk diam.
kamu keluar dari dapur dengan sebuah pisang ambon ditangan. tersenyum. sambil mengupas pisang dengan tangan kanan, kamu bertanya
"kamu belum pernah kesini ya?"
"belum"
"sini. aku kasih kamu tur"
didalam kepalaku, kalimatmu jadi tercetak di layar komputer. aku akan menekan overtype button, lalu kuletakkan kursor di belakang kata aku. kalimat yang kuketik mulai tercetak di layar "sini. aku ajak kamu berkeliling". ah, lagi-lagi kamu menerjemahkan langsung kalimat dalam bahasa Inggris "I'll give you a tour"
sementara itu kamu sudah mulai berjalan ke halaman yang berpagar tembok pendek. bisa kulihat batas air laut yang biru keperakan memantulkan cahaya matahari siang yang terik. rumah ini terdiri dari beberapa paviliun. semua serba terbuka dan minim dinding. sebuah layang-layang tergeletak di dekat perdu.
"wanna fly a kite?"
tanpa menunggu jawabanku, kamu mendekati tembok.
"kalau kamu minum teh di rumah ini, lemongrass-nya segar, bisa dipetik langsung dari halaman" katamu sambil membungkuk menunjuk rumpun serai yang berjajar dengan beberapa pohon kemangi. surawung, kalo kata orang Sunda.
kamu berjalan menuju salah satu paviliun terbuka, yang berisi sebuah meja dan satu set sofa.
"ini ruang kerjaku. aku biasa bekerja di meja ini"
aku ingat kamu pernah bercerita tentang paviliun ini. tapi apa yang aku lihat ini berbeda dengan apa yang aku bayangkan waktu kamu bercerita. didalam kepalaku, paviliun ini hanya terisi meja dan sebuah kursi, tanpa sofa.
kamu terus berjalan melintasi jalan setapak yang dibentuk dari batu bulat tersusun sedemikian rupa membentuk jalur melintas halaman. menunjuk ke arah kanan kamu berkata
"ini kamarnya Bob"
"siapa itu?"
"teman Ibu. sudah satu setahun dia menginap disini dan nggak pulang-pulang"
kamu terus berjalan dan aku mengikuti di belakang. sempat kulihat kamar Bob yang salah satu sisinya tak berdinding. sebuah ranjang dengan kelambu di kamar itu. buku dan barang-barang pribadi lainnya terserak berantakan di kamar itu.
kamu mendekati paviliun yang lain. ada sebuah meja bertutup disitu.
"ini tempatku bekerja kalau sedang tidak mau diganggu" tutup mejanya kamu angkat.
"jadi kamu bisa membayangkan seperti apa aku bekerja disini?"
aku mengangguk dan tersenyum.
kamu naik tiga anak tangga untuk sampai di pintu sebuah paviliun.
"masuklah"
aku memasuki sebuah kamar dengan tegel berselang-seling warna putih dan hijau. sebuah ranjang berkaki tinggi dengan kelambu putih terletak di sisi kiri ruangan itu. di sebelahnya ada lemari kecil. tumpukan DVD terletak diatas lemari. di sisi kanan ada meja dengan buku-buku bertumpuk tak teratur diatasnya. dari kursi di depan meja itu kamu mengambil setumpuk pakaian bersih, lalu menjejalkannya ke dalam tas yang kamu bawa.
"mau aku bawa ke Ubud semuanya"
lalu kamu membuka pintu ke ruangan lain di sebelah kamar itu.
"ini kamar mandiku. tropical bathroom yang terbuka" aku melongokkan kepala dari pintu.
"smells like you" kataku.
keluar dari ruangan itu, kamu mengajakku berjalan sepanjang halaman, menjauhi kamarmu.
"ini jalan untuk ke pantai" katamu sambil menunjuk laut di kejauhan.
"hey! you're lucky! ada jambu yang matang" kamu meloncat dan mengambilkan jambu yang masak di pohon, mengulurkannya padaku.
"mau?"
"boleh juga"
aku menimang jambu di tanganku.
"ini jambu merah?"
"bukan, jambu kuning" kamu mendekati pohon jambu dan mengambil jambu yang lain, lalu menggigitnya dan menunjukkan padaku
"kuning seperti ini"
kamu berhenti di bagian halaman yang dekat dengan rumah utama.
"dulu disini ada proyek penggusuran besar-besaran untuk taman hiburan. tempat ini sudah hampir jadi lapangan parkir. lalu banyak arwah gentayangan yang datang kesini, bilang mau tinggal disini. menemani Ibu. dulu disini ada pohon besar, tapi sudah meninggal" katamu sambil menunjuk sebuah lubang. di sekitar lubang itu ada tempat menaruh sesajen dan beberapa canang sari tergeletak disekitarnya.
"dimana kamar Ibu?" tanyaku
"disitu" katamu sambil menunjuk keatas. ke jendela di lantai dua bangunan rumah utama.
kamu berjalan lagi, sekali ini mendekati dapur. lalu berhenti dibawah tanaman merambat yang berbuah banyak. mengambilnya satu, lalu mengulurkannya padaku.
"apa ini?"
"markisa pantai. ini udah matang juga. cuma agak asam sedikit. ada macam-macam tanaman buah disini."
perjalanan pulang ke Ubud siang itu kamu isi dengan cerita tentang hidupmu di sekolah. bagaimana kamu pindah SD karena selalu terlibat kesulitan, siapa yang pertama kali memupuk minatmu pada sastra...
ah! ada banyak pertanyaan di kepalaku. tapi semuanya kusimpan. hasil rapat hari ini sudah cukup membebanimu. tak perlu kutambah lagi.
***
sorenya beberapa pertanyaanku terjawab karena sepanjang jalan berangkat dan pulang dari Alila, Ibu menceritakan perjalanan hidupnya padaku. tentang pernikahannya, ayahmu, keluarga kalian dan kisah-kisahnya.
aku bisa membayangkan kamu yang berusia tujuh tahun, anak laki-laki berkulit putih yang chubby, pulang sekolah dengan baju seragam robek dan kumal, wajah coreng-moreng karena peluh dan debu, dengan air mata mengalir di pipi kananmu.
"batu bisa menghancurkan tulangmu. tapi kata-kata tidak bisa"
untunglah mataku yang sebak terlindung kaca mata hitam yang kukenakan.
sorenya beberapa pertanyaanku terjawab karena sepanjang jalan berangkat dan pulang dari Alila, Ibu menceritakan perjalanan hidupnya padaku. tentang pernikahannya, ayahmu, keluarga kalian dan kisah-kisahnya.
aku bisa membayangkan kamu yang berusia tujuh tahun, anak laki-laki berkulit putih yang chubby, pulang sekolah dengan baju seragam robek dan kumal, wajah coreng-moreng karena peluh dan debu, dengan air mata mengalir di pipi kananmu.
"batu bisa menghancurkan tulangmu. tapi kata-kata tidak bisa"
untunglah mataku yang sebak terlindung kaca mata hitam yang kukenakan.