setelah terguncang-guncang selama hampir setengah jam, SQ 143 yang aku tumpangi mendarat di bandara
Changi. awan tebal menyelimuti angkasa Singapura hari itu. setiap kali menembus gumpalan yang kelihatannya lembut dan empuk itu, pesawat bergetar dan berguncang. ini merupakan perjalanan menembus awan yang paling parah yang pernah kualami dan kebetulan saat pertama kalinya aku ke
Singapura. big thanks to
Mr. Amar Darira buat supportnya untukku sehingga aku bisa sampai disini. ini juga pertama kalinya aku naik
Singapore Airlines (soalnya tiketnya mahal) dan pesawatnya memang benar-benar nyaman, pramugarinya pun ramah-ramah. dua setengah jam perjalanan sebagian besar kuhabiskan dengan mendengarkan
Ministry of Sound di
channel rock .
On Signing Systemwalopun pertama kali pergi, aku berangkat sendiri. diatas pesawat, rasanya aku sedang memulai perjalanan menjelajah a la Pramuka. "jangan lupa bawa peta!" begitu pesan pak Koman padaku sebelum aku berangkat. sebetulnya aku agak ragu karena aku ini payah dalam memahami arah. dan bawa-bawa peta itu bikin aku jadi turis banget! susahnya, aku nggak bisa bayangkan daerah yang akan aku jelajahi dengan peta itu seperti apa, seluas apa?
belum lagi kedatanganku ini sarat dengan pekerjaan. bawa-bawa karya pula. makanya perjalanan ini bener-bener seperti bertualangnya Lima Sekawan. atau Sapta Siaga. bedanya aku sendiri.
kalo biasanya di kota manapun aku pergi aku bertemu dan diantar-antar oleh teman, disini teman karibku adalah signing system. Singapura yang serba teratur, dilengkapi dengan berbagai tanda yang mudah dibaca dan dipahami. sayangnya, aku ini masih belum terbiasa dengan tanda-tanda seperti itu. jadi ya tetep aja aku nyasar-nyasar. kalo nggak karena kelewatan baca tanda, nyasar karena nanya sama orang yang salah. *ahahaha*
dimanapun, apapun apapun ada tandanya. dengan menemukan dan membaca tanda yang diperlukan, dijamin seluruh area akan dipahami dengan baik. Changi yang gedenya minta ampun jadi nggak seberapa menakutkan. mengikuti ban berjalan sampai hall luas dengan antrian di depan petugas imigrasi. setelah semua urusan kartu kedatangan, periksa paspor dan lain sebagainya beres, aku mengambil barang di belt yang ditunjukkan oleh monitor TV, sesudahnya menemukan counter
SIA Stopover Holiday dan menunggu driver untuk hotel transfer.
setelah pengalaman pertama dengan signing system di Changi, aku jadi lebih pede menelusuri setiap tempat yang harus aku datangi di Singapura dengan jalan kaki dan naik kereta. maka bekalku berkeliling dan menyelesaikan tugasku di Singapura adalah kunci kamar hotel, paspor, peta, uang pecahan S$ 2 (untuk naik
MRT), air mineral dan HP. semuanya masuk dalam tas tanganku, atau dalam backpack.
Toilet-Toilet-Toiletselain keteraturan yang serba thoughtful itu, aku juga sangat menikmati toilet bersih yang ada kemanapun aku pergi. secara aku ini beser, jadi sebentar-sebentar perlu kamar mandi. maka berbahagialah hatiku karena toiletnya kering, bersih dan wangi. kerannya nggak ada yang rusak dan beberapa bahkan nyentor air secara otomatis, tanpa harus ditekan tombol atau handle penyiram airnya.
aku jadi kenal toilet di Changi, di People's Park Centre,
Chinatown, di stasiun MRT Chinatown, Dhoby Ghaut, City Hall dan Orchard, di
Singapore Art Museum, di
Takashimaya, di
Night Safari dan di
Chinatown Heritage Centre. hihihihi... kok kayaknya kerjaanku cuma ke toilet yah? anyway, itu karena aku dendam sama keran toilet di terminal keberangkatan di
Bandara Ngurah Rai yang rusak dan airnya nyemprot sehingga aku sukses masuk pesawat dengan hampir separuh badan basah. nggak sopan!
Call Your Exdi Singapura aku mendatangi pameran Angkatan Pelukis Aneka Daya (Association of Artists of Various Resources-
APAD), yaitu persatuan seniman muda Melayu-Singapura. pamerannya diadakan di
ARTrium@MICA Building di Hill Street. salah seorang diantaranya,
Harman, adalah seniman yang pernah berhubungan denganku waktu aku membantu project kolaborasi seniman
Singapura dan
Indonesia hampir tiga tahun yang lalu.
aku dan
Harman belum pernah bertemu muka. kami janjian lewat sms dan dia langsung bisa mengenali aku waktu aku sampai di
MICA.
"call your ex" katanya membaca pin yang tersemat di tas punggungku.
"is this from Irwan Ahmett's project?
Change Yourself?" tanyanya lagi
wah! senangnya ketemu dengan orang yang referensinya sama.
Harman menemaniku berkeliling lalu ngopi di
Ya Kun Kaya Toast, kami ngobrol tentang seniman di Jogja yang kami kenal, project kolaborasinya dengan seniman Bandung di
Selasar,
project baru yang sedang dia rencanakan... dan tentu saja petunjuk praktis untuk bisa sampai ke
Kinokuniya di
Takashimaya-Orchard dengan segera.
dengan beban pekerjaan, sebelum ke MICA aku ke
Raffles dan bertemu dengan Angeline dan Sally di
Artfolio Artspace. meeting yang disambung dengan makan siang di restoran China-Thailand bernama Shanghai yang masakannya enak banget. didepan restoran itu, ada toko interior bernama Cream, yang memajang lukisan Hanafi. aku merasa pulang ke rumah. feels like home banget deh, dikelilingi lukisan karya seniman
Indonesia:D
sayangnya aku nggak sempat ke
Esplanade. padahal kilau bangunan yang atapnya seperti durian itu seperti memanggil-manggil dari kejauhan. aku simpan Esplanade untuk kunjunganku berikutnya.
Waktunya Jadi Turiskalo aku jadi turis, kemana aku pergi?
pertama, ke
Night Safari. sejak pertama kali baca brosurnya, aku udah terpikat. betapa menyenangkan mengunjungi kebun binatang dimalam hari, rasanya lebih menegangkan dan bikin penasaran. yang lebih menggoda lagi adalah karena binatang-binatangnya dilepas dialam terbuka, dan tidak seperti
Taman Safari di Indonesia, tram yang membawa para pengunjung berkeliling sama sekali nggak berjendela. antara binatang dan manusia, hanya dipisahkan oleh psychological borders. dan ya,
Night Safari benar-benar menyenangkan. harga tiketnya yang minta ampun mahalnya (S$ 45) setara dengan hal-hal menarik yang aku dapatkan.
satu hal lagi yang aku perhatikan adalah, kepandaian mereka untuk mencari dan mengolah dana. beberapa binatang dilabeli telah diadopsi oleh sejumlah perusahaan, misalnya These tigers are adopted by Tiger Balm. cerdas!
kedua, ke toko buku.
kadang-kadang kupikir surga itu pastinya penuh buku, dan sekali kamu menginginkan satu buku, maka buku itu akan ada di tanganmu. dan kamu bisa membacanya dengan senang hati. oh, aku nggak akan bisa lupa betapa menyenangkan rasanya bisa kesasar diantara rak-rak yang tinggi dan sarat dengan buku di
Popular@Bras Basah Road,
Kinokuniya@Takashimaya dan
Borders!
di Borders, boleh baca buku apa aja dari pagi sampai malam. boleh dengerin CD juga sepuas-puasnya. dikasih sofa pula biar makin betah. nah, satu yang paling ajaib adalah, harga bukunya lebih murah daripada di
QB atau
Periplus. kok bisa yah? aku terheran-heran sendiri sambil tetap kegirangan.
aku beli Walden-nya Thoreau, Close Range:Brokeback Mountain-nya Annie Proulx, The Known World-nya Edward P. Jones dan The God of Small Things-nya Arundhati Roy. sampe sekarang aku masih bisa merasakan betapa ringan hatiku waktu keluar dari toko-toko buku itu.
ketiga, Orchard Road. ini adalah jalan yang wajib didatangi di
Singapura. aku nggak tertarik untuk belanja sebenarnya. tidak untuk baju, atau sepatu, atau kosmetik. walaupun harus kuakui, aku sempat berbinar-binar melihat toko
Shanghai Tang, tapi langsung mundur teratur waktu tau jas flannel hijau gelap yang kutaksir harganya S$559. setelah itu, aku lebih menikmati hiasan-hiasan natal yang dipasang disegala penjuru Orchard. dimalam hari, jalan ini seperti bertabur glitter berwarna warni. di siang hari, ia terlihat semarak. seperti akan ada pesta besar yang hendak digelar disini. Orchard sudah berdandan, dan ia cantik sekali.
Warisan Sejarah dan Kebudayaantempatku tinggal di
Miramar Hotel, Havelock Road kamar 1620 letaknya nggak jauh dari Chinatown. Chinatownini adalah salah satu wilayah konservasi dibawah pengawasan Singapore
National Heritage Board. ini memungkinkanku melihat sejumlah tempat yang dirawat dan dilestarikan sebagai kekayaan budaya Singapura.
sebelum menelusuri sudut-sudut Chinatown, aku pergi ke
Singapore Art Museum. disana sedang ada pameran lukisan
Gao Xingjian, seorang penulis Cina yang mendapatkan
Nobel Sastra pada tahun 2000. karya-karyanya dipajang di dua lantai di salah satu sayap
Singapore Art Museum. judul pamerannya Gao Xingjian Experience. ruang pamernya berlantai kayu dan karyanya semua hitam puitih. aku seperti tersedot dan dilingkupi keteduhan yang dipancarkan oleh karya-karya itu. mereka seperti sedang berusaha menciptakan keheningan yang abadi di ruangan itu. kadang-kadang karyanya bersenandung lirih, kadang seperti merintih, tapi semuanya dilakukan dengan pelan-pelan, nyaris tanpa suara. sejuk, tenang dan teduh...
yang paling mengharukan adalah menemukan karya-karya seniman Indonesia dalam kondisi luar biasa baik dalam
Art Of Our Time. mulai dari Raden Saleh, sampai Widayat. Gerakan Seni Rupa Baru diwakili replika 'Ken Dedes' karya Jim Supangkat, sampai karya Agung Kurniawan. semuanya terawat, dan yang lebih mengagumkan, ini adalah karya-karya dari seri yang sangat kuat secara konsep dan mungkin tidak dikenal di pasaran. tidak pernah pula kulihat beredar balai lelang. hampir menetes air mataku menyadari bahwa orang-orang di negara lain lebih tau bagaimana merawat dan menjaga kekayaan seni rupa Indonesia.
mengawali penjelajahan budayaku di Chinatown, aku pergi ke
Chinatown Heritage Centre. bangunannya adalah ruko yang terletak ditengah-tengah Pagoda Street yang sibuk. siapapun yang pergi ke Singapore, aku sarankan pergi kesini. menarik sekali. bangunan ini menunjukkan padaku bagaimana para imigran dari
Cina berjuang hidup, mulai dari perjalanan yang penuh bahaya, kerja keras yang nyaris tiada akhir dan ancaman the four evils yang selalu membayangi hidup mereka. semua hal dalam museum ini adalah bukti kerja keras mereka. banyak diantaranya perempuan.
salah satu yang bikin aku geleng-geleng kepala adalah kesaksian seorang pembantu rumah tangga (majie) tentang caranya menjaga kesehatan...
"setiap kali aku merasa sakit, aku akan ambil seekor kecoak yang lagi berkeliaran. aku bersihkan, lalu aku telan dengan teh cina. setelah itu aku pergi tidur. biasanya keesokan harinya aku udah lebih segar"
aku juga pergi ke
Sri Mariamman Temple, sebuah kuil
India di South Bridge Road, dan Kelenteng
Thian Hock Keng yang dulunya jadi tujuan pertama para imigran yang baru saja merapat di Telok Ayer, untuk mengucapkan terima kasih dan bersyukur pada Tuhan karena sudah sampai ke Si Lat Po dengan selamat. aku juga jalan-jalan di sekitar Club Street, tempat expatriat yang tinggal di Chinatown, dan Amoy Street, yang katanya dulu dikenal sebagai lokalisasi. aku jadi ingat kata Amoy dipakai untuk menyebut gadis-gadis muda keturunan Tionghoa di
Pontianak. padahal aslinya itu adalah sebutan dalam bahasa Inggris untuk
Xiamen, pelabuhan di propinsi
Fujian. didekat tempat ini, tepatnya sebelum Mosque Street, juga ada
Masjid Jamae Chulia, yang cantik dan berwarna hijau.
akhirnya, aku harus pulang dan mengakhiri petualanganku, dengan kaki yang pegal-pegal luar biasa dan badan letih akibat berjalan kaki kemana-mana di siang hari sementara malamnya aku nggak begitu bisa tidur.
sebelum aku akhiri, aku mau mengucapkan terima kasih buat Peter, penjaga toko HP di People's Park Centre yang bantuin aku banget dengan HP dan SIM card baruku, buat Dani dan Diana dari
SIA Stopover Holiday, buat concierge di
Miramar Hotel yang selalu aku mintain tolong, dan buat door-man di
Raffles untuk semua bantuannya padaku.