laki-laki dari Tampaksiring itu bernama Dewa Tagel. ia meminta kami menyebutnya Tagel, sebagaimana semua orang di desa itu mengenalnya. buat kami, yang menghabiskan terlalu banyak waktu untuk hidup di kota, yang dipenuhi pemimpi berkepribadian palsu, orang-orang yang selalu ingin dipandang hebat dan paling oke, Tagel adalah spesies yang langka. sederhana dan polos, percaya diri dan jujur. sangat apa adanya. dia tidak pernah bicara tentang hal-hal yang tidak diketahuinya. tidak pernah berusaha kelihatan lebih baik dari apa yang sebenarnya. pun tidak berani keluar dari lingkaran tradisi yang melingkupinya sejak lahir.
"saya nggak berani minum ini. istri saya sedang hamil, saya takut nanti terjadi sesuatu yang nggak baik kalo saya minum ini. saya nggak tau minuman ini" begitu katanya waktu menolak minuman bersoda. suatu kali ia bersama kami makan siang di rumah makan sunda. setelah meyakini nggak akan suka pada karedok yang kami pesan, ia memutuskan untuk makan nasi goreng. "saya nggak suka makanan itu. saya nggak akan bisa makan itu"
ia percaya nasib, namun tak pernah menyerah. sebagai perajin dari sebuah desa kecil, hari-harinya adalah kerja yang sungguh-sungguh karena ia menginginkan hidup yang lebih baik bagi keluarganya. ia tidak takut melakukan kesalahan dalam bekerja. dan selalu bersedia memperbaiki hasil kerjanya. "saya akan coba sampai bagus hasilnya. saya mau belajar" sekali, ia kalut waktu anak sulungnya yang berumur 12 tahun nyaris nggak mau sekolah lagi. "anak saya memang perempuan, tapi dia harus terus sekolah. jangan seperti saya"
Tagel adalah laki-laki dengan wajah paling jujur dan paling tulus yang pernah kutemui. tidak pernah kulihat ada pikiran macam-macam yang melintas di benaknya, di tatapan matanya. "saya mau jadi orang baik. saya nggak punya banyak, tapi kalo ada, saya pasti akan berikan. saya bukan orang pelit" percaya atau tidak, ia mengucapkan kata-kata itu tanpa sedikit pun terdengar sombong.
setiap kali hari raya, ia akan diminta untuk memotong babi oleh tetangga-tetangganya. salah satu babi yang ia pelihara akan dipilih, lalu masing-masing tetangga memesan sekian kilo daging. sebelum dipotong, harga babi adalah Rp 9.000,- per kilo. setelah dipotong, harganya menjadi Rp 50.000 per tiga kilo. untuk pekerjaan memotong babi, ia diperbolehkan mendapatkan bagian-bagian tertentu dari babi itu, seperti cuping telinga, hati, paru dan lebih banyak darah. memotong babi sama sekali bukan pekerjaan ringan, tetapi "saya suka menyembelih babi" katanya dengan wajah ceria. sama sekali tak terlihat kekejaman jagal di senyumnya.
"kalau waktunya memotong babi, saya harus bangun jam 4 pagi. dan baru jam 3 sore pekerjaannya selesai. saya jadi capek sekali". babi terkahir yang dipotongnya berbobot 143 kilogram. pantas saja dia kelelahan setelah urusan yang bersimbah darah itu.
setiap kali bertemu dengannya, selalu terbersit rasa iri dalam hatiku pada mimik wajahnya yang selalu damai. tanpa galau.
"saya nggak berani minum ini. istri saya sedang hamil, saya takut nanti terjadi sesuatu yang nggak baik kalo saya minum ini. saya nggak tau minuman ini" begitu katanya waktu menolak minuman bersoda. suatu kali ia bersama kami makan siang di rumah makan sunda. setelah meyakini nggak akan suka pada karedok yang kami pesan, ia memutuskan untuk makan nasi goreng. "saya nggak suka makanan itu. saya nggak akan bisa makan itu"
ia percaya nasib, namun tak pernah menyerah. sebagai perajin dari sebuah desa kecil, hari-harinya adalah kerja yang sungguh-sungguh karena ia menginginkan hidup yang lebih baik bagi keluarganya. ia tidak takut melakukan kesalahan dalam bekerja. dan selalu bersedia memperbaiki hasil kerjanya. "saya akan coba sampai bagus hasilnya. saya mau belajar" sekali, ia kalut waktu anak sulungnya yang berumur 12 tahun nyaris nggak mau sekolah lagi. "anak saya memang perempuan, tapi dia harus terus sekolah. jangan seperti saya"
Tagel adalah laki-laki dengan wajah paling jujur dan paling tulus yang pernah kutemui. tidak pernah kulihat ada pikiran macam-macam yang melintas di benaknya, di tatapan matanya. "saya mau jadi orang baik. saya nggak punya banyak, tapi kalo ada, saya pasti akan berikan. saya bukan orang pelit" percaya atau tidak, ia mengucapkan kata-kata itu tanpa sedikit pun terdengar sombong.
setiap kali hari raya, ia akan diminta untuk memotong babi oleh tetangga-tetangganya. salah satu babi yang ia pelihara akan dipilih, lalu masing-masing tetangga memesan sekian kilo daging. sebelum dipotong, harga babi adalah Rp 9.000,- per kilo. setelah dipotong, harganya menjadi Rp 50.000 per tiga kilo. untuk pekerjaan memotong babi, ia diperbolehkan mendapatkan bagian-bagian tertentu dari babi itu, seperti cuping telinga, hati, paru dan lebih banyak darah. memotong babi sama sekali bukan pekerjaan ringan, tetapi "saya suka menyembelih babi" katanya dengan wajah ceria. sama sekali tak terlihat kekejaman jagal di senyumnya.
"kalau waktunya memotong babi, saya harus bangun jam 4 pagi. dan baru jam 3 sore pekerjaannya selesai. saya jadi capek sekali". babi terkahir yang dipotongnya berbobot 143 kilogram. pantas saja dia kelelahan setelah urusan yang bersimbah darah itu.
setiap kali bertemu dengannya, selalu terbersit rasa iri dalam hatiku pada mimik wajahnya yang selalu damai. tanpa galau.
2 comments:
kenalin ke aku ina...
tapi babi disini bukan saylow kan?
heehhe
tipikal orang desa kok ya gak pernah berubah..sederhana,polos,jujur.. :))
Post a Comment