"...kamu bicara seolah kata-katamu tercetak dalam sebuah buku.." demikian seorang teman berkata. suatu hari. disini, serpih-serpih hari kukumpulkan, dalam tulisan
Wednesday, April 11, 2007
9 tahun lalu
waktu aku masih berusia 18 tahun, masih muda belia, segar, innocent dan ranum seperti bunga yang baru saja mekar -halah-halah..., karena permintaan Papa, yang nggak bisa kutolak, aku ikut tes seleksi untuk masuk STPDN. waktu itu alasan yang dipakai adalah kalau sekolah disana, setelah lulus nggak akan bingung mencari pekerjaan karena sudah langsung ditempatkan. kedengarannya memang seperti sebuah sekolah bermasa depan cerah, yang nggak ada duanya deh, pokoknya paling oke.
akunya sendiri waktu itu hanya mikir, sebisa mungkin aku sekolah di sekolah negeri. soalnya kalo sekolah di swasta, orangtuaku pasti nggak akan sanggup membiayai, bow. itu udah jelas. dan sekolah negeri itu juga bukan di Jakarta. biaya hidup dan ongkos pergaulannya pasti kan mahal sekali.
maka dengan berbagai pertimbangan itu aku setuju ikutan tes sebagai salah satu alternatif. kalau-kalau nggak lolos UMPTN.
pada hari tes, aku merasa aneh karena ujian pertama dan paling dasar itu semuanya serba fisik. sejak kecil aku selalu merasa nggak nyaman kalau dihadapkan sama hal-hal seperti ini karena aku merasa aku emang nggak bertubuh proporsional. aku merasa seperti sedang 'ditelanjangi' dengan tes yang mengharuskan pake celana pendek, lari-lari ditonton sama orang banyak, disuit-suitin sama peserta tes yang laki-laki, dikomentarin sama bapak-bapak gendut berkumis berseragam yang kayaknya sipil tentara. duh! sekolah apa sih ini?
aku yakin kalau tesnya dimulai dengan tes tertulis soal pengetahuan dasar dan pengetahuan umum, aku akan lulus.
sampai di rumah aku tanya sama Papa kenapa tesnya nggak mulai dari kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kalo emang buat sekolah. kenapa nggak dicari aja orang yang pinter dulu, baru yang bisa lari atau yang berat badannya proporsional sama tinggi badannya. kan nyari yang pinter lebih susah daripada yang berat badannya seimbang?
waktu lihat gambar diatas itu tuh...
aku jadi sangat bersyukur dulu gagal masuk STPDN.
Sunday, April 08, 2007
a chef of design
Martin Conreen is a lecturer at the Design Department of Goldsmiths College, University of London. His posture reflects his appetite of good food and exotic cuisines from all over the world. My first impression of him was "This guy is wearing a shocking pink shirt. Oh my god" I hope my mind didn't sound like Janice back then. I worked with him for several days last month during his scoping visit to Bali with the British Council.
On our way to the Ubud wet market one chilly morning, he told me how he opened a vegan restaurant once. I'm sure he is talented and sees cooking as an important career, because he's still cooking for his family and friends until now. He's seriously obsessed with cooking so that he has two different refrigerators at home. One for vegan supplies and the other one for non-vegan. Part of the obsession is to make dishes that suitable for the consumer. This is all about the challenge. Imagine yourself cooking for an ultranationalist vegan who wants a vegan dish that made without any single ingredients from 17 countries that she believes violate the universal rights, both to human and animal.
What will he make on such request? Watermelon Curry.
He has done an amazing research on material, made him the only professor who pursue that specialisation. I'm strange, he exclaimed about this. And I was wow-ing the whole time he explained about several unbeliable but existing materials such as a wafer that cuts ice like butter, or a metal that remember its shape. When I asked him how can he get access to those materials. Gleefully he said, you have to hang out with scientists.
If you meet him, don't be surprised to see how energetic he is. He has a constant flowing energy from early morning until midnight. An early person by habit, he's the only charming fellow at 7 o'clock in our groups. And its amazing to see him, with the same spirit, at 11 pm, after dinner and meeting with designers.
On top of everything, he thinks Thomas Heatherwick is cool and maybe, just maybe, if I ever land my feet on the United Kingdom ground, Martin can introduce me to him. And I'll be flying to the stars in ecstasy if Thomas Heatherwick agrees to hire me even if only to make coffee. I'm good at making coffee. I know.
On our way to the Ubud wet market one chilly morning, he told me how he opened a vegan restaurant once. I'm sure he is talented and sees cooking as an important career, because he's still cooking for his family and friends until now. He's seriously obsessed with cooking so that he has two different refrigerators at home. One for vegan supplies and the other one for non-vegan. Part of the obsession is to make dishes that suitable for the consumer. This is all about the challenge. Imagine yourself cooking for an ultranationalist vegan who wants a vegan dish that made without any single ingredients from 17 countries that she believes violate the universal rights, both to human and animal.
What will he make on such request? Watermelon Curry.
He has done an amazing research on material, made him the only professor who pursue that specialisation. I'm strange, he exclaimed about this. And I was wow-ing the whole time he explained about several unbeliable but existing materials such as a wafer that cuts ice like butter, or a metal that remember its shape. When I asked him how can he get access to those materials. Gleefully he said, you have to hang out with scientists.
If you meet him, don't be surprised to see how energetic he is. He has a constant flowing energy from early morning until midnight. An early person by habit, he's the only charming fellow at 7 o'clock in our groups. And its amazing to see him, with the same spirit, at 11 pm, after dinner and meeting with designers.
On top of everything, he thinks Thomas Heatherwick is cool and maybe, just maybe, if I ever land my feet on the United Kingdom ground, Martin can introduce me to him. And I'll be flying to the stars in ecstasy if Thomas Heatherwick agrees to hire me even if only to make coffee. I'm good at making coffee. I know.
Tuesday, April 03, 2007
bule hunter
beberapa diantara teman-teman yang membaca blog ini mungkin sempat melihat pesan-pesan yang masuk ke shoutbox. ada blogwalker yang bercerita adiknya, seorang perempuan Jawa yang pergi berlibur ke Bali bersama suaminya, seorang kulit putih, merasa dilihat seperti perempuan murahan, alias pekerja seks, alias perempuan serba bisa diapa-apain.
aku harap jawabanku pada blogwalker itu cukup netral dan tidak memihak. sejujurnya, stigma yang ditempelkan pada pandangan yang nggak enak itu berkali-kali kualami selama tinggal di Bali. tidak sering, tapi cukup mengganggu. anggapan umum yang berlaku adalah: perempuan Jawa, berkulit gelap, datang ke Bali untuk mengejar laki-laki kulit putih supaya nasibnya jadi lebih baik. ada tiga dasar yang dipakai untuk anggapan ini. pertama, karena yang berkulit gelap lebih eksotis dan lebih disukai pria-pria kulit putih. kedua, karena perempuan Jawa lebih agresif. dan ketiga, karena pria-pria kulit putih punya uang lebih banyak.
karena itulah, selama tinggal di Bali, aku berusaha keras menjaga supaya kulitku tidak jadi cokelat gelap. dalam cuaca Bali yang panas menyengat aku selalu memakai jaket, sarung tangan dan segala perlengkapan penutup tubuh kalau keluar rumah. aku tidak mau dipandang dengan cap yang buruk itu. disisi lain, ada pria-pria kulit putih yang ganteng tapi menganggap lalu lintas di Indonesia terlalu membahayakan keselamatan jiwa kalau mereka memaksa menyetir di sini. mereka biasanya naik sepeda kemana-mana, dan bikin para pemburu bule mencoret mereka dari daftar buruan. karena hanya mereka yang nggak punya duit yang keringetan naik sepeda. mungkin begitu mikirnya.
tapi toh stigma tetap stigma. diberlakukan umum tanpa batasan. walaupun kerjaku resminya selama matahari terbit, chatting dan ngejunk di komputer, menemui orang-orang yang mau mendengarkan bualan setinggi langit tentang seni dan kebudayaan Indonesia, melihat-lihat sawah dan menghitung pohon kelapa, serta mendownload lagu... dan bukannya menyanyi di kafe atau menari striptease, tapi tetap saja stigma itu tak bisa kuelakkan. penjelasan sepanjang apapun seringkali nggak cukup untuk menghapus stigma yang terlanjur melekat.
ada sejumlah kejadian (yang tidak perlu kuceritakan disini) yang kualami selama aku tinggal di Bali. salah satu diantara kejadian itu begitu menyakitkan sampai aku sempat berniat mengirimkan sepasukan ninja terlatih yang dipersenjatai jarum beracun dan samurai tajam mengkilat untuk menghabisi orang yang jahat itu. tapi orang itu beruntung dan kayaknya masih hidup sampai sekarang. aku bahkan membatalkan rencana untuk menggunakan Pedang Setan untuk menebas lehernya.
*minum tonik peredam kemarahan*
nah, tadi malam aku, Kelly dan Scott ngopi sama Joely sebelum dia berangkat ke bandara untuk pulang ke San Francisco. persis pada saat latte-nya Joel habis, sopir yang akan mengantarkannya datang. karena Scott dan Kelly adalah langganannya juga, jadi dia turun dari mobil untuk menyapa mereka. Joel lalu memperkenalkan aku pada sopir itu.
"Halo, saya Ina" kataku sambil mengulurkan tangan.
"Saya Gede" dia tersenyum padaku. aku balas tersenyum. lalu dia bertanya
"Dari Jawa ya?" aku tersenyum lagi padanya, lalu menjawab
"Iya, saya dari Malang"
tiba-tiba Kelly mencampuri percakapan kami dan bilang
"Ina disini kerjanya cuma cari bule saja" aku, Scott dan Joel tertawa mendengar si kepala suku bule gondrong angkat bicara. itulah akhir percakapanku dengan Gede. he got all of the answers he needed.
aku harap jawabanku pada blogwalker itu cukup netral dan tidak memihak. sejujurnya, stigma yang ditempelkan pada pandangan yang nggak enak itu berkali-kali kualami selama tinggal di Bali. tidak sering, tapi cukup mengganggu. anggapan umum yang berlaku adalah: perempuan Jawa, berkulit gelap, datang ke Bali untuk mengejar laki-laki kulit putih supaya nasibnya jadi lebih baik. ada tiga dasar yang dipakai untuk anggapan ini. pertama, karena yang berkulit gelap lebih eksotis dan lebih disukai pria-pria kulit putih. kedua, karena perempuan Jawa lebih agresif. dan ketiga, karena pria-pria kulit putih punya uang lebih banyak.
karena itulah, selama tinggal di Bali, aku berusaha keras menjaga supaya kulitku tidak jadi cokelat gelap. dalam cuaca Bali yang panas menyengat aku selalu memakai jaket, sarung tangan dan segala perlengkapan penutup tubuh kalau keluar rumah. aku tidak mau dipandang dengan cap yang buruk itu. disisi lain, ada pria-pria kulit putih yang ganteng tapi menganggap lalu lintas di Indonesia terlalu membahayakan keselamatan jiwa kalau mereka memaksa menyetir di sini. mereka biasanya naik sepeda kemana-mana, dan bikin para pemburu bule mencoret mereka dari daftar buruan. karena hanya mereka yang nggak punya duit yang keringetan naik sepeda. mungkin begitu mikirnya.
tapi toh stigma tetap stigma. diberlakukan umum tanpa batasan. walaupun kerjaku resminya selama matahari terbit, chatting dan ngejunk di komputer, menemui orang-orang yang mau mendengarkan bualan setinggi langit tentang seni dan kebudayaan Indonesia, melihat-lihat sawah dan menghitung pohon kelapa, serta mendownload lagu... dan bukannya menyanyi di kafe atau menari striptease, tapi tetap saja stigma itu tak bisa kuelakkan. penjelasan sepanjang apapun seringkali nggak cukup untuk menghapus stigma yang terlanjur melekat.
ada sejumlah kejadian (yang tidak perlu kuceritakan disini) yang kualami selama aku tinggal di Bali. salah satu diantara kejadian itu begitu menyakitkan sampai aku sempat berniat mengirimkan sepasukan ninja terlatih yang dipersenjatai jarum beracun dan samurai tajam mengkilat untuk menghabisi orang yang jahat itu. tapi orang itu beruntung dan kayaknya masih hidup sampai sekarang. aku bahkan membatalkan rencana untuk menggunakan Pedang Setan untuk menebas lehernya.
*minum tonik peredam kemarahan*
nah, tadi malam aku, Kelly dan Scott ngopi sama Joely sebelum dia berangkat ke bandara untuk pulang ke San Francisco. persis pada saat latte-nya Joel habis, sopir yang akan mengantarkannya datang. karena Scott dan Kelly adalah langganannya juga, jadi dia turun dari mobil untuk menyapa mereka. Joel lalu memperkenalkan aku pada sopir itu.
"Halo, saya Ina" kataku sambil mengulurkan tangan.
"Saya Gede" dia tersenyum padaku. aku balas tersenyum. lalu dia bertanya
"Dari Jawa ya?" aku tersenyum lagi padanya, lalu menjawab
"Iya, saya dari Malang"
tiba-tiba Kelly mencampuri percakapan kami dan bilang
"Ina disini kerjanya cuma cari bule saja" aku, Scott dan Joel tertawa mendengar si kepala suku bule gondrong angkat bicara. itulah akhir percakapanku dengan Gede. he got all of the answers he needed.
Saturday, March 31, 2007
30 Maret 1980
pada hari Minggu itu, Kelly Woolford masih duduk di tahun terakhir sekolah menengah. agak terlambat karena selama tiga tahun ia terlalu sibuk bermain baseball. ia suka olahraga dan bertualang di alam. mungkin karena ia dibesarkan di Missouri, tempat dimana perjalanan keluarga Ingalls yang ditulis oleh Laura dan kemudian dijadikan film serial Little House on The Prairie, dimulai.
sementara itu, di Hollywood, Scott Rasmussen memulai pekerjaan pertamanya sebagai tukang sambung kabel. itu adalah awal karirnya sebagai tukang listrik di Universal Studios. ia sempat mencoba peruntungannya dalam sebuah audisi untuk iklan Chevy, tapi tidak berhasil. mungkin ia sempat bertanggung jawab atas kabel-kabel yang berseliweran selama pembuatan film-film terkenal dari Universal selama kurun itu seperti Coal Miner's Daughter dan On Golden Pond.
pada tanggal 30 Maret 2007, mereka berdua bersama-sama menyiapkan pesta ulang tahunku, memilih tempat, memesan meja, membeli kue (yang merupakan gabungan dari Tiramisu, Fruit Pie dan Banana Chocolate Mousse) dan mengundang orang-orang di bawah ini, untuk datang dalam pestaku. these are our breakfast and after dinner crowd, people that we meet almost everyday. pesta kecil itu dihadiri 7 orang, dan pada tiga puluh menit pertama setelah acaranya dimulai, setiap orang (yang memang lebih tua daripada aku) saling menceritakan apa kira-kira yang mereka lakukan, pada hari ketika aku dilahirkan.
di Carmel, dekat San Francisco, Joel baru saja membeli mobil Volkswagen berwarna biru. ini adalah awal dari berbagai hal dalam hidupnya setelah lulus dari sekolah menengah. saat ia memulai bisnis pertamanya (yang nggak jelas apa) lalu masuk ke sekolah khusus untuk belajar alkitab bersama berpuluh-puluh laki-laki yang lain.
Shiner sedang belajar di jurusan Seni di Southeastern Louisiana University pada hari saat aku dilahirkan. ia dan teman-temannya menyebut sekolah itu sebagai Slow Learning University, terbukti dengan prestasinya selama lima tahun berturut-turut masuk ke dalam daftar Top 25 College Parties in The US yang dikeluarkan majalah Playboy. aku yakin Shiner sangat sibuk bersenang-senang saat itu.
pada saat yang sama, Lucien sedang belajar di jurusan Keuangan di universitas yang terletak di sebuah kota kecil yang tidak perlu disebutkan namanya di Kanada. seperti halnya Celine Dion, darah Perancis mengalir deras dalam tubuh Lucien. ia belajar Marketing dan Keuangan sampai mendapatkan gelar S2, dan selama itu ia tinggal seapartemen bersama tiga orang lainnya. apartemen mereka cukup besar, sehingga mereka harus bekerja keras untuk membayarnya, masih ditambah dengan beban kuliah dan tugas-tugas. pada akhir minggu, mereka selalu mengundang banyak teman untuk datang dan membuat Potluck Party. saat-saat yang penuh kenangan indah.
akhir Maret adalah saatnya Trisha lulus dari sekolah menengah. ia sedang mencoba-coba pakaian yang akan dikenakannya pada pesta dansa, berharap-harap cemas mendekati waktu wisuda, lalu bersiap-siap masuk ke universitas setelah liburan. aku bisa membayangkan betapa senangnya Trisha saat itu.
yeah, mereka berhasil mengingat-ingat waktu 27 tahun yang lalu. mereka juga bilang padaku bahwa usia 27 adalah satu babak baru yang menyenangkan dalam kehidupan. waktunya memulai sesuatu yang baru, atau memantapkan jalan yang sudah dipilih. aku tersenyum mendengarnya, aku tertawa mendengar cerita dan lelucon mereka. rasanya tadi malam adalah salah satu hari istimewa ketika aku tersenyum dan tertawa selama 4,5 jam!
terakhir kali aku mengadakan pesta ulangtahun pada 2003. waktu itu perayaannya ditandai dengan sebuah konser Melancholic Bitch di Lembaga Indonesia Perancis, Jogja. lalu aku juga mengadakan pesta kecil bersama teman-teman kampus dan lain-lain di kos sehari sebelum aku pergi KKN. mereka memanjakanku dengan membeli Opera Cake dari Novotel, yang kami nikmati bersama di akhir pesta.
dan tahun 2007 ini, Scott dan Kelly meneleponku hanya untuk bilang
"Tonight, 7.30 at Tutmak. is that oke?"
lalu melarangku memikirkan apa-apa. karena mereka yang mengurus semuanya, dan Lucien yang membayar semua pesananku. aku betul-betul terharu dan berterima kasih.
ah, aku jadi ingin tahu, apa yang kalian lakukan pada 30 Maret 2003?
apakah ada yang masih ingat?
sementara itu, di Hollywood, Scott Rasmussen memulai pekerjaan pertamanya sebagai tukang sambung kabel. itu adalah awal karirnya sebagai tukang listrik di Universal Studios. ia sempat mencoba peruntungannya dalam sebuah audisi untuk iklan Chevy, tapi tidak berhasil. mungkin ia sempat bertanggung jawab atas kabel-kabel yang berseliweran selama pembuatan film-film terkenal dari Universal selama kurun itu seperti Coal Miner's Daughter dan On Golden Pond.
pada tanggal 30 Maret 2007, mereka berdua bersama-sama menyiapkan pesta ulang tahunku, memilih tempat, memesan meja, membeli kue (yang merupakan gabungan dari Tiramisu, Fruit Pie dan Banana Chocolate Mousse) dan mengundang orang-orang di bawah ini, untuk datang dalam pestaku. these are our breakfast and after dinner crowd, people that we meet almost everyday. pesta kecil itu dihadiri 7 orang, dan pada tiga puluh menit pertama setelah acaranya dimulai, setiap orang (yang memang lebih tua daripada aku) saling menceritakan apa kira-kira yang mereka lakukan, pada hari ketika aku dilahirkan.
di Carmel, dekat San Francisco, Joel baru saja membeli mobil Volkswagen berwarna biru. ini adalah awal dari berbagai hal dalam hidupnya setelah lulus dari sekolah menengah. saat ia memulai bisnis pertamanya (yang nggak jelas apa) lalu masuk ke sekolah khusus untuk belajar alkitab bersama berpuluh-puluh laki-laki yang lain.
Shiner sedang belajar di jurusan Seni di Southeastern Louisiana University pada hari saat aku dilahirkan. ia dan teman-temannya menyebut sekolah itu sebagai Slow Learning University, terbukti dengan prestasinya selama lima tahun berturut-turut masuk ke dalam daftar Top 25 College Parties in The US yang dikeluarkan majalah Playboy. aku yakin Shiner sangat sibuk bersenang-senang saat itu.
pada saat yang sama, Lucien sedang belajar di jurusan Keuangan di universitas yang terletak di sebuah kota kecil yang tidak perlu disebutkan namanya di Kanada. seperti halnya Celine Dion, darah Perancis mengalir deras dalam tubuh Lucien. ia belajar Marketing dan Keuangan sampai mendapatkan gelar S2, dan selama itu ia tinggal seapartemen bersama tiga orang lainnya. apartemen mereka cukup besar, sehingga mereka harus bekerja keras untuk membayarnya, masih ditambah dengan beban kuliah dan tugas-tugas. pada akhir minggu, mereka selalu mengundang banyak teman untuk datang dan membuat Potluck Party. saat-saat yang penuh kenangan indah.
akhir Maret adalah saatnya Trisha lulus dari sekolah menengah. ia sedang mencoba-coba pakaian yang akan dikenakannya pada pesta dansa, berharap-harap cemas mendekati waktu wisuda, lalu bersiap-siap masuk ke universitas setelah liburan. aku bisa membayangkan betapa senangnya Trisha saat itu.
yeah, mereka berhasil mengingat-ingat waktu 27 tahun yang lalu. mereka juga bilang padaku bahwa usia 27 adalah satu babak baru yang menyenangkan dalam kehidupan. waktunya memulai sesuatu yang baru, atau memantapkan jalan yang sudah dipilih. aku tersenyum mendengarnya, aku tertawa mendengar cerita dan lelucon mereka. rasanya tadi malam adalah salah satu hari istimewa ketika aku tersenyum dan tertawa selama 4,5 jam!
terakhir kali aku mengadakan pesta ulangtahun pada 2003. waktu itu perayaannya ditandai dengan sebuah konser Melancholic Bitch di Lembaga Indonesia Perancis, Jogja. lalu aku juga mengadakan pesta kecil bersama teman-teman kampus dan lain-lain di kos sehari sebelum aku pergi KKN. mereka memanjakanku dengan membeli Opera Cake dari Novotel, yang kami nikmati bersama di akhir pesta.
dan tahun 2007 ini, Scott dan Kelly meneleponku hanya untuk bilang
"Tonight, 7.30 at Tutmak. is that oke?"
lalu melarangku memikirkan apa-apa. karena mereka yang mengurus semuanya, dan Lucien yang membayar semua pesananku. aku betul-betul terharu dan berterima kasih.
ah, aku jadi ingin tahu, apa yang kalian lakukan pada 30 Maret 2003?
apakah ada yang masih ingat?
Friday, March 16, 2007
scotty doesn't know
Scott Rasmussen adalah seorang lelaki yang tampan.
Dengan lengan yang kekar dan bahu yang lebar, satu-satunya hal yang bisa dipikirkan perempuan saat melihatnya adalah betapa nyaman bisa merebahkan kepala di dadanya yang bidang. Tingginya lebih dari 180 cm, rambutnya ikal berwarna cokelat tua dan matanya ramah. Senyumnya melelehkan keju beku yang hendak dioleskan pada croissant hangat yang baru dikeluarkan dari microwave. Geraknya hati-hati. Dengan tubuh sekekar itu, caranya berjalan lebih seperti hembusan angin sejuk yang meniup lembut daun kering yang siap luruh. Ia selalu berjalan tanpa suara. Bahkan ketika mengenakan sepatu boot kulit.
Pekerjaannya menggabungkan kekuatan dan keindahan. Sebagai perancang perhiasan, hidupnya dikelilingi batu-batu mulia yang harus dipotong, ditatah, lalu diikat dengan logam. Dari tangannya yang berotot lahir karya-karya dengan citarasa tinggi yang memancarkan pesona alami perancangnya. Ia bicara dalam nada-nada rendah, penuh senyum. Setiap kali ia sampai pada hal-hal yang menarik perhatian dan menyentuh perasaannya, tatapannya meredup, lalu ia akan berbicara dengan lebih lambat. Seakan ingin meresapi setiap kata yang dia ucapkan, menghirup udara yang melayang saat kalimat demi kalimat ia ucapkan.
Ia sangat suka kucing. Ia memungut seekor kucing dan memeliharanya, kucing pertamanya yang bertahan hidup sampai saat ini, setelah lebih dari tujuh tahun menghuni rumahnya yang sunyi di Sayan. Lalu berturut-turut ia memelihara Astro, Kiki, Rani, Rini serta si kembar Lulu dan Cucu. Ketika si anak kucing kembar berkumpul, ia dapat memanggilnya Lucu-lucu.
Sekilas kulihat ada binar dimata Scott ketika menceritakan kucing-kucing peliharaannya. Setiap kali seekor anak kucing hilang karena dilahap ular Phyton yang berkeliaran di hutan dekat rumahnya, Scott selalu bercerita dengan sedih. Tapi ia juga tidak bisa melarang mereka bermain di halaman, karena di sana kucing-kucing itu selalu terlihat lebih bahagia disana. "They think I'm their mother" katanya.
Setiap pagi setelah pukul 8.16, Scott bisa ditemui di Space Colonie, sedang menyantap sarapan paginya yang berupa dua Danish pancake, dua fried eggs sunny side up dengan lelehan maple syrup dan long latte. Menu makan malamnya adalah green avocado salad, sate ayam dan nasi putih. Hidup yang sederhana. Sesederhana pilihannya untuk minum lime juice tanpa gula. Scott menghindari gula seperti ia menghindari heroin. Tapi akhir-akhir ini, dia sedang suka makan permen Mentos rasa Blueberry. Ia akan mengulurkan permennya padaku sambil berkata "Have some Vitamin M"
Diantara kami, ia dijuluki Superman. Kalau kamu menyimak dengan baik, kamu akan tahu kenapa kami memanggilnya begitu. Di dalam phonebook-ku, ia tercatat dengan nama yang membuatnya terbahak; Scotty Doesn't Know.
Beginilah caraku bercerita tentang Scott pada Bunda Endhoot.
Dengan lengan yang kekar dan bahu yang lebar, satu-satunya hal yang bisa dipikirkan perempuan saat melihatnya adalah betapa nyaman bisa merebahkan kepala di dadanya yang bidang. Tingginya lebih dari 180 cm, rambutnya ikal berwarna cokelat tua dan matanya ramah. Senyumnya melelehkan keju beku yang hendak dioleskan pada croissant hangat yang baru dikeluarkan dari microwave. Geraknya hati-hati. Dengan tubuh sekekar itu, caranya berjalan lebih seperti hembusan angin sejuk yang meniup lembut daun kering yang siap luruh. Ia selalu berjalan tanpa suara. Bahkan ketika mengenakan sepatu boot kulit.
Pekerjaannya menggabungkan kekuatan dan keindahan. Sebagai perancang perhiasan, hidupnya dikelilingi batu-batu mulia yang harus dipotong, ditatah, lalu diikat dengan logam. Dari tangannya yang berotot lahir karya-karya dengan citarasa tinggi yang memancarkan pesona alami perancangnya. Ia bicara dalam nada-nada rendah, penuh senyum. Setiap kali ia sampai pada hal-hal yang menarik perhatian dan menyentuh perasaannya, tatapannya meredup, lalu ia akan berbicara dengan lebih lambat. Seakan ingin meresapi setiap kata yang dia ucapkan, menghirup udara yang melayang saat kalimat demi kalimat ia ucapkan.
Ia sangat suka kucing. Ia memungut seekor kucing dan memeliharanya, kucing pertamanya yang bertahan hidup sampai saat ini, setelah lebih dari tujuh tahun menghuni rumahnya yang sunyi di Sayan. Lalu berturut-turut ia memelihara Astro, Kiki, Rani, Rini serta si kembar Lulu dan Cucu. Ketika si anak kucing kembar berkumpul, ia dapat memanggilnya Lucu-lucu.
Sekilas kulihat ada binar dimata Scott ketika menceritakan kucing-kucing peliharaannya. Setiap kali seekor anak kucing hilang karena dilahap ular Phyton yang berkeliaran di hutan dekat rumahnya, Scott selalu bercerita dengan sedih. Tapi ia juga tidak bisa melarang mereka bermain di halaman, karena di sana kucing-kucing itu selalu terlihat lebih bahagia disana. "They think I'm their mother" katanya.
Setiap pagi setelah pukul 8.16, Scott bisa ditemui di Space Colonie, sedang menyantap sarapan paginya yang berupa dua Danish pancake, dua fried eggs sunny side up dengan lelehan maple syrup dan long latte. Menu makan malamnya adalah green avocado salad, sate ayam dan nasi putih. Hidup yang sederhana. Sesederhana pilihannya untuk minum lime juice tanpa gula. Scott menghindari gula seperti ia menghindari heroin. Tapi akhir-akhir ini, dia sedang suka makan permen Mentos rasa Blueberry. Ia akan mengulurkan permennya padaku sambil berkata "Have some Vitamin M"
Diantara kami, ia dijuluki Superman. Kalau kamu menyimak dengan baik, kamu akan tahu kenapa kami memanggilnya begitu. Di dalam phonebook-ku, ia tercatat dengan nama yang membuatnya terbahak; Scotty Doesn't Know.
Beginilah caraku bercerita tentang Scott pada Bunda Endhoot.
Wednesday, March 14, 2007
dua perpisahan
langit begitu gelap disarati mendung pagi ini. lalu menjelang jam 10 mendadak hujan turun tak berkeputusan. butir-butir air berhamburan melewati jendela yang kubuka lebar-lebar, menyisakan percik yang membasahi kusen. membuatnya basah dan lembab. seperti jalanan, seperti daun, pohon dan menambah jumlah air di kolam teratai tempat ikan-ikan mas koki berenang.
suasana pagi yang muram, sangat berbeda dengan langit cerah penuh bintang berkilauan tadi malam, saat kami makan bersama untuk terakhir kalinya. setelah tiga minggu berlibur, bermain tennis dan minum kopi hampir setiap malam di Space Colonie, Ronald Decter, the Canadian GM, harus kembali ke Barocay Island untuk bekerja. sampai saat terakhir, ia jelas-jelas tidak berminat untuk kembali kalau bukan karena harus. betapa cepatnya waktu berlalu!
we decided to dress up.
aku memakai rok hitam dengan atasan floral berwarna pink dengan bunga-bunga warna cokelat dan biru muda. Mbak Yuni memakai atasan dan rok hitam. dan karena Scott hanya mengijinkan kami menumpang mobilnya kalo kami memakai high heels, maka itulah yang kami pakai. aku merasa cantik, dengan sepasang anting-anting panjang yang menjuntai hampir menyentuh bahuku.
tentu saja semua hadir. kami berenam makan, bercanda dan tertawa dalam suasana hangat. Kelly dan Joely, masing-masing duduk di ujung meja dan terus menerus tersenyum. kami menghadapi perpisahan dengan menunjukkan yang terbaik, dengan kebersamaan dan persahabatan.
meskipun aku tidak pernah suka perpisahan. tidak suka mengucapkan selamat berpisah atau good bye. aku memilih sampai jumpa. lebih menyukai see you.
karena ada harapan untuk bertemu lagi.
tapi kadang-kadang perpisahan itu tidak memberikan kesempatan untuk bertemu lagi. seperti ketika kami sekeluarga harus merelakan sepupuku yang pergi untuk selamanya karena meningitis, tepat sebulan yang lalu. atau ketika untuk sementara, aku hanya bisa menjumpai pusara nenekku, yang pergi dua minggu yang lalu
yang pasti setiap perpisahan akan menyisakan kenangan.
ketika Mbah pergi, tanteku yang selama ini merawatnya mempersilakan kami untuk mengambil salah satu benda yang ditinggalkan untuk kenang-kenangan. lalu sambil memilih-milih satu diantara sekian banyak sarung Mbah, Tante bercerita kalau seumur hidupnya, Mbah hanya memakai satu merek kutang.
seperti wanita lainnya yang seumur hidup tinggal di desa, kutang yang dimaksudkan Tante adalah kutang kain tradisional, kayak yang dipake Aminah Cenderakasih di film-film Betawi jaman dulu banget, waktu memakai kutang kain sambil menyapu di halaman adalah pemandangan biasa. yang dipake Mbah mereknya Suroso. bukan Triumph, bukan Wacoal, bukan Victoria's Secret.
aku senang mengetahui cerita ini, karena Mbah mewariskan pada kami semua semangat untuk bangga dan mencintai produk lokal. yang asli, yang milik kita sendiri. aku mungkin tidak punya banyak waktu untuk mengenalnya lebih dekat, untuk memahami pikiran-pikirannya secara mendalam, tapi aku punya kesempatan untuk meneruskan semangat itu.
dan aku berterima kasih pada Pak Koman dan Bu Mansri, Mok Mangnik, Pak Aris yang bawain tiket ke bandara, Mbak Yuni yang selalu memantau perjalananku, Rony, Mas Toyik yang mengantar Jogja-Pacitan PP, Bonnie yang merelakan mobilnya kupakai, Titis dan Mas Nanang, teman-teman di ID-Gmail dengan segala perhatian dan simpatinya serta Onet. semuanya memungkinkanku punya satu lagi kesempatan berkumpul bersama keluarga, memahami nilai dan semangat baru, bahkan disaat perpisahan.
suasana pagi yang muram, sangat berbeda dengan langit cerah penuh bintang berkilauan tadi malam, saat kami makan bersama untuk terakhir kalinya. setelah tiga minggu berlibur, bermain tennis dan minum kopi hampir setiap malam di Space Colonie, Ronald Decter, the Canadian GM, harus kembali ke Barocay Island untuk bekerja. sampai saat terakhir, ia jelas-jelas tidak berminat untuk kembali kalau bukan karena harus. betapa cepatnya waktu berlalu!
we decided to dress up.
aku memakai rok hitam dengan atasan floral berwarna pink dengan bunga-bunga warna cokelat dan biru muda. Mbak Yuni memakai atasan dan rok hitam. dan karena Scott hanya mengijinkan kami menumpang mobilnya kalo kami memakai high heels, maka itulah yang kami pakai. aku merasa cantik, dengan sepasang anting-anting panjang yang menjuntai hampir menyentuh bahuku.
tentu saja semua hadir. kami berenam makan, bercanda dan tertawa dalam suasana hangat. Kelly dan Joely, masing-masing duduk di ujung meja dan terus menerus tersenyum. kami menghadapi perpisahan dengan menunjukkan yang terbaik, dengan kebersamaan dan persahabatan.
meskipun aku tidak pernah suka perpisahan. tidak suka mengucapkan selamat berpisah atau good bye. aku memilih sampai jumpa. lebih menyukai see you.
karena ada harapan untuk bertemu lagi.
tapi kadang-kadang perpisahan itu tidak memberikan kesempatan untuk bertemu lagi. seperti ketika kami sekeluarga harus merelakan sepupuku yang pergi untuk selamanya karena meningitis, tepat sebulan yang lalu. atau ketika untuk sementara, aku hanya bisa menjumpai pusara nenekku, yang pergi dua minggu yang lalu
yang pasti setiap perpisahan akan menyisakan kenangan.
ketika Mbah pergi, tanteku yang selama ini merawatnya mempersilakan kami untuk mengambil salah satu benda yang ditinggalkan untuk kenang-kenangan. lalu sambil memilih-milih satu diantara sekian banyak sarung Mbah, Tante bercerita kalau seumur hidupnya, Mbah hanya memakai satu merek kutang.
seperti wanita lainnya yang seumur hidup tinggal di desa, kutang yang dimaksudkan Tante adalah kutang kain tradisional, kayak yang dipake Aminah Cenderakasih di film-film Betawi jaman dulu banget, waktu memakai kutang kain sambil menyapu di halaman adalah pemandangan biasa. yang dipake Mbah mereknya Suroso. bukan Triumph, bukan Wacoal, bukan Victoria's Secret.
aku senang mengetahui cerita ini, karena Mbah mewariskan pada kami semua semangat untuk bangga dan mencintai produk lokal. yang asli, yang milik kita sendiri. aku mungkin tidak punya banyak waktu untuk mengenalnya lebih dekat, untuk memahami pikiran-pikirannya secara mendalam, tapi aku punya kesempatan untuk meneruskan semangat itu.
dan aku berterima kasih pada Pak Koman dan Bu Mansri, Mok Mangnik, Pak Aris yang bawain tiket ke bandara, Mbak Yuni yang selalu memantau perjalananku, Rony, Mas Toyik yang mengantar Jogja-Pacitan PP, Bonnie yang merelakan mobilnya kupakai, Titis dan Mas Nanang, teman-teman di ID-Gmail dengan segala perhatian dan simpatinya serta Onet. semuanya memungkinkanku punya satu lagi kesempatan berkumpul bersama keluarga, memahami nilai dan semangat baru, bahkan disaat perpisahan.
Thursday, February 22, 2007
I've seen it all, have I?
Mama bilang aku orang yang punya terlalu banyak keinginan. setiap hari aku selalu punya keinginan baru. mulai dari yang kecil-kecil sampai yang besar. ingin makan sate ayam yang tempatnya di deket rumah warkop di Denpasar, ingin pulang kantor lebih cepat, ingin membersihkan kamar... adalah beberapa contoh keinginan yang bisa hilang secepatnya, segera setelah keinginan itu dipikirkan.
lalu suatu hari aku ingin pergi ke London gara-gara liat website-nya Design Museum. berhari-hari yang dibuka website itu aja, lalu menelusuri link-link para desainer yang disebut disitu. mulai dari Manolo Blahnik, yang bikin sepatu-sepatu yang kalo harganya dikonversi ke rupiah jadi panjang banget nolnya- sampe Experimental Jetset yang desain t-shirtnya bikin Lennon on sale again (yes, I hear you, Bowie). tapi minggu depannya aku pengen ke New York setelah ngeliat lagi gambar-gambar dari karyanya Christo di Central Park. atau jadi mau ke San Francisco karena dengerin soundtracknya Full House, lalu membayangkan wajah John Stamos yang turun dari trem, memakai jas biru tua dengan t-shirt putih sebagai dalamannya, dengan senyumnya yang meruntuhkan iman... seketika lupa kalau John Stamos udah nggak seganteng dulu lagi, dan mungkin nggak ada di San Francisco. ada yang tau sekarang John Stamos ada dimana?
kalo aku pergi ke toko buku, bisa jadi seperti orang kalap. ingin bukunya Murakami (lagi), ingin baca Capote, ingin punya bukunya Kafka... padahal di rumah masih ada novelnya Pamuk, Shreve, Jelinek dan entah apalagi yang baru dibaca dua halaman pertamanya, baru dilihat judulnya, baru dibuka bungkusnya, lalu ditaruh aja di rak. makin keras rasanya komentar Mama di telingaku "kalo dunia bisa digulung, pasti kamu juga ingin itu"
kadang-kadang aku pikir hidupku jadi rumit karena keinginanku terlalu banyak. juga karena sepertinya ada banyak jalan yang memungkinkan untuk mencapai keinginan-keinginan itu, walaupun bakatku yang luar biasa sebagai procrastinator seringkali membuatku tidak melakukan apapun untuk meraihnya. aku gantungkan keinginan setinggi langit, tapi lupa bikin tangga dan nyiapin bambu panjang buat menjoloknya. apakah hidupku akan lebih sederhana kalau keinginanku cuma sedikit? apakah orang akan hidup lebih bahagia kalau mereka tidak punya keinginan yang macam-macam?
kalau aku sedang nonton film yang menurutku bagus dan tokoh anak mudanya cakep berat, bermata sendu dan obrolannya penting untuk dikutip... seseorang yang akan dengan mudahnya membuatku meleleh... lalu aku bilang sama diriku sendiri "wah, pacaran sama orang ini pasti keren. aku mau pacaran sama dia" pada saat Mama lewat, pasti beliau akan bilang "emang kenal dimana sama orang itu?"
dan aku langsung kembali ke bumi.
dalam hal ini, Mama seperti Bjork dan Thom Yorke waktu saling bercerita tentang apa yang belum dan sudah mereka lihat. atau orang yang bikin ungkapan soal perjalanan kesana kemari yang pada akhirnya ingin menuju rumah, karena di rumah bisa melihat semuanya. walaupun belum melihat air terjun Niagara dan Tembok Cina. karena air terjun toh cuma air aja, dan semua tembok sama hebatnya asal atapnya nggak runtuh.
You haven't seen elephants, kings or Peru!
I'm happy to say I had better to do
What about China? Have you seen the Great Wall?
All walls are great, if the roof doesn't fall!
...
You've never been to Niagara Falls?
I have seen water, its water, that's all...
The Eiffel Tower, the Empire State?
My pulse was as high on my very first date!
apakah aku sudah melihat semuanya?
apakah kamu sudah melihat yang ingin kamu lihat?
apa sudah mendapatkan semua yang diinginkan?
lalu suatu hari aku ingin pergi ke London gara-gara liat website-nya Design Museum. berhari-hari yang dibuka website itu aja, lalu menelusuri link-link para desainer yang disebut disitu. mulai dari Manolo Blahnik, yang bikin sepatu-sepatu yang kalo harganya dikonversi ke rupiah jadi panjang banget nolnya- sampe Experimental Jetset yang desain t-shirtnya bikin Lennon on sale again (yes, I hear you, Bowie). tapi minggu depannya aku pengen ke New York setelah ngeliat lagi gambar-gambar dari karyanya Christo di Central Park. atau jadi mau ke San Francisco karena dengerin soundtracknya Full House, lalu membayangkan wajah John Stamos yang turun dari trem, memakai jas biru tua dengan t-shirt putih sebagai dalamannya, dengan senyumnya yang meruntuhkan iman... seketika lupa kalau John Stamos udah nggak seganteng dulu lagi, dan mungkin nggak ada di San Francisco. ada yang tau sekarang John Stamos ada dimana?
kalo aku pergi ke toko buku, bisa jadi seperti orang kalap. ingin bukunya Murakami (lagi), ingin baca Capote, ingin punya bukunya Kafka... padahal di rumah masih ada novelnya Pamuk, Shreve, Jelinek dan entah apalagi yang baru dibaca dua halaman pertamanya, baru dilihat judulnya, baru dibuka bungkusnya, lalu ditaruh aja di rak. makin keras rasanya komentar Mama di telingaku "kalo dunia bisa digulung, pasti kamu juga ingin itu"
kadang-kadang aku pikir hidupku jadi rumit karena keinginanku terlalu banyak. juga karena sepertinya ada banyak jalan yang memungkinkan untuk mencapai keinginan-keinginan itu, walaupun bakatku yang luar biasa sebagai procrastinator seringkali membuatku tidak melakukan apapun untuk meraihnya. aku gantungkan keinginan setinggi langit, tapi lupa bikin tangga dan nyiapin bambu panjang buat menjoloknya. apakah hidupku akan lebih sederhana kalau keinginanku cuma sedikit? apakah orang akan hidup lebih bahagia kalau mereka tidak punya keinginan yang macam-macam?
kalau aku sedang nonton film yang menurutku bagus dan tokoh anak mudanya cakep berat, bermata sendu dan obrolannya penting untuk dikutip... seseorang yang akan dengan mudahnya membuatku meleleh... lalu aku bilang sama diriku sendiri "wah, pacaran sama orang ini pasti keren. aku mau pacaran sama dia" pada saat Mama lewat, pasti beliau akan bilang "emang kenal dimana sama orang itu?"
dan aku langsung kembali ke bumi.
dalam hal ini, Mama seperti Bjork dan Thom Yorke waktu saling bercerita tentang apa yang belum dan sudah mereka lihat. atau orang yang bikin ungkapan soal perjalanan kesana kemari yang pada akhirnya ingin menuju rumah, karena di rumah bisa melihat semuanya. walaupun belum melihat air terjun Niagara dan Tembok Cina. karena air terjun toh cuma air aja, dan semua tembok sama hebatnya asal atapnya nggak runtuh.
You haven't seen elephants, kings or Peru!
I'm happy to say I had better to do
What about China? Have you seen the Great Wall?
All walls are great, if the roof doesn't fall!
...
You've never been to Niagara Falls?
I have seen water, its water, that's all...
The Eiffel Tower, the Empire State?
My pulse was as high on my very first date!
apakah aku sudah melihat semuanya?
apakah kamu sudah melihat yang ingin kamu lihat?
apa sudah mendapatkan semua yang diinginkan?
Tuesday, February 20, 2007
introducing Aldi
untuk pertama kalinya dalam hidupku, setelah sekian lama takut (dan seringkali sebel), aku tertarik sama anjing. jangan salah mengartikan tertarik dengan asosiasi yang berlebihan yaa...
sejak dua hari pertama kedatangannya, Aldi udah nongkrong di ruang terbuka yang letaknya diluar jendela ruanganku. setiap kali ada yang lewat, aku akan mendengar mereka menyapanya seperti menggoda cowok (manusia) ganteng yang manis dan pemalu. Aldiiiii... begitu yang kudengar sepanjang hari. kadang ada juga yang memanggilnya Aldi Wiranata. entah darimana datangnya ide memberinya nama lengkap.
padahal Aldi adalah anjing Herder alias Gembala Jerman alias German Shepherd yang besar dan tampangnya garang. pada dasarnya dia memang anjing penjaga, tapi dia juga kalem dan cuek. entah bagaimana, dia berhasil membuat para tamu mendatanginya untuk menepuk kepalanya, mengusap punggungnya, membelai telinganya, menggaruk bagian di bawah lehernya. selama mereka berada di dekatnya, dia berdiri, duduk tegak, atau berbaring santai seperti menikmati semua perhatian dan kasih sayang itu.
lama-lama aku jadi berani deket-deket dia, ngajakin dia ngobrol dan kayaknya dia ngerti. kalo aku datang ke kantor dan dia sedang duduk di teras depan galeri, dia akan berdiri. aku akan merasa ge-er dan menganggap dia menyambut kedatanganku. sekarang aku jadi bingung sendiri, kenapa aku justru seneng dan nggak takut sama anjing yang gede-besar-menyeramkan, tapi tetep deg-degan kalo harus ngelewatin gang yang ada anjing kampungnya. padahal anjing kampung itu ukurannya cuma setengahnya Aldi.
yayaya, aku yang aneh.
sejak dua hari pertama kedatangannya, Aldi udah nongkrong di ruang terbuka yang letaknya diluar jendela ruanganku. setiap kali ada yang lewat, aku akan mendengar mereka menyapanya seperti menggoda cowok (manusia) ganteng yang manis dan pemalu. Aldiiiii... begitu yang kudengar sepanjang hari. kadang ada juga yang memanggilnya Aldi Wiranata. entah darimana datangnya ide memberinya nama lengkap.
padahal Aldi adalah anjing Herder alias Gembala Jerman alias German Shepherd yang besar dan tampangnya garang. pada dasarnya dia memang anjing penjaga, tapi dia juga kalem dan cuek. entah bagaimana, dia berhasil membuat para tamu mendatanginya untuk menepuk kepalanya, mengusap punggungnya, membelai telinganya, menggaruk bagian di bawah lehernya. selama mereka berada di dekatnya, dia berdiri, duduk tegak, atau berbaring santai seperti menikmati semua perhatian dan kasih sayang itu.
lama-lama aku jadi berani deket-deket dia, ngajakin dia ngobrol dan kayaknya dia ngerti. kalo aku datang ke kantor dan dia sedang duduk di teras depan galeri, dia akan berdiri. aku akan merasa ge-er dan menganggap dia menyambut kedatanganku. sekarang aku jadi bingung sendiri, kenapa aku justru seneng dan nggak takut sama anjing yang gede-besar-menyeramkan, tapi tetep deg-degan kalo harus ngelewatin gang yang ada anjing kampungnya. padahal anjing kampung itu ukurannya cuma setengahnya Aldi.
yayaya, aku yang aneh.
Monday, February 19, 2007
surat kedua; angels for angels
satu lagi kejadian dalam hidupku berpusar dengan kamu pada pusatnya. tanpa kusadari, medan energi diantara kita saling bertemu dan bersinggungan, lalu berbelok menuju satu arah, atau berpijar dan menyebar ke segala arah. namun pada akhirnya menuju pada satu kesimpulan. kisah yang sedang kita jalani belum berakhir.
saat ini aku sedang berpikir-pikir, apa yang mungkin ada dalam kepalamu ketika memberiku film ini. aku ingat saat itu kamu bersikeras aku harus membawanya, dan menontonnya sampai selesai. kalau bisa dalam satu waktu. aku agak ragu aku akan punya waktu untuk menonton terus menerus selama lebih dari 6 jam tanpa jeda. tapi toh tiga keping DVD itu aku terima. merasa tersentuh karena ketika kamu memberikan film itu padaku, berarti kamu harus membelinya lagi. Angels in America.
I fell for Prior Walter.
laki-laki cerdas dengan pikiran-pikiran menarik. tentu saja dia sensitif dan kadang-kadang berlebihan menanggapi sesuatu, lalu jadi bawel. I fell for Prior Walter although I know he's gay. menurutku, karakternya jauh lebih rumit dan menarik daripada Roy Cohn atau Louis Ironson. aku juga seneng adegan-adegan saat Mr. Lies ketemu dengan Harper Pitt, karena pasti akan terjadi sesuatu yang menggelikan, atau justru keren. misalnya waktu Harper pergi ke Kutub Utara lewat kulkas. that's cool.
kamu ingat, adegan pertama dari episode pertama di bagian pertama film itu adalah tentang upacara pemakaman Yahudi, dimulai dengan seorang rabbi yang berkhotbah di hadapan keluarga si mati dalam bahasa Inggris yang kuduga berlogat Ibrani. ini hal baru bagiku, aku belum pernah melihat sesuatu yang berhubungan dengan ritual Yahudi sebelumnya. masih dengan perasaan terkesan, aku kemudian menulis email untuk satu-satunya rabbi yang kukenal di dunia nyata; Rabbi Allen B. Bennett yang memimpin sebuah sinagog di San Francisco.
rasanya aku perlu menceritakan padamu tentang Allen.
pertama kali melihatnya, yang ingin kulakukan adalah menyuruhnya mengenakan kostum Santa Claus. posturnya menunjang dan usianya sesuai, bahkan warna rambut dan jenggotnya pun tepat! tinggal memberinya setelan merah, topi merah dan ikat pinggang kulit, melepas kacamatanya, lalu menyuruhnya naik ke atas kereta. Rudolf dan teman-teman tidak akan tahu bedanya.
ia punya banyak lelucon berbau politik yang lucu dan segar. ia pencerita yang baik, yang bisa membuat pengalaman-pengalamannya terdengar sangat menarik. ia menjawab emailku dua hari setelah aku mengirimnya. isinya benar-benar diluar dugaan. sekali lagi aku merasa kalau hidupku terkait dengan berbagai hal secara mengagumkan, hampir seperti keluar dari dalam novel atau film. Allen menulis begini...
...As you now know, Angels in America is one of the most powerful films made in the U.S. in the last fifty years. I had the pleasure and the honor, many years ago, when Tony Kushner was beginning to prepare the original play for the stage, of being among those asked to help raise money for the production. The play was shown in two installments because it was too long to sit through in one evening. One night was five hours, and the other one six. By the time the play was ready for production, it was shorter, but not by that much. And, as you can tell from the film, which is much shorter than the play, it is still in two parts and is still quite long and complicated. Anyway, because I was among those who helped raise the initial funds for the production, I was one of the “Angels for Angels” as we were called back then. It’s good to see how the whole thing evolved...
tinggal dua langkah lagi aku akan bisa berkenalan dengan Tony Kushner. akankah kamu bersamaku ketika saat itu tiba?
saat ini aku sedang berpikir-pikir, apa yang mungkin ada dalam kepalamu ketika memberiku film ini. aku ingat saat itu kamu bersikeras aku harus membawanya, dan menontonnya sampai selesai. kalau bisa dalam satu waktu. aku agak ragu aku akan punya waktu untuk menonton terus menerus selama lebih dari 6 jam tanpa jeda. tapi toh tiga keping DVD itu aku terima. merasa tersentuh karena ketika kamu memberikan film itu padaku, berarti kamu harus membelinya lagi. Angels in America.
I fell for Prior Walter.
laki-laki cerdas dengan pikiran-pikiran menarik. tentu saja dia sensitif dan kadang-kadang berlebihan menanggapi sesuatu, lalu jadi bawel. I fell for Prior Walter although I know he's gay. menurutku, karakternya jauh lebih rumit dan menarik daripada Roy Cohn atau Louis Ironson. aku juga seneng adegan-adegan saat Mr. Lies ketemu dengan Harper Pitt, karena pasti akan terjadi sesuatu yang menggelikan, atau justru keren. misalnya waktu Harper pergi ke Kutub Utara lewat kulkas. that's cool.
kamu ingat, adegan pertama dari episode pertama di bagian pertama film itu adalah tentang upacara pemakaman Yahudi, dimulai dengan seorang rabbi yang berkhotbah di hadapan keluarga si mati dalam bahasa Inggris yang kuduga berlogat Ibrani. ini hal baru bagiku, aku belum pernah melihat sesuatu yang berhubungan dengan ritual Yahudi sebelumnya. masih dengan perasaan terkesan, aku kemudian menulis email untuk satu-satunya rabbi yang kukenal di dunia nyata; Rabbi Allen B. Bennett yang memimpin sebuah sinagog di San Francisco.
rasanya aku perlu menceritakan padamu tentang Allen.
pertama kali melihatnya, yang ingin kulakukan adalah menyuruhnya mengenakan kostum Santa Claus. posturnya menunjang dan usianya sesuai, bahkan warna rambut dan jenggotnya pun tepat! tinggal memberinya setelan merah, topi merah dan ikat pinggang kulit, melepas kacamatanya, lalu menyuruhnya naik ke atas kereta. Rudolf dan teman-teman tidak akan tahu bedanya.
ia punya banyak lelucon berbau politik yang lucu dan segar. ia pencerita yang baik, yang bisa membuat pengalaman-pengalamannya terdengar sangat menarik. ia menjawab emailku dua hari setelah aku mengirimnya. isinya benar-benar diluar dugaan. sekali lagi aku merasa kalau hidupku terkait dengan berbagai hal secara mengagumkan, hampir seperti keluar dari dalam novel atau film. Allen menulis begini...
...As you now know, Angels in America is one of the most powerful films made in the U.S. in the last fifty years. I had the pleasure and the honor, many years ago, when Tony Kushner was beginning to prepare the original play for the stage, of being among those asked to help raise money for the production. The play was shown in two installments because it was too long to sit through in one evening. One night was five hours, and the other one six. By the time the play was ready for production, it was shorter, but not by that much. And, as you can tell from the film, which is much shorter than the play, it is still in two parts and is still quite long and complicated. Anyway, because I was among those who helped raise the initial funds for the production, I was one of the “Angels for Angels” as we were called back then. It’s good to see how the whole thing evolved...
tinggal dua langkah lagi aku akan bisa berkenalan dengan Tony Kushner. akankah kamu bersamaku ketika saat itu tiba?
Friday, February 16, 2007
ode untuk adi prana
aku masih ingat hari ketika kamu mengajakku menonton film ini.
hal yang pada akhirnya tidak jadi terlaksana. separuh karena aku agak malas menonton film yang menurutku kurang keren, separuhnya lagi karena jadualku dan jadualmu sama padatnya. sampai hari ini aku belum pernah nonton Notting Hill.
dan kalau aku mau nonton Notting Hill malam ini, maukah kamu menemaniku?
beberapa hari yang lalu aku teringat padamu. tapi urung mencoba menghubungimu ketika teringat aku sudah kehilangan baik nomor hp maupun alamat emailmu. aku belum menghubungimu sampai saat ini. meskipun kamu datang dalam mimpiku sepanjang malam tadi. tersenyum, berbicara denganku. sementara aku hanya diam, memandangmu melambaikan tangan dan menatapku dengan tawa dalam matamu.
kamu yang selalu baik hati dan bersedia menolong teman yang mengalami kesulitan. kamu yang pendiam tapi murah senyum. kamu yang memperlakukan aku dengan lembut, selalu berusaha membuatku senang, membuatku nyaman. dan cintamu.
all the things I couldn't believe I deserve.
...the smile on your face lets me know that you need me
there's a truth in your eyes saying you'll never leave me
the touch of your hand says you'll catch me wherever I fall
you say it best, when you say nothing at all...
selamat jalan, Adi Prana
berbahagialah di sisi-Nya
Tuesday, February 13, 2007
scar tissue
ini buku yang sedang kubaca.
kisah sejati vokalis salah satu band yang paling dicintai di seluruh dunia. Red Hot Chilli Peppers. seorang laki-laki bertattoo yang tampan, suka bereksperimen pada dirinya sendiri (dengan musik, penampilan, aksi kontroversial, segala jenis drugs dan entah apalagi) dan punya banyak pacar. cerita hidup yang kayaknya hanya mungkin terjadi dalam film.
rasanya aku kenal seseorang dengan penggambaran yang lebih kurang sama di dunia nyata. walau mungkin nggak seterkenal Anthony Kiedis.
perjalanan RHCP selama lebih dari duapuluh tahun dicatat khusus dalam sejarah. musik, gaya dan penampilan mereka mengubah hidup jutaan anak muda di dunia, dan mengubah hidup orang yang tidak muda lagi, ketika mereka memberi pemahaman lebih pada anak-anak muda yang dijangkiti RHCP.
lagu kedua RHCP yang menarik perhatianku adalah My Friends dari album One Hot Minute. Anthony Kiedis yang memakai gaun berwarna putih, mendayung perahu yang bergerak pelan melintasi air yang tenang, seperti sedang sangat muram dan tenggelam teramat dalam. aku saat itu, anak SMP yang menyerap segala hal yang dilihatnya di TV, mengerutkan kening memikirkan mengapa Kiedis yang biasanya pecicilan jadi sangat kontemplatif. inget kan sama lagu itu? itu loh, yang liriknya begini...
Ex girlfriend called me up
Alone and desperate on the prison phone
They want... to give her 7 years
For being sad
I love all of you
Hurt by the cold
So hard and lonely too
When you dont know yourself
walaupun sebenarnya aku tahu kalau Kiedis bisa jadi halus dan melodius, terutama ketika bicara tentang kesunyian. misalnya dalam lagu Under the Bridge. barangkali kehidupan panggung yang hingar-bingar, gadis-gadis manis berambut pirang dengan tubuh menggiurkan dan bibir merah yang basah, hari-hari antara tidur dan tidak sadar akibat ganja, heroin atau cocain, sorot lampu ribuan watt dan suara musik yang menggelegar tidak memberi Kiedis kenyamanan sejati. ia (dan Flea) adalah personil yang terus ada di sana, tak peduli betapa RHCP jatuh bangun. kesepian, ketakutan dan seluruh kelemahannya diberikan pada obat-obatan terlarang.
Sometimes I feel
Like I dont have a partner
Sometimes I feel
Like my only friend
Is the city I live in
The city of angel
Lonely as I am
Together we cry
...
Under the bridge downtown
Is where I drew some blood
Under the bridge downtown
I could not get enough
Under the bridge downtown
Forgot about my love
Under the bridge downtown
I gave my life away
lagu mereka yang tidak bosan-bosannya aku dengarkan adalah Road Trippin'. aku senang sekali waktu akhirnya mereka membuat video untuk lagu ini. sejak dulu aku menyukai kehidupan bersama band. dan tahun-tahun beredarnya Californication adalah episode hidupku bersama Melancholic Bitch. aku bisa mengingat hari-hari ketika bersama mereka, aku berkumpul dan tidak melakukan apa-apa.
It's time to leave this town
It's time to steal away
Let's go get lost
Anywhere in the U.S.A.
Let's go get lost
Let's go get lost
Blue you sit so pretty
West of the one
Sparkles light with yellow icing
Just a mirror for the sun
Just a mirror for the sun
Just a mirror for the sun
nah, video klip mereka yang paling niat dan paling seru idenya tentu saja Dani California. semangat bermain-main dan bersenang-senang sangat terasa dalam film pendek tentang perkembangan musik itu. aku terus-menerus ketawa waktu pertama kali nonton video mereka, sambil sibuk menebak-nebak, sedang jadi siapakah Red Hot Chilli Peppers sekarang.
oyah, karena aku bukan Benny, aku nggak akan kasih spoiler tentang buku ini. mendingan beli aja dan baca sendiri karena lebih seru. rekomendasiku, ini salah satu buku yang pantas dikoleksi.
kisah sejati vokalis salah satu band yang paling dicintai di seluruh dunia. Red Hot Chilli Peppers. seorang laki-laki bertattoo yang tampan, suka bereksperimen pada dirinya sendiri (dengan musik, penampilan, aksi kontroversial, segala jenis drugs dan entah apalagi) dan punya banyak pacar. cerita hidup yang kayaknya hanya mungkin terjadi dalam film.
rasanya aku kenal seseorang dengan penggambaran yang lebih kurang sama di dunia nyata. walau mungkin nggak seterkenal Anthony Kiedis.
perjalanan RHCP selama lebih dari duapuluh tahun dicatat khusus dalam sejarah. musik, gaya dan penampilan mereka mengubah hidup jutaan anak muda di dunia, dan mengubah hidup orang yang tidak muda lagi, ketika mereka memberi pemahaman lebih pada anak-anak muda yang dijangkiti RHCP.
lagu kedua RHCP yang menarik perhatianku adalah My Friends dari album One Hot Minute. Anthony Kiedis yang memakai gaun berwarna putih, mendayung perahu yang bergerak pelan melintasi air yang tenang, seperti sedang sangat muram dan tenggelam teramat dalam. aku saat itu, anak SMP yang menyerap segala hal yang dilihatnya di TV, mengerutkan kening memikirkan mengapa Kiedis yang biasanya pecicilan jadi sangat kontemplatif. inget kan sama lagu itu? itu loh, yang liriknya begini...
Ex girlfriend called me up
Alone and desperate on the prison phone
They want... to give her 7 years
For being sad
I love all of you
Hurt by the cold
So hard and lonely too
When you dont know yourself
walaupun sebenarnya aku tahu kalau Kiedis bisa jadi halus dan melodius, terutama ketika bicara tentang kesunyian. misalnya dalam lagu Under the Bridge. barangkali kehidupan panggung yang hingar-bingar, gadis-gadis manis berambut pirang dengan tubuh menggiurkan dan bibir merah yang basah, hari-hari antara tidur dan tidak sadar akibat ganja, heroin atau cocain, sorot lampu ribuan watt dan suara musik yang menggelegar tidak memberi Kiedis kenyamanan sejati. ia (dan Flea) adalah personil yang terus ada di sana, tak peduli betapa RHCP jatuh bangun. kesepian, ketakutan dan seluruh kelemahannya diberikan pada obat-obatan terlarang.
Sometimes I feel
Like I dont have a partner
Sometimes I feel
Like my only friend
Is the city I live in
The city of angel
Lonely as I am
Together we cry
...
Under the bridge downtown
Is where I drew some blood
Under the bridge downtown
I could not get enough
Under the bridge downtown
Forgot about my love
Under the bridge downtown
I gave my life away
lagu mereka yang tidak bosan-bosannya aku dengarkan adalah Road Trippin'. aku senang sekali waktu akhirnya mereka membuat video untuk lagu ini. sejak dulu aku menyukai kehidupan bersama band. dan tahun-tahun beredarnya Californication adalah episode hidupku bersama Melancholic Bitch. aku bisa mengingat hari-hari ketika bersama mereka, aku berkumpul dan tidak melakukan apa-apa.
It's time to leave this town
It's time to steal away
Let's go get lost
Anywhere in the U.S.A.
Let's go get lost
Let's go get lost
Blue you sit so pretty
West of the one
Sparkles light with yellow icing
Just a mirror for the sun
Just a mirror for the sun
Just a mirror for the sun
nah, video klip mereka yang paling niat dan paling seru idenya tentu saja Dani California. semangat bermain-main dan bersenang-senang sangat terasa dalam film pendek tentang perkembangan musik itu. aku terus-menerus ketawa waktu pertama kali nonton video mereka, sambil sibuk menebak-nebak, sedang jadi siapakah Red Hot Chilli Peppers sekarang.
oyah, karena aku bukan Benny, aku nggak akan kasih spoiler tentang buku ini. mendingan beli aja dan baca sendiri karena lebih seru. rekomendasiku, ini salah satu buku yang pantas dikoleksi.
Subscribe to:
Posts (Atom)
duka yang menyusun sendiri petualangannya
rasa kehilangan seorang penonton pada aktor yang dia tonton sepanjang yang bisa dia ingat, adalah kehilangan yang senyap. ia tak bisa meng...
-
meskipun cita-citaku tinggi dan niatku baik, aku harus menerima kenyataan kalau terlalu banyak hal yang bisa menghalangi maksudku membaca bu...
-
Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk ...